You are on page 1of 3

Fenotip Asma

Menurut Martinez dan Stein, terdapat 3 fenotip asma atau yang disebut dengan sindrom wheezing dibagi berdasarkan persisten atau remitten yang terjadi pada wheezing dan wheezing yang berhubungan dengan gejala mulai dari anak berusia muda hingga remaja. Ketiga fenotip asma tersebut dapat dibagi menjadi: 1. Transient early wheezing Pada anak dengan transient early wheezing biasanya wheezing akan menghilang pada usia 3 dan 5 tahun. Fenotip transient wheezing tidak berhubungan dengan riwayat atopi maupun riwayat asma di keluarga. Faktor risiko utama terjadinya transient early wheezing ini adalah adanya penurunan fungsi paru sebelum terjadinya infeksi saluran napas bagian bawah. Faktor risiko lainnya adalah prematuritas, ibu yang merokok saat hamil, dan bayi baru lahir yang terpapar asap rokok. 2. Non-atopic wheezing Infeksi saluran napas bawah yang terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan, yang biasanya disebabkan oleh virus (Respiratory Syncitial Virus) berhubungan dengan terjadinya persistent wheezing. Infeksi saluran napas yang terjadi pada 3 tahun pertama akan meningkatkan risiko terjadinya wheezing selama 10 tahun pertama kehidupan. Wheezing akan menghilang saat usia 13 tahun. Pada non-atopic wheezing, penurunan fungsi paru sudah terjadi sebelum timbul infeksi saluran napas. Meskipun fungsi paru membaik sejalan dengan pertumbuhannya, tetapi fungsi paru pada anak dengan persistent wheezing selalu lebih rendah dari anak yang tidak pernah mengalami wheezing. 3. Atopic wheezing/asthma Lebih dari setengah kasus persistent asma dimulai lebih dini pada anak, sebelum usia 6 tahun. Pada penelitian berbasis populasi lain mengatakan bahwa anak dengan wheezing yang persistent memiliki riwayat atopi dan mengalami peningkatan hiperresponsif saluran napas. Peat et al melaporkan bahwa sensitisasi yang terjadi sebelum usia 8 tahun akan meningkatkan faktor risiko terjadinya asma.

Sumber: Stein R, Martinez F. Asthma phenotypes in childhood: lessons from an epidemiological approach. Paediatric Respiratory Reviews (2004), 155-161.

Nebulisasi Adrenalin dan Bronkodilator pada Bronkiolitis


Adrenaline (epinephrine) merupakan stimulan yang potensial dari reseptor - dan adrenergic. Selain digunakan secara luas dalam resusitasi kardiopulmonal, adrenalin dapat diberikan via inhalasi pada anak dengan obstruksi akut jalan nafas, yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti bronkhiolitis dan laringotrakheobronkhitis (croup). Kegunaan klinis dari adrenalin pada terapi obstruksi akut jalan nafas adalah menurunkan sekresi saluran nafas dan edema mukosa saluran nafas (efek -adrenergik) dan relaksasi dari otot halus saluran nafas dan inhibisi dari proses inflamasi (efek -adrenergik ) (1) Pada bronkiolitis terjadi edema mukosa dan penumpukan mukus pada bronkiolus akibat proses inflamasi sehingga meningkatkan resisten jalan napas. Pada bronkiolitis tidak terjadi bronkhokonstriksi yang disebabkan oleh bronkospasme sehingga pemberian bronkodilator pada bronkhiolitis dikatakan tidak memiliki efek yang bermakna dibandingkan dengan pemberian adrenalin. Barr et al mengemukakan keuntungan pemberian adrenalin pada bronkiolitis adalah stimulasi dari efek -adrenergik dengan menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah di mukosa jalan napas sehingga mengurangi terjadinya penebalan mukosa bronkhial akibat proses inflamasi.(2) Adrenalin memiliki onset kerja yang cepat, yaitu 30 menit dengan efek 2 -3 jam. Dosis yang direkomendasikan 0,4 0,5 ml / kg (maksimum 5 ml) adrenalin 1 : 1000, diberikan tanpa pengenceran.
(3)

Nebulisasi dengan dosis yang lebih kecil dapat

mengakibatkan perbaikan parsial pada obstruksi sehingga memerlukan nebulisasi ulang, sedangkan pada dosis yang adekuat pengulangan jarang diperlukan. (1) Efek samping seperti takikardi , hipertensi, aritmia dan pucat merupakan konsekuensi dari penggunaan adrenalin. Penggunaan adrenalin dengan dosis 3 5 ml menaikan denyut

jantung secara signifikan. Efek vasokonstriksi dari adrenalin pada mukosa saluran nafas menurunkan absorpsi dan efek 1-adrenergic. Efek vasokonstrikfif dan bronkhodilator dari adrenalin adalah menurunkan inflamasi dari obstruksi saluran nafas, Regulasi dari rasio perfusi ventilasi paru, meningkatkan hipoksemia, yang merupakan penyebab penting dari takikardi dan aritmia. Nebulisasi adrenalin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik. Efek samping lain dari penggunaan adrenalin dengan dosis 3 ml adalah pucat. Efek samping lain yang pernah dilaporkan adalah hiperaktif, muntah, eritema, nebulisasi adrenalin dapat terjadi namun bukan merupakan risiko yang nyata. (1)

Sumber : 1. Zhang L, Sanguebsche LS. The safety of nebulization with 3 to 5 ml of adrenaline (1:1000) in children: an evidence based review. J Pediatr (Rio J). 2005;81:193-7. 2. Schindler M. Do Bronchodilators have an effect on Bronchiolitis? Critical Care 2002, 6:111-112 3. Lyyn B, Davies J . Acute infection producing upper airway obstruction. . Dalam Chernick V, Boat TF, Willmott RM, Bush A. Kendigs Disorder of the respiratory tract in children. Edisi ke 7. 2006. Elsevier. Philadelphia. h. 404-14

You might also like