You are on page 1of 12

Misteri Penyakit Panu yang Jarang Diketahui Manusia

Oleh : Dr. Dito Anurogo | 01-Aug-2008, 17:51:09 WIB KabarIndonesia - "Rahasia Penyakit Panu yang Tak Pernah Terungkap Kini Tersingkap" Di dalam artikel ini akan dibahas segala sesuatu tentang penyakit panu, yang meliputi: 1. Pengantar 2. Sinonim 3. Definisi 4. Penyebab 5. Patofisiologi dan Patogenesis 6. Epidemiologi 7. Pemeriksaan Fisik 8. Manifestasi Klinis 9. Predileksi atau Distribusi 10. Berbagai Bentuk Panu 11. Pemeriksaan Laboratorium 12. Penemuan Histologis 13. Penatalaksanaan Panu 14. Penyulit 15. Prognosis 16. Diagnosis Banding 17. Tahukah Anda? 18. Bacaan Lebih Lanjut 19. Tentang Penulis Pengantar Panu merupakan infeksi jamur kulit superfisial yang umum, tidak berbahaya bagi kesehatan alias jinak (benign) biasanya ditandai oleh makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan patches di dada dan punggung. Pada pasien dengan kecenderungan (predisposition), keadaan penyakit dapat berulang atau kambuh lagi. Penyakit infeksi jamur ini berlokasi di stratum korneum. Sinonim Di dalam berbagai literatur kedokteran ada beberapa istilah untuk menyebut penyakit panu, seperti: 1. Tinea versicolor 2. Tinea versikolor 3. Pityriasis versicolor 4. Pitiriasis versikolor 5. Pitiriasis versikolor flava 6. Tinea flava 7. Chromophytosis 8. Kromofitosis 9. Dermatomycosis furfuracea 10. Dermatomikosis 11. Liver spots 12. Aeromia parasitica 13. Kleinenflechte 14. Hodi-Potsy 15. Cutaneous fungal infection Definisi 1. Infeksi jamur superfisial yang ditandai dengan adanya makula di kulit, skuama halus, disertai rasa gatal. 2. Infeksi jamur superfisialis yang kronis dan asimtomatis disebabkan oleh Malassezia furfur menyerang stratum korneum dari epidermis. 3. A common chronic usually symptomless disorder, characterized only by multiple macular patches, of all sizes, and shapes, varying from white in pigmented skin to tan or brown in pale skin). Usually seen in hot, humid tropical regions, and caused by Malassezia furfur.

4. A chronic symptomatic scaling epidermomycosis associated with the superficial overgrowth of the hyphal form of Malassezia furfur, characterized by well-demarcated scaling patches with variable pigmentation, occuring most commonly on the trunk. Penyebab (Etiologi) Malassezia furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale) merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu. Alasan mengapa organisme ini menyebabkan panu, pada beberapa orang sementara tetap sebagai flora normal pada beberapa orang lainnya, belumlah diketahui. Beberapa faktor, seperti kebutuhan nutrisi organisme dan respon kekebalan tubuh inang (host's immune response) terhadap organisme sangatlah signifikan. Sebagai organisme yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhan in vitro dan in vivo. Lebih lanjut, tahap miselium dapat dirangsang in vitro dengan penambahan kolesterol dan ester kolesterol pada medium yang tepat. Karena organisme ini lebih cepat berkoloni/mendiami kulit manusia saat pubertas dimana lemak kulit meningkat lebih banyak dibandingkan pada masa remaja (adolescent) dan panu bermanifestasi di area yang "kaya minyak" atau sebum-rich areas (misalnya: di dada, punggung), variasi lemak di permukaan kulit individu dipercaya berperan utama dalam patogenesis penyakit. Bagaimanapun juga, penderita panu dan subjek kontrol tidak memperlihatkan perbedaan kuantitatif atau kualitatif pada lemak di permukaan kulit. Lemak di permukaan kulit penting untuk kelangsungan hidup M furfur pada kulit manusia normal, namun M furfur mungkin sedikit berperan pada perkembangan (pathogenesis) panu. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa dibandingkan lemak, asam amino lebih berperan di dalam kondisi sakit (diseased state) atau dengan kata lain sedang terkena panu. Secara in vitro, asam amino asparagin menstimulasi pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan) pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah, tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino meningkat pada kulit pasien yang tidak terkena panu. Faktor kausatif lainnya yang juga signifikan adalah sistem kekebalan tubuh/imun penderita. Meskipun sensitization melawan antigen M furfur biasa terlihat pada populasi umum (sebagaimana dibuktikan oleh studi/riset transformasi limfosit), fungsi limfosit pada stimulasi organisme terbukti lemah (impaired) pada penderita yang terserang panu. Hasil (outcome) ini sama dengan situasi sensitization dengan Candida albicans. Singkatnya, kekebalan tubuh yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity) berperan pada penyebab (timbulnya) penyakit. Patofisiologi dan Patogenesis Patofisiologi Panu disebabkan oleh organisme lipofilik dimorfik, Malassezia furfur, yang hanya dapat dikultur pada media yang diperkaya dengan asam lemak berukuran C12- sampai C14. Malassezia furfur atau yang juga dikenal dengan nama singkat M furfur, merupakan salah satu anggota dari flora kulit manusia normal (normal human cutaneous flora) dan ditemukan pada bayi (infant) sebesar 18% sedangkan pada orang dewasa mencapai 90100%. Pityrosporon orbiculare, Pityrosporon ovale, dan Malassezia ovalis merupakan nama lain (sinonim) dari Malassezia furfur. Sebelas spesies M furfur telah teridentifikasi, dan Malassezia globosa merupakan salah satu organisme yang biasa ditemukan pada penderita panu. Organisme ini dapat ditemukan pada kulit yang sehat dan pada area kulit yang terkena penyakit kulit (cutaneous disease). Pada penderita dengan penyakit klinis, organisme ini ditemukan baik pada tingkat spora/ragi (yeast/spore stage) dan bentuk filamentosa (hyphal). Sebagian besar kasus panu dialami oleh orang yang sehat tanpa disertai penurunan sistem kekebalan tubuh (immunologic deficiencies). Meskipun demikian, beberapa faktor dapat memengaruhi beberapa orang terkena panu sekaligus memicu berubahnya bentuk (conversion) dari ragi saprofit (saprophytic yeast) menjadi bentuk morfologis miselium, parasitik. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Kecenderungan (predisposition) genetik.

2. 3. 4. 5.

Lingkungan yang lembab, hangat. Immunosuppression. Malnutrition. Cushing disease.

Human peptide cathelicidin LL-37 berperan dalam pertahanan kulit melawan Malassezia globosa. Meskipun merupakan bagian dari flora normal, M furfur dapat juga menjadi patogen yang oportunistik. Organisme ini dipercaya juga berperan pada penyakit kulit lainnya, termasuk Pityrosporum folliculitis, confluent and reticulate papillomatosis, seborrheic dermatitis, dan beberapa bentuk dermatitis atopik. Sebagai tambahan, panu merupakan penyakit kulit yang tidak berbahaya (benign skin disease) yang menyebabkan papula atau makula bersisik pada kulit. Sebagaimana namanya, tinea versikolor, (versi berarti beberapa) kondisi yang ada dapat memicu terjadinya perubahan warna (discoloration) pada kulit, berkisar dari putih menjadi merah menjadi coklat. Keadaan ini tidak menular karena patogen jamur kausatif (causative fungal pathogen) merupakan penghuni normal pada kulit. Kulit penderita panu dapat mengalami hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Pada kasus hipopigmentasi, inhibitor tyrosinase [hasil dari aksi/kerja inhibitor tyrosinase dari asam dicarboxylic yang terbentuk melalui oksidasi beberapa asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acids) pada lemak di permukaan kulit] secara kompetitif menghambat enzim yang diperlukan dari pembentukan pigmen melanocyte. Pada kasus panu dengan makula hiperpigmentasi, organisme memicu pembesaran melanosom yang dibuat oleh melanosit di lapisan basal epidermis. Patogenesis Perubahan bentuk Malassezia dari blastospora menjadi miselium dipengaruhi oleh berbagai faktor predisposisi. Asam dikarboksilat, yang dibentuk oleh oksidasi enzimatis asam lemak pada lemak di permukaan kulit, menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dengan demikian memicu hipomelanosis. Enzim ini terdapat pada organisme (Malassezia). Epidemiologi Frekuensi Amerika Serikat Panu lebih sering terjadi di daerah dengan temperatur lebih tinggi dan kelembaban yang relatif lebih tinggi. Prevalensi nasional panu sekitar 2-8% dari populasi. Insiden yang pasti di Amerika Serikat sulit diperkirakan karena banyak orang yang terkena panu tidak berobat ke dokter. Internasional Panu terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan sebanyak 50% di lingkungan yang panas dan lembab di kepulauan Samoa Barat dan hanya 1,1% di temperatur yang lebih dingin di Swedia. Mortalitas/Morbiditas Belum ada laporan/data yang menyebutkan mortalitas/morbiditas pada penderita panu. Ras Insiden panu sama pada semua ras, meskipun perubahan pigmentasi kulit tampak lebih jelas pada orang yang berkulit lebih gelap. Jenis Kelamin Berdasarkan beberapa riset, disimpulakn bahwa tidak ada jenis kelamin yang lebih dominan pada penderita panu. Usia Di Amerika Serikat, panu sering dijumpai pada usia 15-24 tahun, saat kelenjar sebasea (sebaceous glands) bekerja aktif. Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Di negara-negara tropis, frekuensi usia bervariasi. Sebagian besar kasus dijumpai pada usia 10-19 tahun di negara-negara yang lembab dan lebih hangat, seperti: Liberia dan India. Menurut Prof.Dr.R.S.Siregar, Sp.KK(K), panu dapat menyerang hampir semua umur, hampir di seluruh dunia. Lingkungan Keadaan basah atau berkeringat banyak, menyebabkan stratum korneum melunak sehingga mudah dimasuki

Malassezia furfur. Kebersihan (hygiene) Kurangnya kebersihan memudahkan penyebaran panu. Pemeriksaan Fisik Efloresensi (Gambaran Ruam atau Lesi Kulit atau Ujud Kelainan Kulit) Makula, berbatas tegas (sharply marginated), berbentuk bundar atau oval, dan ukurannya bervariasi. Beberapa pasien disertai Malassezia folliculitis dan dermatitis seboroik. Pada kulit yang tidak berwarna coklat (untanned skin), lesi berwarna coklat terang. Pada kulit coklat (tanned skin), lesi berwarna putih. Pada orang yang berkulit gelap, terdapat makula coklat gelap. Beberapa lesi panu berwarna merah. Selain itu, panu merupakan makula yang dapat hipopigmentasi, kecoklatan, keabuan, atau kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran, dengan skuama halus di atasnya. Manifestasi Klinis (Gejala, Keluhan) Biasanya timbul makula dalam berbagai ukuran dan warna, dengan kata lain terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, berbentuk tidak teratur sampai teratur, berbatas jelas sampai difus, ditutupi sisik halus dengan rasa gatal (ringan), atau asimtomatik (tanpa gejala atau tanpa keluhan), dan hanya gangguan kosmetik saja. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Keluhan gatal, meskipun ringan, merupakan salah satu alasan penderita datang berobat. Predileksi atau Distribusi Panu dapat terjadi di mana saja di permukaan kulit manusia, seperti: tubuh bagian atas, lengan atas, leher, kulit kepala yang berambut, muka/wajah, punggung, dada, perut (abdomen), ketiak (axillae), tungkai atas, lipat paha, paha, alat kelamin (genitalia), dan bagian tubuh yang tak tertutup pakaian. Berbagai Bentuk Panu Bentuk 1 Gambaran atau penampilan paling umum panu adalah banyak (numerous), berbatas jelas (well-marginated), bersisik "kecil/sempurna" (finely scaly), makula oval-bulat menyebar di batang tubuh (trunk) dan/atau di dada, dan sesekali ada juga di bagian bawah perut, leher, dan ekstremitas (anggota gerak) bagian proximal (dekat sumbu tubuh). Makula-makula cenderung bergabung/menyatu, membentuk perubahan pigmen (pigmentary alteration) patches yang tidak teratur. Sebagaimana arti istilah versicolor (versi=beberapa), maka panu memiliki karakteristik adanya variasi warna kulit. Area kulit yang terinfeksi panu dapat menjadi lebih gelap atau lebih terang dibandingkan dengan kulit di sekitarnya. Kondisi ini mudah dan jelas terlihat terutama saat bulan-bulan di musim panas. Metode light scraping kulit yang terinfeksi panu dengan alat scalpel blade akan menunjukkan banyak sekali keratin. Bentuk 2 Bentuk kebalikan (inverse form) dari panu juga ada, dimana kondisi ini memiliki distribusi yang berbeda sepenuhnya, melibatkan daerah lipatan kulit (flexure), wajah, atau area ekstremitas (anggota gerak, yaitu tangan dan kaki) yang terpisah (isolated). Bentuk panu ini lebih sering terlihat pada hosts yang immunocompromised (mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh). Bentuk ini dapat dikacaukan dengan kandidiasis, seborrheic dermatitis, psoriasis, erythrasma, dan infeksi dermatofit. Bentuk 3 Bentuk ketiga infeksi M furfur pada kulit melibatkan folikel rambut. Kondisi ini secara khas berlokasi di punggung, dada, dan extremities (anggota gerak tubuh, meliputi tangan dan kaki). Bentuk ini secara klinis sulit dibedakan dengan bacterial folliculitis. Gambaran Pityrosporum folliculitis adalah perifollicular, pustul atau papula eritematosa.

Faktor predisposisi meliputi: diabetes, kelembaban yang tinggi, terapi antibiotik atau steroid, dan terapi immunosuppressant. Sebagai tambahan, beberapa riset melaporkan bahwa M furfur juga berperan di dalam seborrheic dermatitis. Pemeriksaan Laboratorium Presentasi klinis panu jelas, khas (distinctive), dan diagnosis seringkali dibuat tanpa pemeriksaan laboratorium. Sinar ultraviolet hitam (Wood) dapat digunakan untuk menunjukkan pendar (fluorescence) warna keemasan (coppery-orange) dari panu. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus, lesi panu terlihat lebih gelap daripada kulit yang tidak terkena panu di bawah sinar Wood, hanya saja tidak berpendar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan potassium hydroxide (KOH), yang menunjukkan gambaran hifa dengan cigar-butt yang pendek. Penemuan KOH tentang spora dengan miselium pendek telah dianggap serupa dengan gambaran spaghetti and meatballs atau bacon and eggs sebagai tanda khas panu. Untuk visualisasi yang lebih baik, gunakan pewarnaan dengan tinta biru, tinta Parker, methylene blue stain, atau Swartz-Medrik stain dapat ditambahkan pada persiapan atau preparat KOH. Dengan pemeriksaan darah, tidak ada defisiensi definitif dari antibodi normal atau komplemen yang tampak pada pasien panu, namun riset di area ini tetap berlanjut. Sebagai contoh, meskipun seseorang yang terkena panu ternyata tidak memiliki level antibodi spesifik diatas mereka dengan kontrol age-matched, antigen M furfur benar-benar memperoleh respon imunoglobulin G spesifik pada pasien dengan seborrheic dermatitis dan tinea versicolor. Ini terdeteksi oleh enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan Western blotting assays. M furfur benar-benar menyebabkan munculnya antibodi immunoglobulin A, immunoglobulin G, dan immunoglobulin M, dan juga dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur alternatif maupun jalur klasik. Berbagai riset telah menemukan defek produksi limfokin, sel-sel natural killer T, menurunkan phytohemagglutinin dan stimulasi concanavalin A interleukin 1, interleukin 10, serta produksi interferon gamma oleh limfosit pada pasien. Meskipun berbagai tes ini tidak menyarankan kelainan imunologis, namun tes ini benar-benar menyarankan pengurangan respon tubuh terhadap elemen jamur yang spesifik yang memproduksi panu. Jadi, ciri khas panu yang ditemukan pada pemeriksaan KOH adalah gambaran hifa filamentosa dan bentuk globose yeast, yang sering disebut: spaghetti dan meat balls, yaitu kelompok hifa pendek yang tebalnya 3-8 mikron, dikelilingi spora berkelompok yang berukuran 1-2 mikron. Sedangkan pada pemeriksaan dengan lampu Wood, tampak fluoresensi kuning keemasan atau blue-green fluorescence of scales. Penemuan Histologis Organisme yang menyebabkan panu berdiam/berlokasi di stratum corneum. M furfur dapat dideteksi dengan hematoxylin dan eosin (H&E) saja, meskipun pewarnaan periodic acid-Schiff (PAS) atau methenamine silver lebih dapat menegakkan diagnosis. Pada kasus yang jarang, organisme dapat mencapai stratum granulosum, dan bahkan ditemukan di dalam keratinocytes. Epidermis menunjukkan akantosis dan hiperkeratosis ringan, dan suatu mild perivascular infiltrate tampak nyata di dermis. Suatu perubahan epidermis yang menyerupai acanthosis nigricans teramati pada keanekaragaman papula, dengan pembuluh darah yang berdilatasi yang terdapat pada lesi eritematosa. Penatalaksanaan Panu Ada beberapa penatalaksanaan panu yang akan dibahas disini, yaitu: 1. Rekomendasi dari Craig G Burkhart, MD, MPH (2006) 2. Rekomendasi dari Prof.Dr.R.S. Siregar, Sp.KK(K) (2005) 3. Rekomendasi dari Unandar Budimulja (2005) 4. Rekomendasi dari Klaus Wolff, dkk (2005) 5. Rekomendasi dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya (1994) Rekomendasi dari Craig G Burkhart, MD, MPH (2006)

Rekomendasi berikut ini berasal dari Craig G Burkhart, MD, MPH, seorang profesor klinis di Medical College of Ohio at Toledo, Ohio University School of Medicine. Pasien sebaiknya diberi informasi bahwa panu disebabkan oleh jamur yang secara normal sudah ada di permukaan kulit dan oleh karenanya tidak menular. Kondisi ini tidak meninggalkan bekas luka (scar) permanen apapun atau perubahan pigmen, dan perubahan warna kulit akan berakhir dalam waktu 1-2 bulan setelah perawatan dimulai. Kambuh (recurrence) biasa terjadi, dan terapi profilaksis dapat membantu mengurangi tingginya angka kekambuhan. Agen topikal yang efektif untuk mengobati panu misalnya: 1. selenium sulfide lotion, Diberikan pada kulit yang terkena panu setiap hari selama 2 minggu. Biarkan obat ini di kulit selama setidaknya 10 menit sebelum dicuci. Pada kasus yang resisten, pemberian malam hari dapat membantu. 2. sodium sulfacetamide, 3. ciclopiroxolamine, 4. azole Topical azole antifungals dapat diaplikasikan setiap malam selama 2 minggu 5. allylamine antifungals Topical allylamines efektif secara mikologis dan klinis. Terapi oral yang juga efektif untuk panu: 1. Ketoconazole Dosis: 200-mg setiap hari selama 10 hari dan sebagai dosis tunggal 400 mg. 2. Fluconazole Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu selama 2-4 minggu. 3. Itraconazole Dosis: 200 mg/hari selama 7 hari. Profilaksis Regimen 1 tablet satu bulan ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole telah sukses sebagai profilaksis yang mencegah kambuh lagi. Diet Perubahan diet belum terbukti berhasil mengobati panu. Kategori obat: antifungal (antijamur) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Terbinafine (Lamisil) Clotrimazole (Mycelex, Lotrimin-AF) Ketoconazole (Nizoral) Ciclopirox (Loprox) Butenafine (Mentax) Naftifine (Naftin) Econazole (Spectazole) Oxiconazole (Oxistat)

Panu berespon baik dengan terpi antimikotik oral maupun topikal. Banyak pasien yang menyukai terapi oral karena kenyamanannya. Kategori obat: antijamur (antifungals) Antijamur topikal membasmi panu secara temporer, meskipun perlu diulangi secara rutin dan teratur untuk mencegah kambuh lagi. Terapi oral untuk panu nyaman dan efektif, namun tidak mencegah kekambuhan. Suatu alternatif yang populer adalah pemberian fluconazole sekali sebulan (selama 6 bulan) dosis oral. 1. Nama Obat: Terbinafine (Lamisil)

Mekanisme Kerja Menghambat squalene epoxidase, yang menurunkan sintesis ergosterol, menyebabkan kematian sel jamur. Gunakan obat ini sampai gejala membaik secara signifikan. Durasi pengobatan sebaiknya lebih dari 1 minggu namun jangan lebih dari 4 minggu. Dosis Dewasa bid 1-4 minggu Dosis Anak <12 tahun: belum ditetapkan. >12 tahun: sama seperti dosis dewasa. Perhatian Khusus: Hindari kontak langsung dengan mata. 2. Nama Obat: Clotrimazole (Mycelex, Lotrimin-AF) Mekanisme Kerja Agen antijamur berspektrum luas (broad-spectrum antifungal agent) yang menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel, menyebabkan kematian sel. Diagnosis dievaluasi kembali jika tidak ada perbaikan klinis setelah 4 minggu. Dosis Dewasa Pijatlah secara lembut dan perlahan kulit yang terinfeksi panu 2x sehari (bid) selama 2-6 minggu. Dosis Anak Children: belum ditetapkan. Adolescents: sama seperti dosis dewasa. Perhatian Khusus: Hanya untuk pemakaian luar, hindari terkena mata, jika timbul iritasi atau sensitif, hentikan penggunaan obat. 3. Nama Obat: Ketoconazole (Nizoral) Mekanisme Kerja Obat ini merupakan agen sistemik dan topikal. Agen antijamur berspektrum luas, yang dapat menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan kebocoran komponen seluler, sehingga menimbulkan kematian sel jamur Mencapai kadar yang maksimal di kulit dengan dosis oral yang minimal. M furfur dapat dibasmi dengan pemberian ketoconazole di permukaan luar kulit. Panu sangat jarang dijumpai pada anak-anak, sehingga jangan memberikan terapi pada anak berusia kurang dari 10 tahun dengan ketoconazole oral. Dosis Dewasa Topical: gosok dengan lembut pada daerah yang terserang panu qd/bid selama 2-4 minggu Oral: 400 mg PO sekali; sebagai alternatif, 200-mg dosis untuk 10 hari. Dosis Anak Topical: sama seperti dosis dewasa Oral: 3.3-6.6 mg/kg/hari per oral Perhatian Khusus: Hepatotoksisitas dapat terjadi; mungkin menurunkan serum kortikosteroid secara reversibel (efek yang berat dicegah dengan dosis 200-400 mg/hari); resepkan antasid, antikolinergik, atau penghambat H2 (H2 blockers) setidaknya 2 jam setelah pemberian oral ketoconazole; jika timbul sensitivitas atau iritasi pada resep topikal, maka hentikanlah penggunaan obat; bentuk topikal hanya untuk pemakaian luar; hindari kontak dengan mata; hati-hati pada achlorhydria (mengurangi penyerapan/absorption); tidak aman bagi penderita porfiria akut (adrenal suppression, gynecomastia, hypocholesterolemia, dan hypothyroidism muncul karena pemakaian ketoconazole) 4. Nama Obat: Ciclopirox (Loprox)

Mekanisme Kerja Berinteraksi (mengganggu) sintesis DNA, RNA, dan protein dengan menghambat transportasi elemen-elemen esensial pada sel-sel jamur. Dosis Dewasa Pijatlah area yang terkemna panu bid; evaluasi kembali diagnosis jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu. Dosis Anak <10 tahun: belum ditetapkan. >10 tahun: sama seperti dosis dewasa Perhatian Khusus Hindari kontak dengan mata. 5. Nama Obat: Butenafine (Mentax) Mekanisme Kerja Merusak membran sel jamur sehingga menghentikan pertumbuhan sel jamur. Dosis Dewasa qd selama 4 minggu. Dosis Anak <12 tahun: belum ditetapkan >12 tahun: sama seperti dosis dewasa Perhatian Khusus Gunakan secara topikal (tidak untuk digunakan pada mata, vagina, atau rute internal lainnya). 6. Nama Obat: Naftifine (Naftin) Mekanisme Kerja Agen antijamur berspektrum luas dan derivat (turunan) allylamine sintetis dapat menurunkan sintesis ergosterol, sehingga juga menghambat pertumbuhan sel jamur. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah 4 minggu, evaluasi kembali. Dosis Dewasa Pijatlah dengan lembut (dengan cream/gel) pada area yang terkena panu dan kulit disekitarnya qd selama 24 minggu. Dosis Anak sama seperti dosis dewasa. Perhatian Khusus Hentikan penggunaan jika terjadi sensitivitas atau iritasi kimiawi; hanya untuk penggunaan luar; hindari kontak dengan mata. 7. Nama Obat: Econazole (Spectazole) Mekanisme Kerja Efektif untuk infeksi kulit. Berinteraksi (mengganggu) metabolisme dan sintesis RNA dan protein. Mengganggu permeabilitas membran dinding sel, menyebabkan kematian sel jamur. Dosis Dewasa Gunakan terpisah pada area yang terkena panu qd/bid. Dosis Anak sama seperti dosis dewasa. Perhatian Khusus Jika terjadi sensitivitas atau iritasi, hentikan penggunaan obat. Hanya untuk pemakaian luar. Hindari kontak dengan mata.

8. Nama Obat: Oxiconazole (Oxistat) Mekanisme Kerja Merusak membran dinding sel jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol. Permeabilitas membran meningkat, menyebabkan kebocoran nutrisi/makanan (nutrients), sehingga sel jamur mati. Dosis Dewasa Oleskan pada area yang terkena qid. Dosis Anak sama seperti dosis dewasa. Perhatian Khusus Jika terjadi sensitivitas atau iritasi, hentikan penggunaan obat. Hanya untuk pemakaian luar. Hindari kontak dengan mata. Rekomendasi dari Prof.Dr.R.S. Siregar, Sp.KK(K) (2005) a. Umum: menjaga higiene (kebersihan) perseorangan. b. Khusus (topikal) Bentuk makular: salep Whitfield atau larutan natrium tiosulfit 20% dioleskan setiap hari. Bentuk folikular: dapat dipakai tiosulfas natrikus 20-30%. Obat-obat antijamur golongan imidazol (ekonazol, mikonazol, klotrimazol, dan tolsiklat) dalam krim atau salep 1-2% juga berkhasiat. c. Ketokonazol 200 mg/hari selama 10 hari. d. Itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu. Rekomendasi dari Unandar Budimulja (2005) Pengobatan panu harus dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Obat-obatan yang dapat dipakai misalnya: 1. Suspensi selenium sulfide (selsun) dapat dipakai sebagai sampo 2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit, sebelum mandi. 2. Salisil spiritus 10% 3. Derivat-derivat azol, misalnya: mikonazol, klotrimazol, isokonazol, dan ekonazol 4. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20% 5. Tolsiklat 6. Tolnaftat 7. Haloprogin 8. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat juga digunakan, dioleskan sehari 2x setelah mandi selama 2 minggu. 9. Jika sulit disembuhkan, ketokonazol dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x200 mg sehari selama 10 hari. Rekomendasi dari Klaus Wolff, dkk (2005) A. Agen topikal 1. Selenium sulfide (2,5%) lotion atau shampoo Dosis: setiap hari untuk daerah yang terinfeksi selama 10-15 menit diikuti mandi (shower), untuk satu minggu. 2. Ketoconazole shampoo Dosis: sama dengan dosis untuk sampo selenium sulfide. 3. Azole creams (ketoconazole, econazole, micronazole, clotrimazole) Dosis: qd atau bid selama 2 minggu. 4. Terbinafine 1% solution Dosis: bid untuk 7 hari. B. Terapi sistemik (obat berikut ini tidak disetujui untuk digunakan sebagai terapi panu di Amerika Serikat) 1. Ketoconazole Dosis: 400 mg stat (ambil 1 jam sebelum berolahraga) 2. Fluconazole

Dosis: 400 mg stat. 3. Itraconazole Dosis: 400 mg stat. C. Profilaksis sekunder 1. Ketoconazole shampoo sekali atau dua kali seminggu. 2. Selenium sulfide (2,5%) lotion atau shampoo. 3. Salicylic acid/sulfur bar. 4. Pyrithione zinc (bar atau shampoo). 5. Ketoconazole 400 mg PO setiap bulan. Rekomendasi dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya (1994) 1. Obat topikal * Krim mikonazole nitrat 2% pagi sore untuk lesi di muka dan lesi di badan yang tidak luas. * Solusio Natrium thiosulfat 25% pagi sore. * Salep Whitfield (= salep AAV I) pagi-sore berisi asidum salisilikum 3% dan asidum benzoikum 6%. * Salep 2-4, pagi-sore, berisi asidum salisilikum 2% dan sulfur presipitatum 4%. * Lama pengobatan sampai beberapa minggu (3-4 minggu) atau sampai 2 minggu sesudah pemeriksaan KOH negatif, untuk mencegah kekambuhan. * Bila lesi luas sebaiknya obat dioleskan ke seluruh badan. 2. Obat oral * Dosis anak 3,3-6,6 mg/kgBB/hari. * Dosis dewasa 200 mg/hari. * Diminum sekali sesudah makan pagi. * Lamanya 10 hari. * Indikasi pada panu yang: - resisten pada pengobatan topikal. - sering kambuh-kambuh. - mengenai bagian badan yang luas. * Dapat diberikan bersama dengan obat topikal. 3. Nasihat pencegahan kambuh Pakaian dalam dan luar, handuk haruslah sering diganti dan dicuci serta direndam air panas selama waktu pengobatan/berobat. Penyulit 1. Sering kambuh 2. Leukoderma (kulit berwarna putih) sesudah pengobatan. Prognosis Baik. Diagnosis Banding 1. Erythrasma (Eritrasma) 2. Pityriasis Alba 3. Psoriasis, Guttate 4. Seborrheic Dermatitis 5. Tinea Corporis 6. Vitiligo 7. Pityriasis rosea (Pitiriasis rosea) 8. Nummular eczema 9. Tuberculoid leprosy 10. Sifilis stadium II 11. Akromia parasitik dari Pardo-Castello dan Dominiquez 12. Postinflammatory hypopigmentation 13. Confluent and reticulated papillomatosis of Gougerot and Carteaud Tahukah Anda?

1. Superfisial atau superficial bersinonim dengan skin-deep, surface, dan trivial, yang berarti: di permukaan. 2. Makula (bersinonim dengan: macula, macule, sunspot, yellow spot) adalah ruam kulit primer yang hanya berupa perubahan warna kulit tanpa perubahan bentuk. 3. Papula adalah penonjolan padat di atas kulit, berbatas tegas, berukuran kurang dari 1 cm. 4. Pustula adalah vesikel (= gelembung yang berisi cairan serosa dengan diameter kurang dari 1 cm) yang berisi nanah atau a small inflamed elevation of skin containing pus. 5. Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit, biasanya berupa sisik halus. 6. Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit menjadi lebih putih dari sekitarnya. 7. Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen yang berlebihan sehingga kulit lebih hitam dari sekitarnya. 8. Patches dalam terminologi panu, dapat diilustrasikan seperti noda. Bacaan Lebih Lanjut 1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Djuanda, dkk (ed.). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005:99-100. 2. Burkhart CG. Tinea Versicolor. Cited from: http://www.emedicine.com/derm/topic423.htm 3. Burkhart CG. Tinea versicolor. J Dermatol Allergy. 1983;6:8-12. 4. Burkhart CG, Dvorak N, Stockard H. An unusual case of tinea versicolor in an immunosuppressed patient. Cutis.1981;27(1):56-8 5. Carrillo-Muoz AJ, Giusiano G, Ezkurra PA, Quinds G. Sertaconazole: updated review of a topical antifungal agent. Expert Rev Anti Infect Ther. Jun 2005;3(3):333-42. 6. Crespo-Erchiga V, Florencio VD. Malassezia yeasts and pityriasis versicolor. Curr Opin Infect Dis. Apr 2006;19(2):139-47. 7. Dorland's Illustrated Medical Dictionary 30th Ed. International Edition. Elsevier. 2003:1913-4. 8. Faergemann J. Pityrosporum yeasts--what's new?. Mycoses. 1997;40 Suppl 1:29-32. 9. Faergemann J, Gupta AK, Al Mofadi A, Abanami A, Shareaah AA, Marynissen G. Efficacy of itraconazole in the prophylactic treatment of pityriasis (tinea) versicolor. Arch Dermatol. Jan 2002;138(1):69-73. 10. Fernandez-Nava HD, Laya-Cuadra B, Tianco EA. Comparison of single dose 400 mg versus 10-day 200 mg daily dose ketoconazole in the treatment of tinea versicolor. Int J Dermatol. Jan 1997;36(1):64-6. 11. Gaitanis G, Velegraki A, Alexopoulos EC, Chasapi V, Tsigonia A, Katsambas A. Distribution of Malassezia species in pityriasis versicolor and seborrhoeic dermatitis in Greece. Typing of the major pityriasis versicolor isolate M. globosa. Br J Dermatol. May 2006;154(5):854-9. 12. Gle AT, Demirbilek M, Sekin D, Can F, Saray Y, Sarifakioglu E, et al. Superficial fungal infections in 102 renal transplant recipients: a case-control study. J Am Acad Dermatol. Aug 2003;49(2):187-92. 13. Gupta AK, Ryder JE, Nicol K, Cooper EA. Superficial fungal infections: an update on pityriasis versicolor, seborrheic dermatitis, tinea capitis, and onychomycosis. Clin Dermatol. Sep-Oct 2003;21(5):417-25. 14. Gupta AK, Bluhm R, Summerbell R. Pityriasis versicolor. J Eur Acad Dermatol Venereol. Jan 2002;16(1):1933. 15. Gupta AK, Skinner AR. Ciclopirox for the treatment of superficial fungal infections: a review. Int J Dermatol. Sep 2003;42 Suppl 1:3-9. 16. Gupta AK, Batra R, Bluhm R, Boekhout T, Dawson TL Jr. Skin diseases associated with Malassezia species. J Am Acad Dermatol. Nov 2004;51(5):785-98. 17. Hickman JG. A double-blind, randomized, placebo-controlled evaluation of short-term treatment with oral itraconazole in patients with tinea versicolor. J Am Acad Dermatol. May 1996;34(5 Pt 1):785-7. 18. Hull CA, Johnson SM. A double-blind comparative study of sodium sulfacetamide lotion 10% versus selenium sulfide lotion 2.5% in the treatment of pityriasis (tinea) versicolor. Cutis. Jun 2004;73(6):425-9. 19. Janaki C, Sentamilselvi G, Janaki VR, Boopalraj JM. Unusual observations in the histology of Pityriasis versicolor. Mycopathologia. 1997;139(2):71-4. 20. Karakas M, Durdu M, Memisoglu HR. Oral fluconazole in the treatment of tinea versicolor. J Dermatol. Jan 2005;32(1):19-21. 21. Leeming JP, Sansom JE, Burton JL. Susceptibility of Malassezia furfur subgroups to terbinafine. Br J Dermatol. Nov 1997;137(5):764-7. 22. Lpez-Garca B, Lee PH, Gallo RL. Expression and potential function of cathelicidin antimicrobial peptides in dermatophytosis and tinea versicolor. J Antimicrob Chemother. May 2006;57(5):877-82. 23. Mellen LA, Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB Jr. Treatment of pityriasis versicolor in the United States. J Dermatolog Treat. Jun 2004;15(3):189-92.

24. Morishita N, Sei Y, Sugita T. Molecular analysis of malassezia microflora from patients with pityriasis versicolor. Mycopathologia. Feb 2006;161(2):61-5. 25. Okuda C, Ito M, Naka W, Nishikawa T, Tanuma H, Kume H, et al. Pityriasis versicolor with a unique clinical appearance. Med Mycol. Oct 1998;36(5):331-4. 26. Partap R, Kaur I, Chakrabarti A, Kumar B. Single-dose fluconazole versus itraconazole in pityriasis versicolor. Dermatology. 2004;208(1):55-9. 27. Rincn S, Celis A, Sop L, Motta A, Cepero de Garca MC. Malassezia yeast species isolated from patients with dermatologic lesions. Biomedica. Jun 2005;25(2):189-95. 28. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 1994. 29. Schwartz RA. Superficial fungal infections. Lancet. Sep 25-Oct 1 2004;364(9440):1173-82. 30. Silva H, Gibbs D, Arguedas J. A comparison of fluconazole with ketoconazole, itraconazole, and clotrimazole in the treatment of patients with pityriasis versicolor. Curr Ther Res. 1998;59:203-14. 31. Silva V, Di Tilia C, Fischman O. Skin colonization by Malassezia furfur in healthy children up to 15 years old. Mycopathologia. 1995-1996;132(3):143-5. 32. Silva V, Fischman O, de Camargo ZP. Humoral immune response to Malassezia furfur in patients with pityriasis versicolor and seborrheic dermatitis. Mycopathologia. 1997;139(2):79-85. 33. Silva-Lizama E. Tinea versicolor. Int J Dermatol. Sep 1995;34(9):611-7. 34. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 2005:10-12. 35. Sohnle PG, Collins-Lech C. Activation of complement by Pityrosporum orbiculare. J Invest Dermatol. Feb 1983;80(2):93-7. 36. Vander Straten MR, Hossain MA, Ghannoum MA. Cutaneous infections dermatophytosis, onychomycosis, and tinea versicolor. Infect Dis Clin North Am. Mar 2003;17(1):87-112. 37. Vermeer BJ, Staats CC. The efficacy of a topical application of terbinafine 1% solution in subjects with pityriasis versicolor: a placebo-controlled study. Dermatology. 1997;194 Suppl 1:22-4. 38. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D (ed.). Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology 5th Edition. McGraw-Hill. USA. 2005: 729-730. Sumber Gambar: http://www.geocities.com/sampurnaroy2001/tv2.jpg

You might also like