You are on page 1of 3

Assalamu`alaykum wr.

wb Terkait penggunaan obat untuk mencegah haid, makanisme kerjanya adalah dengan mengubah siklus/keadaan hormon pada tubuh seseorang. Tidak ada efek samping yang serius pada penggunaan obat ini jika digunakan hanya sesekali, hanya saja jika terlalu sering digunakan, kurang begitu bagus utk tubuh, karena memang secara normalnya tubuh seorang wanita dibuat dengan keadaan siklus hormone yang naik turun untuk mengatur metabolissme tubuh (salah satu fungsi hormone bagi wanita penting untuk mengatur kesuburan rahim, jika terganggu maka dikhawatirkan akan mempengaruhi kesuburannya kelak). Selain itu pada orang yang sering menggunakan obat-obatan penahan haid dalam jangka panjang (misalnya KB) dapat memiliki resiko kanker, fertil. Di bangsal perawatan bedah RS, seringkali ditemukan pada wanita yg menderita kanker ternyata memiliki riwayat pernah menggunakan KB (yang mempengaruhi hormone). Terkait hukum penggunaan penahan haid saat ramadhan, ana pernah membaca sedikit artikelnya. In copy paste artikelnya.

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ala Rosulillah wa ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Kita telah mengetahui bersama bahwa puasa adalah amalan mulia. Ganjaran di balik amalan tersebut pun bisa jadi tak terhingga. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dengan benar pasti tidak ingin luput dari amalan yang mulia ini. Termasuk pula para wanita muslimah, mereka pun sangat ingin sekali menunaikan puasa sebulan penuh, tanpa luput sehari pun juga. Padahal selama belum monopause, si wanita sesuai ketentuan Allah, biasanya mengalami haidh setiap bulannya. Di bulan Ramadhan pun ia akan mendapati masa haidh tersebut. Sehingga ia mesti mengqodhonya di luar Ramadhan. Yang jadi permasalahan, apabila si wanita menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh agar ia dapat berpuasa secara sempurna. Atau sebagian wanita juga punya keinginan untuk bisa menikmati lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga ia pun menggunakan obatobatan tersebut untuk menghalangi datang bulan. Apakah menggunakan obat-obatan semacam itu dibolehkan? Inilah pembahasan yang akan kami angkat pada kesempatan kali ini. Pendapat Ulama Masa Silam Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ibnu Jarir pada kami, (ia berkata) bahwa Atho ditanya mengenai seorang wanita yang datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidhnya padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thowaf?


Ia boleh thowaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thowaf, jawab Atho. (Mushonnaf Abdur Rozaq, 1219) Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Mamar pada kami, (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu Umar mengenai wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata,


Ibnu Umar menganggap hal itu tidak masalah. Mamar berkata,


Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa. (Mushonnaf Abdur Rozaq, 1220).

Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih.[1] Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,

. :
Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).[2][3] Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, Sebagian wanita ada yang bersengaja menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh yang rutin setiap bulannya. Mereka melakukan seperti ini dengan tujuan supaya tidak lagi mengqodho puasa selepas bulan Ramadhan. Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan? Apakah ada syarat yang tidak membolehkan wanita menggunakan obat semacam itu? Beliau rahimahullah menjawab, Dalam masalah ini aku berpandangan bahwa hendaklah wanita tersebut tidak melakukan semacam itu. Hendaklah ia menjalankan ketetapan Allah yang telah digariskan pada para wanita. Kebiasaan datang haidh setiap bulannya di sisi Allah memiliki hikmah yang amat banyak jika kita mengetahuinya. Hikmah yang dimaksud adalah bahwa kebiasaan datang haidh ini termasuk kebiasaan yang normal, di mana haidh ini terjadi untuk tujuan menghalangi si wanita dari berbagai bahaya yang dapat memudhorotkan dirinya. Para pakar kesehatan telah menjelaskan efek negatif dari penggunaan obat semacam itu. Padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, Laa dhororo wa laa dhiroor (Tidak ada bahaya dalam syariat ini dan tidak boleh mendatangkan bahaya tanpa alasan yang benar).[4] Oleh karena itu, dalam masalah ini aku berpandangan bahwa wanita hendaklah tidak menggunakan obatobatan untuk mengahalangi datangnya haidh. Alhamdulillah berkat karunia Allah, jika datang haidh, wanita muslimah diperkenankan untuk tidak mengerjakan puasa dan shalat. Ketika ia kembali suci, ia boleh kembali mengerjakan puasa dan shalat. Jika berakhir Ramadhan, ia hendaklah mengqodho puasanya yang luput tadi.[5] Pernah pula diajukan pertanyaan pada Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, Jika wanita (kemungkinan) datang haidh di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, apakah boleh ia menggunakan obat-obatan penghalang hamil supaya ia tetap bisa menjalankan ibadah di hari-hari utama? Syaikh rahimahullah menjawab, Kami beranggapan tidak boleh menggunakan obat-obatan tersebut untuk menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah. Karena datangnya haidh adalah ketetapan Allah pada kaum hawa. Ada kisah bahwa Aisyah pernah ditemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ketika itu ia sedang menemani beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam haji wada. Ia pun hendak melaksanakan umroh. Namun ia datang haidh sebelum masuk Makkah. Lantas ketika Aisyah pun menangis. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bertanya, Kenapa engkau sampai menangis? Aisyah pun menjawab bahwa ia mendapati haidh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu sudah menjadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Jika seorang wanita mendapati haidh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka pasrahlah dengan ketetapan Allah. Janganlah menggunakan obat-obat tersebut . Ada informasi dari pakar kesehatan yang sampai ke telinga kami, bahwa obat-obatan membawa efek negatif pada rahim dan darah. Terkadang darah tersebut merupakan sumber makanan bagi janin. Oleh karena itu, kami sarankan untuk menjauhi obat-obatan semacam ini. Ketika datang haidh, hendaklah wanita tersebut meninggalkan shalat dan puasa. Datangnya haidh ini sama sekali bukan kreasi manusia, namun itu adalah ketentuan Allah.[6] Jika Tetap Menggunakan Obat Penghalang Datang Bulan Syaikh Abu Malik penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap

menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qodho baginya. Wallahu alam.[7] Wahai Wanita, Ridholah pada Ketetapan Allah! Jika tidak mengkonsumsi obat-obatan penghalang datang bulan tidak membawa dampak negatif, maka tidak mengapa menggunakannya. Namun sikap yang lebih baik adalah setiap wanita muslimah ridho dengan ketetapan Allah, tanpa harus menggunakan obat-obatan semacam itu. Setiap ketetapan Allah pasti ada hikmah yang luar biasa di balik itu semua. Lihatlah bagaimana sikap Aisyah ketika ia mendapati haidh padahal ia ingin melaksanakan haji. Dari Aisyah, ia berkata, Kami keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya, Apa yang membuatmu menangis? Aku jawab, Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji! Beliau berkata, Barangkali kamu mengalami haidh? Aku jawab, Benar. Beliau pun bersabda,


Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf di Kabah hingga kamu suci. (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211) Bagaimana Wanita Haidh dan Nifas Mengisi Hari-Harinya di Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar? Karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh dan nifas lakukan ketika itu adalah, * Membaca Al Quran tanpa menyentuh mushaf.[8] * Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya. * Memperbanyak istighfar. * Memperbanyak doa. * Memperbanyak sedekah dan kebaikan lainnya.[9] Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. [1] Jaami Ahkamin Nisa, 1/199, terbitan Darus Sunnah. [2] Al Mughni, 1/450, terbitan Dar Alam Kutub. [3] Riwayat-riwayat ini dibawakan oleh Syaikh Musthofa Al Adawi dalam Jaami Ahkamin Nisa, 1/198-200. [4] Ini adalah salah satu tafsiran dari hadits tersebut. Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam, hal. 364 (penjelasan hadits Arbain An Nawawiyah no. 32). [5] Sumber: Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 7416, http://islamqa.com/ar/ref/7416/ [6] Sumber: Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 13738, http://islamqa.com/ar/ref/13738 [7] Shahih Fiqh Sunnah, 2/128. [8] Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya. [9] Lihat Fatwa Al Islam Su-al wa Jawab pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753 Disusun di Panggang-GK, 16 Syaban 1431 H (29 Juli 2010) Penulis: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslimah.or.id

You might also like