You are on page 1of 22

BAGIAN 1 BAHAYA GERAKAN TANAH DAN PERENCANAAN

Perencana seringkali harus menyusun rencana penggunaan lahan pada daerah dengan potensi bahaya alam dan bahaya yang timbul akibat kegiatan manusia. Kejadian bahaya tersebut seringkali tidak berdiri sendiri, namun terjadi akibat kejadian bahaya lainnya dan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah, sebagai contoh adalah bahaya gerakan tanah. Penyebab gerakan tanah bukan hanya faktor geologi dan cuaca saja, namun juga merupakan akumuluasi dari kegiatan manusia yang merubah bentang alam. Perencana dapat meminimalkan kerusakan yang terjadi dengan cara memberikan arahan pembangunan yang tepat. Hal ini dapat tercapai bila perencana mampu mengkaji resiko bahaya sebelum suatu area dikembangkan, serta menuangkannya dalam suatu comprehensive plan (perencanaan menyeluruh). Comprehensive plan adalah pernyataan tentang visi masa depan suatu masyarakat. Ini merupakan kendaraan untuk membatasi pembangunan di masa datang, dimana pembangunan yang dilakukan harus didasarkan pada rencana tersebut.

1. Aspek Dalam Comprehensive Plan Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam comprehensive plan meliputi : a. Identifikasi Bahaya dan Risk Assesment b. Mengaitkan unsur-unsur perencanaan lainnya dalam comprehensive plan dengan bahaya gerakan tanah c. Mengaitkan perencanaan mitigasi bahaya gerakan tanah dengan perencanaan lainnya d. Policy Responses (kebijakan responsif)

1.1. Identifikasi Bahaya dan Risk Assesment 1.1.1. Pemetaan dan identifikasi bahaya Dalam comprehensive plan dentifikasi bahaya dan pemetaan bahaya bertujuan untuk : a. Memudahkan dalam menyususn kebijakan yang efektif berdasarkan informasi mengenai jenis resiko yang dihadapi masyarakat. Identifikasi yang jelas memberikan tanda bagi pengambil keputusan bahwa jenis pembangunan tertentu akan menimbulkan masalah daripada jenis pembangunan lainnya, sehingga memerlukan perhatian khusus. b. Memberikan gambaran seberapa jauh resiko lingkungan suatu lokasi, sehingga pengembang dan pengusaha dapat menentukan lokasi, design dan jenis penggunaan lahan yang tepat Peta bahaya disajikan dalam skala yang bervariasi sesuai dengan kebutuhannya. Untuk perencana peta bahaya skala nasional berfungsi untuk mengetahui apakah wilayahnya retan terhadap jenis bahaya tertentu. Peta bahaya di tingkat regional berfungsi untuk mengetahui kendala utama pembangunan transport maupun proyek pembangunan regional lainnya. Peta bahaya lokal memberikan informasi mengenai jenis bahaya yang memerlukan perhatian khusus yang perlu didukung didukung dengan peraturan yang ketat. Sedangkan peta bahaya di tingkat site plan dapat dijadikan dasar untuk membuat rencana jaringan air bersih, jalan raya, rencana relokasi atau usulan proyek pembangunan. Sumber informasi bahaya gerakan tanah diperoleh dari peta geologi lokal atau dari berbagai sumber seperti topografi, geologi dan peta soil yang umumnya berasal dari United State Geological Survey (USGS). Berdasarkan informasi ini perencana dibantu dengan ahli geologi dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan penyebab kejadian gerakan tanah pada suatu wilayah. Untuk kepentingan penelitian ini dapat menggunakan foto udara guna mengidentifikasi sisa/bekas gerakan tanah masa lalu serta memberikan informasi area yang memerlukan penelitian geologi detil (geologi teknik). Berkaitan dengan kegiatan penelitian kejadian gerakan tanah tersebut, Soetes dan Van Westen (1996) membedakan antara tugas ahli kebumian dan perencana. Ahli kebumian bertugas menyusun zona bahaya gerakan tanah, sedangkan ahli perencana, ahli social dan

ahli teknik

bertugas melakukan vulnerability analysis (analisis kerentanan). Untuk

menyusun zona bahaya gerakan tanah memerlukan pengetahuan detil mengenai proses gerakan tanah serta cara untuk mengidentifikasinya. Adapun analisis kerentanan

memerlukan pengetahuan mengenai akibat kejadian gerakan tanah terhadap masyarakat, pembangunan lingkungan, penggunaan lahan, ekonomi lokal serta pemulihan ekonomi paska bencana. 1.1.2. Risk Assesment Gerakan tanah mencakup risk (resiko) dan vulnerability. Pengertian risk adalah potensial kehilangan akibat kejadian bahaya yang didasarkan pada probabilitas, frekwensi,

eksposure dan akibatnya. Vulnerabiliy adalah tingkat kerentanan manusia dan harta bendanya untuk hilang/rusak akibat kejadian bahaya alam. Adapun risk assessment adalah proses atau metoda untuk mengevaluasi resikoterhadap bahaya tertentu yang didasarkan pada probabilitas, frekwensi kejadian, magnitude dan severity, exposure dan akibatnya. Risk assessment untuk bahaya gerakan tanah perlu mempertimbangkan potensi kejadian : a. Hujan dapat meningkatkan kandungan air pada lereng yang curam, sehingga tanah

menjadi jenuh air. b. Penebangan pohon pada daerah hulu c. Gempa bumi gelombang gempa dapat menyebabkan daerah dengan longsor lama

dapat kembali bergerak d. Banjir akibat mencairnya es pada bagian hulu dapat memicu gerakan tanah pada

bagian hilir e. Erupsi gunung api dapat memicu gerakan tanah secara massive karena pemanasan

pada tanah, lelehan salju dan air tanah. Kejadian bahaya gerakan tanah berbeda dengan kejadian bahaya alam lainnya. Kejadian bahaya alam umumnya memiliki siklus tertentu (ada interval waktu antara satu kejadian dengan kejadian lainnya), yang waktunya bervariasi dari tahunan (seperti banjir) hingga ribuan tahun (erupsi gunung api). Sebaliknya kejadian gerakan tanah sangat tergantung

pada tingkat kegiatan manusia untuk merubah lereng, dalam hal ini bila lereng dirubah maka gerakan tanah akan sering terjadi, namun bila lereng dibiarkan dalam kondisi alami maka interval kejadiannya lebih lama. Oleh karena itu risk assesment untuk keperluan bahaya gerakan tanah harus memperhitungkan tingkat kemungkinan kejadian dan probable severity dari kegiatan manusia. Dalam konsep ini bukan hanya tingkat kemungkinan kejadian (probable frequncy) saja yang dipertimbangkan namun juga tingkat kemungkinan kejadian terburuk (probable severity) yang akan terjadi pada kondisi tertentu Selanjutnya dari risk

assesment ini ditentukan upaya yang harus dilakukan sesuai dengan probabilitas kejadiannya. Sebagai contoh penerapan standar bangunan di kota Florida. Standar bangunan yang tinggi akan meningkatkan biaya mitigasi, oleh karena itu standar bangunan untuk melindungi dari bahaya angin topan di wilayah ini diterapkan pada level 3, meskipun kejadian angin topan pada wilayah ini pernah mencapai level 5 namun kejadiannya jarang terjadi. Penerapan standar bangunan ini tidak berarti mengabaikan kejadian angin topan pada level 5, namun lebih memberikan pemahaman pada masyarakat untuk tidak merancang bangunan guna melawan angin topan, akan tetapi pemahaman bahwa kejadian tersebut tidak berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama. Dalam melakukan risk assesment, perencana juga harus memperhatikan vulnerability (kerentanan), yakni unsur-unsur di dalam masyarakat yang mungkin terpengaruh akibat kajadian gerakan tanah, yang meliputi jumlah manusia yang terancam, infrastruktur yang rusak dan potensi kerugian ekonomi. Perkiraan vulnerability dapat didasarkan pada analisis kemungkinan kerusakan yang akan terjadi bila kebijakan yang diterapkan tidak dirubah. 1.2. Mengaitkan unsur-unsur perencanaan lainnya dalam comprehensive plan dengan bahaya gerakan tanah Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan meliputi : a. Penggunaan lahan masyarakat tertarik membangun pemukiman pada daerah

perbukitan karena alasan keindahan lokasi. Pembangunan pemukiman ini akan

dilengkapi dengan infrastruktur pendukungnya, seperti jaringan air bersih dan kotor, jaringan jalan, dan trotoar. Pembangunan sarana pendukung akan meningkatkan penggalian dan peningkatan area pemukaan tanah yang tertutup aspal/beton. Kajian resiko yang dilakukan harus dikaitkan dengan masalah lokasi dan rancangan penggunaan lahan, dalam hal ini pengelompokkan penggunaan lahan dan intensitas penggunaannya. b. Perumahan melindungi pembangunan pemukiman pada area yang rentan bahaya

geologi dari bahaya gerakan tanah. Hal ini dilakukan dengan membuat kebijakan pembangunan kembali perumahan yang rusak akibat gerakan tanah dengan memperbarui struktur bangunan dan memperkuat konstruksinya. c. Transportasi mengkaji resiko pembangunan jalan pada area pemukiman yang

rentan bahaya gerakan tanah d. Pembangunan ekonomi kejadian gerakan tanah dapat menggangu kehidupan kembali wilayah tersebut juga

ekonomi masyarakat. Perencanaan pemulihan

ditujukan untuk membantu pengusaha dan pekerja lokal untuk dapat segera beraktifitas kembali. e. Perlindungan tempat bersejarah banyak kota-kecil memiliki tempat bersejarah

(seperti gereja) yang dibangun pada daerah perbukitan. Perencanaan dapat memberi solusi bagaimana cara melindungi tempat tersebut dari ancaman bahaya gerakan tanah serta pihak mana yang akan mengambil alih perbaikan kerusakan bangunan bila bangunan terkena bencana. f. Ruang terbuka dan tempat rekreasi menetapkan hak kepemilikan tanah sebagai

milik umum pada ruang terbuka dan tempat rekreasi. Hal ini untuk melindungi tanah tersebut dari pembangunan. 1.3. Mengaitkan mitigasi bahaya gerakan tanah dengan perencanaan lainnya Kaitan antara kebijakan penanggulangan bahaya dan cara-cara untuk merealisasikan kebijakan tersebut harus dipertimbangkan dalam perencanaan menyeluruh. Untuk keperluan ini, perencana harus bekerjasama dengan departemen lainnya. Sebagai contoh

perencana bekerjasama dengan institusi yang bertanggung jawab terhadap perbaikan perumahan, dengan demikian segala sesuatu yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan perumahan akibat gerakan tanah telah dimasukkan dalam rencana program perbaikan perumahan dari instansi terkait. 1.4. Policy Responses (Kebijakan Responsif) Dalam perencanaan menyeluruh kebijakan responsif yang terkait dengan mitigasi bencana dibagi menjadi dua kategori yakni pre-disaster (sebelum bencana) dan postdisaster (setelah bencana). Kedua kategori ini dikatakan agak tumpang tindih. Hal ini karena tujuan utama dalam post disaster adalah menentukan prosedur dan arah kebijakan pembangunan kembali untuk mengurangi kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana yang sama di masa datang, dengan kata lain dalam kaitannya dengan siklus alami bencana, ujung dari suatu bencana dipandang sebagai awal dari bencana berikutnya. Dalam perencanaan menyeluruh memuat kedua kategori tersebut, dan kegiatan tersebut difokuskan pada tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada : a. Prospective land use b. Existing land use 1.4.1. Prospective Land Use Meskipun tidak digunakan sebagai pemukiman, industri, maupun jaringan jalan, lahan seringkali sudah memiliki penggunaan tersendiri. Konversi penggunaan lahan seperti ini pada daerah rentan gerakan tanah dapat dilakukan dengan cara : a. Menghindari Menghindari pembangunan pada daerah rentan bahaya gerakan tanah merupakan tindakan ideal dalam mitigasi bencana. Upaya menghindari ini dapat dilakukan dengan cara : Memperoleh hak kepemilikan tanah dan mengalokasikan tanah tersebut sebagai taman atau ruang terbuka

Transfer of development right (TDR) yakni dengan memberikan kompensasi pada pemilik lahan karena memberikan hak pembangunan di atas lahannya pada pemilik lahan lainnya agar lahan lebih stabil untuk dibangun. b. Membatasi investasi publik Pertumbuhan wilayah seringkali sangat tergantung pada perkembangan jaringan infrastruktur (jalan, listrik, dan air bersih). Oleh karena itu kebijakan membatasi perluasan jaringan infrastruktur pada daerah rentan bahaya gerakan tanah merupakan cara untuk mencegah perkembangan wilayah tersebut. c. Membatasi Pembangunan Kebijakan membatasi tipe/jenis penggunaan atau kebijakan kerapatan bangunan maupun kombinasi kedua kebijakan tersebut merupakan cara mengurangi/menghindari resiko bencana. Contoh kebijakan membatasi tipe bangunan : Larangan mendirikan bangunan untuk kepentingan umum atau mendirikan bangunan yang dapat menampung banyak manusia pada daerah yang berpotensi gerakan tanah. Membatasi hanya untuk kegiatan pada ruang terbuka, seperti untuk olah raga, perkemahan Contoh kebijakan membatasi kerapatan bangunan dengan mengurangi tingkat kerapatan bangunan dari daerah datar dengan kerapatan tinggi yang berangsur-angsur berkurang kerapatannya ke daerah yang lebih curam.

d. Studi geoteknik Menerapkan kebijakan harus melampirkan hasil studi geoteknik pada saat mengusulkan site plan (rencana tapak). Dalam kebijakan ini juga memuat studi geoteknik hanya dapat dilakukan oleh tenaga ahli independen yang telah memiliki lisensi, dengan sumber dana penelitian berasal dari developer serta hasil studi disahkan oleh pemerintah. Selain itu

kebijakan ini juga memuat site plan yang diusulkan harus terintegrasi dengan rencana keseluruhan. e. Meminimalkan alterasi lahan Salah satu penyebab terjadinya gerakan tanah karena meningkatnya kandungan air dalam tanah akibat pembangunan pada daerah perbukitan. Untuk mencegah hal tersebut maka perlu menerapkan kebijakan menyusun rencana drainase yang mengatur runoff (air larian), drainase dan kolam pengumpul agar menjauh dari daerah rentan bahaya gerakan tanah. 1.4.2. Existing Land Use Upaya mitigasi pada daerah behaya gerakan tanah yang telah ada pembangunan di atasnya (lahan terbangun) dilakukan dengan : a. Akusisi dan relokasi Perencanaan perbaikan pada lahan terbangun di daerah bahaya meliputi tindakan perbaikan dan tindakan relokasi. Tindakan perbaikan dilakukan apabila kerusakan yang terjadi diperkirakan dapat diperbaiki kembali, namun bila hal tersebut tidak dapat dilakukan maka perbaikan melalui relokasi yang harus dipilih. Upaya relokasi memerlukan biaya yang besar, karena lahan milik masyarakat pada daerah bencana diambil alih kepemilikannya untuk dijadikan area terbuka dan masyarakat memperoleh tanah pengganti di daerah lain.Oleh karena itu pilihan relokasi harus

memepertimbangkan kemampuan pemerintah dari sisi finansial. b. Remediasi Mitigasi Remediasi mitigasi dilakukan dengan cara membiarkan properti yang ada dan melindunginya dari bahaya gerakan tanah. Tindakan yang dilakukan antara lain memperbaiki saluran drainase dan membuat retaining walls (dinding penahan). Kebijakan ini harus mempertimbangkan aspek biaya dan cara-cara pembiayaannya, serta tindakan yang harus diambil bila gerakan tanah tetap terjadi.

c. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Langkah penting dalam mitigasi bencana adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai metoda untuk meminimalkan kejadian gerakan tanah dan erosi tanah pada daerah bencana dalam kaitannya untuk meningkatkan keselamatan masyarakat.

2. Peraturan Pembangunan Pada Daerah Bahaya Gerakan Tanah Peraturan pembangunan diperlukan agar kebijakan yang telah ditetapkan dapat dijalankan. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan pembangunan pada daerah rawan gerakan tanah meliputi : a. Zonasi dan Mitigasi Gerakan Tanah b. Pembatasan Penggunaan c. Grading Ordinance d. Persyaratan Pemeliharaan e. Subdivision dan Planned Unit Development Standars f. Transfer Of Development Right g. Asuransi 2.1. Zonasi Dan Mitigasi Gerakan Tanah Zonasi merupakan alat untuk mengkategorikan penggunaan lahan pada daerah rawan gerakan tanah. Zonasi juga merupakan alat untuk mengendalikan pembangunan fisik dengan mengatur ketinggian bangunan, sempadan serta luas lahan terbangun yang diijinkan. Salah satu bentuk zonasi adalah peraturan mengenai kepadatan bangunan. Pada prinsipnya peraturan ini mengatur semakin besar kemiringan suatu lereng maka tingkat kepadatannya akan semakin berkurang.

Peraturan seperti ini dapat diterapkan dalam kondisi : Masyarakat mengijinkan adanya pembangunan pada daerah dimana peraturan ini akan diterapkan Perencana berdasarkan hasil kajian geoteknik meyakini bahwa dengan mengurangi kepadatan bangunan dapat mengurangi resiko kejadian gerakan tanah

2.2. Pembatasan Penggunaan Penggunaan lahan tertentu diyakini dapat memicu kejadian gerakan tanah. Peraturan mengenai pembatasan penggunaan lahan ditujukan untuk mengatur jenis penggunaan lahan dengan kategori tertentu yang dapat dijinkan. Keputusan pembatasan didasarkan pada : a. Karakter Lokasi peraturan pembatasan pemotongan lereng yang melarang adanya

gangguan tebing pada lereng dengan kemiringan lebih dari 20%. Penerapan peraturan ini harus didasrkan pada studi geologi. b. Karakter Kegiatan peraturan pembatasan kegiatan pada area tertentu yang hanya

mengijinkan kegiatan dengan kepadatan rendah pada area terbuka. Kegiatan disini meliputi golf, latihan mengendarai kuda, naik gunung. Kegiatan tersebut sangat spesifik karena hanya melibatkan sedikit orang, dan memerlukan struktur bangunan yang sederhana, sehingga dapat meminimalkan kerugian bila gerakan tanah terjadi. c. Karakter Struktur peraturan pembatasan ketinggian bangunan. Dalam kondisi

terjadi gerakan tanah lebih mudah menyelamatkan diri dari bangunan rendah (low rise building) daripada bangunan yang tinggi (high rise building). Peraturan pembatasan bangunan ini menjadi dasar pengaturan hunian satu lantai (untuk single-family) dan apartemen atau kondominium (untuk multiplefamily). d. Fasilitas Kritis (Bangunan Vital) peraturan yang mengatur bangunan vital

(seperti rumah sakit dan pemadam kebakaran) tidak diletakkan pada daerah rentan gerakan tanah.

Peraturan pembatasan penggunaan mencakup : a. Buffer dan setback Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan penerapan peraturan

buffer (sempadan) dan setback (sempadan bangunan?). Buffer berkaitan dengan batas luar sebidang tanah dan memerlukan pemeliharaan lingkunganm sedangkan setback berkaitan dengan jarak antara struktur dengan batas sebidang tanah. Pada kasus gerakan tanah penerapan peraturan sempadan diberlakukan pada bagian punggungan bukit, mahkota longsor, dan ujung lereng. Tujuan penerapan peraturan ini adalah menjaga jarak aman agar aktifitas dapat dilakukan. b. Impervious surface dan disturbance area dengan mengatur besarnya prosentasa

area yang dapat dibangun pada luasan tertentu dan mengatur besarnya prosentase area yang lerengnya dapat diganggu pada luasan tertentu. Sebagai contoh batasan pembangunan pada kemiringan lereng antara 15% - 30% lereng yang dapat diganggu tidak lebih dari 50% dari seluruh total area pada kemiringan tersebut. 2.3. Grading Ordinances Grading ordinances merupakan peraturan yang ditujukan untuk pengembang dalam melakukan cutt and fill. Sebagai contoh peraturan yang menerapkan pemotongan lereng harus memperhatikan factor keselamatan dan keindahan. 2.4. Peraturan Pemeliharaan Penerapan peraturan pembangunan dapat operasional bila dilengkapi dengan peraturan mengenai pemeliharaan, contoh peraturan yang mengatur kewajiban pemilik tanah dan pengguna tanah untuk melakukan pemeliharaan drainase, dan melakukan pemeliharaan dinding penahan. 2.5. Subdivision and Planned Development Standard Subdivision merupakan proses membagi sebidang tanah yang luas menjadi beberapa bagian yang kecil dan ini merupakan cara untuk memfasilitasi pembangunan. Tindakan subdivision ini dapat dengan cara menerapkan peraturan clustering (pengelompokkan)

yakni dengan membiarkan pembangunan dengan kepadatan rendah pada satu bagian serta melarang/menghindari pembangunan pada daerah rentan gerakan tanah pada bagian yang lain. 6. Transfer of Development Right (TDR) TDR merupakan alat untuk mengalihkan hak pembangunan dari area yang tidak dikehendaki ke area yang diperkirakan lebih tepat untuk pembangunan. Tujuan penerapan peraturan ini pada daerah bahaya agar pemilik property memiliki alat untuk dapat membangun kembali dengan cara memindahkan kepadatan ke area yang kurang rentan terhadap gerakan tanah. 2.7. Asuransi Asuransi merupakan bentuk sementara dari perlindungan yang diterapkan pada periode konstruksi atau periode lainnya pada jangka waktu tertentu. Sebagai contoh ijin melakukan cut and fill pada lereng akan diberikan bila pengembang memliki jaminan asuransi.

BAGIAN 2 GERAKAN TANAH DALAM PERENCANAAN RUANG DI INDONESIA


1. Bahaya Gerakan Tanah Dalam Comprehensive Plan di Indonesia Comprehensive plan di Indonesia di kenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan Pasal 14 ayat 2 undang-undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan rencana umum tata ruang secara hirarki terdiri dari rencana tata ruang wilayah nasional (skala 1:1.000.000), rencana tata ruang wilayah propinsi (skala 1;250.000), rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (skala 1:50.000). Di tingkat lokal tata ruang kabupaten/kota tersebut dapat diperinci menjadi rencana detil tata ruang kabupaten/kota (skala 1:25.000). Secara hirarki pula rencana umum tata ruang wilayah nasional menjadi acuan bagi penyusunan rencana umum tata ruang wilayah propinsi dan selanjutnya rencana umum tata ruang propinsi menjadi acuan bagi penyusunan rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kota. Dengan hirarki ini ada keterkaitan antara rencana di tingkat pusat dengan rencana di tingkat daerah (local). 1.1. Dasar Hukum Nasional Bahaya Gerakan Tanah Dalam RTRW Penataan ruang di Indonesia diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah yang rentan terhadap bencana. Salah satu bencana yang perlu mendapat perhatian adalah gerakan tanah. Hal ini sejalan dengan pasal 52 ayat 5 peraturan pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menjelaskan kawasan lindung geologi merupakan bagian dari kawasan lindung nasional. Dalam pasal 53 ayat 2 huruf b dijelaskan kawasan rawan gerakan tanah merupakan bagian dari kawasan lindung geologi. Selanjutnya pada pasal 61 ayat 3 dijelaskan kawasan rawan gerakan tanah ditetapkan dengan kriteria memiliki tingkat kerentanan tinggi.

Dalam peraturan tersebut hanya kawasan rawan gerakan tanah dengan kerentanan tinggi saja yang merupakan bagian dari kawasan lindung nasional, serta pemanfaatan ruang pada kawasan ini disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya diatur dalam rencana rinci (detil) tata ruang. 1.2. Sumber Informasi Bahaya Gerakan Tanah di Indonesia Informasi bahaya gerakan tanah diperolah dari Badan Geologi (dalam hal ini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Kegiatan pemetaan gerakan tanah telah dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Metoda pemetaan dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 1452.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah. Tujuan penyusunan pedoman ini untuk memberi acuan dalam melakukan pemetaan zona kerentanan gerakan tanah agar dapat diperoleh keseragaman arti dan kualitas peta zona gerakan tanah. Isi pedoman mencakup metoda pengumpulan data, parameter yang digunakan serta prosedur analisis yang dilakukan. Hasil kegiatan pemetaan berupa Peta Kerentanan Gerakan Tanah Indonesia. Pada

beberapa wilayah peta ini tersedia dalam skala 1:50.000 bahkan pada wilayah dengan problem gerakan tanah (seperti Cianjur Selatan) tersedia dalam skala 1:25.000. Peta skala besar merupakan hasil kerjasama antara Badan Geologi dengan Pemeritah Daerah. Peta kerentanan ini menggambarkan tingkat probabilitas kejadian gerakan tanah serta tingkat kemugkinan kejadian terburuk yang akan terjadi pada kondisi tertentu yang merupakan unsur-unsur dari risk assesment. Dengan demikian peta ini dapat digunakan sebagai analisa awal (secara regional) resiko terjadinya bencana, analisa kebutuhan penanggulangan bencana serta acuan dasar untuk pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur Sumber informasi bahaya gerakan tanah lainnya berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi maupun yang bekerjasama dengan pemerintah daerah.

1.3. Penerapan Informasi Bahaya Gerakan Tanah dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Dengan terbitnya undang-undang penataan ruang yang baru, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten dan kota harus memiliki rencana umum tata ruang wilayah. Batas akhir penyusunan rencana umum tata ruang ini diperkirakan pada tahun 2010. Badan Geologi (dalam hal ini Pusat Lingkungan Geologi) selaku anggota dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) memiliki kewajiban turut membahas muatan materi dari RTRW nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Dari hasil

pembahasan RTRW di tingkat nasional menunjukkan Badan Geologi agar segera menyajikan informasi bahaya gerakan tanah seluruh Indonesia. Informasi tersebut saat ini sedang dipersiapkan. Adapun hasil pembahasan RTRW di tingkat propinsi dan kabupaten/kota menunjukkan kasus-kasus berikut ini : Belum semua wilayah dengan potensi bahaya gerakan tanah memuat informasi tersebut dalam rencana tata ruang wilayahnya. Hal ini karena terbatasnya akses perencana terhadap informasi tersebut, terutama di tingkat kabupaten/kota. Selain itu kurangnya pemahaman perencana di daerah akan pentingnya informasi ini dalam rencana tata ruang. Dalam PP26/2008 ada dua pengertian longsor dan gerakan tanah. Longsor termasuk dalam jenis kawasan rawan bencana alam dan gerakan tanah termasuk dalam jenis kawasan rawan bencana alam geologi. Kedua informasi ini dimuat secara bersamaan dalam tata ruang wilayah. Perlu ditetapkan apakah longsor dan gerakan tanah memiliki pengertian yang sama atau berbeda, dan bila berbeda merupakan kewenangan instansi mana. 1.4. Risk Assesment Gerakan Tanah Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Ketentuan mengenai perlunya kajian resiko telah ditetapkan dalam Pasal 6 huruf a Undang-undang No 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, yang menjelaskan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab tersebut diantaranya melakukan pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana

dengan program pembangunan. Selanjutnya dalam Pasal 35 dijelaskan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana diantaranya meliputi menyusun (pedoman) persyaratan analisis risiko bencana. Meskipun ketentuan mengenai perlu dilakukan resiko pada daerah bahaya telah ada, namun kabupaten/kota yang telah memuat informasi bahaya gerakan tanah dalam rencana tata ruang wilayahnya belum mengaitkan kejadian bahaya ini dengan unsurunsur kerentanan (resiko) dalam masyarakat yang kemungkinan akan terancam bahaya. Unsur-unsur kerentanan tersebut meliputi rumah, infrastruktur, bangunan umum, bangunan vital dll. Tidak dimuatnya kajian resiko dalam rencana tata ruang kemungkinan disebabkan oleh : Kurang mengertinya perencana mengenai kaitan antara tujuan penataan ruang pada daerah bahaya gerakan tanah dengan resiko pembangunan yang akan dihadapi. Belum adanya panduan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan kajian resiko dalam hal ini kajian resiko mengenai unsur-unsur kerentanan dalam masyarakat yang akan terkena bencana Oleh karena itu perlu dibuat panduan untuk melakukan kajian resiko pembangunan pada daerah bahaya gerakan tanah. Panduan ini dapat digunakan sebagai acuan oleh

pemerintah daerah ataupun para perencana secara nasional. Substansi panduan meliputi formula yang digunakan, unsur parameter kerentanan yang digunakan serta besarnya bobot setiap parameter. Panduan ini juga merupakan tindak lanjut dari peraturan yang ada agar lebih operasional. 1.6. Kaitan Kerentanan Gerakan Tanah Dengan Unsur-unsur Perencanaan Lainnya Dalam RTRW Unsur-unsur perencanaan dalam RTRW mencakup unsur pembangunan pemukiman, sarana dan prasarana perhubungan, perumahan dll. Beberapa kasus di Indonesia, menunjukkan perencanaan tersebut tanpa mengaitkan dengan kondisi wilayah yang rentan terhadap gerakan tanah. Sebagai contoh pembangunan jalan tol Jakarta Bandung

yang merupakan proyek pemerintah pusat. Jan tol ini merupakan jalan nasional dan biaya pembangunannya didanai oleh pemerintah pusat. Pada salah satu ruas jalan tersebut, yakni di km 80 - 90 secara regional merupakan daerah dengan potensi bahaya gerakan tanah tinggi sehingga pada ruas jalan tersebut hingg saat ini sering terjadi longsor. Agaknya kondisi ini kurang diperhatikan pada saat pemerintah pusat merencanakan pembangunan jaringan jalan tersebut serta kendala ini kurang dipertimbangkan pada saat dilakukan kajian resiko. 1.7. Kaitan Mitigasi Bahaya Gerakan Tanah dengan Perencanaan Lainnya Dalam RTRW Masalah pembiayaan penanggulangan bencana telah diatur dalam pasal 67 UU No26/2008 yang menjelaskan pada saat tanggap darurat bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengarahkan penggunaan sumber daya bantuan bencana yang ada pada semua sektor terkait. Meskipun masalah pembiayaan ini telah diatur dalam undang-undang dan berlaku secara nasional, namun dalam RTRW kebijakan tersebut belum direalisasikan, hal ini terlihat dari belum adanya penjelasan secara detil dalam RTRW di tingkat kabupaten/kota bila terjadi bencana gerakan tanah darimana sumber dana rehabilitasi dan rekonstruksi yang terkait dengan perbaikan perumahan dan infrastruktur akan diperoleh. 1.8. Gerakan Tanah dan Kebijakan Responsif Dalam RTRW Kebijakan responsif dalam RTRW berkaitan dengan mitigasi bencana yakni dengan melakukan pengaturan pembangunan yang diterapkan pada lahan rawan gerakan tanah. Kebijakan tersebut diterapkan pada lahan yang belum terbangun secara fisik serta lahan yang telah terbangun secara fisik. a. Kebijakan reponsif pada lahan yang belum terbangun Meghindari pembangunan pada daerah tersebut dan mengalokasikan sebagai

ruang terbuka hijau. Hal ini dimungkinkan mengingat dalam PP 26/2008 telah ditetapkan setiap kabupaten/kota harus memiliki ruang terbuka hijau minimal

30% dari luas seluruh wilayah. Meskipun ketentuan tersebut telah ada, namun belum diterapkan dalam RTRW kabupaten/kota. Pada beberapa kabupaten/kota dengan menerapkan pembatasan pembangunan, seperti prosentase luas lahan terbangun yang diijinkan, jenis penggunaan lahan yang diijinkan, pembangunan kawasan dengan sistem terasering, pembangunan drannase yang tepat pada lereng, pembangunan jalan mengikuti kontur, pembangunan transportasi diperuntukan untuk kendaraan roda 4 atau lebih ringan, penanaman pohon dengan jenis akar tertentu yang tidak memicu terjadinya gerakan tanah. b. Kebijakan responsif pada lahan terbangun Melakukan relokasi bagi masyarakat yang lahannya tidak memungkinkan untuk kembali ditempati. Melakukan perbaikan drainase dan membuat retaining walls Meningkatkan pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan upaya

meminimalkan kejadian gerakan tanah, dengan cara sosialisasi, menyebarkan, leaflet, poster, buku saku yang dibagikan kepada masyarakat. Program peningkatan pengetahuan masyarakat ini telah dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi ataupun LSM. 2. Informasi Gerakan Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Peraturan Pembangunan Gerakan tanah umumnya merupakan peristiwa lokal dan dampaknya seringkali juga lokal. Oleh karena itu diperlukan peraturan pembangunan di tingkat daerah (lokal) untuk mencegah kejadiannya serta mengurangi dampak kerugiannya. Di Indonesia meskipun kebijakan responsif yang berkaitan dengan mitigasi gerakan tanah telah tertuang dalam RTRW, namun kebijakan ini belum dituangkan dalam

peraturan daerah. Hal ini karena perencana seringkali tidak mengetahui secara detil faktor penyebab kejadian gerakan tanah untuk setiap kasus.

Oleh karena itu perlu memberikan semua data terkait untuk penyusunan peta zona kerentanan gerakan tanah pada perencana. Dengan data-data tersebut perencana dapat melakukan penelitian mengenai sejarah kejadian setiap gerakan tanah, termasuk di dalamnya faktor penyebab gerakan tanah serta dampak terburuk kejadian gerakan tanah yang pernah terjadi. Berdasarkan hasil penelitian ini, bila ada usulan pembangunan pada daerah tersebut, maka perencana dapat meminta dilakukan penyelidikan geologi dan geoteknik secara detil. Hasil penyelidikan tersebut berupa saran-saran teknik yang harus dilakukan bila daerah tersebut akan dibangun. Dengan demikian untuk membuat peraturan pembangunan di tingkat daerah (lokal) maka perlu melibatkan perencana, ahli geologi, ahli geoteknik dalam proses penyusunan

rancangan peraturannya. Adapun materi dari peraturan daerah tersebut berupa saran-saran teknik hasil penyelidikan geoteknik.

BAGIAN 3 SARAN
Badan Geologi selaku institusi yang bertanggung jawab di bidang geologi di

Indonesia telah turut memberi solusi dalam menangani masalah gerakan tanah di Indonesia. Hasil kegiatan pemetaan gerakan tanah yang menggambarkan kerentanan gerakan tanah suatu wilayah sangat bermanfaat untuk pemerintah daerah dan para perencana. Dengan terbatasnya anggaran kegiatan penelitian maka tidak seluruh wilayah dapat dipetakan dalam skala besar, oleh karena itu untuk

memenuhi kebutuhan informasi tersebut kegiatan penelitian harus dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pedoman yang ada. Untuk memudahkan pengguna pedoman sebaiknya pedoman ini dilengkapi dengan besarnya bobot setiap parameter baik untuk pemetaan di tingkat nasional, regional maupun lokal. Sosialisasi penyebab kejadian bahaya gerakan tanah serta dampaknya terhadap pembangunan perlu ditingkatkan, utamanya pada pemerintah daerah yang belum pernah memperoleh informasi ini. Peta-peta penunjang dan peta kerentanan gerakan sebaiknya diberikan pula kepada pemerintah daerah agar para perencana daerah dapat melakukan penelitian sejarah kejadian setiap gerakan tanah, dengan demikan perencana dapat mengaitkan kejadian gerakan tanah dengan resiko bencana. Meskipun pedoman penyusunan resiko bencana merupakan kewenangan dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional, namun Badan Geologi dapat memberikan masukan jenis-jenis parameter yang harus dipertimbangkan dalam analisa resiko tersebut. Beberapa saran dari ahli geoteknik yang terkait dengan penanggulang gerakan tanah dapat digunakan sebagai masukan tersebut. Sebagai contoh pembuatan dinding penahan merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam mengurangi resiko kejadian gerakan tanah. Upaya ini dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur untuk mengetahui resiko suatu wilayah.

Kejadian gerakan tenah merupakan peristiwa local, seringkali pemecahan masalah juga di tingkat local. Untuk itu perlu dibuat suatu model penataan ruang untuk skala besar pada daerah rawan gerakan tanah. Model tersebut merupakan kerjasama antara Badan Geologi dengan Pemerintah Daerah. Kerjasama yang dilakukan meliputi pemetaan garakan tanah, melakukan kajian resiko dan penyusunan rancangan peraturan pembangunan.

Agar informasi gerakan tanah dapat lebih optimal pemanfaatannya dalam RTRW, Badan Geologi perlu menyusun buka panduan (pedoman) tentang cara-cara pemanfaatan ruang pada daerah potensi bahaya gerakan tanah yang ditujukan untuk para perencana.

BAHAYA GERAKAN TANAH DAN PERENCANAAN

You might also like