You are on page 1of 5

MITIGASI DAN MANAJEMEN BENCANA ALAM (Suatu Kajian Geografi Sosial) Oleh : Drs. Suhatril, M.

Si

I. PENDAHULUAN Semasa Orde Baru yakni belasan tahun silam mata pelajaran Geografi di sekolah direncanakan supaya dihapus saja, untung tidak terlaksana. Sekarang sebaliknya, masyarakat resah dan gelisah dengan adanya bencana alam yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang kajiannya terlepas dari Geografi. Sebagian besar pendapat, khususnya di dataran pantai merasa resah dengan sering terjadinya bencana alam berupa gempa dan tsunami yang membuat korban jiwa ribuan orang meninggal dunia. Dalam kajian Geografi, khusus Geografi Fisik hal demikian adalah sesuatu yang wajar saja terjadi. Kebetulan fenomena alam itu terjadi pada tempat pemukiman yang rapat penduduknya. Lain halnya pada wilayah yang jarang penduduknya seperti tsunami di Larentuk (Flores), hal ini seperti tidak ada masalah. Oleh karena itu, di dalam mengkaji Mitigasi dan Manajemen Bencana Alam sebagaimana sering didengungkan oleh mass media cetak dan elektronik saat ini, harus disikapi bahwa segenap lapisan masyarakat haruslah dibekali dengan pengetahuan Geografi. Geografi yang kata dasarnya adalah Geos dan Graphier, dalam artian Geo adalah bumi dan Grapi adalah gambaran dan jika didefinisikan, Geografi adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan bumi (Daljuni. 1996). Menyimak dari tanggapan masyarakat terhadap fenomena alam yang terjadi ini, tentunya masih berlaku apa yang dikatakan oleh Friederik Roezel (1844-1904) tokoh geografi abad ke-19 yang mengemukakan determinisme lingkungan, manusia sebagai individu maupun masyarakat telah ditundukkan oleh pengaruh lingkungan alamnya, sehingga ia menyesuaikan dirinya dengan itu. Walaupun kemudian pendapat ini telah ditentang oleh Vidal de La Blackhe (1845-1918) yang menyatakan bahwa, suatu lingkungan alam menawarkan sejumlah kemungkinan (possibilities) untuk berkembang atau untuk hidup, tetapi yang berkembang itu adalah faktor budaya manusia. Teori terakhir disebut dengan Posibilisme yang mengacu pada pemikiran bahwa manusia itu berbudaya dan bias menaklukan alam. Fenomena alam yang terjadi di Indonesia berupa bencana alam tersebut, sebenarnya tidak bida dihalangi oleh manusia. Ia akan berlangsung terus. Begitu juga disisi lain, laju pertumbuhan penduduk juga akan bertambah setiap tahun, sehingga daerah-daerah yang rawan bencana itu mau tidak mau akan ditempati oleh manusia. Dari itu timbul tanda Tanya, bagaimanakah kita menyikapi hal yang demikian? Apakah kita pasrah dan hanya berserah diri saja kepada yang kuasa, apakah kita harus meninggalkan tempat-tempat yang rawan bencana yang meliputi daerah pesisir seperti Pasaman Barat, Padang Pariaman, Padang, Pesisir Selatan, Bengkulu dan sebagainya? Tidak, daerah-daerah itu tidak perlu ditinggalkan, dalam hal ini kita harus mengambil sikap, layaknya kita menghadapi samudera luas, yang harus kita arungi untuk menuju mata pulau idaman yang kita dambakan. Dalam hal ini bencana alam itu akan kita hadapi dengan budaya memitigasi dan memanajemen bencana alam itu yang dilandasi kajian Geografi Sosial.

II. PEMBAHASAN
1

A. Fenomena Bencana Alam di Indonesia Indonesia yang berupa Negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.504 pulau dan secara astronomis terletak antara 60 LU - 110LS dan 750-1410BT, diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Luas daratan 1.904.413 km2 dan laut 3.290.000 km2. Secara geologis Indonesia merupakan wilayah pertemuan dua pegunungan muda dunia yaitu Sirkum mediterania dan Sirkum Pasifik. Terletak pada pada lempeng Austral-Asia dan dikelilingi oleh lempengan Eurasia, lempeng Australia, lempeng Samudera Hindia, dan lempeng Pasifik. Memiliki 400 gunung api dan 70 gunung api aktif (Arjuna.2010). Keadaan Indonesia yang demikian, membuat zona ini rawan terhadap bencana alam, yang dalam hal ini terutama adalah bencana gempa dan tsunami serta bencana letusan gunung api. Fenomena alam berupa bencana alam yang timbul di Indonesia selalu saja muncul dari dahulu sampai sekarang. Diantaranya pada tahun 1883 melutusnya gunung Krakatau di selat Sunda, sehingga menimbulkan korban jiwa lebih dari 30.000 jiwa. Gunung Agung Bali pada tahun 1963, Gunung Merapi Jawa Tengah pada bulan Oktober 2010, dan sebenarnya banyak lagi gunung-gunung api lainnya yang meletus pada waktu sebelumnya. Dilain pihak fenomena alam yang mengakibatkan bencana alam itu terjadi akibat gempa dan tsunami gempa Padang Panjang tahun 1926, gempa Liwa tahun 1995, gempa Kerinci 1996, gempa dan tsunami Aceh dan Nias tahun 2004, gempa yang berpusar di Danau singkarak tahun 2007, gempa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Klaten, Sukoharjo dan Bayolali pada tahun 2006 (Harjono,2006). Bencana alam lainnya yang terkenal adalah gempa Padang tahun 2009 tepatnya tanggal 30 September 2009 yang menimbulkan korban ribuan orang meninggal. Gempa Mentawai tanggal 25 Oktober 2010 yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 400 orang, dan semburan luapan lumpur Sidoarjo yang terjadi sejak tahun 2006 sampai sekarang. Mengapa hal demikian terjadi? Menurut Arjuna (2010) Indonesia secara geografis memiliki cirri karakteristik tertentu diantaranya berupa daerah vulkanik yang ditandai dengan bertemunya dua rangkaian pegunungan dunia yaitu Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Sehingga mengakibatkan kepulauan Indonesia terletak di atas cincin api Pasifik (Pacific ring of fire) yang merupakan istilah geologis oleh para geolog untuk menggambarkan sebaran gunung api aktif yang berpotensi menjadi bencana alam. Disamping itu, Indonesia termasuk daerah seismic yakni terkait dengan gempa bumi (earth guake). Peristiwa gempa bumi yang erat hubungannya dengan geologis Indonesia yang dibentuk oleh pertemuan lempeng tektonik, sehingga kerak bumi terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bagian-bagian. Pergeseran ini dapat mengakibatkan tumbuhan antar lempeng tektonik sebagai subduksi . tumbuhan inilah yang menimbulkan guncangan yang luas yang dikenal sebagai gempa bumi (Arjuna, 2010). B. Tanggapan Masyarakat Terhadap Bencana Alam Bencana alam merupakan fenomena alamiah yang melekat pada bumi, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja (Setyowati, 2010). Diantaranya adalah bencana alam gempa bumi, yang senantiasa menggerogoti pada setiap saat. Gempa bumi di Indonesia seakan-akan menjadi sesuatu yang sangat menakutkan terutama di bagian wilayah yang dilalui lempeng tektonik. Seharusnya penduduk yang mendiami daerah tersebut sudah terbiasa dan mempunyai mata konsep perencanaan berkaitan dengan tempat tinggalnya (Supriyatna, 2010).
2

Disamping itu budaya keselamatan dan ketangguhan terhadap bencana, belum terbentuk di tengah masyarakat sehingga dampak bencana yang menimbulkan korban jiwa semakin besar belum bisa diatasi dan masyarakat pun mudah termakan isu. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran bencana belum berjalan efektif di Indonesia. Isu tsunami yang mengiringi gempa Yogyakarta tahun 2006 dan isu awan panas 60 km, membuat masyarakat Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah panik dan melarikan diri ke daerah yang lebih aman. Kepanikan masyarakat terhadap isu tsunami menyebar dari daerah pantai Parangtritis sekitarnya sampai lereng gunung merapi di Kabupaten Sleman. Bahkan masyarakat di daerah terlindungi pegunungan selatan pun seperti Klaten ikut mengungsi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman terhadap kondisi lingkungan sekitarnya (local knowledge) belum berkembang dengan baik (Yusup, 2010). Hal yang serupa juga terjadi di Sumatera Barat. Sesudah terjadinya gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, pada tahun 2005 terjadi isu di Padang dan Pesisir Selatan bahwa permukaan air Samudera Hindia telah naik dan bakal mencapai pantai. Padahal waktu itu (malam hari) tidak terjadi gempa bumi. Khususnya di Padang banyak orang yang eksoder ke tempat yang lebih tinggi, seperti Lubuk Minturun, Bay Pass, Limau Manih dan Indarung. Begitu juga belakangan ini, tepatnya bukan Desember 2010, diisukan pada tanggal 23 Desember akan terjadi gempa besar dan tsunami, karena tidak terjadi lalu dialihkan ke tanggal 25 Desember, lalu tidak terjadi lagi, akhirnya diisukan pada tanggal 31 Desember, Alhamdulillah kesemua isu itu bohong sama sekali, dalam hal ini masyarakat percaya akan pembohongan publik yang berupa isu tidak bertanggung jawab itu. Sehingga bentuk dari isu gempa dan tsunami, menurut berita koran Padang Ekspres 31 Desember 2010, Padang tak lagi dilirik oleh wisman. Menurut Yan Hanafiah, wakil ketua Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita), dengan terjadinya isu gempa dan tsunami maka Padang tak dilirik lagi oleh wisatawan mancanegara dan domestik. Banyak diantara mereka hanya menjadikan Padang sebagai tempat transit. Para wisatawan khawatir dengan kondisi kota Padang, isu gempa besar yang akan terjadi dan hanya menunggu waktu membuat wisatawan tak mau tinggal di Padang (Hanafiah, Padek 2010). Terakhir warga Sumatera Barat khusus Pulau Pagai panik dengan terjadinya gempa 5,8 skala richter, hari Rabu 5 Januari 2011 yang berpusat 15 kilometer Barat Laut Pagai Utara. Gempa ini dirasakan sebagian masyarakat Kota Padang, Pariaman, Padang Panjang, Pesisir Selatan dan Solok Selatan. (Padek, 6 Januari 2011). C. Mitigasi dan Manajemen Bencana Sebagai orang Indonesia terutama yang bermukim didaerah jalur gunung api dan gempa bumi tak akan luput dari bencana alam. Mereka akan selalu digerogoti oleh fenomena alam ini baik sekarang maupun masa yang akan datang. Banyak orang mengatakan bahwa Indonesia seperti supermarket bencana yang selalu beruntun sebagaimana diungkapkan diatas. Dari itu harus dipikirkan cara mengantisipasi bahaya atau resikonya berupa mitigasi dan memenej bencana alam itu, sehingga tidak menimbulkan korban bencana yang banyak seperti di Aceh, Nias, Mentawai, Wasior dan Yogyakarta. Menurut Mustakim (2010) dalam menindaklanjut mitigasi bencana alam, Sistem Informasi Geospasial (GIS) sangat diperlukan, karena menyangkut langsung dengan keselamatan jiwa dan harta benda masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian yang sistematis agar informasi tersebut dapat mudah dipahami oleh segala lapisan masyarakat dari SD sampai Perguruan Tinggi, dan dari tingkat sosial rendah sampai ke kelas tinggi. Dalam proses pembiasaan diungkapkan oleh Arjana (2010) bahwa pengalamanpengalaman menghadapi bencana pada masa lalu perlu dikembangkan dan diteruskan dalam keluarga dan masyarakat dalam menghadapi peristiwa bencana alam. Untuk itu perlu
3

pensosialisasian mitigasi melalui tiga pilar proses pembelajaran yaitu; Dengan mengetahui ( to know ) dari segala bentuk bencana alam yang tidak mungkin ditolak sebagai musibah (1); Belajar untuk berbuat ( learning to do ) dalam hal ini pengetahuan mitigasi bencana alam menjadi pembelajar yang baik agar memiliki kemampuan untuk menghindari atau menyelamatkan diri dari bencana alam yang terjadi (2); Belajar untuk menjadi ( how to be ) berkat pengetahuan, pengalaman dan kreatifitas dapat memiliki kearifan yang tinggi, sehingga berhasil mewujudkan kehidupan yang lebih aman dan nyaman dengan memilih tempat bermukim bebas dari bencana alam (3) dan Belajar untuk hidup bersama ( learning how live together ) kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial menuntut agar dapat hidup bersama, bersosialisasi dalam menghadapi masalah bersama sehingga dapat menghindar dan menyelamatkan diri dari bencana alam yang mungkin terjadi. Merujuk pada Undang-undang nomor 24 Tahun 2007, tentang penanggulangan bencana mengungkapkan bahwa; mitigasi adalah upaya mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dalam mengurangi dan mencegah resiko kehilangan jiwa serta perlindungan terhadap harta benda, ada beberapa tindakan strategis yaitu: 1. Mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi dilanda bencana alam dan karakteristik bencana. 2. Mengidentifikasi lokasi yang paling krusial dalam menghadapi bencana alam seperti lereng gunung atau perbukitan, pantai atau pesisir, daerah aliran sungai (DAS), kota berpenduduk sangat padat dan sebagainya. 3. Mengkaji aspek historis dan kronologis bencana pada setiap wilayah yang rawan bencana yang ditunjang data bencana yang akurat. 4. Menyiapkan peta tematik zona potensi bencana berdasarkan jenis dan sejarah bencana alam dengan karakteristik bencana yang telah terjadi. 5. Membuat klasifikasi wilayah topografi yang rawan bencana secara empirik.
6. Menyempurnakan modul yang sudah ada seperti yang dikemukakan Wakil Mendiknas

disesuaikan dan dilengkapi dengan karakteristik bencana alam yang dilengkapi dengan kajian social budaya local dan kearifan local (local genius). 7. Sosialisasi secara periodic pada daerah rawan bencana alam sesuai peta kebencanaalaman, sasarannya adalah komunitas-komunitas sesuai dengan jenis bencana dan latar topografi. 8. Latihan/ simulasi menghadapi bencana secara periodic khususnya pada daerah rawan bencana sesuai dengan jenis bencana yang terjadi di daerah bersangkutan. 9. Memasang tanda-tanda permanen berupa rambu-rambu peringatan pada daerah rawan bencana alam. 10. Pemberian ijin mendirikan bangunan (IMB) disertai standar fisik bangunan sesuai jenis dan intensitas bencana suatu daerah. Dengan adanya program pengurangan resiko bencana ala mini maka diharapkan siswasiswa khususnya yang berada di daerah rawan bencana alam dapat mempersiapkan diri atau bereaksi dengan tepat dan cepat apabila bencana alam dating. Para peneliti dunia khususnya di Negara tetangga kita yaitu Jepang, telah melakukan banyak pelatihan khususnya penanganan bencana alam bagi penyelenggara pendidikan maupun para stakeholders di Negara-negara yang sering terjadi bencana alam termasuk Indonesia. Hal ini mereka lakukan karena Jepang adalah Negara yang sering terjadi bencana alam khususnya gempa bumi.
4

Program-program pelatihan yang dilakukan mencakup :


1. Program Peringatan Dini (Early Warning), yaitu dengan memasang alat pendeteksi

bencana alam seperti alarm yang dipasang di sekolah. Alat ini berfungsi untuk memberikan peringatan kepada siswa dan guru di sekolah tentang adanya bencana yang dating.
2. Program Latihan Evakuasi (Evacuation Drill), yaitu latihan evakuasi untuk menghindari

akibat dari bencana alam yang lebih buruk, contohnya bencana alam tsunami, para siswa dan guru dievakuasi ke lantai paling atas dari sekolah dengan dikoordinir kepada sekolah dan masing-masing ketua kelas.
3. Program Sekolah sebagai Tempat Berlindung (School as Shelter), yaitu sekolah

dijadikan tempat untuk evakuasi sementara bagi siswa, guru dan masyarakat sekitar yang tempat tinggalnya terkena dampak bencana alam.
4. Kegiatan ekstrakurikuler mengenai bencana alam dan dampaknya bagi sekolah dan

sekitarnya (Club activities), sekolah membentuk klub siswa mengenai bencana alam.
5. Kegiatan Workshop untuk guru-guru mengenai manajemen penanganan bencana alam baik

penyebab maupun akibat yang ditimbulkannya.

C. III.

You might also like