You are on page 1of 11

Pendekatan Perencanaan Mixed Scanning dan Undang-Undang Perencanaan A. Pendekatan Perencanaan Mixed Scannning 1.

Pengertian Mixed Scanning Mixed scanning merupakan pendekatan perencanaan dengan prinsip menggabungkan antara pendekatan komprehensif dan pendekatan

terpilah. Sehingga, mixed scanning diartikan sebagai pendekatan terpilah yang berdasarkan pertimbangan menyeluruh. Konsepnya yakni

menyederhanakan tinjauan menyeluruh dalam lingkup `wawasan sekilas/ mengamati dan mempelajari (Scan) dan memperdalam tinjauan atas unsur/ subsistem yang strategis dalam kedudukan sistem terhadap permasalahan menyeluruh. Dengan kata lain, tahap scanning bertingkat dari yang paling luas sampai fokus analisis mendalam. Setelah menemukan fokus, tahap berikutnya dengan komprehensif.

2. Ciri utama Pendekatan Mixed Scanning a) Perencanaan mengacu pada kebijakan umum yang ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi/luas. b) Dilatarbelakangi oleh wawasan menyeluruh dan menekankan pada pendalaman penelaahan pada unsur atau subsistem yang diutamakan. c) Kajian mendalam pada subsistem didasari oleh kajian sekilas tentang lingkup menyeluruh serta wawasan sistem.

3. Keuntungan Keuntungan mixed scanning yakni terhadap waktu, tenaga kerja dan biaya yang digunakan lebih sedikit karena menggunakan pendekatan terpilah, namun tetap melihat atau mengacu pada keseluruhan aspek (menggunakan pendekatan komprehensif).

4. Permasalahan dan Kekurangan Selain memiliki keuntungan, mixed scanning juga memiliki kerugian, yakni :

a) Tidak adanya fokus terhadap tujuan yang akan dicapai, karena didasarkan pada pendekatan terpilah atau sekilas terutama untuk rencana jangka panjang. b) Kemungkinan semakin melebarnya deviasi antara tujuan umum dengan fokus perencanaan c) Adanya deviasi antara tujuan khusus dan tujuan umum. d) Misal: regional Planning sangat kuat pertimbangan kekomprehensifannya. Tapi suatu rencana detail mungkin pertimbangan incrementalnya sangat kuat.

5.

Contoh Produk terkait Pendekatan Mixed Scanning

a) Development Plan Development plan atau rencana pembangunan merupakan rencana lingkup makro yang dilandasi oleh pendekatan strategis. Contoh rencana pembangunan (development plan) yakni 1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), 2) Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional (RPJMN), 3) Rencana Jangka Pendek (RKP) Jika dilihat secara sekilas, maka contoh diatas merupakan contoh dari pendekatan secara menyeluruh. Namun, pada pendekatan mixed scanning juga mempunyai produk development plan, perbedaannya pada contoh diatas misalnya pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (Pjp) Tahun 2005-2025 Dan Pembangunan Jangka Menengah (Pjm) Tahun 2004 2009 Bidang Kesejahteraan Sosial.

b) Struktur Plan Sebuah rencana struktur kerangka untuk memandu pembangunan atau pembangunan kembali daerah tertentu dengan mendefinisikan pembangunan masa depan dan pola penggunaan lahan, area ruang terbuka, tata letak dan sifat infrastruktur (termasuk jaringan transportasi), dan fitur penting lainnya untuk mengelola efek pembangunan.

B.

Undang-Undang Perencanaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 (tanggal 16 maret 2007) tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan Produk perencanaan kota dimulai dari jenjang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sifatnya makro dan bersifat filosofis, produk ini merupakan dasardasar yang penting dalam menentukan arah

kebijaksanaan perkembangan kota. Produk selanjutnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang secara makro sudah lebih teknis sifatnya, sedangkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) skalanya wilayah dan lebih detail dari yang di atasnya. Makin ke bawah lagi skalanya makin mikro yaitu yang dikenal dengan Rencana Teknik Ruang Kota) RTRK. Dalam tataran hirarki, RTBL sebenarnya setingkat dengan RTRK namun RTBL tidak secara administratif hirarkis dari rencana tata ruang di atasnya, sehingga kawasan RTBL lebih dibatasi pada kawasan fungsional khusus tertentu. Dari berbagai tingkatan rencana kota tersebut, maka akan diikuti dengan peraturan daerah sebagai alat implementasi rencana tata ruang. Produk RTBL juga harus diikuti dengan pembentukan Peraturan Bangunan Khusus (PBK). Dalam pelaksanaan, sesuai kompleksitas permasalahan kawasannya, RTBL juga dapat berupa: rencana aksi/kegiatan komunitas (community-action plan/CAP), rencana penataan lingkungan (neighbourhood-development plan/NDP), panduan rancang kota (urban-design guidelines/UDGL). Seluruh rencana, rancangan, aturan, dan mekanisme dalam penyusunan Dokumen RTBL harus merujuk pada pranata pembangunan yang lebih tinggi, baik pada lingkup kawasan, kota, maupun wilayah.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah Pelaksanaan konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan

kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan tanah yang telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Secara ringkas, kebijakan ini meliputi: penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau ditingkatkan; pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata ruang, tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan,

memelihara tanah, tidak merobah bentang alam, memberikan nilai tambah penggunaan tanah dan lingkungan; pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta kepentingan masyarakat sekitar; terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan; tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara; penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil harus memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke pantai/laut; apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi; penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah.

Kebijakan di atas, selanjutnya, harus menjadi koridor dalam penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan

penatagunaan tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga jenis kegiatan pokok, yaitu: a. pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah; b. penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; c. penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang wilayah. Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan informasi yang disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala lebih besar dari pada skala peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan, sedangkan outcome-nya adalah kesesuaian dan

keserasian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang yang disepakati. Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas, pada dasarnya, adalah data dan informasi yang dikemas dalam bentuk neraca perimbangan (Balance). Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual maupun spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data dan informasi penatagunaan tanah merupakan bagian dari perencanaan dan pemodelan suatu rencana tata ruang. Karena itu, infrastruktur data spasial dan teknologi informasi penatagunaan tanah memegang peranan penting dan strategis dalam penataan ruang. Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam suatu bentuk yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan. Dalam menyusun rencana tata ruang, keputusan yang baik tentunya harus didasarkan pada informasi penatagunaan tanah yang baik. Selanjutnya,

informasi penatagunaan tanah yang baik harus pula didasarkan pada data yang baik. Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial

penatagunaan tanah untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang mencakup dua hal. Pertama, informasi penatagunaan tanah merupakan input dalam proses pembuatan keputusan (informed

decisions). Kedua, informasi tekstual dan spasial juga diperlukan dalam rangka analisis dampak keputusan. Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut harus bisa diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari keputusan yang dibuat tersebut (decisions outcome). Dengan demikian,

akuntabilitas keterpaduan antara komunitas, dampak, dan efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka mendukung pengambilan dan analisis dampak keputusan dalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang, Direktorat Penatagunaan Tanah pada Tahun Anggaran 2007 telah melakukan pengumpulan dan analisa data penatagunaan tanah yang dikemas dalam bentuk Atlas Neraca Penatagunaan Tanah Nasional. Atlas ini berisi data dan informasi tekstual dan spasial tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang. Sebagai contoh, berikut ini disajikan tabel dan gambar yang berisi informasi tekstual tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang dalam sekala nasional.

3) Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat dan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kata-kata pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut di atas merupakan kata kunci (key words) dalam rangka melaksanakan pembangunan dewasa ini maupun di masa yang akan datang. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1990: 127). Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan merupakan suatu terjemahan bebas dari istilah sustainable development yang menggambarkan adanya saling ketergantungan antara pelestarian dan pembangunan. Istilah ini untuk pertama kalinya mulai diperkenalkan oleh The World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan pada tahun 1980 yang menekankan bahwa kemanusiaan, yang merupakan bagian dalam alam, tidak mempunyai masa depan kecuali bila alam dan sumber daya alam dilestarikan. Dokumen ini menegaskan bahwa pelestarian tidak dapat dicapai tanpa dibarengi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan kesengsaraan ratusan juta umat manusia. 4) Undang- Undang Republik Indonesia No. 4 TAHUN 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,

pemeliharaan, pemulihan pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Inti masalah lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup (organisme) dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik yang juga merupakan inti permasalahan bidang kajian ekologi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah oleh Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat dan bertujuan untuk mewujudkan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kata-kata pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut di atas merupakan kata kunci (key words) dalam rangka melaksanakan

pembangunan dewasa ini maupun di masa yang akan datang. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1990: 127). Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan merupakan suatu terjemahan bebas dari istilah sustainable development yang menggambarkan adanya saling ketergantungan antara pelestarian dan pembangunan. Istilah ini untuk pertama kalinya mulai diperkenalkan oleh The World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan pada tahun 1980 yang menekankan bahwa kemanusiaan, yang merupakan bagian dalam alam, tidak mempunyai masa depan kecuali bila alam dan sumber daya alam dilestarikan. Dokumen ini menegaskan bahwa pelestarian tidak dapat dicapai tanpa dibarengi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan kesengsaraan ratusan juta umat manusia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025

BAB II PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL Pasal 2 (1) Program Pembangunan Nasional periode 2005 2025 dilaksanakan sesuai dengan RPJP Nasional. (2) Rincian dari program pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pada

Lampiran Undang-Undang ini. Pasal 3 RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya

Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Pasal 4 (1) RPJP Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (2) RPJP Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman dalam penyusunan RPJM Nasional yang memuat Visi, Misi dan Program Presiden. Pasal 5 (1) Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk

menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya. (2) RKP sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.

Pasal 6 (1) RPJP Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi acuan dalam penyusunan RPJP Daerah yang memuat visi, misi, dan arah Pembangunan Jangka Panjang Daerah. (2) RPJP Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman dalam penyusunan RPJM Daerah yang memuat Visi, Misi dan Program Kepala Daerah.

(3) RPJM Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memerhatikan RPJM Nasional.

BAB III PENGENDALIAN DAN EVALUASI Pasal 7 (1) Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Nasional. (2) Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Daerah. (3) Tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

10

TEORI PERENCANAAN
OLEH WESTI SUSI AYSA D521 10 280

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

11

You might also like