You are on page 1of 15

BADAN USAHA MILIK PETANI

SEBAGAI SARANA GOTONG ROYONG USAHA UNTUK


KEMAJUAN PETANI

Agus Pakpahan

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan ringkasan pemikiran yang berkembang dalam diri penulis
selama ini dalam upaya untuk mencari jalan menuju kemakmuran atau kesejahteraan
petani. Kemakmuran atau kesejahteraan petani yang makin membaik dinamakan sebagai
kemajuan petani, artinya adalah bahwa keadaan petani pada hari esok harus lebih baik
dari keadaan petani pada hari ini dan hari-hari kemarin.

Mengapa kemajuan dalam pengertian ini menjadi penting karena bahwa


kehidupan yang makin makmur atau makin sejahtera itu adalah lebih baik dari kondisi
yang sebaliknya. Sedangkan berupaya sekuat tenaga dan mengembangkan pemikiran
yang mendalam untuk menuju keadaan yang lebih baik itu adalah merupakan kewajiban
kita semua. Dengan demikian mudah-mudahan kita dibukakan jalan dan diberikan
bimbingan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk mencapai
keinginan itu.

Upaya untuk mencapai keinginan atau cita-cita bahwa petani tingkat


kehidupannya menjadi lebih makmur bukanlah hal yang baru. Kemerdekaan Indonesia
itu sendiri adalah merupakan gerbang emas untuk mewujudkan cita-cita itu.
Pembangunan Nasional yang di dalamnya dikandung makna pembangnan pertanian juga
merupakan upaya untuk mencapai keinginan bahwa kehidupan petani menjadi lebih
makmur. Kita masing bisa mengingat bagaimana Rumusan Pembangunan Jangka Panjang
(rencana dalam kurun waktu 25 tahun) yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) selama Pemerintahan Orde Baru telah dilaksanakan dengan
berbagai keberhasilan dan kekurangannya. Demikian pula dengan Pembangunan
Pertanian yang dilaksanakan sejak Reformasi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Namun demikian, kiranya tidak terlalu berlebihan apabila kita
mengatakan bahwa tingkat kehidupan petani dan masyarakat perdesaan pada umumnya
masih memprihatinkan. Oleh karena itu pula diperlukan reinterpretasi dan reorientasi
tentang landasan, cara atau metode untuk menemukan jalan yang lebih baik dalam
mewujudkan cita-cita kita untuk mencapai tingkat kehidupan petani yang lebih baik.

Saya sering mengatakan bahwa pembangunan pertanian yang dilaksanakan


selama ini lebih diwarnai oleh kerangka berpikir mekanistik dengan menitikberatkan
pandangan peningkatan produksi sebagai upaya untuk meningkatkan kemakmuran petani.
Jalan ini telah menghasilkan model pembangunan yang menempatkan pemerintah
sebagai subyek dan petani sebagai obyeknya. Input pertanian memang berkembang,
misalnya, pabrik pupuk, irigasi, gudang, dan sejenisnya berhasil dibangun. Namun,
sejalan dengan perkembangan peningkatan produksi input pertanian itu yang telah

1
berhasil meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi, pendekatan ini tidak berhasil
meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani yang berarti, sehingga kemakmuran
petani juga tidak banyak mencapai kemajuan. Bahkan involusi pertanian sebagaimana
yang dikemukakan oleh Geertz terus berlangsung dan peningkatan produktivitas terus
melandai. Lebih berat lagi kalau kita melihat hasil-hasil penelitian yang menunjukan
peningkatan produktivitas pertanian sudah bertanda negatif (Fuglie). Tentu saja hal ini
sangat mengkhawatirkan mengingat hal tersebut merupakan pertanda adanya ancaman
yang serius terhadap keberlanjutan (sustainability) pertanian kita.

Tulisan ini mengambil sudut pandang bahwa pertanian rakyat, khususnya padi,
merupakan pertanian yang sudah mencapai evolusi tingkat tinggi. Dalam hal
produktivitasnya, petani padi kita hanya tertinggal dari petani padi di Cina. Oleh karena
itu, petani padi kita sudah memiliki daya saing yang tinggi, apabila diukur oleh
produktivitas, tetapi mengapa kehidupannya makin miskin? Kejadian ini tentu ada
penyebabnya.

Penyebabnya adalah bahwa bahwa teknologi, modal, manajemen, organisasi dan


pasar sering tidak berpihak terhadap kepentingan petani. Mengapa? Alasannya adalah
bahwa petani kita belum memiliki lembaga atau institusi yang menjadi sumber semangat
dan wadah untuk melakukan pemupukan modal dalam arti yang seluas-luasnya dan
dalam melakukan transaksi yang fair dengan pihak-pihak yang terkait dengan mereka.
Pengalaman dengan BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRA INSUS, KUD dan berbagai
bentuk kelembagaan petani selama ini sangat dibatasi oleh hal-hal kelemahan
institusional petani itu sendiri, khususnya lemah dalam fungsinya sebagai ”turbin
ekonomi”, sebagai institusi yang dapat ”meleverage” semua jenis modal yang tersedia.
Oleh karena itu, tulisan ini memusatkan perhatian pada aspek pengembangan institusi
petani yang dinamakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) sebagai kendaraan untuk bisa
menginternalisasikan dan merekapitalisasi modal petani (modal spiritual, modal sosial,
modal biofisik, modal finansial) dan sekaligus juga membangun kekuataan keseimbangan
dalam melakukan transaksi dengan para pihak yang berhubungan dengan petani,
termasuk di dalamnya pemerintah dan dunia usaha baik swasta maupun BUMN.

Sebelum saya menguraikan BUMP, terlebih dahulu disampaikan gambaran umum


secara kualitatif tentang pertanian Indonesia.

Pertanian Indonesia: Kapasitas Produksi sebagai Penentu Kondisi Jangka Panjang

Sikap optimis diperlukan untuk membangun harapan-harapan positif agar kita


bisa menatap masa depan dengan lebih baik dan agar kita bisa ”sedia payung sebelum
hujan”. Dengan demikian permasalahan diubah menjadi tantangan, dan karena tantangan
itulah mendorong ”adrenalin” kita keluar dan menjadikan kehidupan kita lebih
terangsang untuk bekerja lebih keras lagi. Harga pangan yang naik secara tidak normal
merupakan pertanda bahwa stok pangan dunia menipis, artinya konsumsi pangan tumbuh
lebih cepat daripada tumbuhnya produksi. Hal inilah yang terjadi sekarang sehingga kita
tidak dapat bertahan dengan argumen bahwa surplus pangan yang tersedia di lingkungan
kita telah memenuhi kriteria ketahanan pangan yang sesuai dengan harapan.

2
Gambaran dunia tentang perkembangan ketersediaan pangan dan juga estimasi
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian disajikan pada Gambar 1 berikut sebagai
ilustrasi bahwa kondisi pangan di masa datang merupakan tantangan berat bagi kita
semua. Karena itu pula kita memerlukan peningkatan kapasitas produksi pangan yang
memadai. Saya menggunakan istilah kapasitas, yaitu kemampuan kita meningkatkan
produksi pangan termasuk juga untuk mengatasi resiko dan ketidak-pastian akan kondisi
yang terus berubah, tanpa tergantung pada kondisi harga pangan di pasar domestik
maupun pasar dunia.

3
Situasi Beras Dunia dan Proyeksi Penawaran dan
Permintaan Beras Indonesia, 2008-2010 (000 ton)

Harga ↑ produksi ↑ stok ↓ 


indikasi laju peningkatan produksi
lebih rendah daripada laju
peningkatan konsumsi  harga
tidak mampu mendorong produksi
sesuai dengan kebutuhan konsumsi

Uraian 2008 2009 2010

Produksi Indonesia 29.518 28.621 27.503


Total konsumsi Indonesia 31.935 32.254 32.479
Surplus (defisit) Indo (-2.417) (-3.633) (-4.976)

Sumber : PSE-KP (2006)

Ke depan dunia dan Indonesia akan mengalami defisit beras yang cenderung
membesar. Kondisi ini memberikan implikasi bagi Indonesia perlunya
peningkatan kapasitas produksi padi nasional melalui kebijakan non-harga
(Sumber: Nizwar Sjafaat, 2008)

Gambar 1. Gambaran Produksi Beras Dunia dan Indonesia

4
Penurunan kapasitas produksi pangan yang pertama harus mendapat perhatian
adalah tingginya konversi lahan sawah. Selama periode 1999-2002 konversi lahan sawah
di Jawa diperkirakan mencapai 167 ribu hektar dan di luar Jawa mencapai 396 ribu
hektar, sehingga konversi lahan sawah Indonesia dalam periode tersebut mencapai 563
ribu hektar. Adapun penambahan areal sawah di Jawa dan luar Jawa masing-masing
hanyalah 18 ribu hektar dan 121 ribu hektar. Akibatnya, pengurangan kapasitas nasional
mencapai 423 ribu hektar selama periode tersebut. Konversi lahan sawah ini pada peride
sebelumnya, yaitu 1981-1999, secara nasional masih terimbangi oleh perluasan areal
yang lebih besar yang terjadi di luar Jawa. Sedangkan di Jawa pada tahun 1981-1999
konversi lahan sawah mencapai net – 483 ribu hektar (Nizwar Safaat).

Konversi lahan sawah ini akan berdampak negatif terhadap sarana dan prasarana
irigasi, yang telah dibangun selain dengan biaya yang besar juga sangat strategis terhadap
berlangsungnya produksi pertanian, khususnya padi. Sebagian besar lahan irigasi terdapat
di Jawa, kemudian di Sumatera, Sulawesi dan daerah lainnya. Konversi lahan sawah di
Jawa, artinya adalah penurunan kapasitas pertanian di lahan-lahan yang sangat produktif
karena hilangnya sarana dan prasarana irigasi.

6000000

5000000

4000000
ton

3000000

2000000

1000000

0
s

i
er
li

i
et
ri

ei
r

ril
r

ar
be

n
be
Ju

tu

be

ua

Ju
Ap
ar
ob

nu
us

em
em

em

M
br
kt

Ja
Ag

Pe
O

ov
pt

es
Se

Produksi Konsumsi

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Beras Bulanan (2006)

Hubungan antara irigasi dan produksi dapat di lihat pada Gambar 1. Produksi
beras menurun pada bulan-bulan dimana musim kemarau terjadi. Mulai Mei, produksi
beras dalam negeri lebih rendah dari kebutuhan konsumsi, dan hal ini berlangsung
sampai bulan Januari-Februari. Hal ini sudah menjadi pola cyclical yang sifatnya
musiman. Yang terjadi pada musim hujan pun juga sering kurang menguntungkan,
mengingat sebagai akibat sistem irigasi yang tidak mampu mengendalikan banjir, maka
banjir pun menyebabkan penurunan produksi pangan.

5
Pengurangan luas areal sawah dan menurunnya kemampuan irigasi, sudah cukup
untuk membangun tantangan untuk bekerja keras membangun kembali kapasitas
pertanian pangan Indonesia. Namun, hal ini tidak cukup dengan mengulangi atau
mendaur ulang landasan pemikiran atau cara-cara yang selama ini dikerjakan, mengingat
kalau hal tersebut kita laksanakan maka hasilnya akan lebih buruk dari yang kita dapat
sekarang.

Apa yang Menyebabkan Kita Tidak Bisa Melakukan Transformasi dalam Arti Kemajuan?

Saya pikir pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang cukup mendasar


mengingat kita telah tertinggal dari negara-negara lain yang pada tahap awal
pembangunan setelah mencapai kemerdekaan kurang lebih posisinya sama dengan kita.
Atau bahkan tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa beberapa bangsa di dunia
pernah belajar dari Indonesia dalam bidang pertaniannya tetapi sekarang mereka jauh
lebih majudari kita. Hal ini disampaikan bukan untuk menihilkan apa yang telah kita
capai, tetapi mengingatkan bahwa perjalanan bangsa kita selama ini tidak bisa
meyakinkan kita untuk mengulangi jalan yang sama apabila kita ingin mencapai
kemajuan yang lebih cepat pada masa mendatang. Artinya adalah bahwa kita perlu
membangun kesadaran baru, jalan baru dan cara baru untuk mengejar ketertinggalan kita
dari bangsa-bangsa lain yang telah maju daripada yang telah kita capai.

Apa yang selalu kita dengar dalam diskusi atau kita baca dalam berbagai tulisan
adalah kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ciri utama pertanian rakyat kita adalah
pertanian yang semakin gurem, yaitu pertanian yang diwarnai oleh luas kepemilikan
sebagian besar petani kurang dari 1 (satu) hektare dengan kecenderungan luas
kepemilikan lahan yang semakin kecil pula. Perlu diingat bahwa kondisi semacam ini
bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negara-negara yang lebih maju, yaitu
kecenderungan luas areal per petani yang semakin luas. Sebagai ilustrasi, rata-rata luas
kepemilikan petani di Amerika Serikat sudah mencapai sekitar 200 hektare dan di
Hokaido (Jepang) sudah mencapai 20 hektare. Perkembangan luas areal per petani di
Korea Selatan, Thailand dan Malaysia pun semakin meluas. Kecenderungan semacam ini
sudah terjadi pula di Cina. Mengingat hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia, maka
sudah dapat dijadikan pegangan bahwa pasti ada yang salah dalam kerangka
pembangunan Indonesia selama ini.

Apa yang salah? Kesalahan utama kita terletak pada tidak melandasi
pembangunan kita dengan kenyataan-kenyataan yang kita miliki dan hanya mengikuti
saran atau pegangan yang diberikan oleh pihak lain yang mungkin tidak menghendaki
Indonesia menjadi negara yang cepat mencapai kemajuan. Sifat kurang menghargai
pertanian, yang mungkin tidak dirasakan karena ia hidup di alam bawah sadar, telah
menciptakan pertanian, khususnya pangan, sebagai tumbal saja. Hal ini diperlihatkan
oleh tidak terjadinya transformasi ekonomi yang riil sebagaimana yang terjadi di negara-
negara lain yang telah berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang berarti. Misalnya,
apabila di Korea Selatan setiap penurunan 1 (satu) persen Produk Domestik Bruto (PDB)
diikuti oleh penurunan tenaga kerja hampir 2 persen, dan hal yang sama juga terjadi di
Malaysia dan Thailand dengan laju penurunan tenaga kerja pertanian lebih dari 1 (satu)

6
persen, maka yang terjadi di Indonesia adalah bahwa setiap penurunan PDB 1 (satu)
persen hanya diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian sekitar 0.5 persen. Dengan
demikian, tambahan tenaga kerja menumpuk di sektor pertanian yang telah menciptakan
pertanian Indonesia yang semakin gurem.

Lemahnya sektor industri ini, terutama industri yang berbasis pertanian,


menyebabkan penciptaan nilai tambah, kesempatan kerja dan pendapatan yang tidak
berkembang pula. Padahal sumberdaya dan output pertanian sudah tersedia untuk diolah
atau dimanfaatkan untuk berbagai proses menghasilkan nilai tambah. Sebagai gambaran,
produksi padi yang sudah mencapai hampir 60 juta ton, apabila sekam, menir, jerami,
bekatul, abu sekam dan lain-lain diolah untuk menghasilkan berbagai macam produk
olahan seperti pangan, energi dan bahan baku industri, maka nilai tambah yang sangat
besar akan diciptakan. Hal yang serupa juga terjadi pada produk primer lainnya seperti
jagung, kelapa, kelapa sawit, dan lain-lain.

Jadi, persoalan utamanya adalah bagaimana kita terus melanjutkan peningkatan


produksi produk primer pertanian dan sekaligus pula kita mengembangkan industri
pengolahannya.

Badan Usaha sebagai Sarana Gotong Royong Modern

Kita perlu dengan ikhlas mengakui bahwa kita ini masih tergolong bangsa yang
miskin. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang masih miskin kita pun perlu mencari
metode yang cocok untuk golongan miskin dalam mengatasi pelbagai persoalannya.
Walaupun begitu, mental kita disiapkan bahwa kita pun bisa dan kuat untuk menjadi
bangsa yang kaya, mengingat kemiskinan itu sebagian besar disebabkan oleh sikap
mental kita yang memang tidak bisa dan kuat untuk digunakan sebagai pendorong untuk
menjadi bangsa yang kaya. Misalnya, sikap mental mudah menyerah, cepat puas, malas
dan berjiwa lemah. Apabila mental kita kita bisa dan kuat menjadi bangsa yang kaya dan
maju, dengan demikian kita tidak akan mudah patah semangat atau putus asa.

Sebagai bangsa yang masih miskin kiranya tepat apabila kita memegang nasihat
yang mengatakan ”ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Inilah maknanya gotong
royong. Kaum miskin hanya bisa mengangkat beban hidupnya dengan cara gotong
royong. Latar belakang inilah mungkin yang menjadi landasan pemikiran Bung Hatta
sehingga Bung Hatta mengajak kita semua mengembangkan koperasi sebagai wadah
ekonomi rakyat yang dilandasi semangat gotong royong. Pada hakekatnya, gagasan Bung
Hatta ini adalah bagaimana kita mengembangkan badan usaha rakyat yang didasarkan
atas nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong, yang sudah menjadi ciri masyarakat
perdesaan pada umumnya.

Pengembangan koperasi sudah dilakukan dengan berbagai keberhasilan dan


kegagalannya. Mengikuti gagasan Bung Hatta, maka penulis juga menekankan bahwa
betapa strategisnya mengembangkan Badan Usaha Milik Petani, yang menjadi tema
utama dalam tulisan ini.

7
Pengembangan dari gagasan Bung Hatta yang diterapkan dalam konsep BUMP
adalah bahwa petani akan lebih cepat mencapai kemajuan apabila petani membangun
BUMP-nya itu bersinergis dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha
milik swasta (BUMS). Alasan utamanya adalah bahwa kondisi dunia sudah berkembang
sangat jauh berbeda dengan kondisi era abad ke-20 dimana globalisasi dan keberadaan
perusahaan-perusahaan besar sudah mewarnai kehidupan kita dewasa ini. Teknologi
informasi dan telekomunikasi serta jaringan transportasi sudah demikian berkembang
sehingga model ekonomi dunia sudah sangat jauh berbeda karakternya.

Namun demikian, keberadaan petani tetap diperlukan mengingat karakter


perlunya spesialisasi sebagai sarana daya saing dalam berproduksi dan dalam akumulasi
pengetahuan dan teknologi. Organisasi itu sendiri sebagai media untuk dapat
berkembangnya spesialisasi dan untuk mencapai skala ekonomi yang memadai.

Dengan mengambil sudut pandang sinergis maka agar petani bisa menjadi mitra
dunia usaha yang tertarik untuk bekerjasama dengan petani, petani perlu bisa dan kuat
membangun organisasi ekonominya yang andal dan terpercaya. Badan usaha (BUMN dan
swasta) pun perlu mampu mentransformasikan dirinya agar bisa bermitra dengan petani
apabila mereka ingin mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Bahkan, BUMN
atau BUMS yang menanamkan ”modalnya” dalam pengembangan organisasi ekonomi
petani (BUMP) akan memetik hasilnya dalam bentuk keuntungan yang besar di
kemudian hari.

Apa yang dimaksud dengan BUMP? Apakah koperasi petani yang ada pada saat
ini? Ataukah lembaga ekonomi baru yang dibangun oleh petani? Saya menafsirkan
bahwa pengertian BUMP ini cukup luas, yaitu pada intinya badan usaha yang dimiliki
oleh petani. Apakah wujudnya berbentuk koperasi atau perseroan terbatas (PT)
merupakan hal lain yang tidak dapat dipaksakan, tergantung pada keinginan para petani.
Yang perlu diingat adalah kelemahan dan kelebihannya dari dua struktur badan usaha
yang berbeda tersebut.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa kita pada dasarnya bisa
membangun institusi ekonomi petani (BUMP) sebagai hibrida perseroan dan koperasi.
Yang dimaksud adalah semangatnya koperasi tetapi wujudnya adalah PT. Semangat
koperasi ini dengan sendirinya akan terwujud melalui struktur kepemilikan perseroan
yang melibatkan ribuan orang petani dan sifatnya terbuka. Dengan model ini maka
BUMP memiliki kapasitas untuk meleverage modal sehingga kapasitasnya bisa
meningkat hingga 5 kalinya. Selanjutnya, dengan modal yang bisa diperoleh dari
perbankan atau dari pasar modal, maka kapasitas BUMP bisa cukup kuat untuk
meningkatkan nilai tambah dan melakukan adu-tawar yang kuat dengan pihak mitra
bisnisnya.

Untuk lebih memperjelas yang dimaksud dengan uraian di atas, berikut ini saya
sampaikan ilustrasi singkat. Andaikan target usaha kita menghasilkan nilai penjualan Rp
1 (satu) triliun per tahun, maka ini setara dengan luas areal usaha bidang sawah sekitar
10.000 hektar. Dari 10.000 hektar ini akan dihasilkan gabah sekitar 60.000 ton per musim

8
atau 120.000 ton per tahun, sekam 24.000 ton/tahun, menir, bekatul dan lain-lain, yang
kalau diolah untuk menghasilkan listrik, stabilized rice bran, tepung beras dan lain-lain,
hasilnya lebih dari Rp 1 (satu) triliun. Modal yang perlu ditanam untuk mencapai target
tersebut adalah sekitar Rp 400 miliar, yaitu untuk membangun penggilingan padi modern
dengan kapasitas sekitar 500 ton gabah/hari, pembangkit listrik dengan bahan baku
sekam dengan kapasitas sekitar 4-6 MW, pabrik minyak padi (rice cooking oil) atau
stabilized rice bran, tepung beras dan pabrik pengolahan abu sekam. Artinya adalah
bahwa kita memerlukan modal besar. Modal besar ini dapat diciptakan apabila petaninya
memiliki wadah institusi ekonomi (BUMP) yang bisa menampung pemilik lahan di atas,
pemilik perusahaan swasta atau BUMN. Alasan utama bahwa petani lebih baik memiliki
saham dalam BUMP bersama-sama dengan perusahaan BUMN atau swasta adalah bahwa
model ini lebih menjamin akan terwujudnya kemakmuran bersama dan juga menjamin
keberlanjutan semua pihak. Tentu falsafah ”ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul”
dan semangat gotong royong dipegang kuat oleh semua pihak.

Pandangan di atas dilandasi oleh kenyataan bahwa kebijakan input-output yang


selama ini dilaksanakan lebih bersifat parsial, misalnya kebijakan dalam hal pupuk,
benih, modal dan dukungan harga tidak dalam satu paket, sehingga hal ini bertentangan
dengan prinsip “Land-Crop Management” yang membutuhkan keterpaduan seluruh
instrumen kebijakan dalam paket. Kebijakan operasionalnya pun bersifat parsial,
misalnya dalam hal distrubusi pupuk, benih dan modal yang tidak dalam satu paket yang
menciptakan suasana sinergis menghasilkan sistem yang tidak efisien dan tidak efektif.
Karena itu diperlukan lembaga yang mampu memadukan seluruh instrumen kebijakan
input dan output pertanian secara sinergis.

Kebijakan BIMAS, OPSUS, INMAS , INSUS dan SUPRA INSUS yang


dilaksanakan pada masa lalu telah berhasil berhasil karena faktor momentum revolusi
hijau pada fase percepatan dan adanya mega kebijakan penopang agribisnis yang meliputi
5-I, yaitu : Inovasi, infrastruktur, investasi, insentif, dan Institusi. Namun sekarang hal
tersebut sudah tidak ada lagi. Sedangkan model gerakan seperti GEMA PALAGUNG
DAN PROKSI MANTAP, merevitalisasi produksi sebagai gerakan massal, tidak dapat
berkelanjutan mengingat kelembagaan yang dibentuk tidak mampu meleverage modal
yang ada secara mamdiri sebagai kelanjutan modal usaha dan lemahnya sistem insentif
yang diterima petani. Selanjutnya, pola kemitraan melalui kelompok kecil-kecil juga
tidak berkelanjutan karena skalanya kecil dan tidak berorientasi perusahaan sehingga
sistem kontrak dan kemampuan meleverage modal juga terbatas.

Sejalan dengan pemikiran di atas, kita perlu membangun kelembangan usaha


petani dengan ciri sebagai berikut:
1) Inovasi kelembagaan harus berorientasi bisnis untuk mampu meleverage modal
untuk menciptakan nilai tambah;
2) Inovasi kelembagaan harus mampu mengorganisasi sarana produksi dengan 6
tepat, dan mampu menyangga harga produk;
3) Inovasi kelembagaan harus mampu melakukan inovasi teknologi;
4) Inovasi kelembagaan harus mampu melakukan edukasi kepada petani;
BUMP diharapkan dapat memenuhi kriteria ini.

9
BUMP dalam bentuk perseroan terbatas sebagai wadah petani untuk menjalankan
usaha pertanian secara korporasi. Dalam menjalankan usaha pertanian ini petani diajak
berusaha sebagai enterpreneur dimana pada ahirnya diharapkan petani akan dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Pemegang saham perusahaan BUMP terdiri dari :

- BUMN (Kujang, SHS, Pertani, PJT-II, dan BUMN lainnya)


- BUMD/Pemda
- SWASTA/Inkoptan
- Kelompok Tani/petani

Sebagaimana telah disinggung, ruang lingkup usaha BUMP meliputi :


 Kegiatan On Farm yaitu meliputi penyediaan agroinput , kegiatan budidaya
tanaman mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen.
 Kegiatan Off Farm yang meliputi penanganan pasca panen, pengolahan hasil dan
pemasaran.

Maksud dan tujuan pendirian BUMP untuk mewujudkan pemberdayaan dan peran
serta masyarakat petani dengan sasaran peningkatan pendapatan melalui suatu lembaga
komersial yang berkelanjutan (Korporasi) yang dimiliki bersama. Serta tujuan akhir
merupakan dari upaya “Revitalisasi” pertanian nasional. Kegiatan utama BUMP
digambarkan pada Gambar 2 berikut.

KEGIATAN USAHA BUMP

BUMP
BUMP
BUMP

INDUSTRI
INDUSTRI RICE
ON FARM ENERGI PANGAN & NON
MILL
PANGAN

RICE BRAND
PADI BERAS LISTRIK (MW)
OIL

ABU BAHAN
HYBRID BEKATUL
SEKAM BANGUNAN

MENIR,
INBRID
SEKAM

JERAMI

Gambar 2. Kegiatan BUMP

10
MEKANISME OPERASIONAL MODEL USAHA BUMP

BENIH & PEMBAYARAN TUNAI


SHS Pestisida
B BERAS PERTANI
PEMBAYARAN TUNAI /PASAR
PUPUK U
KUJANG
PEMBAYARAN TUNAI
M TUNAI
PESTISIDA &
BANK
P
ALSINTAN
PERTANI Permintaan kredit

PEMBAYARAN TUNAI KELOMPOK Jaminan


TANI
PENGELOLAA IRIGASI
PJT II HASIL
Premi / Provisi
GKP BERAS
RETRIBUSI AIR ASURANSI
Jaminan

Gambar 3. Skema Mekanisme Operasional BUMP

Gambar 3 merupakan model pemikiran yang dewasa ini dicoba untuk


dikembangkan. Terlihat dalam model ini bahwa pada level usaha BUMP merupakan
simpul pertemuan antara BUMN dan investor lainnya dengan petani, bank dan dengan
pasar. Adapun faktor-faktor yang dikendalikan BUMP dapat dilihat pada Tabel 1.
Sedangkan perkiraan dampak BUMP apabila diterapkan pada areal sawah 10.000 ha
disajikan pada Tabel 2.

Sebelum Sesudah
1. Benih masih non-sertifikat. 1. Benih sudah bersertifikat.
2. Pupuk, Pestisida dan Alsintan belum 2. Pupuk, Pestisida dan Alsintan tersedia
tersedia secara 6 tepat. seca-ra 6 tepat.
3. Mekanisasi Pertanian (pra dan paska 3. Mekanisasi Pertanian mulai dibudayakan.
panen) belum membudaya. 4. Petani mudah mendapatkan modal usaha
4. Kesulitan memperoleh permodalan. tani.
5. Belum ada jaminan harga pasar. 5. Terdapat jaminan pasar dengan harga la-
Petani tidak mendapat nilai tambah yak. GKP dijual ke BUMP memberikan
dari GKP menjadi beras. ni-lai tambah yang lebih besar.
6. Posisi Tawar Petani rendah. 6. Posisi Tawar Petani kuat.
7. Sebagian Petani tidak memiliki 7. Petani dimungkinkan memiliki tabungan
tabungan usaha. u-saha.
8. Petani dan Kelompok Tani berusaha 8. Petani dan Kelompok Tani merupakan
secara individu. bagian dari Korporasi.
9. Petani masih pra-sejahtera. 9. Petani lebih sejahtera.

Tabel 1. Faktor-faktor yang dikendalikan BUMP

11
DAMPAK LANGSUNG I NOVASI TEKNOLOGI DAN
KELEMBAGAAN BUMP TERHADAP USAHATANI PADI

BUMP
Pertumbu Nilai 10000 ha
Sumber Tambahan Pendapatan Sebelum Sesudah han (%) (Rp)

INOVASI TEKNOLOGI

Produktivitas (ton/ha) 4.5 6.0 33.33 69,000,000,000

INOVASI KELEMBAGAAN

Reduced Cost (Rp/ha)

Pupuk 1,428,000 910,000 (36.27) 10,360,000,000

Benih 25,000 162,750 551.00 (2,755,000,000)

Bunga 1,070,000 50,000 (95.33) 20,400,000,000

TOTAL x x x 28,005,000,000

GRAND TOTAL x x x 97,005,000,000

Tabel 2. Dampak BUMP apabila diterapkan pada areal 10.000 hektar

BUMP mampu meningkatkan produktivitas padi karena BUMP memperkenalkan


teknologi dengan menggunakan benih unggul bermutu dan Pupuk NPK berimbang, dan
BUMP juga mampu menurunakan biaya (efisiensi) karena BUMP mampu
mengorganisasi penyediaan input usahatani secara 6 tepat (waktu, lokasi, dosis, jenis,
mutu, dan harga) dan menekan biaya bunga. Total dampak langsung inovasi teknologi
dan kelembagaan BUMP dalam 10.000 hektar mencapai Rp 97 milliar yang dapat
dijadikan potensi re-investasi di sektor padi. Selain itu BUMP mampu meminimalkan
resiko harga dengan memberikan jaminan harga Rp 2300/kg KGP oleh PT Pertani (2008
awal).

12
DI SAGREGASI DAMPAK LANGSUNG I NOVASI TEKNOLOGI DAN
KELEMBAGAAN BUMP MASI NG-
NG-MASI NG PELAKU BI SNI S
PENGEMBANGAN

BUMP
Tumbuh Nilai 10000 ha
Uraian Sebelum Sesudah (%) (Rp)

Pendapatan Petani 4,827,000 7,280,000 50.82 49,060,000,000

Pendapatan BUMP(100%) 0 2,397,250 x 47,945,000,000

Saham Petani (51%) x x x 24,451,950,000

Saham BUMP (49%) x x x 23,493,050,000


Pendapatan Petani + Penyertaan
Saham x x x 73,511,950,000
Pendapatan BUMP sebagai
Organisasi x x x 23,493,050,000

TOTAL x x x 97,005,000,000

Tabel 3. Analisis Dampak BUMP sebagai hasil inovasi teknologi dan


kelembagaan

Dari total dampak inovasi teknologi dan kelembagaan BUMP setiap 10.000 hektar
yang mencapai Rp 97 milliar, sebesar Rp 74 (75.8%) yang terdiri dari Rp 49 milliar
pendapatan langsung dan Rp 25 milliar dalam bentuk penyertaan saham di BUMP
dinikmati petani, sedangkan sisanya Rp 23 milliar (49%) dinikmati BUMP. Dengan kata
lain BUMP mampu menciptakan nilai tambah ekonomi pedesaan secara langsung sebesar
Rp 97 milliar per 10.000 hektar dengan asumsi-asumsi di atas. Selanjutnya, hasil
perhitungan menunjukkan bahwa apabila kita bisa meningkatkan nilai tambah padi
dengan menghasilkan produk seperti listrik dengan menggunakan bahan bakar sekam,
mengolah bekatul menjadi minyak goreng atau stabilized rice bran, menghasilkan tepung
beras yang diolah dari menir dan mengolah abu sekam menjadi berbagai produk, maka
nilai ekonomi yang diperoleh dari areal sawah 10.000 hektar bisa mencapai lebih dari Rp
1.02 triliun. Dengan kecenderungan harga pangan yang meningkat maka nilai ini akan
lebih tinggi lagi.

13
DAMPAK TAK LANGSUNG I NOVASI TEKNOLOGI DAN
KELEMBAGAAN BUMP TERHADAP PEREKONOMI AN NASI OANAL,
KESEMPATAN KERJ A DAN PENGHEMATAN DEVI SA (AKI BAT
TARI KAN PERMI NTAAN PRODUKSI DALAM NEGERI )

Tambahan Nilai Tambah Perekonomian Nasional


(Rp/10000 ha) 121,219,200,000

Kesempatan Kerja (orang/10000 ha) 28,955

Penghematan devisa (Rp/10000 ha) 69,000,000,000

Setiap pengembangan BUMP seluas 10.000 hektar akan menambah produksi padi
nasional sebesar 30.000 ton per tahun. Penambahan produksi padi tersebut akan
meningkatkan permintaan produksi padi dalam negeri dan berdampak pada nilai
tambah perekonomian nasional sebesar Rp 61 milliar dan tenaga kerja sebanyak
14478 orang. Akibat peningkatn produksi dalam negeri akan mengurangi impor
dan berdampak pada penghematan devisa Rp 35 milliar.

Tabel 4. Dampak moodel BUMP terhadap nilai tambah, kesempatan kerja dan
penghematan devisa

Secara teoritis, mengingat jumlah petani yang banyak dengan skala usaha yang
kecil, maka dapat dikatakan hampir tidak mungkin petani dapat mengorganisasikan
dirinya sendiri untuk membentuk BUMP (biaya transaksinya yang besar per satuan nilai
output yang hasilnya belum pasti). Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan ”jembatan sosial”. ”Jembatan sosial” ini adalah BUMN, BUMS, atau
Pemerintah.

BUMN bidang Agroindustri sedang dalam proses menyiapkan BUMP ini dan
Pemda Kabupaten Ngawi sudah membentuknya. Proses yang dikembangkan BUMN
bidang Agroindustri adalah membentuk anak perusahaan yang akan bermitra dengan
petani padi. Melalui anak perusahaan tersebut akan dibentuk BUMP-BUMP dimana para
petani memiliki sebagian saham dalam perusahaan tersebut. Kepemilikan saham ini
bersifat sukarela dengan sistem insentif yang disepakati bersama. Dengan model ini
diharapkan BUMN juga bisa menjadi ”jembatan sosial” untuk dapat menarik swasta ikut
menanamkan modal di dalamnya. Kelompok BUMN Agroindustri ini mencakup BUMN
Pupuk (PT. PUSRI, KUJANG, Petrokimia Gresik, dan Pupuk Kaltim), Sang Hyang Seri,
Pertani, dan Perum Jasa Tirta I dan II.

Mudah-mudahan proses ini berjalan lancar dan sukses.

14
Penutup

Uraian dalam tulisan ini mencoba membangun gagasan besar dengan melihat
pertanian sebagai sumber pertumbuhan baru melalui Revolusi Hijau Baru. Perubahan
iklim global, kemiskinan, pemerataan, pertumbuhan dan berbagai kemajuan akan dapat
dicapai melalui pengembangan BUMP sebagai wadah investasi, pendidikan, konsolidasi
lahan, dan pengembangan entreprenership di perdesaan. Padi yang selama ini dipandang
sebagai usa yang kurang menguntungkan akan berubah menjadi sumber kemajuan baru,
dan demikian pula dengan comoditas lainnya. Pembangunan pertanian dalam pengertian
di atas juga dapat menjadi fokus kebijaksanaan yang akan memberikan kontribusi
kemajuan yang berarti. Inilah konsep “sedia payung sebelum hujan” dengan semangat
gotong royong—ringan sama dijinjing, berat sama dipikul untuk menghadapi peledakan
penduduk yang akan segera terjadi dan untuk mengatasi perubahan lingkungan global
yang tidak dapat kita halangi. Kita harus segera berubah sebelum gelombang perubahan
yang lebih besar lagi akan menghancurkan kita. Tsunami sosial akibat kegagalan kita
menghadapi kebutuhan pangan pada masa depan harus kita cegah.

/var/www/apps/scribd/scribd/tmp/scratch7/10267034.doc

15

You might also like