Professional Documents
Culture Documents
Agus Pakpahan
Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati ini bukanlah istilah baru.
Istilah yang saya ambil dari pidato Presiden Soekarno pada peletakkan batu
pertama pembangunan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun
1
Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun Universitas
Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.
1
1952, lebih dari 55 tahun yang lalu. Pada era Presiden Soeharto, istilah
swasembada pangan menggantikan istilah berdikari, dan dunia sepakat bahwa
Indonesia pernah mencapai status swasembada beras pada tahun 1984, atau
sekitar 20 tahun setelah tahun 1965. Isu pangan sebagai soal hidup atau mati,
atau isu swasembada atau berdikari, saya pikir perlu kita angkat lagi ke
percaturan ekonomi-politik globalisasi yang kita hadapi.
Saya angkat lagi isu swasembada atau berdikari ini sebagai isu sentral
mengingat semua negara maju juga dicirikan oleh swasembada mereka di
bidang pemenuhan pangan pokoknya. Bahkan sudah menjadi pengetahuan dan
praktek umum bahwa gandum, beras atau gula serta jenis pangan pokok lainnya
yang masuk ke pasar dunia adalah kelebihan produksi atau stok yang ada di
setiap negara, sehingga pasarnya dinamakan residual market. Hal ini
menunjukkan berlakunya hukum atau dalil yang kiranya menyatakan bahwa
suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran
apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan
pendudukunya secara baik.
2
kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud
menerima keadaan tersebut terus terjadi. Masih untung negeri kita tidak seperti
apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi
makhluk yang mulia.
Dalam banyak hal kita ini sering berada dalam situasi kepentingan yang
saling bertentangan. Bahkan dalam kondisi tertentu kita juga sering lupa bahwa
sesuatu itu penting. Karena lupa, maka hal tersebut tidak termasuk dalam daftar
yang harus kita putuskan atau harus kita kerjakan. Misalnya, bagi seseorang
yang memang tingkat kehidupannya sudah tergolong kaya, maka pangan
bukanlah hal penting dalam gugus pengambilan keputusannya. Hal ini
diperlihatkan oleh pangsa pengeluaran pangannya yang sangat rendah dari
seluruh jenis pengeluarannya. Fenomena ini dikenal dengan hukum Working
yang menunjukkan adanya hubungan terbalik antara tingkat pendapatan dengan
pengeluaran pangan. Sebaliknya untuk rumah tangga yang masih harus bergelut
dengan isi perut, hampir seluruh pendapatannya. Bahkan banyak pula di antara
anggota masyarakat kita yang harus berhutang atau tidak makan karena mereka
tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkannya.
Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan
kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai
petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan
pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini
sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi
begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita
3
adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita
bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas.
Negeri Cina pernah mengalami masa-masa yang sangat sulit. Lebih dari
27 juta orang meninggal dunia akibat kelaparan dalam selang waktu 1959-1963,
saat mereka menjalani tahap awal Revolusi Kebudayaan. Persoalan mengapa
hal tersebut terjadi juga sederhana: mengarang statistik pangan untuk
mendapatkan ”Asal Bapak Senang”2. Akhirnya, prediksi produksi pangan
meningkat padahal kenyataan yang terjadi sebaliknya. Akibatnya untuk jangka
waktu yang lama bangsa Cina di negaranya mengalami kesulitan pangan
pokoknya.
2
Lihat Amartya Sen, 1987. “Food and Freedom”, Sir John Crawford Lecture, Washington, D.C., October
29, 1987.
4
Kelimpahan pangan di Eropa Barat atau di Amerika Serikat pun yang
menjadi simbol kemakmuran sekarang bukan berkat yang datang dari langit
begitu saja. Kelimpahan pangan di belahan bumi ini hasil dari menempatkan
pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah
soal hidup atau mati bangsa ini. Kita mengenal sejarah kelaparan bangsa
Irlandia pernah mengalami kelaparan yang menelan korban diperkirakan
mencapai 2 juta jiwa. Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di
Amerika Serikat, bangsa Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan.
Abraham Lincoln-lah yang menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang
punggung pertanian di Amerika pada saat itu. Kemudian Abraham Lincoln
menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di Amerika Serikat, yaitu:
Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani mendapatkan lahan per
luasan 64 hektar; Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di seluruh
negara bagian, dan membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenal
dengan United States Department of Agriculture. Lankah besar Abraham Lincoln
ini diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment
Act 1933 yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya.
Pandangan yang ”memuliakan” pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi
untuk negara-negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan.
Di belahan bumi lainnya, yaitu Afrika Selatan, yang mana negara ini baru
saja melepaskan diri dari politik warna kulit (apartheid), juga melahirkan
kebijakan-kebijakan yang sudah ”memuliakan” pertanian. Pada tahun 2002, di
Afrika Selatan terbit Undang-Undang: Land and Agricultural Development Bank
Act 2002. Dalam UU ini dengan sangat jelas ditulis: (1) menimbang bahwa
praktek apartheid dan hukum yang rasialis pada masa lalu telah merugikan
historically disadvantage people dari lahan yang mengakibatkan mereka
tersingkirkan dari sektor pertanian dan menyebabkan ketimpangan pemilikan
lahan yang terjadi secara rasial di Afrika Selatan, (2) Dalam rangka mengubah
pola kepemilikan lahan dengan mengembangkan/mendorong lebih besar
partisipasi dalam sektor pertanian oleh historically disadvantage people dan
kepemilikan lahan oleh kelompok ini melalui penyediaan jasa keuangan yang
tepat. Paling tidak UU ini membangun landasan baru bagi petani miskin di Afrika
Selatan mendapatkan harapan baru akan masa depan yang lebih baik. Kita
mengenal kemajuan yang pesat di wilayah ini, khususnya dalam bidang
pergulaan dan industri lainnya yang berbasis tebu.
Sekarang, mari kita lihat negeri tetangga kita. Thailand pertaniannya relatif
lebih maju dari kita. Di Thailand, selain kemajuan dalam berbagai hal, kita juga
diperlihatkan oleh keberadaan Bank Pertanian mereka yang diberi nama Bank
for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ). Karena sebagai bank
pertanian, maka BAAC sangatlah dekat dengan petani. Hal yang serupa juga
terjadi di Malaysia. Kita mengenal Malaysia sebagai ”Raja Sawit” dunia dengan
5
segala kemajuannya. Vietnam juga menyalip kita di bidang kopi, sedangkan
Srilanka mengalahkan kita dalam hal teh dan kelapa.
Pengalaman Kita
Mari kita uji hipotesa tersebut. Kita mulai dari Thailand. Bangsa ini secara
orisinal membangun negerinya dengan menjadikan pertanian rakyat sebagai
landasan perekonomiannya. Lihat pabrik-pabrik gula di negeri Gajah Putih ini,
semua tebunya berasal dari petani. Pengusaha besar dengan semangat
kebersamaan dan saling-sayang, membangun industri pengolahan, pasar dan
sektor modernnya. Apa yang dikerjakan Malaysia? Malaysia juga berkonsentrasi
di pertaniannya. Para petani dibantu dan mereka berkonsentrasi di bidang yang
mereka kuasai: Kelapa sawit. Walaupun kelapa sawit ini berasal dari Kebun
Raya Bogor, tetapi bagaimana serangan kilat Malaysia mengambil posisi kelapa
sawit dunia. Sekarang, Malaysia sudah menguasai perkebunan-perkebunan
kelapa sawit di Indonesia. Vietnam memberikan contoh yang unik dalam
berperang melawan penjajahnya. Orisinalitas terletak pada gagasan menjadi
”cacing tanah” untuk mengalahkan tentara-tentara asing di negerinya. Berhasil!
Sekarang dengan strategi pertaniannya juga berhasil mengejar kita. Amerika
Serikat, Jepang dan Eropa Barat serta negara-negara maju yang tergolong
dalam organisasi OECD sudah sangat jelas memulikan pertaniannya. Sebagai
3
Agus Pakpahan, 2007. Freedom for Farmers Freedom for All. Ideals, Bogor.
6
gambaran, pada tahun 2001 negara-negara OECD mengalokasikan subsidi buat
pertanian mencapai US $ 311 milyar.
Apa yang menjadi tema besar kita dalam pembangunan pertanian? Kalau
kita amati bahwa Indonesia juga sudah banyak membangun pertaniannya, tetapi
pembangunannya itu terlepas dari strategi besar secara keseluruhan. Akibatnya,
satu sektor dengan sektor lainnya saling tarik menarik atau saling
menghilangkan. Mirip yang terjadi dengan negara-negara yang belum maju,
yang sebagian besar mengisi daftar negara-negara di dunia, adalah bahwa
sektor pertanian yang didominasi oleh petani kecil sering dikalahkan. Dalam
bidang pertanahan misalnya, apabila di Amerika Serikat (negara kapitalis), lahir
Homestead Act 1862, maka di Hindia Belanda lahir Agrarischwet 1870, yaitu
undang-undang pertanahan yang melandasi perkebunan besar. Kurang-lebih
100 tahun kemudian atau tepatnya 1967 dilahirkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan, yang memberikan konsesi hak pengusahaan hutan
(HPH) kepada para pengusaha, dan selanjutnya pada awal 1980-an lahir
kebijaksanaan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang menjadi cikal-
bakal perkebunan besar swasta yang menggurita pada saat ini.
Perlu saya kemukakan bahwa saya tidak anti perusahaan besar. Yang
ingin saya sampaikan bahwa kita belum berhasil menyelesaikan persoalan
warisan sejarah kolonialisme, yaitu adanya sistem ekonomi dualistik yang
membahayakan situasi nasional kita pada masa mendatang. Bidang produksi
pangan yang sebagian besar dikerjakan oleh para petani gurem, yang dipandang
kurang menguntungkan tidak mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh
apabila dilihat dari kaca mata penyatuan struktur ekonomi nasional. Sektor
tradisional dengan sektor modern dibiarkan berhadapan dan sudah sangat jelas
terlihat akibatnya bahwa sektor tradisional akan dikalahkan. Hal inilah yang
7
menjadi penyebab utama ”kemunduran” pertanian kita, khususnya di bidang
pangan.
8
pertanian ini dari sudut pandang entropy, maka untuk
membangun pertanian Indonesia sekaligus juga
mengembangkan sistem pangan, kita harus
memulainya dari awal lagi, yaitu memulai dengan
menanam pohon yang baru, yang mana abu tadi kita
pakai sebagai pupuk untuk menyuburkan organisme
yang baru ini.
Sebelum saya menguraikan isi bagian ini, saya menyitir tiga pandangan
tentang pertanian dari pemimpin Bangsa Barat, yang menurut persepsi kita
sering kita pandang sebagai bangsa industri atau bangsa yang tidak melihat
pertanian itu sebagai hal yang utama.
There seem to be but three ways for a nation to acquire wealth. The first
is by war, as the Romans did, in plundering their neighbors. This is
robbery. The second by commerce, which is generally cheating. The third
is by agriculture, the only honest way, wherein man receives as real
increase of the seed thrown into the ground, in a kind of continual
miracle, wrought by the hand of God in His favor, as reward for his
innocent life and his virtuous industry.
9
Membalik arus dan gelombang sejarah memulainya dengan menanam
akal-budi bahwa petani dan masyarakat yang menjadi subyek yang kita
bicarakan, bukan komoditas. Jadi, apabila pada masa lalu kita berbicara target
produksi padi meningkat X juta ton, maka sekarang adalah apa, berapa banyak,
kapan, dimana dan bagaimana petani mendapatkan manfaat apabila mereka
dimohon untuk mengalokaskan lahan, pemikiran dan tenaganya untuk mencapai
peningkatan produksi X juta ton tersebut.
Mungkinkah hal ini terjadi apabila sebagian besar dari petani itu
merupakan masyarakat miskin? Sebelum menjawab mungkin atau tidak
mungkin, data menunjukkan bahwa status petani yang memiliki posisi tidak lebih
rendah dari status profesi lainnya sebagaimana yang terjadi di negara-negara
maju ternyata memberikan laju kemajuan yang melahirkan masyarakat maju di
dunia. Ingat, yang pertama kali dilakukan oleh Abraham Lincoln juga
memerdekakan para budak dan mengembangkan pertanian dengan mengangkat
statusnya ke tempat yang sejajar dengan profesi lainnya. Jadi, selain secara
moral memang status petani itu tidak lebih rendah dari status profesi lainnya,
data pun mendukung bahwa dengan meningkatkan status petani ke tempat yang
semestinya suatu bangsa akan bisa mewujudkan kemajuan dibanding bangsa
yang menempatkan petani pada status dan posisi yang lebih rendah.
10
Dalam perjalanan sejarah yang sifatnya membalik arus dan gelombang ini
halangan terbesar adalah cara pandang yang membuat pertanian dengan non-
pertanian atau petani dengan non-petani diposisikan secara bertentangan alias
dikotomi. Padahal, keduanya itu menyatu dan komplemen, keduanya saling
mendukung. Kembali lagi, hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan di
negara-negara maju. Negara-negara berkembang biasanya terperangkap oleh
tradisi kolonial yang terus dilanjutkan hingga sekarang, yaitu berlaku seperti
asing terhadap pertanian di negaranya dan membuka pintu yang lebar bagi
komoditas pertanian yang dihasilkan di negara-negara maju, sehingga kita lebih
mengenal produk-produk pertanian impor daripada hasil bumi-alam sendiri.
Nilai
11
Nilai bunga
Sektor
riil
Waktu
12
bankable-nya pertanian ini bukanlah sebab, tetapi akibat dari sistem yang
berjalan selama ini.
Apa jalan keluar dari fenomena di atas? Jalan keluarnya adalah kita harus
mengembangkan sistem yang mampu menggantikan sistem ”jual-beli” modal
(pinjam-meminjam) menjadi sistem ”investasi bersama” dengan petani. Model ini
dapat dikatakan sebagai model syariah atau model bagi hasil. Artinya, negara
membangun sistem dimana petani bisa mendapatkan mitra kerja yang sejajar
dengannya, yaitu mitra kerja yang berstatus dan berperilaku sebagai investor
sebagaimana yang dilakukan petani. Secara khusus hal ini perlu menjadi bidang
usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi pelopor sebagai mitra
petani.
Kembali kita harus melihat dunia di sekeliling kita agar kita tidak menjadi
seperti katak di bawah tempurung. Menyebut beberapa saja, di Israel kita
mengenal Kibutz, di Amerika Serikat kita juga menemukan banyak perusahaan
petani seperti US Crystal Sugar Company. Jadi, membangun BUMP secara
prinsip adalah memungkinkan. Sekarang, hanya tinggal apakah kita bisa
mewujudkan gagasan ini menjadi suatu kenyataan atau tidak.
13
Tanpa kita memasukkan pendapatan di luar gabah atau beras, apabila
sinergi antar semua pihak dapat diwujudkan sehingga produktivitas lahan sawah
meningkat 2 ton per hektar, kita akan memperoleh gambaran sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1.
1 2 3 4 =3 - 2 5
Luas areal Usaha 1 Ha 1 Ha -- --
Selain itu, penggunaan sekam padi untuk sumber energi perdesaan akan
meningkatkan indeks pengembangan energi perdesaan yang bersumber dari
bahan energi terbarukan dan tersedia secara lokal. Sebagai ilustrasi, dari setiap
ton gabah tersedia sekam sekitar 220 kg yang akan menghasilkan energi sekitar
150 Kwh. Kebutuhan untuk menggiling padi menjadi beras per ton dibutuhkan
energi sekitar 30-50 Kwh. Jadi, masih ada surplus energi. Dengan produksi 55
juta ton gabah, Indonesia memiliki potensi sekam untuk energi listrik sekitar 8200
Gwh. Potensi ini sangatlah strategis mengingat potensinya untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia, khususnya bagi yang bermukim di perdesaan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setiap indeks pengembangan energi meningkat 1
%, maka indeks pengembangan sumberdaya manusia akan meningkat sekitar 1
14
%. Jawa Barat memiliki potensi yang besar untuk mendapatkan manfaat dari
keberadaan lumbung padi di wilayah kita ini.
Gambar 2.
Pembentukan BUMP
BUMS
PT Pusri BUMP X
Petani sbg
PT Sang INTI BUMD/PERUSDA
Hyang Seri
9/13/2007 7
15
Lembaga Regulator
16
BUMN yang bergerak di bidang agroindustri, khususnya BULOG memiliki
potensi yang besar dalam usaha kita meningkatkan sistem ketahanan pangan
dan sekaligus juga meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani
apabila kita bisa merancang kebijaksanaan yang mampu membalik arus dan
gelombang sejarah pertanian dan sistem pangan kita. Kita harus mengkaitkan
secara komprehensif antara kebutuhan impor dan peran BULOG dalam
meningkatkan produksi pangan nasional. Misalnya, setiap 1 ton impor beras,
BULOG harus meningkatkan produksi beras minimal 2 ton. Maka, dalam jangka
waktu yang tidak lama, produksi beras kita akan meningkat karena
kebijaksanaan ini akan mendorong BULOG untuk kreatif dan bekerja keras
secara terfokus dan bersinergis dengan BUMN lain dan dengan petani.
Hubungan BULOG dengan petani harus menjadi seperti ikan dengan air.
Penutup
Inti dari revitalisasi pertanian ini adalah masyarakat petani itu sendiri.
Itulah intinya kehidupan pertanian. Mengingat kondisi pertanian pangan kita
sudah menjadi abu, sudah menjelang ajal, atau bahkan sudah banyak yang mati,
maka BUMN perlu menjadi lembaga pendiri atau penghidup kebangunan
pertanian kita. Instrumen yang sangat strategis adalah badan usaha yang dimiliki
petani, sebagaimana para usahawan swasta memiliki badan usaha sebagai
kendaraannya untuk mencapai kemajuan dan kemakmurannya.Hal yang sama
berlaku juga untuk petani. Hal inilah yang harus segera kita kerjakan. Gagasan
ke arah itu sudah matang dan mantap, tinggal apakah kita mau, bisa dan kuat
untuk mewujudkannya. Dengan ini ketahanan pangan kita akan meningkat dan
pertanian kita akan hidup subur kembali.
Terima kasih.
17
TERPUJILAH PETANI
Agus Pakpahan
“Aku tak mengerti, mengapa Tanah Jawa yang dulu bergelar Jawadwipa
sekarang kehilangan sukma? Mengapa dulu kita ekspor beras ke negeri
utara, tetapi sekarang sebaliknya? Tak malukah kita oleh negeri tetangga?
Tak malukah kita terhadap anak-cucu kita?”
18
Ia tak bisa menjawabnya.
19