You are on page 1of 17

o

WordPress.com

Setiap orang wajib punya NPWP ?


May 29, 2008 Hardi Kewajiban untuk memiliki NPWP sebenarnya sudah diberlakukan semenjak UU Pajak No. 6 tahun 1983. Walaupun kemudian, dalam pelaksanaannya tidak semua Wajib Pajak (WP) diharuskan memiliki NPWP. Bagi WP orang pribadi yang penghasilannya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan atau WP orang pribadi yang sumber penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Pengecualian dari kewajiban melaporkan SPT berarti juga pengecualian kewajiban untuk memiliki NPWP. Kemudian, sejak berlakunya UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap WP orang pribadi diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat domisili orang pribadi tersebut (KPP Domisili). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 16 tahun 2000 sebagai berikut : Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Meskipun setiap Wajib Pajak wajib memiliki NPWP, tetapi dalam petunjuk pelaksanaannya masih diberikan keringanan bagi WP yang penghasilannya tidak melebihi PTPK. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001. Sejak tahun 2001, tidak ada lagi pengecualian bagi WP orang pribadi yang penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja. Disamping itu, mulai tahun pajak 2001 pihak Ditjen Pajak juga mulai gencar melakukan law enforcement melalui berbagai cara untuk memberikan NPWP kepada WP orang pribadi. Bahkan, melalui KEP-338/PJ./2001, Ditjen Pajak meminta kepada perusahaan sebagai pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya untuk mendapatkan NPWP. Berbagai cara ditempuh pihak Ditjen Pajak pada saat itu untuk mengumpulkan data dan informasi apakah penghasilan WP orang pribadi sudah melebihi PTKP sebagai dasar untuk untuk menetapkan NPWP secara jabatan. Misalnya berdasarkan data pelanggan telepon seluler pasca bayar, data pemilik tempat tinggal di kawasan real estate, data pelanggan listrik untuk perumahan dengan daya 6.600 watt atau lebih, data pemilik kartu kredit dan sebagainya. Pada tahun 2007, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2007, para pemberi kerja dan atau bendaharawan pemerintah diminta untuk mendaftarkan karyawannya secara massal untuk diberikan NPWP. Untuk itu, Ditjen Pajak memberikan program aplikasi

e</em>-NPWP kepada pemberi kerja yang akan digunakan untuk membuat daftar nominatif seluruh karyawan yang dikelompokkan berdasarkan penghasilannya, yaitu yang di atas PTKP dan yang di bawah PTKP, yang sudah ber-NPWP maupun yang belum berNPWP. Terakhir, berdasarkan UU No. 28 tahun 2007, dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) diatur bahwa : Ayat 1 Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat 4 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). Selanjutnya, dalam Pasal 37A ayat (2) diatur bahwa : Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini*) diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. *) UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008 Berdasarkan pasal ini berarti WP orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dapat memperoleh pengampunan berupa penghapusan sanksi administratif atas pajak yang kurang dibayar bila menyampaikan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak sebelum diperolehnya NPWP. Sementara yang memperoleh NPWP secara jabatan tidak bisa mendapatkannya (Hrd). Sumber : Indonesian Tax Review Volume VI/Edisi 44/2007 Posted in Perpajakan, Taxation, UU Pajak. 2 Comments

Penangguhan Beban Penyusutan, apakah diperbolehkan ?


May 17, 2008 Hardi

Jika sekiranya terjadi penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga aktiva mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut. Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika : 1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan 2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya). Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya. Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa aktiva tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi. Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud. Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut : 1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas. 3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)) 4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4)) 5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian. 6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas aktiva tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika aktiva tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual.

Catatan perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan (Hrd). Posted in Accounting, Aktiva Tetap, Depresiasi, PSAK, Penyusutan, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

Persyaratan Usaha Aktif untuk Pengecualian/Pembebasan PPh atas Dividen


May 15, 2008 Hardi Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) bahwa dividen yang diterima oleh badan usaha (intercorporate dividen) bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi persyaratan berikut :

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

Berkaitan dengan persyaratan usaha aktif tersebut, sebuah perusahaan (PT XYZ) yang merupakan perusahaan induk yang memiliki investasi di beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, industri perkebunan, properti dan perhotelan meminta penegasan dari Dirjen Pajak atas permasalahan yang dihadapinya. Dalam Surat Dirjen Pajak No. S-341/PJ.312/2003 tanggal 26 Mei 2003 dipaparkan sebagai berikut : PT XYZ pada tahun 2000 bekerjasama dengan PT ABC mendirikan anak perusahaan PT BCA dengan kepemilikan saham masing-masing sebesar 50%. Pada tahun pajak 2003, PT XYZ memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham, yaitu dengan melakukan kerjasama dengan PT ABC membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PT BCA. Dari sejak masa pembangunan (investasi) hingga pengoperasian PKS tersebut, PT XYZ terlibat secara langsung dalam pengawasan dan pemberian advis. Setelah pabrik beroperasi, PT XYZ menjalankan usaha dagang hasil titip olah, dimana pada awalnya PT XYZ membeli Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani, pedagang pengumpul, dan perusahaan perkebunan yang kemudian diolah oleh PT BCA dan hasil pengolahan berupa CPO dan Inti Kelapa Sawit akan dijual ke pabrik minyak goreng. Pada tahun pajak yang sama (2003), PT BCA sebagai anak perusahaan memutuskan untuk membagikan dividen yang berasal dari laba ditahan tahun buku sebelumnya.

Pertanyaan : apakah dividen yang diterima oleh PT XYZ dari PT BCA pada tahun pajak 2003 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 ? Atas pertanyaan tersebut, Dirjen Pajak menegaskan sebagai berikut : PT XYZ adalah perusahaan induk (50 %) dari PT BCA. Oleh karena itu, apabila kegiatan usaha yang dilakukan di luar kepemilikan saham tersebut hanya kegiatan pengawasan dan pemberian advis dalam pembangunan pabrik kelapa sawit milik anak perusahaan tersebut, maka belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan usaha aktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Pajak Penghasilan, karena kegiatan tersebut bersifat sementara (hingga pabrik selesai dibangun) dan hanya sebagai pengawasan internal pemilik perusahaan. Demikian pula apabila kegiatan perdagangan yang dilakukan hanya terbatas menjalankan fungsi pengawasan/pengendalian terhadap anak perusahaan dalam pengadaan bahan baku (TBS) dan pemasaran hasil produksinya (CPO dan hasil lainnya), maka belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan usaha aktif. Kegiatan PT XYZ di luar kepemilikan saham sebagai perusahaan induk baru dapat dikategorikan sebagai kegiatan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, apabila kegiatan usaha tersebut adalah kegiatan usaha yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan bidang keahlian atau bidang usaha perusahaan penerima dividen, dan bersifat riil seperti menghasilkan/memperdagangkan barang atau jasa dengan bertransaksi secara umum/terbuka menurut praktek bisnis yang lajim. Dalam hal kegiatan PT XYZ memenuhi kategori kegiatan usaha aktif sebagaimana tersebut di atas, maka atas penghasilan dividen yang diterima/diperoleh dari anak perusahaan (PT BCA) dikecualikan/dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 23, apabila pembayaran dividen tersebut berdasarkan Keputusan RUPS yang sah yang dilakukan setelah terpenuhinya persyaratan kegiatan usaha aktif dimaksud. Posted in Dividen, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

Pencatatan Akuntansi atas Pendapatan Dividen dan Implikasi Perpajakannya


May 15, 2008 Hardi Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40 tahun 2007 dalam pasal 71 ayat (2) menjelaskan bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

(Yang dimaksud dengan seluruh laba bersih adalah seluruh jumlah laba bersih dari tahun buku yang bersangkutan setelah dikurangi akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya Penjelasan ayat (2)) Kemudian, dalam ayat (3) diatur bahwa dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif. (Dalam hal laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan belum seluruhnya menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya, Perseroan tidak dapat membagikan dividen karena Perseroan masih mempunyai saldo laba bersih negatif Penjelasan ayat (3)) PSAK No. 21 mengenai Akuntansi Ekuitas paragraf 22 menjelaskan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen, dan dengan demikian pada saat tersebut saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Kewajiban yang timbul lazimnya disajikan dalam kelompok kewajiban lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk aset bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aset yang diserahkan. Dasar pencatatan untuk pembagian dividen dalam bentuk aset bukan kas dan saham harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Berkaitan dengan pendapatan dividen, jika PT A menerima pendapatan dividen atas penyertaan saham di PT B, apakah dalam pembukuan PT A dicatat sebagai pendapatan ? Jawabannya adalah tergantung berapa persen pemilikan saham PT A di PT B. Seperti diatur dalam PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi Dalam Perusahaan Asosiasi bahwa penyertaan saham dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 % dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat berdasarkan biaya perolehan. Jadi, jika penyertaan saham PT A di PT B sebesar 20 % atau lebih (tetapi tidak lebih dari 50 %) maka PT A menerapkan metode Ekuitas, sehingga pendapatan dividen dari PT B tidak dibukukan sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi melainkan dibukukan mengurangi jumlah tercatat penyertaan saham. Sebaliknya, jika penyertaan saham PT A di PT B kurang dari 20 %, maka PT A menerapkan metode Biaya Perolehan dalam pembukuannya sehingga atas pendapatan dividen dari PT B dibukukan sebagai pendapatan dividen dalam laporan laba rugi PT A. Lantas, atas pendapatan dividen yang diterima oleh PT A apakah harus dipotong pajak ? Untuk menjawabnya, mari kita simak ulasan berikut ini :

Atas penghasilan dividen yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15 %. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20 % atau berdasarkan tarif menurut ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty). Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) mengatur bahwa dividen yang diterima oleh badan usaha (intercorporate dividen) bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi persyaratan berikut :

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

Saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 138 tahun 2000 Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur bahwa : 1. Pemotongan PPh oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu; 2. Saat terutangnya penghasilan tersebut lajimnya adalah saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa manajemen lainnya), atau saat tertentu lainnya. Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.43/1993 tanggal 12 Juli 1993 tentang PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri, antara lain ditegaskan bahwa saat terutangnya/pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri adalah sebagai berikut : 1. Bagi perusahaan yang tidak go public, saat terutangnya PPh Pasal 23 atau Pasal 26 adalah pada saat disediakan untuk dibayarkan. Adapun yang dimaksud dengan saat disediakan untuk dibayarkan adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan/ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula, apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka PPh Pasal 23/Pasal 26 terutang pada saat diumumkan/ditentukan dalam Rapat Direksi/Pemegang Saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan. 2. Bagi perseroan yang go public, penentuan saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembagian dividen berdasarkan tanggal RUPS akan mengalami kesulitan

dalam pelaksanaannya, mengingat sampai dengan suatu jangka waktu tertentu setelah tanggal RUPS saham yang diperjual belikan di bursa masih mengandung hak memperoleh dividen, sehingga pemegang saham yang berhak atas dividen tersebut masih berubah-ubah. Pada saat RUPS Tahunan (untuk dividen final) atau Rapat Direksi (untuk dividen interim) pemegang saham yang berhak menerima dividen tersebut belum dapat dipastikan, sehingga pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 terhadap pemegang saham belum dapat dilakukan. Bagi perusahaan yang go public, pemegang saham yang berhak menerima dividen adalah mereka yang terdaftar sebagai pemegang saham pada tanggal tertentu yaitu tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak menerima dividen. Dengan demikian, kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23/Pasal 26 baru timbul pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain, pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen yang dibayarkan atau terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak menerima atau memperoleh dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai. Demikian sekilas pembahasan pencatatan akuntansi atas pendapatan dividen dan implikasi perpajakannya. Semoga bermanfaat (Hrd). Posted in Accounting, Dividen, Equity, PSAK, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

Perlakuan PPh atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi
May 14, 2008 Hardi Bagaimana perlakuan perpajakan atas biaya bunga dan biaya overhead dalam masa konstruksi ? Apakah sesuai dengan perlakuan menurut PSAK ? Dasar Ketentuan Perpajakan : Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-22/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 perihal Perlakuan PPh atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi Berdasarkan SE Dirjen Pajak tersebut diatur bahwa : 1. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui biaya penyusutan.

2. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembelian tanah, biaya bunganya harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan tanah, namun tidak dapat dibebankan sebagai biaya penyusutan. 3. Apabila suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik dan pembelian tanah serta aktiva lainnya yang tidak dapat dipisah-pisahkan perhitungan kapitalisasinya ke dalam masing-masing aktiva tersebut dapat dilakukan secara prorata. 4. Atas biaya overhead (seperti biaya gaji/tunjangan, biaya perjalanan dan biaya lainlain) yang berkaitan dengan pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. Perhitungan kapitalisasi secara prorata juga berlaku dalam hal biaya overhead berkaitan dengan pembangunan/pengadaan berbagai aktiva yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Technorati Tags: Capital Expenditure,Bunga Pinjaman,Borrowing Cost Posted in Borrowing Cost, Bunga Pinjaman, Capital Expenditure, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

MenKeu Terbitkan Petunjuk Teknis Sunset Policy Perpajakan


May 10, 2008 Hardi Technorati Tags: PerMenKeu,Perpajakan,Sunset Policy Beberapa waktu yang lalu saya pernah memposting tulisan berkaitan dengan kebijakan sunset policy dengan judul Sunset Policy (Pengampunan Pajak?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007. Adapun peraturan perpajakan yang mengatur mengenai sunset policy selain Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PerMenKeu) No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 37A tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 29 April 2008, Menteri Keuangan telah menerbitkan PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008. Dengan berlakunya PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tersebut, maka PerMenKeu sebelumnya yaitu PerMenKeu No. 18/PMK.03/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 11).

Untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali, bahwa pemerintah melalui Menteri Keuangan memberikan fasilitas sunset policy atau semacam pengampunan pajak baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan sebagai berikut : 1. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar 2. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan : Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007; atau Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Pengaturan lebih lanjut dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.03/2008 terlampir. PerMenKeu No.66/PMK03/2008 Posted in Permenkeu, Perpajakan, Sunset Policy, Taxation. 25 Comments

Perlakuan Perpajakan atas Konversi Utang Menjadi Modal (Debt to Equity Swap)
May 9, 2008 Hardi Melalui Surat No. S-141/PJ.42/2004 tanggal 14 Mei 2004, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan Wajib Pajak PT ABC berkaitan dengan Perlakuan Perpajakan atas Konversi Utang Menjadi Modal. PT ABC yang bergerak di bidang industry mutiara merencanakan untuk menerbitkan saham baru sejumlah USD 12,530 juta ke pemegang saham asing, PT XYZ, dengan cara mengkonversi pinjaman jangka panjang pemegang saham (utang) menjadi penyertaan modal dari pemegang saham yang sama (debt to equity swap), dalam jumlah yang sama. Tingkat konversi modal rupiah akan digunakan sama dengan kurs mata uang USD terhadap rupiah pada waktu modal awal dibayar, yaitu Rp 135,50/USD. Perbedaan antara kurs pada saat penyetoran modal awal dengan kurs pada saat ini (Rp 8.465/USD per 31 Desember 2003) dicatat sebagai tambahan agio saham. Setelah konversi tersebut,

pinjaman pemegang saham sebagai penyetoran saham tidak akan dibebankan biaya bunga. PT ABC berpendapat bahwa proses konversi tersebut tidak menimbulkan pendapatan kena pajak, karena konversi utang menjadi modal dalam jumlah yang sama dengan nilai buku dari utang tersebut dianggap sebagai transaksi Laporan Neraca dan bukan merupakan penghapusan utang. Perbedaan kurs yang dicatat sebagai tambahan agio saham tidak dikenakan PPh karena merupakan transaksi Neraca. Karena kewajiban membayar bunga pinjaman kepada pemegang saham selesai, maka kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 kepada pemegang saham tidak ada lagi. Atas hal-hal tersebut di atas, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut : Berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf k diatur bahwa Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk antara lain bunga dan keuntungan karena pembebasan utang. Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Sedangkan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (5) diatur bahwa Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk bunga, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20 % dan bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah, antara lain diatur bahwa dalam hal perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur (debt to equity swap), besarnya jumlah penyertaan modal tersebut untuk kepentingan perpajakan harus sama dengan nilai buku utang debitur. Apabila nilai saham ditetapkan berdasarkan nilai buku atau harga pasar, atas agio atau disagio saham yang diperoleh debitur bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat diberikan penegasan sebagai berikut ; Dalam transaksi konversi utang menjadi modal (debt to equity swap), sepanjang dilakukan dengan nilai yang sama antara pelunasan utang dan penyertaan modal, yakni sebesar nilai buku utang terakhir, maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan seketika. Dalam hal utang (sebesar nilai buku terakhir) dilunasi melalui perubahan bentuk menjadi penyertaan modal yang jumlahnya lebih kecil, maka selisihnya merupakan keuntungan karena pembebasan utang bagi debitur dan penghapusan piutang bagi kreditur berdasarkan suatu perjanjian. Sebaliknya, apabila jumlah penyertaan modal lebih besar dari nilai buku terakhir utang yang dilunasi, maka selisihnya merupakan penghasilan bunga bagi kreditur dan biaya bunga bagi debitur. Agio dan disagio saham yang timbul karena transaksi penyertaan modal yang menggunakan harga pasar, bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur. Atas penghasilan bunga yang diterima oleh kreditur sebagai wajib pajak luar negeri, wajib dipotong pajak sebesar 20% yang bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, sepanjang bunga atas pinjaman tersebut telah dibebankan sebagai biaya bunga oleh debitur dan telah diakui sebagai penghasilan oleh pihak kreditur (Hrd). Posted in Equity, Modal Saham, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

Bagaimana jika salah mengelompokkan aktiva tetap ?


May 9, 2008 Hardi Dalam praktek sehari-hari, cukup sering pertanyaan yang berkaitan dengan perlakuan perpajakan atas penyusutan aktiva tetap dilontarkan. Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi kekeliruan pengelompokkan aktiva tetap misalnya aktiva tetap yang secara fiskal seharusnya dikelompokkan sebagai kelompok I tetapi dalam pembukuan dimasukkan sebagai kelompok II. Jika dilakukan penyesuaian pada tahun berjalan, bagaimana mekanismenya ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kasus berikut ini yang merupakan tanggapan Dirjen Pajak atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP) yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 dipaparkan sebagai berikut : 1. PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan dimana salah satu aktiva tetapnya berupa botol beling, krat dan galon plastik; 2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 tentang jenisjenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk

keperluan penyusutan, botol beling, krat dan galon plastik adalah merupakan barang-barang yang mudah pecah dan rusak serta mempunyai masa manfaat baik secara teknis maupun ekonomis tidak lebih dari 4 (empat) tahun; 3. PT ABC selama ini telah melakukan kekeliruan dalam mengelompokkan aktiva tetap botol beling, krat dan galon plastic tersebut menggunakan metode Saldo Menurun dengan tarif Kelompok II sebesar 25 % dari nilai buku, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas mupun pengelompokkan yang lazim digunakan pada industry lainnya yang sejenis; 4. PT ABC bermaksud untuk mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik tersebut ke dalam Kelompok I sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 mulai tahun buku 2002 dengan menggunakan metode saldo menurun dengan tarif kelompok I sebesar 50 % dari nilai buku akhir tahun 2001 sebagai dasar penyusutan untuk tahun buku 2002; Bagaimana perhitungan dasar penyusutan sehubungan dengan penggolongan kembali aktiva tetap tersebut ? Berdasarkan Pasal 11 ayat (6) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud untuk jenis harta Bukan Bangunan, Kelompok I (masa manfaat 4 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 25 %, jika menggunakan metode Saldo Menurun 50 %. Sedangkan untuk Kelompok II (masa manfaat 8 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 12,5 % dan metode Saldo Menurun 25 %. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 diatur bahwa untuk jenis usaha industry makanan dan minuman jenis harta antara lain pallet dan sejenisnya termasuk dalam Kelompok I. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa : a. Aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik dalam industri makanan dan minuman termasuk dalam Kelompok I dengan jenis harta pallet dan sejenisnya; b. Apabila PT ABC mulai tahun pajak 2002 akan mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik yang sebelumnya disusutkan berdasarkan kelompok II ke dalam kelompok I, maka dasar penyusutan yang digunakan adalah nilai sisa buku fiskal pada 1 Januari 2002; c. Aktiva tetap yang pada tanggal 1 Januari 2002 telah disusutkan selama 4 (empat) tahun atau lebih, nilai sisa bukunya disusutkan sekaligus pada tahun 2002. Sedangkan bagi aktiva tetap yang telah disusutkan kurang dari 4 (empat) tahun per 1 Januari 2002, maka nilai sisa bukunya dijadikan dasar penyusutan kelompok I dengan tarif sebesar 50 % untuk masa manfaat 4 (empat) tahun ke depan.

Demikian isi Surat Dirjen Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 tersebut (Hrd). Posted in Aktiva Tetap, Depresiasi, Penyusutan, Perpajakan, Taxation. Leave a Comment

Memilih Metode Penyusutan Garis Lurus atau Saldo Menurun ?


May 9, 2008 Hardi Ketika membongkar kembali file-file lama, saya menemukan sebuah artikel dari bulletin Business News No. 6631/29-6-2001 yang menurut saya cukup menarik untuk diposting di weblog ini. Artikel tersebut memaparkan kelebihan dan kekurangan pemilihan metode penyusutan fiskal yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Berdasarkan Pasal 11 UU Pajak Penghasilan terdapat dua metode penyusutan yang dapat digunakan untuk melakukan penyusutan terhadap aktiva tetap bukan bangunan, yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun. Tarif penyusutan untuk kedua metode tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (6) sebagai berikut :

Dari kedua metode penyusutan tersebut, metode mana yang paling menguntungkan untuk diterapkan dalam perhitungan pajak penghasilan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, simak illustrasi berikut ini : PT X membeli sebuah mesin dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan Rp 1 Milyar. Mesin tersebut termasuk dalam kelompok I dan masa manfaat 4 tahun.

Dengan menggunakan tarif sesuai Pasal 11 ayat (6) UU PPh, dapat dilakukan perhitungan dan perbandingan besarnya penyusutan antara metode garis lurus dan saldo menurun (dalam Rp) sebagai berikut :

Dari tabel perbandingan di atas ternyata besarnya biaya penyusutan untuk setiap tahunnya berbeda tetapi akumulasinya pada akhir tahun masa manfaat yaitu tahun ke-4 jumlahnya sama yaitu Rp 1 Milyar. Perbedaan ini dalam perpajakan dikenal sebagai beda waktu/beda sementara (timing difference/temporary difference). Adanya perbedaan jumlah biaya penyusutan yang merupakan perbedaan waktu dapat dimanfaatkan untuk melakukan perencanaan pajak. Kalau kita memperkirakan Penghasilan Kena Pajak pada tahun pertama besar, dan tahun-tahun berikutnya akan mengecil, maka penggunaan metode saldo menurun lebih menguntungkan karena akan memperkecil Penghasilan Kena Pajak tersebut sebesar Rp 250 Juta untuk tahun pertama. Sedangkan kalau kita menggunakan metode garis lurus, beban penyusutannya adalah sama. Sehingga kalau variabel lainnya adalah sama, dengan tarif pajak 30% (tarif tertinggi) dengan asumsi perusahaan telah mencapai laba di atas Rp 50 Juta maka penghematan pajak yang diperoleh pada tahun pertama adalah sebesar 30% x Rp 250 Juta atau Rp 75 Juta. Dari segi cashflow dan time value of money hal ini cukup menggiurkan. Walaupun secara keseluruhan pada akhir tahun ke-4 jumlah akumulasinya adalah sama, tetapi kita telah dapat memanfaatkan penghematan pajak ini. Demikian pula dari sudut pandang time value of money, jika kita hitung dalam nilai tunai (present value) dengan discount factor tertentu misalnya 20%, maka nilai akumulasi kedua metode tersebut pada tahun ke-4 tidak sama. Tabel di bawah ini (dalam Rp) memperlihatkan perbedaan tersebut.

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai tunai dari akumulasi biaya penyusutan mesin dengan menggunakan metode garis lurus adalah sebesar Rp 647.175.000, dan menggunakan metode saldo menurun sebesar Rp 722.875.000. Dengan demikian, nilai tunai akumulasi penyusutan dengan metode saldo menurun lebih besar daripada garis lurus. Ini berarti biaya penyusutan yang dibebankan dengan metode saldo menurun akan lebih besar nilainya dari metode garis lurus, sehingga pajak yang harus dibayar jika menggunakan metode saldo menurun lebih sedikit daripada menggunakan metode garis lurus. Dengan tarif pajak 30% (tarif tertinggi) maka besarnya penghematan pajak yang dapat diperoleh perusahaan kalau menggunakan metode saldo menurun adalah :

Biasanya alasan orang menggunakan metode garis lurus adalah karena kemudahan dan kesederhanaan perhitungannya. Tetapi, dari sudut time value of money, penggunaan metode saldo menurun dalam menghitung dan membukukan biaya penyusutan akan lebih menguntungkan dari segi penghematan biaya (Hrd).

You might also like