You are on page 1of 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN IMOBILITAS

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas normal. Imobilitas dan intoleran aktivitas sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian besar lansia mengalami imobilitas dengan bermacam-macam penyebab. Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang digunakan untuk lansia mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul. Prevalensi dari masalah ini meluas di luar institusi sampai melibatkan seluruh lansia. Awitan imobilitas atau intoleran aktivitas pada sebagian besar orang tidak terjadi secara tiba-tiba. Awitannya bertahap dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi berkembang secara perlahan dan tanpa disadari. Seorang perawat harus memberikan intervensi yang tepat agar dapat menghambat terjadinya ketergantungan fisik total. Intervensi yang diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami imobilitas?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui, memahami dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami imobilitas 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan mampu menjelaskan definisi imobilitas. 2. Mengetahui dan mampu menjelaskan kembali faktor penyebab dan karakteristik imobilitas pada lansia. 3. Mengetahui dan mampu menjelaskan dampak imobilitas pada lansia. 4. Megetahui dan mampu menjelaskan pencegahan imobilitas yang terjadi pada lansia.

1.4 Manfaat Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberi informasi bagi mahasiswa keperawatan dan dapat menjadi bekal dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam keperawatan gerontik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur,tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009). Immobility (imobilisasi) adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau lebih (Adi, 2005). Suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang (Pusva, 2009). Didalam praktek medis imobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan.

2.2 Epidemiologi Immobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang orang lanjut usia (lansia), pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Dampak imobilisasi lama terutama dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar 0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal tiap tahunnya.

2.3 Batasan karakteristik 1. Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan, termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi. 2. Keengganan untuk melakukan pergerakan. 3. Keterbatasan rentang gerak. 4. Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot. 5. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protokol-protokol mekanis dan medis. 6. Gangguan koordinasi.

2.4 Faktor Risiko Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut, seperti pada tabel berikut: Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut Gangguan muskuloskeletal Artritis Osteoporosis Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus) Lain-lain (misalnya penyakit paget) Gangguan neurologis Stroke parkinson Penyakit Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)

Penyakit kardiovaskular

Gagal jantung kongensif (berat) Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering) Penyakit vaskular perifer (kardkasio yang sering) Penyakit paru obstruksi kronis (berat) Gangguan penglihatan

Penyakit paru Faktoe sensorik

Takut (instabilitas dan takut akan jatuh) Penyebab lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha) Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat Nyeri akut atau kronik Lain-lain Dekondisi (setelah tirah baring lama metastasis luas pada keganasan) Malnutrisi Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan) Depresi Efek samping obat (misalnya kekuatan yang disebabkan obat antipsikotik)

2.5 Manifestasi klinis Dampak fisiologis dari imobilitas, antara lain: Efek

Hasil Penurunan konsumsi oksigen maksimum Penurunan fungsi ventrikel kiri Penurunan volume sekuncup

Intoleransi ortostatik Peningkatan denyut jantung, sinkop Penurunan kapasitas kebugaran

Perlambatan fungsi usus Pengurangan miksi Gangguan tidur

Konstipasi Penurunan evakuasi kandung kemih Bermimpi pada siang hari, halusinasi

Tabel 2. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ Organ / Sistem Muskuloskeletal Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktor, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi Kardiopulmonal dan Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan pembuluh darah perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agresi trombosit, dan hiperkoagulasi Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan laserasi kulit Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral Neurologi dan psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuromuskular yang tidak efisien Traktus gastrointestinal Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran dan urinarius kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal

2.6 Komplikasi Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik.

2.7 Prognosis Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian

2.8 Terapi Tatalaksana Umum 1. Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha. 2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien. 3. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi. 4. Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyetara lainnya. 5. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentkan bila memungkinkan. 6. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral. 7. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi terbatas.

8. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi. 9. Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.

Tatalaksana Khusus 1. Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat tabel 1). 2. Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi. 3. Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. 4. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasienpasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen.

2.9 Pencegahan 1. 1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodik, pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat timbul akibat imobilitas atau ketidak aktifan. 1.1 Hambatan terhadap latihan Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi sosial yang terjadi ketika temanteman dan keluarga telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk), depresi, gangguan tidur, kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung. 1.2 Pengembangan program latihan Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor

pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:

Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadi sebelum, selama dan setelah aktivitas diberikan). Kecenderungan alami (predisposisi atau peningkatan kearah latihan khusus). Kesulitan yang dirasakan. Tujuan dan pentingnya latihan yang dirasakan. Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan berhasil).

1.3 Keamanan Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.

1. 2.

Pencegahan Sekunder

Spiral menurun yang terjadi akibat eksaserbasi akut dari imobilitas dapat dikurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dari suatu pengertian tentang berbagai faktor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan yang dihubungkan dengan pencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.

2.10 WOC (Terlampir) Download : WOC IMOBILITAS BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian 1. Pemeriksaan fungsi motorik

Pemeriksaan kekuatan otot

Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual (manual muscle testing MMT). Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan mengontraksikan kelompok otot secara volunter.

Prosedur pelaksanaan MMT:

1. Lansia diposisikan sedemikan rupa sehingga otot mudah berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. 2. Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian. 3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan. 4. Lansia mengkontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen proksimal. 5. Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada tendon atau perut otot. 6. Memberikan tahanan pada otot yang bergerak dengan luas gerak sendi penuh. 7. Melakukan pencatatan hasil MMT.

Kriteria hasil pemeriksaan MMT: 1. Normal (5): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi dan melawan tahan maksimal. 2. Good (4): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan gravitasi dan melawan tahanan sedang (moderat). 3. Fair (3): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa tahanan. 4. Poor (2): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi. 5. Trace (1): tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi. 6. Zero (0): kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.

1. Pemeriksaan tonus otot Tonus otot adalah ketegangan minimal suatu otot dalam keadaan istirahat. Dapat diperiksa dengan beberapa cara yaitu dengan palpasi, gerakan pasien dan vibrasi.

1. Pemeriksaan luas gerak sendi Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat dilakukan oleh suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk mengetahui besarnya LGS

suatu sendi dan membandingkannya dengan LGS sendi yang normal, membantu diagnosis dan menentukan fungsi sendi. Pengukuran LGS menggunakan Goniometer: 1. Posisi awal posisi anatomi, yaitu tubuh tegak, lengan lurus di samping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap bawah. 2. Sendi yang di ukur harus terbuka. 3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan. 4. Berikan gerakan pasif 2 atau 3 kali. 5. Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal. 6. Tentukan aksis gerakan baik secara aktif/pasif. 7. Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal. 8. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi. 9. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS.

1. Pemeriksaan postur Pemeriksaan postur di lakukan dengan cara inspeksi pada posisi berdiri. Pada posisi tersebut postur yang baik/normal dapat terlihat dengan jelas. Dari samping, tampak telinga, akromium, trunk, trokanter mayor, patela bagian posterior dan maleolus lateralis ada dalam satu garis lurus.

1. Pemeriksaan kemampuan fungsional Ada beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional. 1. Indeks ADL Barthel NO 1 FUNGSI SKOR KETERANGAN Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu pembuangan tinja pencahar). 1 Kadang-kadang tak terkendali 2 (1x seminggu). Mengendalikan rangsang 0 berkemih 1 Terkendali teratur. Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali

2 3 Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi) Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram) 0 1 0 1 2

(hanya 1x/24 jam) Mandiri Butuh pertolongan orang lain Mandiri Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolonganpada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain. Mandiri Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bias duduk Bantuan minimal 1 orang.

Makan

0 1 2

Berubah sikap dari berbaring ke duduk

0 1 2 3

Berpindah/ berjalan

0 1 2 3

Mandiri Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda. Berjalan dengan bantuan 1 orang. Mandiri Tergantung orang lain Sebagian dibantu (mis: memakai baju) Mandiri. Tidak mampu

Memakai baju

0 1 2

Naik turun tangga

1 10 Mandi 2 0 1

Butuh pertolongan Mandiri Tergantung orang lain Mandiri

TOTAL SKOR Skor BAI : 20 : Mandiri

12-19 : Ketergantungan ringan 9-11 : Ketergantungan sedang 5-8 0-4 : Ketergantungan berat : Ketergantungan total

1. Indeks Katz Mengukur kemampuan mobilisasi dengan menggunakan 6 kegiatan: makan, kontinensia, menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi. Termasuk kategori yang mana: 1. Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah, dan mandi. 2. Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas. 3. Mandiri, kecuali mandi, dan satu lagi fungsi yang lain. 4. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan satu lagi fungsi yang lain. 5. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, dan satu lagi fungsi yang lain.

1. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain. 2. Ketergantungan untuk semua fungsi diatas. Keterangan: Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain.

Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu.

1. Indeks kenny-self care Skala ini mengukur kemampuan perawatan diri yang meliputi 6 kategori: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tidur dan istirahat Berpindah Bergerak Berpakaian Personal hygiene Makan

Dalam memenuhi kebutuhan fungsional ini diperlukan hal-hal yang mencakup kemampuan fisik, motivasi, bimbingan dan kemauan untuk belajar. Skala ini dilakukan untuk mengukur kemampuan fungsional lansia yang dilakukan dalam lingkungan yang tertutup, terlindungi atau dalam pengawasan perawat home careatau rumah sakit. Penilaian ini tidak termasuk aktifitas diluar rumah seperti berjalan ke kendaraan, menggunakan alat transportasi umum, dan bekerja seperti mengangkat beban.

1. Indeks ADL

PENGKAJIAN B1-B6 1. B1 (Breath): Sekret susah keluar, Sesak nafas. Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperatur dan denyut jantung. Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri mengindikasikan adanya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi. 1. B2 (Blood): Pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri (tegak), dan mudah lelah. Tanda dan gejala B1 (kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyakinkan tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostik yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif.

Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitan dalam mengikuti perintah dan sinkop 1. B3 (Brain): Daya hantar saraf menurun, koordinasi terganggu, aktivitas terganggu. 2. B4 (Bladder): Adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna. Adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK) karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran kencing. Serta terjadi batu saluran kencing karena faktor osteoporosis dan diet yang tinggi kalsium maka mengakibatkan hiperkalsiuria. Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah 1. B5 (Bowel): Konstipasi karena tirah baring yang lama. Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa penuh, dan tekanan. Pengosongan rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala 1. B6 (Bone): Nyeri pada tulang dan sendi, kaku/susah digerakkan, nyeri leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis.

3.2 Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan mobilisasi b.d penurunan kekuatan dan ketahanan otot Definisi: Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik, tetapi bukan imobilisasi. Kriteria hasil: Individu menunjukkan peningkatan kekuatan dan fungsi sendi serta tungkai yang sakit. Memperlihatkan penggunaam alat-alat yang adaptif untuk meningkatkan mobilitas. Kriteria Mayor: 1. Penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja dalam lingkungan (misal: mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi). 2. Keterbatasan rentang gerak.

Kriteria Minor: 1. Pembatasan pergerakan yang dipaksakan. 2. Enggan untuk bergerak.

No. Intervensi Rasional 1. Ajarkan untuk melakukan 1. Latihan rentang gerak sangat latihan rentang gerak aktif pada membantu lansia untuk anggota gerak yang sehat mandiri dan meminimalkan sedikitnya empat kali sehari. risiko cidera. 1. Lakukan latihan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang sakit. Lakukan dengan perlahan, sangga ekstremitas di bagian atas dan bawah sendi. 2. Secara bertahap lakukan latihan rentang gerak aktif untuk aktivitas fungsional.

Amati dan ajarkan penggunaan alat bantu mobilisasi misal: kruk, walker, kursi roda, dsb.

Dorong partisipasi aktivitas sehari-hari.

2.

1. Penggunaan alat bantu yang tepat dapat memaksimalkan mobilisasi untuk aktivitas fungsional.

1. Meningkatkan harga diri, meningkatkan rasa kontrol

dan kemandirian.

3.

1. Intoleran aktivitas b.d nyeri sendi Definisi: Penurunan dalam kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan aktivitas sampai tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan. Kriteria hasil: Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sesuai tingkat kemampuan. TTV dalam batas normal. Kriteria Mayor: 1. Selama aktifitas: kelemahan, pusing, dispnea. 2. 3 menit setelah aktivitas: pusing, dispnea, keletihan akibat aktivitas, RR 24, Nadi 95 Kriteria Minor: 1. Pucat/cyanosis 2. Konfusi 3. Vertigo

No. Intervensi Rasional 1. Observasi laporan kelemahan, 1. Nyeri yang dirasakan dapat perhatikan ketidakmampuan membatasi aktivitas sehariuntuk berpartisipai dalam hari. aktivitas sehari-hari.

Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan. Dorong istirahat 2. sebelum makan.

1. Menghemat energi untuk aktivitas dan regenerasi selular.

Implementasikan teknik

penghematan energi, contoh: lebih baik duduk daripada berdiri, penggunaan kursi untuk mandi. Bantu aktivitas lain sesuai indikasi. 3.

1. Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.

1. Resiko cedera fisik b.d penurunan fungsi tubuh Definisi: Keadaan dimana seorang individu beresiko untuk mendapat bahaya karena defisit perceptual atau fisiologis, kurangnya kesadaran tentang bahaya, atau usia lanjut. Kriteria hasil: Individu dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terhadap cidera. Mengungkapkan suatu keinginan untuk melakukan tindakan pengamanan sehingga mencegah cidera.

No. Intervensi 1. Orientasikan klien dengan ruangan yang baru disekelilingnya.

Rasional 1. Menghindari terjadinya disorientasi tempat.

Gunakan lampu dimalam hari, anjurkan individu untuk 2. meminta bantuan dimalam hari.

1. Penerangan yang efektif membantu lansia mengenali benda disekitarnya sehingga mengurangi risiko cidera.

Pertahankan tempat tidur pada. posisi terendah dimalam hari.

1. Menghindari risiko jatuh dari tempat tidur.

3. Ajarkan penggunaan kruk, tongkat, walker prostese dengan tepat.

1. Mengurangi cidera iatrogenic.

4.

1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus sekunder terhadap tirah baring yang lama Definisi: Keadaan dimana individu mengalami stasis usus besar, yang mengakibatkan eliminasi jarang dan/keras, feses kering.

Kriteria hasil: 1. Individu akan menunjukkan eliminasi yang membaik 1. Dapat menjelaskan rasional dari intervensi Kriteria Mayor: 1. Feses keras dan berbentuk 2. Defekasi < 3 kali seminggu Kriteria Minor: 1. 2. 3. 4. Penurunan bising usus Mengeluh rektal penuh Merasakan tekanan pada rectum Nyeri saat defekasi

No. Intervensi 1. Ajarkan pentingnya diet seimbang.

Rasional 1. Diet yang tinggi serat dapat mempermudah pengeluaran feses.

1. Memperlancar BAB. 2. Dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan (8-10 gelas) kec.dikontraindikasikan.

Anjurkan minum air hangat 30 menit sebelum sarapan pagi. 3.

1. Cairan ini dapat bertindak sebagai stimulus untuk evakuasi usus.

Bantu individu untuk posisi semi jongkok. 4.

1. Posisi ini memungkinkan penggunaan optimal otot abdomen dan efek gravitasi kuat.

1. Memberikan informasi yang adekuat, mencegah komplikasi lebih lanjut. Berikan health education untuk mencegah tekanan rektal yang menyebabkan hemoroid. 5.

1. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi sekunder terhadap IMA. Definisi: Keadaan dimana individu mengalami kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri. Kriteria hasil: 1. Individu dapat mengidentifikasi kesukaan akan aktivitas perawatan diri. (mis: waktu, lokasi, produk)

2. Berpartisipasi secara fisik dan/atau verbal dalam aktivitas pemberian makanan, mengenakan pakaian, ke kamar mandi, mandi. Kriteria Mayor: 1. Kurangnya kemampuan untuk makan sendiri. 1. Tidak dapat memotong makanan 2. Tidak dapat membawa makanan ke mulut 3. Kurangnya kemampuan untuk mandi sendiri (termasuk membasuh seluruh anggota tubuh, menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan terhadap kulit, dan kuku serta menggunkan rias wajah).

No. Intervensi Rasional 1. Kaji faktor penyebab sindrom 1. Dengan mengetahui defisit perawatan diri. penyebab dari sindrom maka masalah lebih mudah di atasi.

2.

Tingkatkan partisipasi optimal.

1. Mengjarkan klien untuk mandiri.

3.

Tingkatkan harga diri dan kemampuan diri.

1. Agar klien memiliki rasa percaya diri untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

1. Agar klien dapat termotivasi. Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri.

4.

1. Untuk mengetahui

Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap tindakan perawatan diri. 5.

perkembangan kemampuan klien.

1. Resiko infeksi saluran kemih berhubungan dengan stagnasi urine dan batu saluran empedu. Definisi: Keadaan dimana seorang individu beresiko terserang oleh agen patogenik atau oportunistik (bakteri, jamur, protozoa, parasit lain) dari sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen/eksogen. Kriteria Hasil: 1. Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi. 2. Melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.

No. Intervensi 1. Evaluasi semua hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal, khususnya kultur/sensitifitas, JDL.

Rasional 1. Mengetahui tingkat infeksi klien.

2.

Kaji tanda/gejala abnormal pada klien sesuai prosedur urologis.

1. Sebagai tanda peringatan dini terjadinya infeksi.

3.

Pantau suhu klien paling sedikit setiap 24 untuk mengetahui peningkatan dan laporkan pada dokter jika lebih dari 37,8 C.

1. Mengetahui perubahan suhu klien, apabila suhu klien tinggi maka infeksinya sudah parah.

Berikan cairan bila diperlukan. 1. Mengganti cairan yg kluar melalui kringat dan urine. 4. Kaji kembali kebutuhan kateter urine indwelling setiap hari. 5. 1. Menyesuaikan dengan kondisi klien, apabila terjadi infeksi maka sebaiknya penggunaan kateter di ganti setiap hari.

1. Mengurangi inflamasi. Berikan antibiotik. 6.

7. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan absorbsi vitamin dan mineral sekunder akibat imobilitas Definisi: Suatu keadaan dimana individu yang tidak puasa mengalami atau yang beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat atau metabolisme nutrient yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik. Kriteria hasil: Individu akan 1. Meningkatkan masukan oral seperti yang ditunjukkan oleh perawat. 2. Menjelaskan faktor-faktor penyebab apabila diketahui. 3. Menjelaskan rasional dan prosedur pengobatan. Kriteria Mayor: Individu yang tidak puasa melaporkan atau mengalami masukan makanan tidak adekuat, kurang dari yang dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan atau kebutuhan-kebutuhan metabolik aktual atau potensial dalam masukan yang berlebihan. Kriteria Minor:

1. Berat badan 10% sampai 20% atau lebih dibawah berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh. 2. Lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan tengah kurang dari 60% standart pengukuran. 3. Kelemahan otot dan nyeri tekan. 4. Peka rangsang mental dan kekacauan mental.

1. Penurunan albumin serum. 2. Penurunan transferin serum atau penurunan kapasitas ikatan besi.

No. Intervensi 1. Buat pilihan menu yang ada dan ijinkan klien untuk mengontrol pilihan sebanyak mungkin.

Rasional 1. Klien yang meningkat rasa percaya dirinya dan merasa mengontrol lingkungan lebih suka mnyediakan makanan untuk makan.

Berikan makan sedikit dan 2. makanan kecil tambahan yang tepat.

1. Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makanan terlalu cepat setelah periode puasa.

3.

Berikan makanan yang mudah dicerna misal: bubur, jus buahbuahan, sereal.

1. Makanan yang lembut memudahkan lansia untuk menelan dan menurunkan kerja usus.

Sadari pilihan-pilihan makanan rendah kalori/minuman, menimbun makanan, membuang makanan dalam 4. berbagai tempat seperti saku

1. Klien akan mencoba menghindari mengambil makanan bila tampak mengandung banyak kalori dan mau makan lama untuk menghindari makan.

atau kantung pembuangan.

8. Keletihan b.d defisit nutrisional dan penurunan metabolisme nutrient sekunder akibat mual muntah Definisi: Keadaan pengenalan diri dimana seorang individu mengalami perasaan kecapaian yang berlebihan terus-menerus dan penurunan kapasitas kerja fisik dan kerja mental yang tidak dapat dihilangkan dengan istirahat.

Kriteria hasil: individu akan 1. 2. 3. 4. Mendiskusikan sebab-sebab kelelahan. Mengungkapkan perasaan mengenai efek dari keletihan. Menetapkan prioritas untuk aktifitas sehari-hari. Ikut serta dalam aktifitas disekitarnya.

Kriteria Mayor: 1. Mengungkapkan tentang kekurangan energy yang tak kunjung habis dan berlebihan. 2. Ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas biasa. Kriteria Minor: 1. 2. 3. 4. 5. Meningkatnya keluhan fisik. Secara emosional labil dan mudah tersinggung. Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi. Penurunan kinerja. Letargi atau tidak bergairah.

No. Intervensi Rasional 1. Evaluasi laporan kelelahan, 1. Menentukan derajat kesulitan menyelesaikan (berlanjut/perbaikan) dari tugas, perhatikan kemampuan efek ketidak mampuan. tidur/istirahat dengan tepat.

Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktivitas 2. yang diinginkan/dibutuhkan.

1. Mengkaji kebutuhan individual dan menentukan intervensi.

Rencanakan periode istirahat yang lebih adekuat. 3. 1. Mencegah kelelahan berlebihan dan menyimpan energi untuk penyembuhan, regenerasi jaringan.

Identifikasi faktor stress/psikologis yang dapat memperberat. 4.

1. Mungkin memiliki efek akumulatif (sepanjang faktor psikologis) yang dapat diatasi bila masalah diketahui.

Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan tingkatkan tingkat partisipasi klien sesuai kemampuannya.

1. Meningkatkan rasa aman, meningkatkan percaya diri dan membatasi frustasi akibat ketidakmampuan.

5.

9. Resiko aspirasi b.d refluk isi lambung sekunder akibat pengosongan lambung yang tidak sempurna. Definisi: Keadaan dimana individu beresiko terhadap pemasukan sekresi, benda padat, atau cairan ke dalam saluran trakeobronkial. Kriteria hasil: Individu tidak mengalami aspirasi, mengungkapkan tindakan untuk mencegah aspirasi.

No. Intervensi 1. Minimalkan posisi tidur terlentang, ubah posisi miring kanan/kiri atau tengkurap dalam jangka waktu tertentu.

Rasional 1. Posisi terlentang sangat rentan terjadi tersedak.

2.

Hindari makan/minum dengan posisi tidur terlentang, berikan posisi semi fowler.

1. Posisi terlentang sangat rentan terjadi tersedak.

Batasi makan/minum sebelum tidur, minimal 2 jam sebelum tidur. 1. Makan banyak sebelum tidur memungkinkan terjadinya refluks makanan dari lambung.

3.

BAB 4 PENUTUP

Simpulan Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh (impaitment) yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring yang terus menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009). Berbagai masalah sering dihadapi lansia diantaranya pusing atau pingsan mencoba untuk berdiri (tegak), adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna, adanya Infeksi Saluran Kemih

(ISK) karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran kencing, konstipasi karena tirah baring lama, nyeri pada tulang dan sendi, kaku/susah digerakkan, nyeri leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis. Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga serta teman-teman.

Saran Keperawatan gerontik berkembang sejalan dengan globalisasi kesehatan, dimana sistem kesehatan memandang pentingnya pelayanan kesehatan yang berbasis komunitas, peran perawat dalam pelayanan keperawatan menyebar mulai dari individu sampai masyarakat dan diberbagai tatanan pelayanan. Seorang perawat harus bisa memberikan intervensi yang tepat agar dapat menghambat terjadinya ketergantungan fisik total pada lansia yang mengalami imobilisasi fisik. Intervensi yang diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35347.html 08 maret 2012-03-08

SETIAP orang yang dipijat selalu berangan-angan tubuhnya menjadi sehat, terasa hangat, nyaman serta rileks. Oleh karena itu, pijat berusaha merangsang agar otot normal (tonus otot). Kekuatan otot secara phatology dapat diukur dengan manual yang dikenal dengan nama Manual Muscle Testing (MMT). Oleh sebab itu, ketegangan otot dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Dalam keadaan normal otot mempunyai tingkat ketegangan tertentu disebut tonus otot. 2. Bila ketegangan otot menurun disebut hypotonus otot. 3. Bila ketegangan otot meningkat disebut hypertonus otot. 4. Bila ketegangan otot menurun, hilang sama sekali sehingga kekuatan otot juga hilang disebut paralysis. 5. Bila ketegangan otot menurun dan masih ada kekuatannya walaupun sangat lemah disebut weaknessatau derajat nilai otot. MMT (manual muscle testing) menilai kekuatan otot, dibedakan

menjadi enam kategori, yaitu: 1. Nilai 0, artinya kekuatan otot hilang sama sekali (lumpuh). 2. Nilai 1, artinya otot dapat berkontraksi, tetapi tanpa gerakkan. 3. Nilai 2, artinya dapat menggerakkan sendi tanpa melawan grafitasi. 4. Nilai 3, artinya dapat bergerak grafitasi tanpa beban. 5. Nilai 4, artinya dapat bergerak melawan grafitasi tambah beban minim. 6. Nilai 5, artinya kekuatan otot cukup dan penuh (normal). Jadi, jika dikaitkan dengan nilai itu, maka nilai 0 adalah lumpuh (paralysis). Sedangkan nilai 1-4 adalahweakness (lumpuh namun masih ada gerakan minim), dan nilai 5 otot dinyatakan sehat atau normal. [L1]
Seringkali pasien mendatangi klinik untuk mendapatkan pertolongan karena merasa lemah dan kenyataannya memang lemas dan merasa tak bertenaga untuk itu dokter atau tenaga medis lainnya melakukan pengukuran kekuatan otot secara tradisional artinya mengukur kekuatan otot pasien dengan memakai skala klasik 0,1,2,3,4,5. antara lain; Skala 0. artinya otot tak mampu bergerak, misalnya jika tapak tangan dan jari mempunyai skala 0 berarti tapak tangan dan jari tetap aja ditempat walau sudah diperintahkan untuk bergerak. Skala 1. jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti otot masih belum atrofi atau belum layu. Skala 2, dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah sesuai perintah misalnya tapak tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak Skala 3, dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal misalnya dapat menggerakkan tapak tangan dan jari Skala4, Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan. Skala 5, bebeas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal

Skala diatas pada umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perburukan pada seseorang penderita. Menjabat tangan pasien dapat juga di gunakan untuk mengukur kekuatan ototnya, dengan cara mengajak berjabat tangan dan menganjurkan pasien untuk mengerahkan tenaga memencet jari-jari kita. Kalau lemah akan terasa tangan pasien tak mampu meremas kuat tangan kita. Kesulitannya adalah kalau pasien cewek yang tak pernah menggunakan tenaga otot jari tangan, remasannya terasa kurang kuat walaupun sudah dipaksakan untuk itu dapat diperiksa lebih jauh dengan hati-hati. Dapatkah skala ini dipakai untuk mengukur kekuatan Mr P yang sedang ereksi ? mungkin ada kompasioner yang bisa menjawab.

Mengukur kekuatan otot (ROM)


Skala 1 Jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti otot masih belum atrofi atau belum layu.

Skala 2, Dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah sesuai perintah misalnya tapak tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak

Skala 3, Dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal misalnya dapat menggerakkan telapak tangan dan jari Skala4, Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan.

Skala 5, Bebas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal

Skala diatas pada umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perburukan pada seseorang penderita.
http://laili-nur.blogspot.com/2011/11/cara-mengukur-kekuatan-otot.html

Kegunaan dari pengukuran kekuatan otot ini adalah mengetahui kekutan otot atau grup otot, menentukan tempat kerusakan jaras syaraf, menentukan program latihan, serta kekuatan otot sebagai kontraksi maksimal dengan gerakan. Untuk mengetahui kekuatan otot pada manusia telah ditemukan berbagai rangkaian test, diantaranya MANUAL MUSCLE TEST, TORQUEMETER, DINAMOMETER, BIOFEEDBACK, ELEKTRODIAGNOSIS, dan berbagai test lain yang dapat membantu mengidentifikasi kekuatan otot kita.

Stabilitas dalam pengukuran kekuatan otot ini berguna untuk mengisolasi dan menfiksasi otot agar gerakan hanya pada sendi yang spesifik. Tetapi sebagaimana test-test yang lain yang memiliki keterbatasan pengukuran kekuatan otot ini pun demikian diantaranya sangat subyektifitas, hanya mengukur pada kondisi lower motor neuron dan tanpa adanya kontraktir, serta kesulitan dalam memposisikan pasien untuk test yang tepat. Tingkat penilaian kekutan otot dapat dikategorikan dalam :

NORMAL (5) GOOD (4) FAIR (3) POOR (2) TRACE (1) ZERO (0) C CC S SS Tehnik latihan jalan dengan alat bantu dapat dilakukan dengan berbagai tipe, diantaranya adalah : Full Weight Bearing ( FWB) : tehnik jalan dng cara tungkai(LE) menyangga penuh berat badan/diberi beban penuh. Tanpa alat bantu. Partial Weight Bearing (PWB) : tehnik jalan dng cara tungkai (LE) menyangga sebagian dari BB/ diberi beban sebagian pakai alat bantu. Non Weight Bearing (NWB) : tehnik jalan dng cara tungkai (LE) tidak menyangga BB/ tanpa beban.Pakai alat bantu. Jenis-jenis alat bantu yang dipakai di antaranya: WALKER AXILLA KRUK CANADIAN KRUK TRIPOD / QUADRIPOD STICK

You might also like