You are on page 1of 19

KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN

TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI1

Agus Pakpahan

Yth. Rektor Universitas Padjadjaran,


Yth. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Yth. Para dosen, mahasiswa dan seluruh Civitas Academica Universitas
Padjajaran,
Yth. Hadirin dan Hadirat sekalian yang kami muliakan

Assalamualaikum warakhmatullahi wabarakatuh,


Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita sekalian

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji-syukur ke khadirat Illahi Rabi,


Tuhan Sekalian Alam, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang
telah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk dapat berkumpul pada
kesempatan yang berbahagia ini. Pada kesempatan yang pertama ini pula, saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Universitas Padjadjaran, yang telah
memberikan kehormatan bagi saya untuk dapat berbagi buah pikiran dan
mengambil pelajaran pada kesempatan yang sangat berharga ini.

Tema yang diberikan kepada saya adalah ”Lembaga Regulator untuk


Komoditas Pertanian Strategis pada Sistem Pangan Nasional (Food
National System), dalam rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”.
Cukup lama saya memikirkan apa kiranya yang tepat untuk dijadikan fokus
uraian dalam pembicaraan kita sekarang ini. Mengapa kita berfokus pada
lembaga regulator, misalnya, sebagai isu sentral dalam sistem pangan nasional
telah menyita waktu saya cukup banyak sebelum saya memulai menulis apa
yang akan saya sampaikan.

Dengan tetap akan menyampaikan pemikiran tentang Lembaga Regulator


sebagaimana yang diminta Panitia, saya mohon diberikan kesempatan apabila
akhirnya saya memilih fokus pembahasan pada hal yang lebih mendasar lagi,
yang tentunya memiliki implikasi penting terhadap kehidupan rakyat, bangsa dan
negara kita pada waktu mendatang, yaitu: ketahanan pangan adalah soal hidup
atau mati.

Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati ini bukanlah istilah baru.
Istilah yang saya ambil dari pidato Presiden Soekarno pada peletakkan batu
pertama pembangunan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun

1
Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun Universitas
Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.

1
1952, lebih dari 55 tahun yang lalu. Pada era Presiden Soeharto, istilah
swasembada pangan menggantikan istilah berdikari, dan dunia sepakat bahwa
Indonesia pernah mencapai status swasembada beras pada tahun 1984, atau
sekitar 20 tahun setelah tahun 1965. Isu pangan sebagai soal hidup atau mati,
atau isu swasembada atau berdikari, saya pikir perlu kita angkat lagi ke
percaturan ekonomi-politik globalisasi yang kita hadapi.

Saya angkat lagi isu swasembada atau berdikari ini sebagai isu sentral
mengingat semua negara maju juga dicirikan oleh swasembada mereka di
bidang pemenuhan pangan pokoknya. Bahkan sudah menjadi pengetahuan dan
praktek umum bahwa gandum, beras atau gula serta jenis pangan pokok lainnya
yang masuk ke pasar dunia adalah kelebihan produksi atau stok yang ada di
setiap negara, sehingga pasarnya dinamakan residual market. Hal ini
menunjukkan berlakunya hukum atau dalil yang kiranya menyatakan bahwa
suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran
apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan
pendudukunya secara baik.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa saat ini saya berhadapan muka,


bertemu pikiran, dan berikatan tali batin dengan kaum cerdik-cendekia, kaum
terpelajar dan para pemimpin arif-bijaksana yang memusatkan seluruh perhatian
dan kemampuan untuk menyelesaikan satu aspek kehidupan yang sudah ribuan
tahun lamanya, yaitu persoalan ketahanan pangan. Hadirin sekalian tentu pula
memiliki kekayaan akal-budi di bidang pangan atau di bidang lain yang berkaitan
langsung dengan pangan, yang melebihi apa yang telah saya miliki. Oleh karena
itu pula, saya berdiri di sini bukan sebagai pihak yang akan mengajari Bapak dan
Ibu serta Saudara sekalian, tetapi mudah-mudahan melalui kesempatan ini, ilmu
dan kemampuan saya akan meningkat karena kebaikan hati dan kebijaksanaan
Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian.

Paradoks Kemajuan dan Kemiskinan serta Kelaparan

Apabila 55 tahun yang lalu Presiden Soekarno melalui pidatonya yang


membakar semangat para civitas academica dan semua yang hadir pada
kesempatan peletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian IPB,
maka apabila kita bertanya kembali pada saat ini, apakah kita sudah bisa
menyelesaikan urusan pangan rakyat Indonesia secara baik, marilah kita jawab
sendiri dalam hati kita masing-masing.

Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana


urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih
menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis
apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam
antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan
perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya
sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada,

2
kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud
menerima keadaan tersebut terus terjadi. Masih untung negeri kita tidak seperti
apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi
makhluk yang mulia.

Kelaparan adalah kemiskinan, kemiskinan itu mendekati kekufuran. Itulah


yang sering disampaikan oleh para tokoh agama ketika menyampaikan
wejangannya kepada kita semua. Tetapi mengapa setelah 7000 tahun pertanian
berevolusi persoalan makanan ini belum juga bisa kita selesaikan? Mengapa kita
membangun pabrik-pabrik, mall atau trade center serta prasarana dan sarana
modern yang sering kali tidak ada hubungannya dengan ketahanan pangan
nasional atau pertanian, tetapi sementara urusan pangan tidak menarik sukma
dan jiwa kita untuk menyelesaikannya? Mengapa ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kemampuan manajemen sudah demikian maju dan memberikan
kehidupan yang secara duniawi mulia untuk mereka yang berada di negara-
negara maju, tetapi tidak untuk kita? Kita bisa membuat daftar yang panjang
untuk menunjukkan bahwa kita ini memang belum menempatkan persoalan
pangan rakyat sebagai persoalan hidup-matinya bangsa dan negara kita ini.

Inilah yang saya sebutkan sebagai paradoks: kita mendahulukan yang


tidak penting secara hakiki. Tetapi sebaliknya, yang sifatnya hakiki kita
tempatkan diurutan yang tidak penting. Untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya penafsiran yang berbeda, akan saya uraikan agak sedikit panjang
mengenai apa yang saya maksud dengan pernyataan terdahulu itu.

Dalam banyak hal kita ini sering berada dalam situasi kepentingan yang
saling bertentangan. Bahkan dalam kondisi tertentu kita juga sering lupa bahwa
sesuatu itu penting. Karena lupa, maka hal tersebut tidak termasuk dalam daftar
yang harus kita putuskan atau harus kita kerjakan. Misalnya, bagi seseorang
yang memang tingkat kehidupannya sudah tergolong kaya, maka pangan
bukanlah hal penting dalam gugus pengambilan keputusannya. Hal ini
diperlihatkan oleh pangsa pengeluaran pangannya yang sangat rendah dari
seluruh jenis pengeluarannya. Fenomena ini dikenal dengan hukum Working
yang menunjukkan adanya hubungan terbalik antara tingkat pendapatan dengan
pengeluaran pangan. Sebaliknya untuk rumah tangga yang masih harus bergelut
dengan isi perut, hampir seluruh pendapatannya. Bahkan banyak pula di antara
anggota masyarakat kita yang harus berhutang atau tidak makan karena mereka
tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkannya.

Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan
kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai
petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan
pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini
sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi
begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita

3
adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita
bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas.

Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu


apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan
perasaan khawatir. Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita
tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.

Pengalaman Negara Lain

Tidak ada maksud untuk mengagungkan negara lain apalagi mengecilkan


kita semua. Mempelajari hasil kemajuan negara lain sangatlah penting untuk
memetik buah dari akal-budi yang berkembang di sana dan menjadi bahan
pembelajaran bagi kita semua. Bukankah Rasulullah bersabda ”belajarlah
sampai ke negeri Cina”, artinya kita tidak boleh hidup seperti katak di bawah
tempurung.

Negeri Cina pernah mengalami masa-masa yang sangat sulit. Lebih dari
27 juta orang meninggal dunia akibat kelaparan dalam selang waktu 1959-1963,
saat mereka menjalani tahap awal Revolusi Kebudayaan. Persoalan mengapa
hal tersebut terjadi juga sederhana: mengarang statistik pangan untuk
mendapatkan ”Asal Bapak Senang”2. Akhirnya, prediksi produksi pangan
meningkat padahal kenyataan yang terjadi sebaliknya. Akibatnya untuk jangka
waktu yang lama bangsa Cina di negaranya mengalami kesulitan pangan
pokoknya.

Apa yang mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang berkecukupan


pangannya sekarang? Menurut informasi yang saya terima dari salah seorang
pejabat RRC penyebab utama yang membuat mereka bisa bangkit adalah
kebulatan tekad para pemimpin RRC untuk bangkit di bidang pertanian ini.
Artinya, pertanian di nomor-satukan, sambil sektor lainnya dibangun. Sebagai
ilustrasi, Agriculture Bank of China (ABC) merupakan bank pertanian yang
sangat besar yang mendukung perkembangan pertanian di negeri ini. Pada
tahun 2002, dengan penerimaan US$ 10.3 milyar, ABC menyumbangkan US $
242 juta kepada Jilin University untuk menyiapkan teknologi pertanian pada era
2020-an. Dengan perkataan lain, pihak perbankan di RRC menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap dunia pendidikan dan riset di bidang pertanian
dengan mengalokasikannya lebih dari 2.3 % dari penghasilannya. Sarana dan
prasarana pertanian dan perdesaan juga mengalami perkembangan yang luar
biasa. Hasilnya adalah kemajuan pertanian di negeri Cina ini luar biasa dengan
indikatornya yang sangat jelas: dari kelaparan ke kelimpahan pangan. Bahkan,
menurut keterangan yang saya dapat dari pejabat di RRC, negeri ini memiliki
stok padi yang cukup untuk tahunan lamanya apabila negeri ini mengalami
paceklik panjang atau peperangan.

2
Lihat Amartya Sen, 1987. “Food and Freedom”, Sir John Crawford Lecture, Washington, D.C., October
29, 1987.

4
Kelimpahan pangan di Eropa Barat atau di Amerika Serikat pun yang
menjadi simbol kemakmuran sekarang bukan berkat yang datang dari langit
begitu saja. Kelimpahan pangan di belahan bumi ini hasil dari menempatkan
pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah
soal hidup atau mati bangsa ini. Kita mengenal sejarah kelaparan bangsa
Irlandia pernah mengalami kelaparan yang menelan korban diperkirakan
mencapai 2 juta jiwa. Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di
Amerika Serikat, bangsa Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan.
Abraham Lincoln-lah yang menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang
punggung pertanian di Amerika pada saat itu. Kemudian Abraham Lincoln
menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di Amerika Serikat, yaitu:
Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani mendapatkan lahan per
luasan 64 hektar; Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di seluruh
negara bagian, dan membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenal
dengan United States Department of Agriculture. Lankah besar Abraham Lincoln
ini diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment
Act 1933 yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya.
Pandangan yang ”memuliakan” pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi
untuk negara-negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan.

Di belahan bumi lainnya, yaitu Afrika Selatan, yang mana negara ini baru
saja melepaskan diri dari politik warna kulit (apartheid), juga melahirkan
kebijakan-kebijakan yang sudah ”memuliakan” pertanian. Pada tahun 2002, di
Afrika Selatan terbit Undang-Undang: Land and Agricultural Development Bank
Act 2002. Dalam UU ini dengan sangat jelas ditulis: (1) menimbang bahwa
praktek apartheid dan hukum yang rasialis pada masa lalu telah merugikan
historically disadvantage people dari lahan yang mengakibatkan mereka
tersingkirkan dari sektor pertanian dan menyebabkan ketimpangan pemilikan
lahan yang terjadi secara rasial di Afrika Selatan, (2) Dalam rangka mengubah
pola kepemilikan lahan dengan mengembangkan/mendorong lebih besar
partisipasi dalam sektor pertanian oleh historically disadvantage people dan
kepemilikan lahan oleh kelompok ini melalui penyediaan jasa keuangan yang
tepat. Paling tidak UU ini membangun landasan baru bagi petani miskin di Afrika
Selatan mendapatkan harapan baru akan masa depan yang lebih baik. Kita
mengenal kemajuan yang pesat di wilayah ini, khususnya dalam bidang
pergulaan dan industri lainnya yang berbasis tebu.

Sekarang, mari kita lihat negeri tetangga kita. Thailand pertaniannya relatif
lebih maju dari kita. Di Thailand, selain kemajuan dalam berbagai hal, kita juga
diperlihatkan oleh keberadaan Bank Pertanian mereka yang diberi nama Bank
for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ). Karena sebagai bank
pertanian, maka BAAC sangatlah dekat dengan petani. Hal yang serupa juga
terjadi di Malaysia. Kita mengenal Malaysia sebagai ”Raja Sawit” dunia dengan

5
segala kemajuannya. Vietnam juga menyalip kita di bidang kopi, sedangkan
Srilanka mengalahkan kita dalam hal teh dan kelapa.

Apa kesimpulan kita setelah melihat negara-negara lain yang mencapai


kemajuan yang membuat kita merasa tertinggal? Kesimpulannya adalah bahwa
bangsa yang memuliakan pertaniannya akan mendapatkan berkah berupa
kemajuan dan kemakmuran bagi bangsanya. Hal ini telah saya kemukakan
secara panjang lebar dalam buku ”Freedom for Farmers Freedom for All”3.

Pengalaman Kita

Lain bangsa, lain pula jalan hidup sejarahnya. Bangsa Thailand


merupakan bangsa yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lainnya. Bangsa kita,
Malaysia, dan bangsa Afrika merupakan korban sejarah kolonialisme dan
imperialisme. Bangsa Cina, menyimpan ribuan tahun kekayaan budayanya
dengan pergolakan pasang surutnya. Yang ingin saya sampaikan pada
kesempatan ini adalah suatu hipotesa, yaitu: Suatu bangsa hanya akan bisa
mengatasi masalahnya secara hakiki apabila ia mampu menemukan
jalannya secara orisinal.

Kata orisinal ini penting untuk kita pegang bersama mengingat


pengalaman menjiplak atau mengandalkan pihak lain membuatkannya bagi kita
semua, membuat kita terbuai tanpa terasa kita itu sebetulnya dibodohi. Selain
kita yang membuatnya secara kreatif, juga tentu orisinalitas itu tidak berarti kita
tidak mengambil referensi dari tempat lain. Orisinalitas di sini lebih diartikan
sebagai buatan kita sendiri—tidak menjiplak dan tidak pula dibuatkan orang lain.
Jadi, orisinalitas akan merepresentasikan—what we can be and what we can do.

Mari kita uji hipotesa tersebut. Kita mulai dari Thailand. Bangsa ini secara
orisinal membangun negerinya dengan menjadikan pertanian rakyat sebagai
landasan perekonomiannya. Lihat pabrik-pabrik gula di negeri Gajah Putih ini,
semua tebunya berasal dari petani. Pengusaha besar dengan semangat
kebersamaan dan saling-sayang, membangun industri pengolahan, pasar dan
sektor modernnya. Apa yang dikerjakan Malaysia? Malaysia juga berkonsentrasi
di pertaniannya. Para petani dibantu dan mereka berkonsentrasi di bidang yang
mereka kuasai: Kelapa sawit. Walaupun kelapa sawit ini berasal dari Kebun
Raya Bogor, tetapi bagaimana serangan kilat Malaysia mengambil posisi kelapa
sawit dunia. Sekarang, Malaysia sudah menguasai perkebunan-perkebunan
kelapa sawit di Indonesia. Vietnam memberikan contoh yang unik dalam
berperang melawan penjajahnya. Orisinalitas terletak pada gagasan menjadi
”cacing tanah” untuk mengalahkan tentara-tentara asing di negerinya. Berhasil!
Sekarang dengan strategi pertaniannya juga berhasil mengejar kita. Amerika
Serikat, Jepang dan Eropa Barat serta negara-negara maju yang tergolong
dalam organisasi OECD sudah sangat jelas memulikan pertaniannya. Sebagai

3
Agus Pakpahan, 2007. Freedom for Farmers Freedom for All. Ideals, Bogor.

6
gambaran, pada tahun 2001 negara-negara OECD mengalokasikan subsidi buat
pertanian mencapai US $ 311 milyar.

Apakah kita sudah memuliakan pertanian? Gambaran yang menunjukkan


bahwa jumlah petani gurem terus meningkat merupakan gambaran yang
menunjukkan bahwa masalah sangat besar sedang berada di hadapan kita
semua. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan non-pertanian,
khususnya industri dan jasa tidak memberikan kesempatan bagi setiap
pertambahan angkatan kerja keluar dari pertanian. Artinya, walaupun nilai
pertanian berkurang dalam produk domestik bruto (PDB) nasional, bebannya
tidak berkurang secara proporsional. Saya pernah menghitung dengan
menggunakan data 1959-2002 mengenai hal ini, dengan hasil sebagai berikut.
Ternyata bahwa setiap penurunan 1 % PDB Pertanian dalam PDB nasional
Indonesia hanya dikuti oleh 0.43 % penurunan tenaga kerja pertanian.
Sementara itu, untuk perubahan nilai PDB pertanian dalam PDB nasional yang
sama, penurunan tenaga kerja pertanian di Korea Selatan mencapai lebih dari
1.5 %, dan di Malaysia serta Thailand masing-masing sekitar 1.2 %. Oleh karena
itu tidak mengherankan bahwa kecenderungan di Thailand, Malaysia, Korea
Selatan dan di negara-negara maju lainnya luas lahan pertanian per petani terus
meningkat sedangkan di kita makin menyempit.

Apa yang menjadi tema besar kita dalam pembangunan pertanian? Kalau
kita amati bahwa Indonesia juga sudah banyak membangun pertaniannya, tetapi
pembangunannya itu terlepas dari strategi besar secara keseluruhan. Akibatnya,
satu sektor dengan sektor lainnya saling tarik menarik atau saling
menghilangkan. Mirip yang terjadi dengan negara-negara yang belum maju,
yang sebagian besar mengisi daftar negara-negara di dunia, adalah bahwa
sektor pertanian yang didominasi oleh petani kecil sering dikalahkan. Dalam
bidang pertanahan misalnya, apabila di Amerika Serikat (negara kapitalis), lahir
Homestead Act 1862, maka di Hindia Belanda lahir Agrarischwet 1870, yaitu
undang-undang pertanahan yang melandasi perkebunan besar. Kurang-lebih
100 tahun kemudian atau tepatnya 1967 dilahirkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan, yang memberikan konsesi hak pengusahaan hutan
(HPH) kepada para pengusaha, dan selanjutnya pada awal 1980-an lahir
kebijaksanaan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang menjadi cikal-
bakal perkebunan besar swasta yang menggurita pada saat ini.

Perlu saya kemukakan bahwa saya tidak anti perusahaan besar. Yang
ingin saya sampaikan bahwa kita belum berhasil menyelesaikan persoalan
warisan sejarah kolonialisme, yaitu adanya sistem ekonomi dualistik yang
membahayakan situasi nasional kita pada masa mendatang. Bidang produksi
pangan yang sebagian besar dikerjakan oleh para petani gurem, yang dipandang
kurang menguntungkan tidak mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh
apabila dilihat dari kaca mata penyatuan struktur ekonomi nasional. Sektor
tradisional dengan sektor modern dibiarkan berhadapan dan sudah sangat jelas
terlihat akibatnya bahwa sektor tradisional akan dikalahkan. Hal inilah yang

7
menjadi penyebab utama ”kemunduran” pertanian kita, khususnya di bidang
pangan.

Revolusi Hijau yang diharapkan akan menyelesaikan persoalan pangan


rakyat pada dasarnya diperlukan, tetapi belum memenuhi persyaratan yang
cukup. Bahkan, Revolusi Hijau dapat dilihat sebagai sumber ketergantungan
baru dari para petani kita yang sebenarnya lebih banyak memberikan
keuntungan kepada para pelaku bisnis di luar petani. Segala resiko dari
penerapan teknologi berbasis kimia seperti pupuk dan pestisida dibiayai petani
dan ditanggung petani. Kerusakan lingkungan yang parah sebagaimana
digambarkan dalam ”Silent Spring” karya Rachel Carson merupakan korbanan
yang harus dipikul petani dan bumi-alam sebagai akibat dari perilaku industri
kimia yang berada di balik Revolusi Hijau. Lebih parah lagi di negeri kita,
Revolusi Hijau tidak membuat kehidupan petani lebih baik lagi.

Organisasi yang melandasi pembangunan pertanian, khususnya pangan


(baca: beras) juga pada dasarnya adalah organisasi sebagai instrumen negara
untuk mencapai tujuannya, bukan instrumen petani untuk meningkatkan
kemakmurannya. Dari sudut pandang petani, peningkatan produksi bukanlah
tujuan apabila pendapatannya tidak meningkat sesuai dengan perkembangan
peningkatan kebutuhan mereka. Hal ini berbeda dengan faham pengembangan
organisasi petani di negara-negara maju, yaitu sebagai sumber membangun
energi kekuatan petani agar bisa dan kuat meningkatkan kemakmurannya.

Pendekatan pembangunan institusi semacam itu akhirnya membangun


perangkap sosial yang berbahaya untuk keberlanjutan pertanian. Perangkap
sosial tersebut terletak pada melembaganya tradisi berpikir bahwa kalau petani
tetap miskin adalah wajar saja karena mereka tidak memiliki sumber daya yang
cukup untuk membuat mereka menjadi lebih baik derajat kehidupannya.
Kemudian, dengan begitu maka berkembanglah pola ketergantungan petani
kepada pihak lain yang pada dasarnya mengambil manfaat yang lebih besar dari
para petani daripada jasa yang mereka berikan kepada petani. Artinya, petani
belumlah menjadi subyek dari pembangunan pertanian tetapi tetap saja sebagai
obyek.

Perjalanan sejarah kita, sejarah yang menihilkan status, peran, fungsi,


posisi dan kontribusi petani ini telah menyebabkan apa yang sering saya
gambarkan dalam perumpamaan sebagai berikut:

Petani ini ibarat sebatang kayu bakar yang sudah


habis terbakar, maka yang tertinggal hanyalah
abunya saja. Energinya sudah berubah menjadi
panas, asap, dan berbagai gas yang kembali
kepangkuan bumi-alam. Itulah akhir dari hukum
entropy sebagaimana diajarkan dalam pelajaran
fisika. Oleh karena itu, apabila kita melihat persoalan

8
pertanian ini dari sudut pandang entropy, maka untuk
membangun pertanian Indonesia sekaligus juga
mengembangkan sistem pangan, kita harus
memulainya dari awal lagi, yaitu memulai dengan
menanam pohon yang baru, yang mana abu tadi kita
pakai sebagai pupuk untuk menyuburkan organisme
yang baru ini.

Mungkin apa yang saya gambarkan di atas terlalu mengada-ada. Tetapi,


memang begitulah adanya: bagaimana mungkin kita melanjutkan perjalanan kita
ke depan dengan selamat apabila kita sudah menggunakan jalan tersebut
selama ini dan kita sudah mengetahui hasilnya dengan pasti: kita bakal gagal
lagi. Gagal ini diartikan sebagai trend kinerja yang menurun atau trend kinerja
pertanian yang tidak dapat mengatasi perkembangan kebutuhan rakyat yang
bergerak lebih cepat lagi. Saya sering menyebutnya bahwa kita harus bisa dan
kuat membalik arus dan gelombang sejarah agar kita bisa sampai di tujuan
sebagaimana telah dinyatakan dalam cita-cita kemerdekaan NKRI.

Membalik Arus dan Gelombang Sejarah:


Memuliakan Petani-Memuliakan Semua

Sebelum saya menguraikan isi bagian ini, saya menyitir tiga pandangan
tentang pertanian dari pemimpin Bangsa Barat, yang menurut persepsi kita
sering kita pandang sebagai bangsa industri atau bangsa yang tidak melihat
pertanian itu sebagai hal yang utama.

George Washington, Presiden Amerika Serikat-I menyatakan bahwa:

Agriculture is the most healtful, most useful and most noble


employment.

Sedangkan menurut Thomas Jefferson:

No occupation is so delightful to me as the culture of the earth, no


culture comparable to that of the garden.

Pandangan Benjamin Franklin lebih gamblang lagi dengan


membandingkan antara pertanian, menaklukan dan berdagang. Menurut
Franklin:

There seem to be but three ways for a nation to acquire wealth. The first
is by war, as the Romans did, in plundering their neighbors. This is
robbery. The second by commerce, which is generally cheating. The third
is by agriculture, the only honest way, wherein man receives as real
increase of the seed thrown into the ground, in a kind of continual
miracle, wrought by the hand of God in His favor, as reward for his
innocent life and his virtuous industry.

9
Membalik arus dan gelombang sejarah memulainya dengan menanam
akal-budi bahwa petani dan masyarakat yang menjadi subyek yang kita
bicarakan, bukan komoditas. Jadi, apabila pada masa lalu kita berbicara target
produksi padi meningkat X juta ton, maka sekarang adalah apa, berapa banyak,
kapan, dimana dan bagaimana petani mendapatkan manfaat apabila mereka
dimohon untuk mengalokaskan lahan, pemikiran dan tenaganya untuk mencapai
peningkatan produksi X juta ton tersebut.

Dengan perubahan cara pandang yang mengangkat para petani sebagai


subyek ini akan mengubah segala hal yang selama ini terabaikan. Perubahan
status dari obyek menjadi subyek membuka peluang untuk kesejajaran posisi
antara petani yang menghasilkan pangan dengan para pihak yang memerlukan
pangan. Jadi, kita menghargai bahwa posisi petani tidaklah lebih rendah dari
posisi siapapun sehingga mereka harus duduk di lantai sedangkan pihak lain
duduk di kursi tinggi. Dengan demikian, petani sebagai subyek memiliki
kemerdekaan untuk mengatakan ya atau tidak sesuai dengan pandangan
mereka.

Mungkinkah hal ini terjadi apabila sebagian besar dari petani itu
merupakan masyarakat miskin? Sebelum menjawab mungkin atau tidak
mungkin, data menunjukkan bahwa status petani yang memiliki posisi tidak lebih
rendah dari status profesi lainnya sebagaimana yang terjadi di negara-negara
maju ternyata memberikan laju kemajuan yang melahirkan masyarakat maju di
dunia. Ingat, yang pertama kali dilakukan oleh Abraham Lincoln juga
memerdekakan para budak dan mengembangkan pertanian dengan mengangkat
statusnya ke tempat yang sejajar dengan profesi lainnya. Jadi, selain secara
moral memang status petani itu tidak lebih rendah dari status profesi lainnya,
data pun mendukung bahwa dengan meningkatkan status petani ke tempat yang
semestinya suatu bangsa akan bisa mewujudkan kemajuan dibanding bangsa
yang menempatkan petani pada status dan posisi yang lebih rendah.

Kalau begitu, dimanakah letak persoalannya sehingga status petani dan


posisi petani ini lebih rendah dari yang lainnya? Apakah mungkin pertanian akan
maju dan ketahanan pangan akan meningkat apabila petaninya tetap atau
bahkan bertambah miskin?

Memang kita kelihatannya jarang membahas persoalan yang sifatnya


mendasar ini, atau bahkan kita juga mungkin menganggap tabu untuk
membahasnya. Atau, apakah mungkin kita juga sudah lupa asal-usul kita yang
sebagian besar berasal dari keluarga petani dan leluhur kita juga bermukim di
perdesaan? Padahal, setiap perubahan memerlukan pemimpin yang memiliki
tali batin dengan masyarakat yang memilihnya sebagai pemimpin mereka.
Kuatnya tali batin inilah yang akan terus secara turun-temurun akan
membangkitkan perjuangan untuk mengubah perjalanan sejarah pertanian ini.
Siapa yang memiliki tali batin yang kuat dengan para petani dan penduduk
desa?

10
Dalam perjalanan sejarah yang sifatnya membalik arus dan gelombang ini
halangan terbesar adalah cara pandang yang membuat pertanian dengan non-
pertanian atau petani dengan non-petani diposisikan secara bertentangan alias
dikotomi. Padahal, keduanya itu menyatu dan komplemen, keduanya saling
mendukung. Kembali lagi, hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan di
negara-negara maju. Negara-negara berkembang biasanya terperangkap oleh
tradisi kolonial yang terus dilanjutkan hingga sekarang, yaitu berlaku seperti
asing terhadap pertanian di negaranya dan membuka pintu yang lebar bagi
komoditas pertanian yang dihasilkan di negara-negara maju, sehingga kita lebih
mengenal produk-produk pertanian impor daripada hasil bumi-alam sendiri.

Perubahan status petani sebagaimana diuraikan tidak akan


menyelesaikan persoalan dalam satu malam. Yang paling penting dari hal ini
adalah kita sudah berada pada posisi dan arah yang benar. Persoalan berikutnya
adalah bagaimana petani meningkatkan kapabilitasnya—ini adalah persoalan
kemampuan dan kesempatan, bukan lagi persoalan status. Kemampuan petani
akan cepat meningkat apabila negara mengembangkan sistem sebagaimana
yang telah diciptakan oleh Abraham Lincoln atau Franklin D. Roosevelt; atau
yang dikembangkan di Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Cina dan negara-
negara lainnya. Tentu saja, kita olah semuanya itu sehingga menjadi sesuatu
yang orisinal hasil Indonesia yang cocok untuk Indonesia. Saya gunakan istilah
Negara, bukan Pemerintah, mengingat persoalan pangan dan pertanian ini
bukan sekedar persoalan pemerintah, tetapi juga persoalan yang berkaitan
dengan DPR, BPK, Bank Indonesia, dan masyarakat pada umumnya: persoalan
kita semua.

Memuliakan petani pada dasarnya adalah membalas budi kepada pihak


yang telah memberikan syariat kehidupan bagi kita semua, sehingga kita bisa
mengerjakan pekerjaan yang lain (yang kita suka mengerjakannya), dan kita
mengetahuinya pula dengan pasti bahwa para petani yang menghasilkan
makanan bagi kita itu, hidupnya mungkin bertambah miskin. Inilah modal spiritual
kita untuk bisa membalik arus dan gelombang sejarah pertanian kita,
mengembalikannya dari ”abu” menjadi ”tanaman kembali”. Hal lain hanyalah
bersifat teknis saja.

Investor yang Mengubah Abu menjadi Tanaman Baru

Mengapa petani menjadi abu? Salah satu penyebabnya adalah begitu


ganasnya hukum uang yang dinyatakan dalam sistem bunga berbunga—
compounding interest rate, yang tidak mampu diikuti oleh ”hukum alam”, yaitu
fungsi produksi di sektor riil seperti pertanian. Kita menyaksikan bahwa hukum
uang itu sifatnya eksponesial, sedangkan hukum alam itu gerakannya logaritmik.
Hal dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Nilai

11
Nilai bunga

Sektor
riil

Waktu

Gambar 1. Hubungan antara gerakan waktu dengan nilai bunga berbunga


dengan nilai sektor riil.

Gambar 1 menunjukkan bahwa sektor nilai rill gerakannya cepat pada


awalnya tetapi kemudian berkurang dan pada akhirnya cenderung menurun
sejalan dengan waktu. Apabila bunga pinjaman modal 14 %/tahun, maka nilai
pinjaman Rp 1 akan menjadi Rp 2 pada tahun ke-5. Apabila bunganya itu 30 %
pertahun, maka nilai pinjaman akan menjadi dua kali dari nilai awal, misal Rp 1,
sebelum tahun ke-3 tiba. Sedangkan kalau bunga 10 %, maka nilai hutang kita
akan menjadi dua kalinya pada tahun ke-7 tiba. Untuk usaha pertanian, apalagi
usaha pertanian yang sifatnya tanaman tahunan seperti karet, maka bunga tinggi
itu akan sangat memberatkan petani. Pasar modal di negara-negara
berkembang biasanya mengenakan bunga yang tinggi, maka tidaklah
mengherankan apabila kehidupan petani akan semakin miskin sebagaimana
yang kita saksikan sekarang. Bukan hanya itu, kehidupan masyarakat
perdesaan pada umumnya akan semakin sulit apabila bunga tinggi tetap
dijadikan instrumen dalam pasar modal kita. Dengan model ini kita tidak
mungkin bisa mengubah abu menjadi tanaman baru. Bahkan, modal pertanian
akan sangat cepat terkuras dan tersedot ke kota-kota oleh kekuatan pasar uang
yang luar biasa besarnya, yang meninggalkan kemiskinan dan keterbelakangan
di desa-desa.

Selama ini petani sebagai investor langsung—mengalokasikan lahan,


tenaga dan modalnya, termasuk kesabarannya untuk menunggu panen sekitar 4
bulan untuk padi atau sekitar 5 tahun atau lebih untuk karet. Dalam
menginvestasikan modalnya petani biasanya enggan menggantungkan dirinya
pada pinjaman mengingat bunganya yang tinggi, disamping petani tidak memiliki
agunan serta petani sering dipandang tidak bankable. Sebenarnya, tidak

12
bankable-nya pertanian ini bukanlah sebab, tetapi akibat dari sistem yang
berjalan selama ini.

Fenomena di atas menjelaskan mengapa terjadi underinvesment dalam


bidang pertanian di negara-negara berkembang.

Apa jalan keluar dari fenomena di atas? Jalan keluarnya adalah kita harus
mengembangkan sistem yang mampu menggantikan sistem ”jual-beli” modal
(pinjam-meminjam) menjadi sistem ”investasi bersama” dengan petani. Model ini
dapat dikatakan sebagai model syariah atau model bagi hasil. Artinya, negara
membangun sistem dimana petani bisa mendapatkan mitra kerja yang sejajar
dengannya, yaitu mitra kerja yang berstatus dan berperilaku sebagai investor
sebagaimana yang dilakukan petani. Secara khusus hal ini perlu menjadi bidang
usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi pelopor sebagai mitra
petani.

Dewasa ini sedang dikembangkan model dimaksud dimana BUMN Pupuk


(Pupuk Kujang), benih (Sang Hyang Seri), air (Jasa Tirta), dan PT. Pertani serta
perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pergudangan untuk berinvestasi
bersama petani. Model sementara mencapai kesepakatan bagi hasil sebagai
berikut: 40 % petani, 40 % investor, 10 % koordinator dan 10 % jasa air,
semuanya diukur oleh gabah. Dalam model ini petani tidak mengeluarkan dana
dalam memenuhi kebutuhan modal usahanya.

Tahapan berikutnya akan dikembangkan semacam Badan Usaha Milik


Petani (BUMP) yang akan menjadi mitra BUMN atau BUMS. Modal yang
dikumpulkan bersumber dari surplus usaha yang diinvestasikan dalam BUMP,
beserta modal yang diinvestasikan oleh BUMN atau BUMS. BUMP ini
dipandang sebagai wadah mengumpulkan energi seluruh masyarakat agar bisa
terkumpul potensi dan kemampuan mengangkat/memutar (leverage) yang besar.
Sebagai ilustrasi, apabila kita mengharapkan dapat mengolah semua hasil dari
padi seperti: beras, sekam padi untuk listrik, bekatul untuk stabilized rice bran,
abu sekam untuk bahan baku industri, menir menjadi tepung, dan produk
lainnya, untuk areal 10.000 ha diperlukan modal sekitar Rp 450 miliar. Dengan
modal ini, kita akan mendapatkan nilai penjualan lebih dari Rp 1.02 triliun dalam
setahun.

Apakah mungkin kita menciptakan sistem semacam itu?

Kembali kita harus melihat dunia di sekeliling kita agar kita tidak menjadi
seperti katak di bawah tempurung. Menyebut beberapa saja, di Israel kita
mengenal Kibutz, di Amerika Serikat kita juga menemukan banyak perusahaan
petani seperti US Crystal Sugar Company. Jadi, membangun BUMP secara
prinsip adalah memungkinkan. Sekarang, hanya tinggal apakah kita bisa
mewujudkan gagasan ini menjadi suatu kenyataan atau tidak.

13
Tanpa kita memasukkan pendapatan di luar gabah atau beras, apabila
sinergi antar semua pihak dapat diwujudkan sehingga produktivitas lahan sawah
meningkat 2 ton per hektar, kita akan memperoleh gambaran sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.

PENINGKATAN PENDAPATAN K.N.BUMN

DARI MODEL SAAT INI KE MODEL BUMP


(Hasil Akhir Dalam Bentuk Gabah Kering Panen/GKP)

Uraian Model Saat Ini Model BUMP Peningkatan Persentase

1 2 3 4 =3 - 2 5
Luas areal Usaha 1 Ha 1 Ha -- --

Produktivitas GKP/Ha 4,5 ton 6,5 ton 2 ton --

Hasil Panen (Rp2.000/kg) Rp 9.000.000,- Rp 13.000.000,- Rp 4.000.000,- --

Biaya On Farm Rp 3.966.000,- Rp 3.966.000,- -- --

Pendapatan Petani Rp 5.034.000,- Rp 8.720.938,- Rp 3.686.938,- 94,89 %

Pendapatan Investor Rp 1.678.500,- Rp 1.820.000,- Rp 141.500,- 3,64 %

Pendapatan Perbankan Rp 2.401.875,- Rp 2.459.063,- Rp 57.188,- 1,47 %

Total Nilai Tambah Pendapatan (dalam bentuk GKP) Rp 3.885.626,- 100,00 %


Total Nilai Tambah Pendapatan (dalam bentuk BERAS) Rp 4.770.000,-
Dengan pembentukan BUMP Perintisan di Indramayu seluas 120.000 Ha, maka
14
diperkirakan Nilai Tambah Pendapatan (Petani, Investor & Perbankan) Rp 465,6 miliar

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa per 10.000 hektar, apabila kita


bisa memanfaatkan lima jenis produk dari padi, yaitu: beras, tepung menir, listrik
dari sekam padi, stabilized rice bran, dan abu sekam maka dapat diperoleh
selain nilai ekonomi sebagaimana disebutkan di atas, juga akan tercipta
lapangan pekerjaan untuk 10 orang sarjana per unit BUMP dengan skala 10.000
ha serta berkembangnya kesempatan kerja bagi masyarakat luas.

Selain itu, penggunaan sekam padi untuk sumber energi perdesaan akan
meningkatkan indeks pengembangan energi perdesaan yang bersumber dari
bahan energi terbarukan dan tersedia secara lokal. Sebagai ilustrasi, dari setiap
ton gabah tersedia sekam sekitar 220 kg yang akan menghasilkan energi sekitar
150 Kwh. Kebutuhan untuk menggiling padi menjadi beras per ton dibutuhkan
energi sekitar 30-50 Kwh. Jadi, masih ada surplus energi. Dengan produksi 55
juta ton gabah, Indonesia memiliki potensi sekam untuk energi listrik sekitar 8200
Gwh. Potensi ini sangatlah strategis mengingat potensinya untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia, khususnya bagi yang bermukim di perdesaan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setiap indeks pengembangan energi meningkat 1
%, maka indeks pengembangan sumberdaya manusia akan meningkat sekitar 1

14
%. Jawa Barat memiliki potensi yang besar untuk mendapatkan manfaat dari
keberadaan lumbung padi di wilayah kita ini.

Gambar 2.

Pembentukan BUMP

PT Pupuk Perum Jasa PT Pupuk


Kujang Tirta I Kaltim

BUMS
PT Pusri BUMP X
Petani sbg
PT Sang INTI BUMD/PERUSDA
Hyang Seri

BULOG &PT Pertani Perum Jasa


Tirta II
Konsorsium mendirikan perusahaan (PT BUMP X) dimana petani sebagai INTI. Salah satu atau
kelompok BUMN menjadi Badan Pendiri BUMP X dengan mempelopori petani untuk menjadi
bersatu dalam BUMP X. Petani dirancang sebagai pemilik saham mayoritas dengan menciptakan
peluang ke arah tujuan tersebut. Pengelola BUMP adalah profesional.

9/13/2007 7

Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa petani sebagai INTI dari BUMP


mengingat secara organisasi petani sebagai satu kesatuan memiliki nilai asset
yang lebih besar, khususnya asset yang tidak dapat dinilai dengan uang. Dalam
bentuk nilai stok (sawah) dan aliran barang (gabah/beras) per 10.000 ha masing-
masing nilainya Rp 60 milyar (asumsi nilai sewa tanah sawah/ha Rp 6 juta/tahun)
dan Rp 125 milyar (asumsi hasil gabah 5 ton/ha dan harga gabah Rp 2500/kg).
Untuk bisa memanfaatkan asset ini secara optimal dan untuk mempercepat laju
industrialisasi perdesaan maka BUMN perlu mengambil inisiatif sebagai lembaga
pendiri BUMP ini.

Dengan kerangkan pemikiran di atas maka kita akan memiliki kekuatan


untuk membangun kembali pertanian yang sekarang ini sudah menjadi abu.
BUMP merupakan lembaga usaha yang perlu diciptakan untuk instrumen agar
investasi dapat berkembang di perdesaan. Mengingat struktur pasar modal
kurang mendukung sektor pertanian, maka diperlukan modalitas baru yang
sesuai dengan kondisi sosial ekonomi pertanian dan perdesaan kita. Dengan
BUMN mengambil inisiatif menjadi Badan Pendiri BUMP, maka akan tercipta
modalitas baru untuk merancang dan mengembangkan investasi besar dalam
proses industrialisasi pertanian dan perdesaan.

15
Lembaga Regulator

Pengertian lembaga legulator dalam tulisan ini adalah lembaga yang


memiliki kekuatan yang cukup untuk membalik arus dan gelombang sejarah
pangan dan pertanian kita. Kekuatan ini tidak semata-mata terletak pada
kekuasaan yang bisa mengatur alokasi dan distribusi sumberdaya dengan
menggunakan kekuatan fisik atau police power. Pada masa mendatang,
kekuatan yang kita perlukan adalah kekuatan untuk melakukan inovasi dan
proses kreativitas untuk menciptakan bukan hanya nilai tambah, tetapi kekuatan
yang juga mampu mendistribusikan manfaatnya secara adil. Di sinilah letak
strategis dari keberadaan dan kemampuan organisasi petani dan badan usaha
yang dimiliki oleh petani dengan mitra kerjanya yang bisa bersenyawa dengan
kepentingan petani.

Peran Pemerintah tetap penting. Bahkan, Pemerintah memiliki posisi,


fungsi dan kekuatan yang sangat besar dalam menentukan arah pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan pada masa mendatang. Kekuatan tersebut
bukan harus diwujudkan dalam regulasi yang menghambat proses investasi,
melain kekuatan yang menumbuhkan iklim investasi yang subur, sehat dan kuat
bagi para investor mau bekerjasama dengan petani. Pembicaraan dengan Bupati
Ngawi baru-baru ini memberikan pelajaran bahwa kekuatan Pemerintah
Kabupaten Ngawi terletak pada peran Bupati Ngawi dalam mengundang investor
untuk masuk dan bekerjasama dengan para petaninya. Bupati Ngawi bukan
hanya mempermudah proses perizinan tetapi membebaskan seluruh biaya
perizinan demi tumbuhnya investasi dalam bidang pengolahan padi di kabupaten
ini. Hasilnya yang segera dapat dilihat adalah bahwa investor dari Singapura
sedang dalam proses membangun industri pengolahan gabah di kabupaten ini
dengan kapasitas olah 930 ton gabah/hari dan nilai investasi sekitar Rp 67 miliar.

Selanjutnya, baru-baru ini juga saya berjumpa dengan beberapa orang


industriawan Indonesia yang menanamkan modalnya di bidang industri
pengolahan gabah di Thailand. Industriawan ini menjelaskan bahwa mereka
enggan menanamkan modalnya di Indonesia mengingat ruwet dan kurang
terjaminnya investasi di Indonesia. Dengan kenyataan demikian, saya pikir, kita
perlu mawas diri agar investor mau bekerjasama dengan petani dan kita semua.

Pengalaman di bidang pergulaan juga menunjukkan bahwa kebijaksanaan


Pemerintah yang tepat akan berdampak positif pada kinerja pertanian di
Indonesia. Dengan adanya kebijaksanaan yang bisa mengintegrasikan antara
impor dan produksi nasional, ternyata dalam tempo 3 tahun kita dapat
meningkatkan produksi gula sekitar 600 ribu ton. Selain itu, para petani tebu
telah menikmati hasil keringatnya melalui pendapatan mereka yang meningkat
dan para investor juga tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang
pergulaan. Dewasa ini kita sedang menyiapkan investasi sekitar Rp 9.4 triliun
untuk membangkitkan kembali industri pergulaan kita.

16
BUMN yang bergerak di bidang agroindustri, khususnya BULOG memiliki
potensi yang besar dalam usaha kita meningkatkan sistem ketahanan pangan
dan sekaligus juga meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani
apabila kita bisa merancang kebijaksanaan yang mampu membalik arus dan
gelombang sejarah pertanian dan sistem pangan kita. Kita harus mengkaitkan
secara komprehensif antara kebutuhan impor dan peran BULOG dalam
meningkatkan produksi pangan nasional. Misalnya, setiap 1 ton impor beras,
BULOG harus meningkatkan produksi beras minimal 2 ton. Maka, dalam jangka
waktu yang tidak lama, produksi beras kita akan meningkat karena
kebijaksanaan ini akan mendorong BULOG untuk kreatif dan bekerja keras
secara terfokus dan bersinergis dengan BUMN lain dan dengan petani.
Hubungan BULOG dengan petani harus menjadi seperti ikan dengan air.

Penutup

Revitaliasi pertanian pada dasarnya adalah usaha menghidupkan kembali


pertanian kita yang sudah menjelang kematian. Konsep revitalisasi berbeda
dengan konsep reformasi, transformasi atau restrukturisasi, yaitu dalam konsep
revitalisasi terkandung makna adanya ruh baru. Ruh baru ini adalah kehidupan
baru. Ruh baru ini yang akan membalik arus dan gelombang sejarah pertanian
kita pada masa mendatang. Jadi, tepatlah kita menggunakan istilah soal hidup
atau mati, apabila pembangunan pertanian dan ketahanan pangan yang kita
maksud ini adalah revitalisasi pertanian.

Inti dari revitalisasi pertanian ini adalah masyarakat petani itu sendiri.
Itulah intinya kehidupan pertanian. Mengingat kondisi pertanian pangan kita
sudah menjadi abu, sudah menjelang ajal, atau bahkan sudah banyak yang mati,
maka BUMN perlu menjadi lembaga pendiri atau penghidup kebangunan
pertanian kita. Instrumen yang sangat strategis adalah badan usaha yang dimiliki
petani, sebagaimana para usahawan swasta memiliki badan usaha sebagai
kendaraannya untuk mencapai kemajuan dan kemakmurannya.Hal yang sama
berlaku juga untuk petani. Hal inilah yang harus segera kita kerjakan. Gagasan
ke arah itu sudah matang dan mantap, tinggal apakah kita mau, bisa dan kuat
untuk mewujudkannya. Dengan ini ketahanan pangan kita akan meningkat dan
pertanian kita akan hidup subur kembali.

Sebagai ungkapan perasaan, pada bagian akhir penutup ini saya


sampaikan sebuah puisi yang saya ciptakan sendiri dan saya bacakan pada
Munas pendirian Asosiasi Petani Padi Palawija di Jawa Timur, 3 September 2007
yang lalu. Mudah-mudahan bermanfaat.

Terima kasih.

Wasalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh.

17
TERPUJILAH PETANI

Agus Pakpahan

Berabad-abad matahari membakar punggung mu


Kau bungkukan tubuhmu mencangkul tanah, menebar benih menanam biji
Peluh mengalir di seluruh tubuhmu dan bertanya:
“Dimana tempat anak-cucuku akan berlabuh?
Dimana hari tua ku dan anak-istriku akan berakhir?”

Ia tak bisa menjawabnya.

Hari demi hari dihitungnya,


Musim demi musim datang-pergi silih berganti
Angin timur, angin barat, angin utara, angin selatan membawa derajat
Petani terus mengabdi tiada henti, dan darahnya bertanya:

“Dimana hari-hari kemarin?


Apakah hari-hari mendatang masih akan sama dengan hari-hari kemarin?”,

Ia tak mampu menjawabnya.

Di sore hari ia termenung, setelah sembahyang memuja Sang Pencipta siang


dan malam
Gemercik air yang keluar dari pancuran di belakang rumahnya terus
menghibur sambil berkata:

“Janganlah kamu melamun menatap kosong,


Bacalah dan bacalah, berpikirlah dan berpikirlah, galilah dan galilah,
Dari setiap butir benih yang kau tanam, dari setiap rumpun padi yang kau
pelihara, dari setiap petak sawah yang kau airi, dari setiap ton padi
yang kau panen: Apa yang kau dapat?

Ia tak bisa menjawabnya.

Sang subuh datang menjelang, matahari menerangi sawah-ladang


Dapur-dapur petani sudah lama tidak mengepulkan asap
Abu dapur yang dulu biasa dipakai memupuk pun sudah tak ada
Apalagi pupuk-pupuk kandang yang diangkut dari hasil ternaknya sendiri
Semua sudah diganti oleh hasil teknologi dari tanah sebrang lautan
Yang membuat tanah-tanah makin miskin tetapi membuat mereka tambah
kaya
Padi hibrida pun kita datangkan dari negeri utara

Dan Sang Air pun bertanya:

“Aku tak mengerti, mengapa Tanah Jawa yang dulu bergelar Jawadwipa
sekarang kehilangan sukma? Mengapa dulu kita ekspor beras ke negeri
utara, tetapi sekarang sebaliknya? Tak malukah kita oleh negeri tetangga?
Tak malukah kita terhadap anak-cucu kita?”

18
Ia tak bisa menjawabnya.

Hari berganti hari,


Padi diganti palawija dan palawija berganti padi, air mengalir—air berhenti
Perubahan kehidupan petani tak juga terjadi—air bahkan makin mengering
dan tanah- tanah merekah kering kerontang. Ini sudah lama berselang.
Sang Padi dan Palawija pun akhirnya bertanya:
“Mengapa kau tak melihat aku dengan akal-budimu, wahai petani?”,
“Dekatkanlah dirimu dengan Tuhanmu, beranilah menyebarkan
kebenaran, bangunlah persatuan dan kesatuan dengan dasar
persaudaraan, ikhlaskanlah hatimu untuk saling bahu membahu,
tajamkanlah perasaanmu untuk bisa mendengarkan bisikan alam,
sadarkanlah bahwa dirimu adalah gurumu dan gurumu adalah dirimu,
kuasailah dunia dengan ilmu”.

Sekarang ia bisa menjawabnya:

“Aku mengerti sekarang ini


Wahai seperti engkau, sang padi
Kau beranak pinak menjadi rumpun-rumpun padi penuh arti
Kau bersatu menyatu menjadi sapu padi
Kau memiliki ilmu padi
Memberi kemakmuran kepada kami dan saudara-saudara kami
Maka kami membentuk Asosiasi Petani Padi Palawija Indonesia
Sebagai wadah perjuangan petani di seluruh pangkuan Ibu Pertiwi
Untuk membangun Negeri”.

Kita melihat awan hitam bergerak menjauh meninggalkan Indonesia.


Kita merasakan desiran angin membawa berita suka cita
Berkah akan menebar-menyebar ke seluruh Bumi Nusantara
Sungai-sungai bergemuruh datang menyambut
Gunung-gunung berseru: “ Selamat, bangunlah negrimu wahai asosiasi
petani!”
Gelombang laut pun bergelora, berteriak:”Singsingkan lengan bajumu, aku
akan membantu!”
Seluruh isi bumi-alam bersorak:”Terpujilah Petani, Indonesia Raya Tetap
Jaya, Merdeka!”

Kita telah menjawabnya.

Kun kata Allah, kun fayakun.

Surabaya, 2 September 2007: 23.45 PM

19

You might also like