You are on page 1of 18

Pandangan Mutakhir Pengobatan Perdarahan Saluran Cerna Non-Variseal

Indrawan Djajapranata

Meskipun terjadi penurunan angka kejadian tukak peptik dalam 3 dasawarsa terakhir ini, jumlah penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas (SMBA) yang dimasukkan rumah sakit tiap tahunnya masih sekitar 0,1% dari jumlah penduduk di Amerika Serikat dan Inggeris. Di

Indonesia jumlah ini juga masih cukup banyak tiap tahunnya. Dan yang meresahkan adalah bahwa angka kematian dari perdarahan SMBA masih tetap sekitar 10%, meskipun telah tercapai kemajuan yang pesat di bidang teknik diagnostik maupun cara pengobatan. Khususnya dalam hal

pengobatan, terapi endoskopik untuk mengendalikan perdarahan tukak yang dipraktekkan/digunakan secara luas sejak 1980-an ternyata sangat efektif dan dapat diandalkan. Masih tingginya angka mortalitas penderita dengan perdarahan SMBA yang selama 50 tahun terakhir ini tidak menunjukkan perubahan, disebabkan oleh peningkatan umur penderita dengan perdarahan SMBA dan komorbiditas yang menyertainya. Suatu hal yang perlu diketahui adalah 80-85% dari perdarahan SMBA dapat berhenti secara spontan. Penderita jarang meninggal akibat

perdarahan yang tak terkendalikan (exsanguination), tetapi lebih banyak meninggal akibat komplikasi dari penyakit yang mendasarinya/menyertainya. Penderita yang tidak berhenti berdarah/mengalami perdarahan berulangulang, merupakan kelompok dengan komplikasi dan kematian. Adalah golongan penderita ini yang termasuk beresiko tinggi dan perlu ditangani segera dan intensif dengan tindak terapi endoskopik atau bedah.

Etiologi.

Sebab-sebab dari perdarahan akut SMBA dari tahun ke tahun selama 5 dasawarsa terakhir tidak mengalami perubahan seperti tercantum di bawah ini .
Tabel 1. Endoscopic findings in patients with UGI bleeding

(National ASGE survey) ----------------------------------------------------------------------------------Findings Incidence (%) ----------------------------------------------------------------------------------Duodenal ulcer 29.8 Gastric erosions 26.5 Gastric ulcer 21.9 Esophagitis 10.7 Erosive duodenitis 9.8 Varices 5.1 Mallory-Weiss tear 4.7 Neoplasm 3.7 Stomal ulcer 3.3 Esophageal ulcer 0.9 Other 8.4 None 11.2 --------------------------------------------------------------------------------Dikutip dari : Gilbert DA, Silverstein FE, Tedesco FJ.

Pada tabel 1 dapat dilihat etiologi dari perdarahan SMBA menurut data survai dari ASGE Amerika Serikat. Tukak peptik dan hipertensi portal masih merupakan 2 penyebab terbanyak, baik di negara maju ( USA , Canada dan Eropa) maupun di kawasan Asia. Mana dari kedua sebab tersebut yang menduduki tempat teratas dalam urutannya tergantung dari populasi penderita di rumah sakit yang bersangkutan. Di USA umpamanya, suatu survai yang dilakukan oleh ASGE akhir-akhir ini menemukan 10% dari 2225 penderita perdarahan SMBA berasal dari varices, sedangkan di LA countyUSC medical center jumlah penderita dengan perdarahan varices adalah sekitar 30% lebih. Keadaan serupa juga ditemukan di Indonesia khususnya Surabaya. Di rumah sakit umum seperti RSUD Dr. Sutomo perdarahan varices berkisar antara 30-40%, sedangkan di rumah sakit swasta angka ini adalah jauh lebih rendah. Sebaliknya di rumah sakit swasta tukak peptik penduduki tempat pertama, disusul oleh varices (lihat tabel 1 dan 2). Sebab perdarahan kedua terbanyak adalah gastric erosion . Istilah gastritis hemoragik atau gastritis erosif adalah terminologi endoskopik. Kelainan ini berupa kerusakan pada mukosa yang dangkal dan pada umumnya tidak mencapai muskularis mukosa, oleh karena itu tidak merusak pembuluh darah besar. Namun gastritis erosif ini tetap merupakan sebab dari perdarahan SMBA yang sering kita temukan, yaitu sekitar 10%. Erosi yang lebih dalam, menyebabkan erosi sub-epitelial dan bahkan dapat terjadi tukak pada beberapa keadaan seperti pemberian obat OAINS, alkohol dan

penyakit-penyakit akibat keadaan stres (stress related medical illness). Dari ketiga sebab ini yang paling sering adalah akibat pemberian OAINS.

Stres fisiologik yang sangat (shock, luka bakar berat, sepsis, gagal organ multipel, trauma kepala d.l.l.) sering disertai kerusakan mukosa gastroduodenal. Kelainan khas yang ditemukan pada keadaan seperti ini adalah erosi dangkal yang multipel pada daerah mukosa oxyntik . Lesi ini kadang-kadang dapat berupa tukak yang dalam di lambung maupun duodenum dan dapat menyebabkan perdarahan masif atau perforasi. Istilah yang dipakai untuk keadaan ini beraneka ragam seperti stress erosion, stress gastritis, stress ulcer dan stress related erosive syndrome (SRES). Tukak peptik akut semacam ini yang terjadi pada penderita dengan luka bakar yang luas disebut Curlings ulcer, sedangkan pada penderita dengan kerusakan akut tengkorak disebut Cushings ulcer. Berbeda dari stress related injury yang lain, Curlings ulcer disertai hipergastrinemia dan hiper sekresi asam lambung . Sedangkan patofisiologi dari yang lainnya adalah menurunnya ketahanan mukosa, menurunnya aliran darah mukosa yang menimbulkan iskhemi dan asidosis lokal, menurunnya sekresi bikarbonat dan mukus . Semuanya ini memudahkan terjadinya back diffusion dari asam yang pada gilirannya merusak jaringan mukosa lebih lanjut. Studi endoskopik oleh Cook d.k.k. (1994) dari penderita yang dirawat di ruang ICU menunjukkan bahwa lebih besar dari 75% menunjukkan kerusakan mukosa gastroduodenal. Namun dari suatu studi prospektif yang melibatkan lebih dari 2000 penderita yang dirawat di ruang ICU, hanya pada 1,5% terjadi perdarahan . Sehubungan dengan ini menurut Cook pengobatan profilaksis rutin dengan menggunakan obat-obat anti-sekretorik pada semua penderita yang masuk ruang ICU dianggap berlebihan. Selanjutnya hal yang menarik adalah robekan Mallory-Weiss (MW) yang di negara maju dilaporkan sekitar 5-15%. MW adalah robeknya mukosa esofagus/lambung dekat GE-junction akibat retching atau tumpah-tumpah yang keras. Banyak dari kasus MW pada umumnya didahului oleh minum alkohol berlebihan. Di unit endoskopi rumah sakit Darmo selama periode 1992 2002 tercatat 642 kasus dengan perdarahan saluran makan bagian atas, di mana MW hanya merupakan 1,4%. Rendahnya angka MW mungkin disebabkan oleh karena jumlah peminum alkohol relatif lebih kecil. Seperti diketahui

robekan MW yang klasik ditemukan pada peminum alkohol yang kronis dan diawali oleh minum miras dalam jumlah berlebihan disusul dengan retching dan tumpah-tumpah berkepanjangan. Robekan mukosa ini didapat di sekitar GE-junction, yaitu di mukosa esofagus atau mukosa kardia sekitar 1-2 cm dari GE-junction tersebut. Untuk menemukan kelainan ini pada waktu endoskopi harus diperhatikan GE-junction yang seksama sebelum masuk ke lambung. Setelah selesai pemeriksaan dari lambung dan duodenum jangan lupa melakukan manuver retrofleksi untuk mengamati daerah kardia. Faktor lain adalah keterlambatan melakukan endoskopi. Pada umumnya endoskopi baru dikerjakan 1-2 hari setelah penderita MRS. Seandainya endoskopi dapat dilakukan atas dasar urgent endoscopy (24 jam pertama) kemungkinan menemukannya lebih besar. Seperti diketahui 8090% perdarahan dari robekan mukosa ini berhenti spontan.
Tabel 2 . Diagnosa endoskopik pada 642 penderita dengan perdarahan SMBA (RS.Darmo 1992-2002) -------------------------------------------------------------------------------------Diagnosis Jumlah penderita (%) -------------------------------------------------------------------------------------Duodenal ulcer 161 25,1 Gastric erosions 75 11,7 Gastric ulcer 168 26,1 Esophagitis 34 5,3 Varices 70 10,9 Mallory-Weiss tear 9 1,4 Neoplasm 63 9,8 Stomal ulcer 10 1,5 Other (Leiomyoma,Dieulafoi) 7 1,2 Unknown 45 7,0 --------------------------------------------------------------------------------------Total 642 100%

Evaluasi awal.

Melena menunjukkan adanya perdarahan paling sedikit 50-100cc, sedangkan jumlah 1000cc dari SMBA dapat menyebabkan hematochesia. Hematochesia yang berasal dari SMBA mengisyaratkan suatu perdarahan yang masif dan biasanya disertai perubahan hemodinamika penderita. Suatu survai dari ASGE menunjukkan bahwa penderita dengan perdarahan SMBA yang disertai berak darah merah mempunyai angka kematian 18%. Sedangkan penderita dengan berak darah merah + adanya aspirasi darah merah dari NG-tube bahkan mempunyai mortalitas 29%.

Cara terbaik untuk menilai keadaan penderita dengan perdarahan SMBA adalah memperhatikan tekanan darah dan denyut nadi. Perdarahan minor dengan kehilangan volume darah di bawah 10% pada umumnya tidak disertai perubahan hemodinamika. Penderita yang kehilangan darah 20% atau lebih pada umumnya menunjukkan hipotensi ortostatik (tekanan darah sistolik pada sikap berdiri turun 10 mmHg + tachycardia, nadi bertambah 20/men.) Penderita dengan shock atau recumbent hypotension (tekanan darah sistolik pada keadaan berbaring di bawah 100 mmHg + nadi di atas 100/men) menunjukkan kehilangan sekitar 40% volume darah intravaskuler. Di lain pihak harus hati-hati dengan interpretasi kadar hemoglobin Kadar hemoglobin tidak segera

sebagai penilai kehilangan jumlah darah.

menunjukkan penurunan setelah terjadinya perdarahan SMBA yang akut oleh karena berkurangnya plasma dan volume sel darah terjadi secara proporsional (penderita kehilangan whole blood). Dengan lain perkataan, pada awal terjadinya perdarahan pemeriksaan hemoglobin tidak

mencerminkan jumlah darah yang hilang oleh karena masih dapat normal atau hanya menunjukkan penurunan sedikit. Seperti diketahui sebagai mekanisme mempertahankan hemodinamika terjadi aliran cairan ekstravaskuler masuk ke ruang vaskuler, hingga terjadi penurunan kadar Hb. Proses ini kadang-kadang dapat membutuhkan waktu 72 jam. Jadi sekali lagi jangan mengandalkan hematokrit pada awal perdarahan oleh karena dapat mengecoh. Sebaliknya pada fase berikutnya , bila kadar hemoglobin terus menurun meskipun perdarahan sudah berhenti, bukan berarti bahwa perdarahan masih berlanjut. Singkatnya, meskipun pengecekan kadar Hb dapat membantu untuk evaluasi keadaan penderita dengan perdarahan SMBA, evaluasi hemodinamika penderita jauh lebih penting.

Resusitasi.

Tindakan resusitasi harus segera dilakukan setelah evaluasi keadaan umum penderita selesai. Tidak ada ketentuan jelas/tegas kapan diperlukan transfusi darah untuk penderita dengan perdarahan SMBA. Pada umumnya

adanya tachycardia, hipotensi atau perubahan denyut nadi dan tekanan darah pada pergantian postural merupakan indikasi bahwa volume

intravaskuler masih di bawah normal. Sebaliknya kadar Hb yang masih menunjukkan penurunan meskipun volume darah telah diperbaiki dapat diartikan perdarahan masih berlanjut. Penderita yang masih terus berdarah meskipun sudah diobati, atau penderita dalam keadaan shock , atau penderita dengan kadar Hb yang sangat rendah ( di bawah 7-8 gr%) merupakan calon untuk transfusi darah. Tujuan dari transfusi darah adalah untuk memperbaiki transportasi O2 ke organ-organ vital. Berhubung dengan adanya resiko terjadinya overloading dan reaksi imunologik pemberian whole blood sedapat mungkin dihindari dan diutamakan transfusi dengan packed red blood cell (PRBC). Transfusi whole blood sebaiknya diindikasikan untuk penderita dengan perdarahan masif dan aktif. Begitu pula anjuran untuk

mempertahankan hematokrit di atas 30% kurang bijak oleh karena hal ini sering menyebabkan pemberian transfusi darah yang tak dapat

dipertanggungjawabkan/diperlukan dengan segala resiko seperti reaksi hemolisis , reaksi demam oleh karena transfusi dan penularan benih infeksi seperti HIV, cytomegalo virus dan hepatitis C . Kadar Hb di atas 7-8 gr% pada umumnya sudah cukup untuk penderita muda dan tidak menunjukkan perdarahan aktif. Pada penderita lanjut usia atau penderita dengan kelainan kardiovaskuler kadar Hb perlu dipertahamkan sekitar 10 gr%. Selanjutnya bila darah diberikan dalam jumlah yang banyak, bisa terjadi hipokalsemia dan transfusi yang masif mencapai 10-12 unit whole blood dalam periode 24 jam dapat menyebabkan kekurangan atau kerusakan trombosit. Pada keadaan ini perlu

dipertimbangkan pemberian fresh frozen plasma , trombosit atau keduanya. Seperti diketahui darah yang sudah tersimpan di peti es selama 3-4 hari di bank darah pada umumnya tidak mengandung trombosit yang masih cukup berfungsi.

Evaluasi diagnostik.

Setelah resusitasi perlu dibedakan 2 kelompok penderita perdarahan SMBA yang paling banyak ditemukan, yaitu yang non-variseal dan perdarahan variseal akibat hipertensi portal. Hal ini penting oleh karena pengelolaan dan prognosis yang berbeda. Anamnesa konsumsi alkohol, hepatitis, ikterus dapat mengarah ke penyakit hati akut atau kronis dengan hipertensi portal. Di lain pihak konsumsi obat-obat seperti OAINS atau aspirin, anamnesa tukak peptik mengarah ke perdarahan tukak peptik. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari stigmata dari penyakit hati seperti asites, splenomegali, spider navy, liver palm, ensefalopati dan lain sebagainya. Pemasangan NG-tube secara rutin pada penderita dengan melena atau hematochesia (tanpa hematemesis) dimaksud untuk menyingkirkan perdarahan SMBA. Selanjutnya dikatakan NG-tube berguna untuk

memastikan ada/tidaknya perdarahan aktif. Namun akhir-akhir ini ada pendapat yang mengatakan bahwa penilaian perdarahan SMBA dari aspirat NG-tube tidak banyak manfaatnya, bahkan bisa mengecoh. Aspirat yang positif tidak selamanya berarti adanya perdarahan aktif. Di lain pihak perdarahan distal dari pilorus dapat sedangkan trauma pemasangan memberi hasil false negative,

NG-tube sendiri dapat memberi hasil

false positive. Lagi pula keuntungan yang didapat dari pemasangan NGtube tidak sepadan dengan resiko yang mungkin terjadi. Resiko tersebut itu dapat berupa aspirasi atau pencetusan perdarahan dari tukak ataupun varises meskipun hal ini jarang terjadi. Sehingga ada yang mengatakan pemasangan NG-tube sebaiknya tidak dilakukan. Kumbah lambung dengan menggunakan iced saline lavage seperti yang dianjurkan dalam buku ajar yang lama masih banyak dipraktekkan di mana-mana. Namun akhir-akhir ini banyak yang meragukan manfaatnya. Satu-satunya kegunaan dari kumbah lambung adalah mengosongkan lambung untuk persiapan endoskopi darurat. Tidak ada bukti-bukti yang nyata bahwa kumbah lambung dengan air es dapat membantu memperbaiki hemostasis serta menghentikan perdarahan.

Selain diragukan manfaatnya tindakan kumbah lambung ini dapat merugikan penderita oleh karena dapat menyebabkan aspirasi pneumoni , salah pemasangan NG-tube ke pipa alat pernafasan, dapat menyebabkan perforasi, dan akhirnya menimbulkan lesi artefact. Oleh karena itu tindakan kumbah lambung ini sudah banyak ditinggalkan. Tindakan segera yang perlu dilakukan adalah menentukan sumber dan sebab perdarahan secepat mungkin. Sarana diagnostik yang tersedia untuk keperluan ini adalah endoskopi, barium radiography, radionuclide imaging dan angiography. Meskipun radiografi barium dapat menentukan lesi secara akurat, tetapi tidak dapat dipakai sebagai sarana pengobatan dan oleh karena itu sekarang tidak dianjurkan pada penderita dengan perdarahan akut SMBA. Dewasa ini endoskopi adalah cara pemeriksaan terpilih oleh karena selain terkenal kecermatan diagnostiknya, cara ini dapat dipakai sebagai sarana pengobatan (endoscopic hemostasis) untuk menghentikan

perdarahan. Dengan perkembangan teknologi alat-alat endoskopi semakin sempurna hingga boleh dikata seluruh saluran cerna atas (esofagus, lambung dan duodenum hingga Treitz) dan seluruh kolon dapat dijangkau dengan seksama. Hingga kini masalah yang masih belum terpecahkan adalah evaluasi suatu perdarahan tersembunyi (obscure bleeding) yang berasal dari daerah usus halus setelah Treitz. Hingga sekarang daerah ini hanya dapat diperlihatkan dengan barium follow through/enteroclysis atau enteroskopi dengan segala kesukaran dan kekurangannya. Akhir-akhir ini dilaporkan suatu cara baru untuk mengatasi permasalahan tadi dengan menggunakan apa yang disebut wireless endoscopy . Secara singkat perangkat ini terdiri dari suatu kapsul kecil yang dapat ditelan dengan mudah. Dalam kapsul tersebut terdapat alat kamera, sumber cahaya (halogen), battery dan radiotransmitter, yang memancarkan gambar video rongga usus/saluran cerna yang dapat ditangkap melalui sebuah rekorder. Posisi kapsul tersebut dapat diikuti selama transisi dalam saluran usus. Indikasi utama dari wireless endoscopy adalah untuk evaluasi perdarahan saluran makan yang obscure (khususnya usus halus) . Di samping itu wireless endoscopy mempunyai peranan untuk studi motilitas usus, penyakit

mukosa usus halus seperti celiac disease, IBD, kerusakan mukosa oleh OAINS, keganasan penelitian di dan kelainan struktural lainnya. Hasil dari berbagai center-center besar manca negara sangat

beberapa

menjanjikan. Wireless endoscopy mempunyai hari depan yang cerah.

Kapan dilakukan endoskopi ?

Penentuan waktu untuk melakukan endoskopi tergantung pada keadaan penderita. Untuk golongan penderita dengan perdarahan

menahun/ringan atau hanya menunjukkan anemi dan tes darah samar positif dalam tinja, pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan secara elektif atau

poliklinik. Untuk penderita yang masuk dengan perdarahan masif waktu (timing) endoskopi ditentukan oleh keadaan hemodinamik penderita. Endoskopi dini atau darurat dapat segera dilakukan bila keadaan penderita sudah stabil. Pada keadaan shock selesai resusitasi. sebaiknya endoskopi ditunda setelah

Faktor predisposisi perdarahan tukak.

Faktor predisposisi untuk terjadinya perdarahan pada tukak adalah asam lambung, kuman Helicobacter pylori, OAINS dan aspirin.

Glucocorticosteroid secara historis dikaitkan dengan perdarahan tukak, namun dewasa ini hal tersebut sangat diragukan oleh karena tidak disokong data pengalaman di klinik. Yang terakhir disebut sebagai kemungkinan pencetus perdarahan adalah alendonate , suatu obat yang menghambat resorpsi tulang dengan perantaraan osteoclast. Obat ini dipakai sebagai pengobatan non-hormonal yang konon sangat efektif untuk mencegah ataupun pengobatan osteoporosis pada wanita pasca menopause. Selain itu alkohol dan obat-obat antikoagulan dapat mempermudah terjadinya

perdarahan tukak.

Faktor prognostik pada perdarahan tukak.

Lebih dari 50% perdarahan SMBA disebabkan oleh tukak. Prognosis dari perdarahan SMBA non-variseal ditentukan oleh faktor-faktor seperti umur lanjut di atas 65 tahun, kondisi ko-morbid, perdarahan yang terjadi selama berada di rumah sakit, hipotensi/shock, transfusi darah yang melebihi 5 unit PRBC per 24 jam, koagulopati. Di samping itu prognosis juga terkait erat dengan faktor dari tukaknya sendiri seperti ukuran tukak di atas 2 cm (giant ulcer) dan adanya stigmata of recent haemorrhage (SRH) menurut klasifikasi dari Forrest, sebagai indikator kecenderungan terulangnya perdarahan (lihat tabel 3).
Tabel 3. Forrest classification of stigmata of recent haemorrhage and associated rebleeding rates. ----------------------------------------------------------------------------------------------------Class Endoscopic observation Rebleeding rate (%) ----------------------------------------------------------------------------------------------------Ia Spurting arterial haemorrhage 89-90 Ib Oozing haemorrhage 10-30 IIa Non-bleeding visible vessel 50-60 IIb Adherent clot 25-35 IIc Black spot in ulcer base 0-8 III Clean ulcer base 0-12 ------------------------------------------------------------------------------------------------------

Stigmata endoskopik dari tukak yang berdarah (menurut Forrest).

Stigmata awal yang ditemukan pada endoskopi dari suatu tukak yang berdarah menentukan kecenderungan terulangnya perdarahan dari tukak yang sedang mendapat pengobatan medik dengan obat-obat anti-sekretorik.

Forrest Ia : Tukak yang menunjukkan perdarahan arteriel (spurting) pada endoskopiakan terus berdarah pada 90% kasus. Sekitar 12% penderita yang dirawat di rumah sakit dengan perdarahan yang masif termasuk golongan ini. Forrest Ib : Penderita dengan perdarahan merembes ( oozing )

menunjukkan perdarahan ulang antara 10-30% , prevalensinya adalah 14%

10

Forrest IIa : Penderita dengan non-bleeding visible vessel (NBVV) akan mengalami perdarahan ulang sekitar 50%. Dan kategori ini ditemukan pada sekitar 22% penderita dengan perdarahan masif. Forrest IIb : Gumpal darah (tanpa perdarahan) yang melekat pada dasar tukak akan mengalami perdarahan ulang sekitar 33% dan prevalensinya adalah 10%. Forrest IIc : Black spot pada dasar tukak dianggap sebagai stigmata minor dan ditemukan pada sekitar 10% dengan perdarahan masif. Pada golongan ini perdarahan ulang terjadi sekitar 7% Forrest IIIc : Dasar tukak yang bersih tanpa stigmata ditemukan pada 32% penderita dengan perdarahan yang masif dan perdarahan ulang terjadi sekitar 3% Terapi endoskopik.

Ada 2 cara yang dipakai untuk keperluan terapi endoskopik dengan tujuan menghentikan perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan ulang.

I.Thermal therapy. 1. Laser : Argon dan Neodymium-yttrium-aluminium-garnet (Nd:YAG)

adalah yang pertama dipakai untuk keperluan ini. Dinilai efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi mahal dan rumit. 2. Monopolar electrocoagulation : Berhubung dengan adanya resiko

terjadinya kerusakan jaringan dewasa ini tidak dianjurkan lagi. 3. Bipolar/multipolar electrocoagulation : Efektif dan menggantikan

kedudukan dari monopolar electrocoagulation. 4. Heater probe : Keberhasilan dari heater probe antara lain terletak pada tekanan ujung alatnya yang bekerja sebagai tampon bagi pembuluh darah yang robek.

II. Injection therapy.

11

Terapi non-termal yang juga sangat efektif adalah

injeksi

dengan

menggunakan bahan/obat seperti epinephrin ( 1 per 10.000) , ethanol, larutan normal saline, air, fibrin glue dan bahan sklerosan seperti polydocanol, sodiumtetradesylsulfate. Dewasa ini paling banyak dipakai oleh karena murah dan gampang penyediaannya, sederhana dan lagi pula hasilnya tidak kalah dibanding dengan thermal therapy.

III. Newer endoscopic therapy. Cara terbaru menggunakan metal clips, rubberband ligation, endoloops (benang nylon), argon plasma coagulation dan sewing device. Telah dilakukan banyak studi yang membandingkan efektivitas berbagai modalitas tersebut di atas satu dengan yang lainnya. Hasil dari studi tersebut pada umumnya menyimpulkan bahwa injection therapy, laser dan multipolar/ heater probe adalah sebanding. Cara-cara yang baru dengan menggunakan hemo clips, alat jahit etc. meskipun hasilnya memadai masih belum dapat menggeser cara lama dengan heater probe, bicap dan terapi injeksi yang terkenal sederhana, mudah dikerjakan dan pengalaman masa lalu yang luas.

Indikasi pengobatan hemostasis endoskopik.

Stigmata Ia, Ib, IIa dan IIb merupakan stigmata mayor yang disertai resiko perdarahan ulang yang tinggi pada kelompok penderita yang hanya diberi pengobatan medik saja, oleh karena itu perlu dipertimbangkan pengobatan endoskopik. Kelompok penderita dengan stigmata minor tidak menunjukkan perbedaan hasil antara pengobatan medik saja dan pengobatan hemostasis endoskopik. Bahkan pada kelompok ini pengobatan endoskopik seperti laser atau koagulasi dapat mencetuskan perdarahan dan memperburuk keadaan.

Pengobatan medik .

12

Sudah bertahun-tahun dan hingga sekarang untuk mengobati penderita dengan perdarahan SMBA dipakai berbagai macam obat standar : 1. obat golongan anti-sekretorik (antasida, H2RA dan PPI), 2. obat vasokonstriktor (vasopressin) 3. golongan obat anti-sekretorik + vasokonstriktor (somatostatin, octreotide ). 4. obat anti-fibrinolitik (tranexamic acid)

Obat-obat tersebut di atas diberikan secara rutin pada semua penderita dengan perdarahan SMBA dengan harapan dapat mengendalikan

perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Namun akhir-akhir ini semakin banyak tulisan yang melaporkan bahwa obat-obat tadi tidak terbukti efektif untuk tujuan tersebut.

Patofisiologi dan terapi rasional.

Tujuan patofisologik dari farmakoterapi adalah pembentukan gumpal darah primer yang terdiri dari fibrin dan trombosit pada pembuluh darah yang terkikis/robek pada dasar tukak. Dalam hal ini asam lambung memegang peran penting. Pembentukan gumpal yang adekuat membutuhkan agregasi trombosit dan pembekuan plasma. Kedua proses tersebut in vitro dihambat oleh asam dan pepsin pada pH yang rendah < 6,8 dan pada pH < 5 terjadi lisis (clot lysis). Oleh karena itu untuk tercapainya hemostasis dan mempertahankan integritas gumpalan yang telah terbentuk dibutuhkan pH intragastrik yang mendekati normal. Faktor lain yang dapat mempengaruhi pembentukan gumpal darah adalah aktivitas plasmin yang konon dapat dihambat oleh tranexamic acid. Obat-obat anti-sekretorik dari golongan H2RA seperti ranitidin dan famotidin sudah berpuluhan tahun digunakan secara rutin untuk menanggulangi perdarahan SMBA. Namun suatu studi meta-analisis dari Collins dan Langman dan juga suatu uji coba acak dalam jumlah besar oleh Walt d.k.k. gagal menunjukkan penurunan jumlah perdarahan ulang.

Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh karena terjadinya toleransi terhadap

13

obat golongan tinggi.

H2RA hingga gagal mempertahankan pH intragastrik yang

Obat anti-sekretorik golongan proton pump inhibitor (PPI) bekerja lebih kuat dibanding obat golongan H2RA. Diberikan secara oral PPI memerlukan beberapa hari untuk mecapai derajat penurunan asam yang optimal, sehingga untuk keperluan mengendalikan perdarahan akut kurang manfaatnya. Banyak studi yang terdahulu gagal menunjukkan manfaat obat golongan ini untuk menghentikan perdarahan tukak oleh karena pada studistudi tersebut hanya tercapai pH intragastrik di bawah 6. Akhir-akhir ini uji coba terkendali dari daratan Eropa dan Asia dengan menggunakan dosis tinggi obat PPI (omeprazole) berhasil meningkatkan pH intragastrik hingga 67 yang ternyata terbukti mampu mengurangi terjadinya perdarahan ulang. Lau d.k.k. di Hong Kong baru-baru ini melaporkan bahwa PPI yang diberikan secara i.v. terbukti dapat mengurangi angka perdarahan ulang. Dosis yang dipakai adalah omeprazole 80 mg bolus dilanjutkan dengan 8 mg tiap jam i.v. selama 72 jam. Selanjutnya suatu meta-analisis dalam tahun 2001 oleh Zed d.k.k.

yang membandingkan PPI dengan plasebo atau H2RA untuk mengatasi perdarahan tukak peptik, membuktikan bahwa PPI mampu menekan angka perdarahan ulang dan pembedahan. Selanjutnya juga terbukti bahwa PPI yang diberikan sebagai bolus secara intermiten kurang efektif bila dibanding dengan pemberian PPI secara i.v. kontinu. Atas dasar ini disarankan pemberian PPI secara infus dalam 24 jam pertama untuk menetralisir asam intragastrik dini dan cepat mencapai pH di atas 6. Di lain pihak suatu studi dari Hawky d.k.k. yang melibatkan 1147 penderita dengan perdarahan SMBA yang menggunakan omeprazole 80 mg bolus , disusul dengan 40 mg tiap 8 jam untuk 3 x pemberian, dan dilanjutkan dengan 40 mg oral 2 x sehari, tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Sayangnya dalam studi ini termasuk perdarahan dari tukak, erosi, varises d.l.l. Studi dari Khuroo d.k.k. di India yang melibatkan 220 penderita dengan tukak peptik saja tanpa terapi endoskopi . Uji coba buta ganda secara acak ini menggunakan omeprazole 40 mg oral tiap 12 jam selama 5 hari. Hasil

14

studi tersebut menunjukkan dapat mengatasi perdarahan ulang (10,9% vs 36,4%, p < 0,001), menurunkan angka pembedahan (8/110 vs 26/110, p < 0,001), dan jumlah penderita yang memerlukan transfusi (29,1% vs 70,9%). Studi yang baru dengan menggunakan obat golongan anti-fibrinolitik seperti tranexamic acid tidak banyak ditemukan. Berbagai studi yang dilaporkan 10 tahun yang lalu antara lain dari Barer d.k.k. menunjukkan bahwa mortalitas penderita yang diberi tranexamic acid adalah 6,3%

dibanding 13,5% pada kelompok kontrol (p : 0,0092). Namun dalam studi tersebut tidak ada penurunan angka perdarahan ulang atau jumlah penderita yang dibedah. Dosis tranexamic acid adalah 3 g i.v. tiap hari selama 2-3 hari , disusul dengan dosis yang sama secara oral selama 3-5 hari. Tranexamic acid ternyata mempunyai efek samping yaitu dapat menimbulkan komplikasi trombosis vaskuler dengan mengakibatkan infark cerebri, infark miokard, deep vein thrombosis dan emboli paru-paru. Berhubung dengan resiko adanya efek samping yang serius ini dan belum adanya bukti nyata tentang efektivitasnya, obat golongan ini tidak banyak dipakai dalam praktek sehari-hari. Somatostatin adalah suatu peptida endogen yang memiliki efek menurunkan sekresi asam/ pepsinogen, menurunkan aliran darah splanchnic dan juga efek sito -protektif. Obat golongan ini sudah terbukti efektif untuk mengatasi perdarahan dari varises, tetapi untuk perdarahan tukak dan lainlain masih ada silang pendapat. Oleh karena itu obat golongan ini dianjurkan dipakai sebagai terapi tambahan (ajunct therapy) pada perdarahan SMBA, dan sebaiknya tidak dipakai sebagai pengobatan alternatif. Plasma half life dari somatostatin adalah pendek (2 menit) dan oleh karena itu somatostatin bekerja efektif pada situasi akut yang pendek. Efek ini dapat diperpanjang bila obat ini dilanjutkan dengan pemberian infus yang kontinu . Analog sintetik, octreotide , mempunyai efek sebanding dengan somatostatin tetapi memiliki plasma half life yang panjang (90 menit). Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 4.

15

Tabel 4. Recommended regimen for treatment with somatostatin/octreotide ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Drug Dose Frequency Route Duration ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Somatostatin 250 g Bolus,then i.v. 48- 120 hrs hourly Octreotide 100 g Bolus, then s.c or i.v 72 hrs. 8-hourly ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Efek yang kurang menguntungkan dari obat golongan ini adalah gangguan gastrointestinal seperti nausea, tumpah, nyeri abdomen, kembung dan gangguan faal hati.

Pembedahan.

Siapa dan kapan diperlukan tindak bedah adalah suatu problema yang abadi. Sekitar 10% dari penderita dengan perdarahan tukak akhirnya membutuhkan pembedahan untuk mengatasi perdarahan aktif. Indikasi untuk bedah darurat adalah perdarahan yang terus-menerus dan tidak terkendali. Hal ini dapat dilihat dari keadaan penderita setelah resusitasi awal dan tercapai stabilisasi, di mana penderita masih mengalami hematemesis darah segar atau

hematochesia. Keadaan ini biasanya disertai tanda-tanda hemodinamika yang tidak stabil, hipovolemik yang ditandai oleh tachycardy, tachypneu,

hipotensi dan oliguri. Di samping itu kebutuhan transfusi darah meningkat disertai penurunan Hb. Pada umumnya penderita umur lanjut memerlukan tindak bedah lebih dini oleh karena kurang mampu bertahan menghadapi episode perdarahan + hipotensi yang berulang-ulang.

Ringkasan.

Pengobatan

perdarahan

penyakit

tukak

mengalami

kemajuan

yang

menggembirakan sejak adanya terapi endoskopik pada awal 1980-an. Dewasa ini untuk pengelolaan prdarahan SMBA akut terapi endoskopik merupakan tulang punggung yang dapat diandalkan. Terapi endoskopik dengan cara injeksi dan koagulasi sama efektifnya dan harus dilakukan

16

segera setelah stabilisasi keadaan umum penderita. Indikasi untuk ini adalah tukak yang tergolong resiko tinggi seperti Forrest Ia, Ib, IIa dan IIb. Di bidang pengobatan farmakologik akhir-akhir ini ada laporan yang menunjukkan bahwa obat golongan PPI dosis tinggi dapat menurunkan jumlah perdarahan ulang, transfusi dan kebutuhan pembedahan. Tindak bedah merupakan usaha terakhir yang dapat menyelamatkan jiwa penderita pada kasus perdarahan yang persisten/tidak terkendali dengan terapi standar.

17

Daftar Pustaka 1. Andrews C, et al. Appropriateness of Discontinuation of Intravenous Proton Pump Inhibitor (IVPPI) in Bleeding Peptic Ulcer Patients without High Risk Ulcer Stigmata at Endoscopy : Preliminary Results of a Multicenter Evaluation. . In : Scientific Sessions Handouts-DDW 2002; p. 400. 2. Baillie J. Wireless Endoscopy. . In : Scientific Sessions Handouts-DDW 2002; p. 256. 3. Banks MR & Fairclough PD. Gastrointestinal Bleeding. In : Drug Therapy for Gastrointestinal and Liver Diseases. Eds. : Farthing MJG & Ballinger AB. Martin Dunitz Ltd., London , 2001; p. 63. nd 4. Goff JS. Upper Gastrointestinal Tract Hemorrhage. In : GI / Liver Secrets. 2 ed. Ed. : McNally PR. Hanley & Belfus Inc , Philadelphia 2001; p. 373. 5. Laine L. Management of Massive Upper GI Bleeding. Gastroenterology and Hepatology at the Millenium and Beyond. Syllabus AGA Spring Postgraduate Course, May 2000. p. 19. 6. Landaeta JL, et al. Gastrointestinal Bleeding Evaluation with Capsule Endoscopy : First Venezuelan Report. Gut 2002; Suppl III ; A 162. 7. Lewis BS. Capsule Endoscopy. . In : Scientific Sessions Handouts-DDW 2002; p. 468. 8. Lichtenstein DR. Nonvariceal Upper Gastrointestinal Hemorrhage. In : Therapy of Digestive Disorders. Eds. Wolfe MM et al. Saunders WB Co., Philadelphia 2000 ; p. 127. 9. Machicado GA & Jensen DM. Nonvariceal Upper Gastrointestinal Bleeding. In : Diseases of the Gastrooesophageal Mucosa. Ed. : Freston JW. Humana Press Inc., New Jersey 2001 ; p.75. 10. McQuaid KR. Alimentary Tract. In : Current Medical Diagnosis & Treatment. st 41 Edition. Eds. Tierney LM et al. McGraw-Hill 2002; p. 586. 11. Peterson WL. An Evidence-Based Analysis of Pharmacologic Therapy for Acute Bleeding Peptic Ulcer. In : Scientific Sessions Handouts-DDW 2002; p.126. 12. Rockall T. Upper Gastrointestinal Bleeding : Peptic Ulcers. In : Practical Gastroenterology. Ed.: Bloom S. Martin Dunitz Ltd., London 2002; p.139. 13. Rockey DC. Gastrointestinal Bleeding. In : Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease Vol. I. Eds. Feldman M, Friedman LS & Sleisenger MH. 7th Ed. SaundersElsevier Science, Philadelphia, 2002; p. 211. 14. Scapa E. ,et al. Initial Experience of Wireless-Capsule Endoscopy for Evaluating Occult Gastrointestinal Bleeding and Suspected Small Bowel Pathology . Am J Gastroenterol 2002; 97 : 2776. 15. Spechler SJ. Peptic Ulcer Disease and its Complications. In : Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease Vol. I. Eds. Feldman M, Friedman LS & Sleisenger MH. 7th Ed. SaundersElsevier Science, Philadelphia, 2002; p.747.

18

You might also like