You are on page 1of 1

Trend Ketimpangan Spasial Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta Studi Kasus Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Oleh: Hatta Efendi

Abstraksi
Tipologi perkembangan Kota Yogyakarta mengikuti sumbu imajener, barangkali yang dimaksud oleh Kraton Yogyakarta adalah Kabupaten Sleman yang merupakan kawasan ekosistem Gunung Merapi, kemudian ke selatan menuju Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan (Kraton), sampai di Kabupaten Bantul yang didominasi ekosistem dataran, pegunungan, dan berakhir di pantai selatan. Dari arah utara pula merupakan hulu sumber mata air dengan hilirnya melalui Kota Yogyakarta, berakhir di pantai selatan Kabupaten Bantul. Jadilah Kabupaten Sleman-Kota Yogyakarta-Kabupaten Bantul merupakan satu kesatuan ekosistem. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Yogyakarta memiliki peran sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Adapun Kabupaten Bantul memiliki peran sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Kabupaten Sleman sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Fenomena yang ada, pusat-pusat pertumbuhan (Kraton Yogyakarta dan Kampus UGM), membentuk aglomerasi penduduk dan industri yang melewat batas administrasi ke Kabupaten Sleman (Kuncoro, 2005). Hal ini rasa-rasanya apa yang menjadi ketetapan RTRWN untuk wilayah-wilayah di Yogyakarta tidak terjadi, Kabupaten Sleman justru berkembang lebih pesat dibandingkan dengan Kabupaten Bantul. Fenomena perkembangan Kabupaten Sleman tersebut merupakan gejala penyebaran urban primacy Kota Yogyakarta yang terjadi pada kurun waktu 1990-2002 (Prakoso dan Mutaali, 2005). Penelitian Trend Ketimpangan Spasial Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dengan Studi Kasus Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul berusaha mengurai pertanyaan penelitian: 1). Apakah trend ketimpangan spasial di Kecamatan Sewon dapat menjamin kepastian bermukim di wilayah kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, 2). Bagaimana pengarusutamaan kebijakan pemerintah (Pemkab Bantul, Pemkot Yogyakarta, dan Pemprov D.I.Y) atas wilayah dalam satu kesatuan ekosistem Sumbu Imajener Yogyakarta/Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, dan 3). Bagaimana perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ruang/spasial di kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta di wilayah Kecamatan Sewon. Bentuk ketimpangan spasial suatu wilayah dapat dideskripsikan secara kuantitatif, misalnya pengukuran bentuk wilayah dapat digunakan sebagai indikator potensi aksesibilitas internal wilayah, Smith 1995 (dalam Ernan 2009) dengan tetap menambah analisis jaringan jalan untuk mengetahui tingkat aksesibilitas aktual.

08/269053/TK/34231

You might also like