You are on page 1of 10

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

1.2.TUJUAN PENULISAN

Penulisan refrat ini sebagai salah satu syarat dalam kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, serta untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai Ikterik.

1.3.BATASAN MASALAH

Dalam CSS ini akan dibahas mengenai Ikterik.

1.4.METODE PENULISAN

Penulisan CSS ini menggunakan berbagai literature sebagai sumber kepustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.2. DEFENISI Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat kosentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin di bentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata jaune yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata, dan kalau ini terjadi kosentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43umol/L) jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.

2.3. EPIDEMIOLOGI

2.4 ETIOLOGI 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkomptabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensienzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase, defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke hepar. 3. Gangguan Transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubinindirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 2

4. Gangguan Dalam Eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainandi luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5. PATOFISIOLOGI Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase yaitu 1). Pembentukan bilirubin, 2) transpor plasma, 3)liver uptake, 4). Konjugasi, dan 5). Ekskresi bilier. Fase prehepatik a. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein hem lainnya yang berda terutama di dalam sum-sum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem di pecah besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin rduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoesis yang tidak efektif, namun secara klinis kurang penting.

b. Transpor plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasinya
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melampaui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam keadaan seperti asidosis, dan veverapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.

Fase intrahepatik c. liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. d. konjugasi. Bilirubin yang terkosentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukorunida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran 3

empedu melalui sistem enzim yang berbeda. Na,un, rekasi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukoronid juga terbentuk namun kegunaannya tidak jelas. Fase pascahepatik. e. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam knalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang komplek ini. Di dalam usus flora bakteri men dekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna cokelat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan.

2.6. KLASIFIKASI Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin 1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi Hemolisis. Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun peningkatan kosentrasi bilirubin pada kedaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan hemolisis yang berat kosentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL (51-86 umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan yang ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu. Sindrom gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalah artikan sebagai penyakit hepatitis kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk dan ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat dipastikan. Patogenesisnya belum dapat dipastikan. Adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86umol/L yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stres lainnya. Keaktifan enzim glukoroniltransferase rendah ; karenanya ada hubungan dengan sindrom crigler-najjar tipe II. Banyak paien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. 4

Sindrom gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan mudah dengan faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati normal, namun biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. Sindrom crigler-Najjar. Penyakit turunan dan jarang ini disebabkan oleh adanya kekurangan keadaan glukoroniltransferase, dan terdapat dalam dua bentuk. Pasien dengan penyakit autosum resesif tipe 1 mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe 2 mempunhai hiperbilirbinemia yang kuramg berat (<20 mg/dL, < 342 umol/L) dan biasanya hidup samoai masa deawasa tanpa kerusakan neurologik. Fenobatbital yang dapat merangsang kekurangan glukoroniltransferase, dapat mengurangi kuning. Hiperbilirubinemia shunt primer. Keadan yang jarang yang bersifat jinak dan familial dengan produksi early labeled bilirubin yang berlebihan.

2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi a. Nonkolestasis Sindrom dubin johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom gilbert hiper-bilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung pugmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan alkali fosfatase normal. Oleh sebab yang belum diktahui gangguan yang khas ekskresi korpoporfirin urin dengan rasio reversal isomer I; III menyertai kedaan ini. Sindrom rotor. Penyakit yang jaran ini menyertai sindrom Dubin-Johnson, tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik lain yang nyata ditemukan.

b. Kolestasis i. Kolestasis intrahepatik


Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ileus obstruktif sebab obstruktif yang

bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. 5

Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hat bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinima metastasis dan penyakit lain yang jarang. Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis) dan kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan c sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit ini menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut. Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol terus menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan ikterus dengan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan parameter yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatisis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi. Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir juga menunjukkan kelompok yamh lebih tua bisa dikenai. Dua penyakit autoimun pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati yang bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan keuhan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul kemudian.

ii.

kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada duktus bilier, dimana terjadi hambatan masuknya bilirubin ke dalam usus).
Peneyebab paling sering adalah batu duktus koledukus dan kanker pankreas.

Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada diktus koledukus, karsinoma duktus koledukus, pankreatitis atau pseudocyst pankreas 6

dan kolangitis sklerosing. Kolestatis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, baghkan juga pada obstruksi mekanis empedu. Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan dan kegagalannya untuk masuk usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi sealalu diperkirakan sebagai btempat keluhan gatal (pruritus), walaupun hubungannya belum jelas sehingga paotogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrea dan hipoprotrombinemia. Pada kedaan kolestasis yang berlangsung lama (primary billiary cirrhosis), gangguan penyerapan kalsium, dan vitamin d, dan vitamin lain yangb larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia, retensi kolestrol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang turut berperan; kosentrasi trigliserida tidak berpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.

Manifestasi kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik Tidak jarang kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan intrahepati, padahal membedakan keduanya sangat penting dan urgen. Gejala awal terjadinya perubahan warna urin, yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja putih, dan gatal (pruritus) adalah tanda klinis adanya kolestasis.. Kolestasis kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, perdarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti diatas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik ( anoreksia , muntah, demam, atau tambahan tanda gejala mencerminkaqn penyebab penyakit dasarnya daripada kolestasis nya dan karena nya dapat memberi petunjuk etiologinya

2.7. DIAGNOSIS Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan laboratorium yang berlebihan. Kolestatik ekstrahepatik dapat di duga dengan adanya keluhansakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika keganasan karena sumbatan pankreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kunig yang tidak disertai keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kosentrasi yang lebih tinggi, sering warna kuning pada sklera memberi kesan yang berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestatik intrahepatik) Tes laboratorium Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang khas adalah peninngiian nilai alkali fosfatase, yang terutama diakibatkan peninngian sintesis daripada ekskresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga menjelaskan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga fraksionasi tidak menolong membedakan kedaan ekstrahepatik dan intrahepatik. Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun selalu meningkat tidak tinngi. Jika penigkatan sangat tinggi sangat mungkin karena proses hepatoseluler, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus koledukus. Penigkatan amilase serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik. Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan ekstrahepatik, namun hepatoseluler juga dapat berespons. Ditemukannya antibodi terhadap antimitokondria mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer. Pencitraan Pemeriksaan saluran bilier sangat penting. Pemeriksaan sonografi, CT, dan MRI memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam kedaan masih akut. Penyebab adanya sumbatan mugkin bisa diperlihatkan, umumnya batu kandung empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi pankreas dengan CT. Kebanyakan pusat menggunakan terutama USG untuk mendiagnosis kolestasis karena biayanya yang rendah. Endoscopic retrograde cholangio-pancreatography (ERCP) memberikan kemungkinan untuk melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) dapat pula dipergunakan untuk maksud ini. Kedua cara tersebut diatas mempunyai nilai terapeutik 8

Biopsi Hati Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik; walaupun demikian, bisa timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh yang kurang berpengalaman. Biopsy aman pada umumnya kasus dengan kolestasis, tapi berbahaya pada keadaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsy dilakukan. Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis supurativa, kolestasis bukan keadaan emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan alat penunjang khusus jika ada. Jika diagnosis tidak pasti, Ultrasonografi atau CT akan sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemnukan tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif.

2.8. PENATALAKSANAAN

2.9. PROGNOSIS

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

10

You might also like