You are on page 1of 5

GLOBAL MOSHPIT

"Art completes what nature cannot bring to finish. The artist gives us knowledge of nature's unrealized ends. " Aristotle "The intelligent public is wonderfully patient with them, continues to read them, and endures disappointment after disappointment, waiting to hear from art what it does not hear from theology, philosophy, social theory, and what it cannot hear from pure science." Saul Bellow

Seni memiliki banyak manifestasi, di antaranya terdapat seni tari, drama, sinema, musik dan masih banyak jenis lainnya. Namun, musik yang lebih banyak menarik perhatian saya. Terlahir dari sebuah keluarga kristen, Ayah saya rajin mengajak saya ke gereja setiap hari Sabbath (Sabtu Hari Kebaktian Kristen Advent). Setiap kebaktian di gereja, liturgi-liturgi hampir selalu diiringi dengan musik dan lagu-lagu untuk memuji kebesaran Tuhan. Musik yang dibawakan begitu indah, walaupun hanya diiringi dengan piano dan organ, tapi tetap tidak mengurangi kekhusuyukan dalam peribadatan. Perhatian saya selalu tertuju kepada orang-orang yang membawakan musik serta koor yang mengiringinya, bahkan ketika semua jemaat bangkit untuk meyanyi bersama. Setelah ibadah selesai, jemaat kami berkumpul bersama untuk mengadakan potluck. Potluck adalah kebiasaan untuk makan bersama dengan makanan yang dibawa oleh masing-masing anggota jemaat. Percakapan diantara masing-masing anggota jemaat terjalin dan terkadang tetap diiringi oleh alunan musik gereja. Puncaknya adalah setelah potluck, dimana kami sebagai anggotaanggota jemaat yang masih kecil, dikumpulkan oleh pembimbing musik gereja, untuk belajar musik bersama dalam sebuah koor anak-anak. Disana kami belajar bagaimana cara membaca tangga nada dan not balok, belajar bagaimana piano adalah sebuah alat musik yang vital, karena mampu menciptakan begitu banyak range suara yang akan menjadi sebuah harmoni antar tuts dan stringnya, terlebih lagi kami belajar betapa esensialnya pemecahan suara menurut karakter vokal dan bahkan gender. Ada Sopran, Alto, Tenor, Baritone dan Bass. Begitu pula dengan tempo sebuah lagu memiliki banyak ketukan, ada 4/4, dan lainnya. Apa yang saya telah sebutkan diatas mampu membentuk diri saya secara idiosinkratis dalam karakter saya. Perjalanan musik tidak hanya sampai situ, banyak lagi jenis-jenis musik yang saya dengar. Karena tuntutan pekerjaan, ayah saya harus berdinas di banyak tempat. Sempat saya menikmati kota Manado dari tahun 2002 hingga tahun 2004 dan karena ayah saya sangat sibuk, maka saya harus tinggal di Asrama Sekolah. Disana saya bergaul dengan senior-senior saya yang ternyata adalah penganut Punk, baik secara ideologis maupun musikal dan tergabung dalam Hierrust (Manado Punk & Skinheads). Pengalaman saya di kota itu adalah belajar bagaimana hidup dengan keterbatasan karena pilihan sendiri. Menggelandang dari satu tempat ke tempat lain, menyebarkan fanzine serta pamflet-pamflet gigs di jalan dan mendengarkan musik punk setiap hari juga belajar memanjat dinding stadion Persma Manado untuk masuk ke sebuah gigs musik tanpa harus membayar. Semua hal tersebut juga turut membentk karakter saya, bahkan hingga saat ini saya masih mendengarkan musik punk.

Lantas apa hubungan ini semua dengan Hubungan Internasional? Apa mungkin musik Punk didengarkan oleh seorang anak remaja di sebuah negara berkembang yang bahkan tinggal di sebuah kota kecil. Apa mungkin di sebuah negara non anglophone sebuah kebudayaan barat berkembang? Apakah mungkin sebuah kebijakan negara tercipta karena pengaruh-pengaruh masuknya kebudayaan asing di dalam negaranya? Dan Apakah mungkin sebuah perkembangan ekonomi tercipta akibat pergerakan anak-anak muda yang mendengarkan sebuah jenis musik tertentu sehingga masuk ke dalam alam bawah sadar mereka? Kesemua hal ini jelas memiliki korelasi dengan ilmu Hubungan Internasional, tapi belum sepenuhnya mampu diterima oleh peneliti-peneliti Hubungan Internasional yang lain. Jelas, seni dan budaya merupakan hal yang Low Politics, Soft Power atau dengan kata lain remeh, tapi bukan hal yang hina dan lantas dengan begitu saja diremehkan dan diacuhkan. Sebenarnya apa esensi dari musik sehingga memiliki korelasi dalam Hubungan Internasional? Saya memiliki argumen seperti berikut :

Musik sama seperti buku, tertulis dan terpola. Tertulis dari segi lirik, terpola dari segi pembagian nada dan tempo dan genre. Musik mampu merepresentasi fenomena-fenomena yang ada dan terjadi pada zamannya, di beberapa kasus, musik terkadang dinilai mampu memprediksi fenomena yang belum terjadi.

Musik hampir sama seperti persepektif-perspektif dalam Hubungan Internasional. Terkadang malah tercipta interparadigm debate antar genre musik. Musik mampu menjadi media pergerakan dan pembaruan terhadap keadaan terjadi pada saat itu. Di satu sisi, musik mampu menjadi trigger dari sebuah fenomena internasional.

Dari pendapat diatas, saya mencari-cari apa yang musik miliki sehingga peneliti hubungan internasional pun memiliki hak untuk menelitinya. Saya mulai dari blues di Amerika Serikat. Pada awalnya, blues merupakan musik budakbudak Afrika di lahan-lahan pertanian di Amerika Serikat, terutama di negara bagian Missisipi, Menurut teman saya (yang sempat bekerja di sebuah Kursus Vokal ternama di Jakarta), Budak-Budak Afrika tersebut tidak diperbolehkan untuk memainkan nada-nada mayor biasa, apabila kedapatan memainkan kord mayor, mereka akan dihukum, dipukuli bahkan dibunuh oleh orang-orang kulit putih. Pada akhirnya, budak-budak tersebut memainkan nada-nada minor dan miring yang mereka sebut dengan Blue Notes atau Blues. Lirik yang ada dalam musik blues pun mengacu kepada keresahan mereka, kelelahan mereka bekerja, ketidaksetaraan yang mau tidak mau harus mereka acuhkan untuk survive. Kolonialisme mampu merampas hak azasi manusia. Menurut saya, menikmati dan memainkan musik merupakan kebebasan berpendapat tanpa memandang apa warna kulit, agama, suku,ras dan gender. Trend turut berperan dalam perkembangan blues, ketika orang-orang kulit putih terbuka dan menerima blues, konten dari blues pun bergeser. Bukan lagi masalah moral dan pergerakan kesetaraan orang-orang kulit hitam, namun foya-foya. Bukan sebuah kesalahan apabila blues menjadi lebih easy listening, namun tentang market pendengarnya yang bergeser. Blues bergeser menjadi sebuah budaya massa yang menurut Dominic Strinati, menjadi sebuah anomie (ketidakterarahan) sekuler yang dikaitkan dengan konsumsi massa dan menjadi placebo (pemanis bibir) moral masyarakat. Hampir semua musik yang pada awalnya adalah sebuah pergerakan, berakhir naas, sama seperti Blues.

Bila dipikir kembali secara Positif, sumbangsih Blues terhadap ilmu Hubungan Internasional adalah menjadi contoh fenomena dimana Rasisme, Perbudakan, Kolonialisme dan perbedaan kelas diterapkan. Apakah ini sebuah fenomena yang pantas dibahas didalam Hubungan Internasional? Lantas apa perbedaan kasus diatas dengan Perbedaan Kelas di Eropa di Masa Rennaissance, di Rusia pra-Leninis-Marxisme? Bagaimana dengan arus imigrasi di Eropa yang sekarang menjadi masalah dalam negeri di negara-negara maju seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia dan Inggris. Blues merupakan satu dari banyak genre musik yang sangat bertautan dengan Hubungan Internasional, selain itu ada Punk, Ska, Metal bahkan Jazz. Saya mngkin tidak akan membahas secara detail, namn membahas isu yang bersangkutan. Punk memiliki akar kuat yang berkaitan dengan politik. Asal mula genre punk sebenarnya masih debatable, entah siapa yang menjadi pioneer. MC5 dari Detroit juga The Stooges (Iggy Pop) dan The New York Dolls masih menjadi acuan dasar Punk atau biasa disebut Proto-Punk, tapi sebenarnya pergerakan Punk dimulai di London dan New York pada pertengahan tahun '70an. New York dengan klub legendarisnya, CBGB, memiliki band-band seperti The Ramones dan London, dengan klub legendarisnya juga, The Roxy, memiliki band-band seperti The Clash, Sex Pistols dan The Damned. Singkat cerita, awal mula Punk berkembang di Inggris adalah ketika Malcolm McLaren (Manajer sekaligus pendiri Sex Pistols), pergi ke New York dan witnessing scene Musik di CBGB. Kembali ke London dia bertemu dengan Vivienne Westwood (Fashion Stylist Sex Pistols) dan mereka membawa jenis musik yang baru ini di Tanah Britania dan bahkan Punk lebih cendering lebih Inggris daripada Amerika. Ini pun masih debatable, tapi apabila kita lihat dari sisi Hubungan Internasional, apa yang terjadi di Punk, ternyata lebih dulu dialami oleh Marxisme ketika berkembang di Inggris. Marx ketika surat kabarnya, Reinische Zeitung dibanned di Prussia, Marx membawa pemikirannya berkelana dari satu negara ke negara lain dari Prancis lalu akhirnya berlabuh di Inggris. Punk secara filosofis menganut Anarki, sebuah pemikiran dari seorang filsuf Prancis, Pierre-Joseph Proudhon. Banyak orang yang mengafiliasikan Anarki, cenderung kekiri-kirian. Punk berkembang menjadi sebuah subculture di Inggris yang anti-kemapanan atau anti-establishment. Menentang bentuk-bentuk yang terkonstruk di masyarakat Inggris tentang cara berpakaian, gaya hidup, pola kerja, kelas-kelas diantara masyarakat Inggris dan bahkan reliji. Kita masih melihat kesamaan dengan Marxisme mengenai protes terhadap konstruksi sosial, dan tipikal musik Punk ternyata juga memiliki lirik yang lebih politis dibanding dengan genre musik yang lain. Keterkaitan berikutnya antara Punk dan Hubungan Internasional adalah ketika Inggris dan Argentina memperebutkan sebuah pulau di Amerika Selatan bernama Falkand (Menurut Inggris) atau Malvinas (Menurut Argentina). Di London sendiri menimbulkan demonstrasi besar-besaran di Trafalgar Square demi menentang perang tersebut. Demonstrasi tersebut ternyata lebih berisikan kebijakan Thatcher yang seperti melupakan masalah dalam negeri tentang meningkatnya jumlah imigran dari Asia Selatan (terutama Pakistan) yang berpotensi mengurangi lahan pekerjaan bagi penduduk Inggris dan malah meributkan kepemilikan sebuah pulau kecil. Sebagian besar demonstran merupakan NeoNazi Skinhead (yang disebut Traditional Skinhead/Trojan Skins sebagai Bonehead). Skinhead merupakan fellow subculture dari Punk yang memiliki usia lebih tua. Skinhead berkembang di sekitar tahun

'60an akhir dan merupakan pecahan dari Mods (Modernists). Mods merupakan subkultur predecessor dari Skinhead, yang terdiri dari anak-anak kelas menengah (pekerja) yang mencoba unuk lebih modern; menggunakan pakaian yang lebih formal (jas saville row atau hardy amies), mendengarkan modern jazz, ska (karena aliansinya dengan subkultur anak-anak imigran Jamaika yang biasa disebut Rude Boys) dan British Rock and Blues seperti The Who dan The Kinks, serta menggunakan Skuter (Vespa & Lambretta) sebagai alat transportasi juga sebagai alat aktualisasi diri. Pada awalnya Mods yang terdiri dari kalangan kelas menengah mulai dikenal oleh anak-anak orang kaya dari kelas atas. Menjadikan Mods menjadi lebih cheesy, glamor, materialistis dan hurahura. Pada akhir dekade '60an, Mods akhirnya terpecah menjadi 2 bagian yaitu; Soft Mods (yang terdiri dari anak-anak orang kaya yang akhirnya masuk ke sekolah-sekolah seni dan terjerumu menjadi Hippies) dan Hard Mods (yang terdiri dari kelas pekerja yang akhirnya menjadi Skinheads). Singkat kata, di dekade '80an era Thatcher (berkenaan dengan Perang Falkland), isu rasisme dipergunakan oleh Partai National Front untuk meraih simpati Skinhead yang pada dasarnya multikultur dan apolitis, menjadi Rasis (terhadap imigran dan pendatang sementara di Inggris pada waktu itu). Sebuah band anarcho punk bernama Crass bahkan menentang perang Falkland dan mengkritik kebijakan Thatcher dan kedekatannya dengan Ronald Reagan (Thatcherism & Reaganomics), kritik Thatchergate Tapes. Pada era '70an sendiri, Punk sudah membuat sensasi di Tanah Britania, di saat Ulang Tahun Ratu Elizabeth II, Sex Pistols mengeluarkan single God Save The Queen yang berisi kritik serta olok-olok, spesial sebagai hadiah ulang tahun sang Ratu. Alhasil, lagu tersebut dibanned oleh seluruh radio di Inggris. Setelah kita kaji melalui ulasan diatas, ternyata musik bukan hanya sekedar harmonisasi antar vokal dan instrumen, tapi mampu membentuk karakter dan pola pikir yang menciptakan baik aksi maupun reaksi di tingkat individu maupun komunitas. Perihal kaitannya dengan era Globalisasi, entitas-entitas kecil baik individu, komunitas dan bahkan badan usaha (Multinational Corporations) merupakan perpanjangan tangan dari negara asalnya. Apabila mampu melintasi batas-batas negara, maka musik sudah bertransformasi menjadi sebuah fenomena global. Saya pernah menonton sebuah acara televisi di saluran National Geographic yang berjudul Don't tell my Mother i'm in : Iraq. Sebuah acara yang dibawakan secara tepat (dalam hal penyajian dan pembauran [get along] dengan masyarakat dan komunitas lokal yang diliput) oleh Diego Bunuel (presenter dari Canal+, Prancis). Mengisahkan tentang komunitas Metal di Irak. Kecenderungan pendengar musik Metal adalah menggunakan kaus band berwarna hitam, memanjangkan rambut dan janggut serta menggunakan kalung dan piercing. Di Irak, warna hitam diafiliasikan dengan Muslim Sunni yang bersitegang dengan Syiah. Memanjangkan janggut adalah kebiasaan kaum Sunni, namun memanjangkan rambut adalah kebiasaan kaum Syiah. Apabila anda menggunakkan corak yang khas bagi satu kaum, anda adalah target bagi kaum lainnya. Pendengar Metal seakan mencampur-adukkan kesemua corak tersebut, namun begitu gig Metal diadakan, batasan-batasan antara Sunni, Syiah, Kristen, Arab, Armenia dan Yahudi seakan hilang. Ketika diwawancara, seorang fans berkata bahwa disini (gig metal) adalah satu-satunya tempat di Baghdad dimana

orang Sunni dan Syiah mampu berpelukan dan saling merangkul, ini adalah satu-satunya tempat dimana race and creed doesn't matter. Ternyata musik mampu membawa nilai positif di daerah konflik. Dia menambahka, apabila setiap warga Iraq adalah penggemar musik Metal, maka Iraq akan damai. Terdengar klise dan utopis, namun ternyata berpengaruh, walaupun hanya dalam scope yang kecil. Sangat luas untuk membahas musik dan kaitanya di dalam Hubungan Internasional, tidak akan cukup beberapa halaman tulisan saja untuk membahasnya. Musik sangatlah kompleks, namun terkadang simpel untuk dinikmati. Apabila kita membuka wawasan kita tentang musik, suatu saat kita akan mampu melihat fenomena-fenomena yang terjadi dengan sudut pandang yang berbeda dan lebih kritis dalam menghadapi persoalan. Saya akan menutup tulisan saya dengan mengutip Rene Ricard, mengenai tulisannya tentang Jean-Michel Basquiat.
What is it about art anyway that we give it so much importance? Art is so respected by the poor because what they do is the honest way to get out of the slum, using one sheer-self as the medium. The Money earned, proof, pure and simple of the value of that individual, the artist. The Picture of mother's son does in jail hangs on her wall as proof that beauty is possible even in the most wretched. And this, is a much different idea than the fancier notion that art is a scam and a rip-off. But, you coud never explain to someone who uses God's gift to enslave that you have used God's gift to be free.

You might also like