You are on page 1of 7

Bukan Sebatas Eksploitasi Pengetahuan

Senin, 05 Maret 2012 12:42 wib

0Email

Foto: dok. pribadi

ADANYA putusan dari Ditjen Dikti terkait penetapan publikasi jurnal ilmiah sebagai salah satu pra-syarat kelulusan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi memang cukup menarik. Keputusan tersebut sontak menimbulkan pro kontra di kalangan akademisi. Bahkan Perguruan Tinggi Swasta yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menolak secara tegas kebijakan tersebut. Kondisi ini makin memperuncing problem yang kian dihadapi dunia kampus terutama sisi akademis. Kalau dicermati secara jernih, apakah kebijakan yang telah dikeluarkan pihak pemerintah akan menjadi kemajuan indeks penulisan ilmiah di tingkat perguraan tinggi? Begitu pula sebaliknya, penolakan dari kalangan APTISI, apa malah bakal mempertumpul kemajuan pendidikan kita? Atau mungkin ada faktor lain yang tersembunyi dan punya peran penting terkait kebijakan publikasi tersebut? Dalam prespektif saya, sungguh menarik bila penetrasi kebijakan ini ditarik dengan konteks budaya di pendidikan kita. Mari saya coba masuk ke dalam beberapa ruang pertanyaan tersebut. Kemauan pemerintah saat menjadikan persyaratan publikasi sebagai syarat kelulusan cukup logis. Pada faktanya, indeks publikasi jurnal ilmiah kita cukup tertinggal jauh dari negara berkembang bahkan negara tetangga kita sendiri. Memang dunia pendidikan kita jarang dekat dan tak coba mendekat ke hal tersebut. Tapi tak beda jauh. Lecutan ini sebagai upaya mendongkrak "popularitas" kemajuan pendidikan kita. Harapan pemerintah tentu adanya jurnal ilmiah sekaligus mengubah budaya pendidikan kita. Dari ucapan ke ranah tulisan. Lebih penting, menekan upaya plagiarisme karena situasi ini begitu krusial di pendidikan kita. Selanjutnya, ada indikasi bahwa dampak dari penolakan APTISI seolah membuat kelonggaran

dari Kemendikbud. Bahkan berdampak mematikan. Ya, andai saja kebijakan yang telah dikeluarkan malah bersifat dorongan. Jika mau publikasi ya monggo, jiak tidak ya tidak apa-apa. Tentu, sifat kebijakan demikian rupa malah melemahkan nilai kebijakan itu sendiri. Hasilnya, kebijakan sekadar tubuh tanpa ruh. Mudah dikendalikan. Tapi, coba lebih bijaksana dalam berpikir. Bisa jadi tindakan APTISI sebagai upaya kritik terhadap pemerintah. Pemerintah selama ini masih setengah hati terhadap PTS. Entah itu dalam hal penyedian infrastruktur (fisik maupun non fisik) pendidikan. APTISI telah merasakan betul jatuh bangunnya mengelola institusi mereka. Tak ayal, logika yang mereka pikirkan pun cukup bersinergi dengan kenyataan yang mereka hadapi. Ya, mereka banyak memberi tapi jarang diberi. Ditambah lagi upaya publikasi jurnal yang memang tak didukung dengan kemudahan contoh jurnal ilmiah. Sementara, faktor lain juga ikut bermain adalah efek "kemauan" pasar terhadap publikasi. Apalagi tingkat kepercayaan (trust) sudah dikesampingkan. Para lulusan dari beberapa perguruan tinggi tak jarang seolah terlempar terlebih dahulu sebelum bermain. Ini yang menjadi kekhawatiran. Masih adanya diskriminasi kepercayaan di kalangan pasar. Sulit dilirik. Pelik memang. Upaya maju menjadi bagian yang tak mungkin dimungkiri lagi. Skala standarisasi semakin kompetitif. Tarik-menarik kepentingan di dalamnya juga tak bisa terhindar. Maka, apa yang sebenarnya salah dalam dunia pendidikan kita? Pendidikan hanyalah tujuan sampai saat ini. Bukan sebagai proses. Menarik kalau mengamati di mana posisi mahasiswa selaku "subyek" pertarungan. Posisi mahasiswa Sebagai mahasiswa Strata Satu (S-1), saya melihat pada dasarnya tak ada masalah dengan rencana kebijakan tersebut. Cukup apresiasi. Sudah lama mengenyam budaya mendengar, melamun ataupun mengikuti. Tak salah lagi, bila kelas hanya menjadikan penjara atas kemauan diri. Penajaman intelektualitas akan sangat terasa bila kita kuat dalam sisi pengembangan diri sendiri. Tidak lewat orang lain. Belajar menulis, meneliti dan sensitivitas akan mampu meningkatkan kadar intelektualitas. Jurnal ilmiah saya akui akan melecut semangat belajar. Respek terhadap tiap gejala sosial. Saya pun barangkali jadi sering berdiskusi. Tahu caranya menulis. Bagaimana cara menjauh dari sikap plagiat. Hingga memahami apa itu meneliti. Belum lagi, ditambah nilai lebih dengan adanya publikasi umum. Di sini pun saya begitu diuntungkan. Yakni atas nama saya sendiri. Hasilnya, adanya perubahan budaya ini secara tidak langsung mengangkat nilai pendidikan kita. Sederhana sekali. Sayangnya, lagi-lagi pemerintah "latah" terhadap kebijakan yang dibuatnya sendiri. Kewajiban publikasi ilmiah tak disertai dengan memperhatikan faktor pendukungnya. Sampai saat ini pun, banyak mahasiswa masih susah mendapatkan contoh jurnal. Ada tapi tak seberapa. Apalagi, lingkungan budaya kampus yang masih jauh berbeda. Kampus yang sudah mapan secara budaya tulis, diskusi dan riset memang tak jadi masalah. Terus, bagaimana kampus yang masih belum bergelut dengan budaya tadi? Tak pernah terpikir.

Beginilah logika yang sering diambil dalam menentukan policy. Logika pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan). Bahwa sebagaian kampus yang sudah lama mengenal budaya tulis merepresentasi kondisi semua kampus. Bila penafsirannya tak jernih, akan amat parah efek yang timbul. Dunia akademik pun hanya bergulat pada pencapaian-pencapain tujuan. Terlebih secara instan. Jurnal ilmiah pun dibuat asal jadi. Asal mahasiswa lulus dan dapat rentetan gelar. Tanggung jawab Ilmu Pembuatan jurnal ilmiah asal jadi malah bakal menurunkan kualitas pendidikan. Saya, tak bisa membayangkan jika ratusan jurnal ilmiah tak ada satu pun proses pertanggungjawabannya. Artinya, lantaran keadaan yang memaksa lulus, maka jurnal pun ibarat kacang goreng. Ini yang menjadikan penulis jurnal ilmiah menjadi terkerdilkan. Determinasi individu lebih penting ketimbang determinasi sosial. Tak sedikit pun acuh terhadap proses keberlanjutan jurnal yang telah dibuat. Praktisnya, objek penelitiannya hanya dijadikan objek kepentingannya sendiri. Tanpa sedikit pun ada rasa pertanggungjawaban terhadap ilmu. Padahal, pada tingkat aplikasi, di sinilah hakikat ilmu justru dipakai. Proses internalisasi terabaikan. Ini yang jadi kekhawatiran besar saya. Fasisme ilmu. Selain itu, pembatasan terhadap jurnal ilmiah hanya pada genre karya tulis. Saya tak tahu pasti bagaimana mahasiswa yang sering dengan menulis news, esai, cerpen, puisi ataupun karya tulis lain. Dan hasil karyanya dipublikasikan. Bagi saya, ini yang justru mereduksi makna budaya menulis bahkan terutama kata "ilmiah" itu sendiri. Jelas sekali, dari pemaparan disini pemerintah sepertinya salah membaca; membaca di balik bangunan, membaca waktu, membaca wacana dan membaca pendidikan. Apakah saya juga salah membaca pemerintah? Semoga! Naufal Azizi Mahasiswa Sastra Inggris dan Aktivis Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) Universitas Negeri Jakarta(//rfa)
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/05/367/587183/bukan-sebatas-eksploitasi-pengetahuan

Jurnal Ilmiah Berikan Banyak Manfaat


Kamis, 01 Maret 2012 08:30 wib

0Email

Foto : dok.pribadi

MERUJUK pada surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tertanggal 27 Januari 2012 mengenai syarat kelulusan bagi S-1, S-2, maupun S-3 tentang syarat publikasi karya ilmiah, saya sangat setuju dengan diberlakukannya persyaratan ini meskipun banyak pihak yang menolak. Menurut saya, kebijakan ini selain dapat meningkatkan kualitas lulusan tapi juga membuat Negara kita terlihat di dunia. Kita harus peka dan fleksibel terhadap perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan atau merubah karakter dan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Berdasarkan pengamatan saya, masyarakat Indonesia, termasuk saya, selama ini butuh paksaan atau ada unsur paksaan untuk melaksanakan sesuatu untuk pengembangan diri, lingkungan (universitas asal), dan akhirnya untuk perkembangan bangsa ini. Hal ini sungguh sulit dilakukan karena tingkat kesadaran, integritas, dan kepedulian masyarakat masih minim. Sebenarnya ini mudah, hanya saja kita malas untuk memulainya. Jika kita sudah menyadari bahwa ini sesuatu yang penting dan ada keinginan untuk memulainya dengan mengkaji dan mempelajarinya, maka lama-kelamaan ini akan menjadi suatu kebiasaan yang berlanjut menjadi budaya dan akhirnya membentuk sebuah karakter. Jika pertimbangkan, membuat jurnal ilmiah memang susah, apalagi untuk jenjang-jenjang S-1 yang masih kurang berpengalaman dalam bidang tersebut. Tapi apakah bangsa ini akan seperti ini terus? Menjadi bangsa yang biasa-biasa saja? Tentu saja tidak! Saya pribadi tidak ingin seperti ini terus, harus ada perubahan. Mulailah dari diri sendiri, perubahan itu harus! An-nisa Intan Ramadhan Mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Matematika

Universitas Singaperbangsa (Unsika) Karawang (//rhs)


http://kampus.okezone.com/read/2012/02/29/367/584883/redirect

Jurnal Ilmiah, Solusi Peningkatan Mutu Mahasiswa Indonesia (?)


Senin, 05 Maret 2012 16:39 wib

0Email

Image: corbis.com

MINGGU-minggu ini civitas akademika di seluruh Indonesia digegerkan dengan keputusan yang dikeluarkan kemendikbud melalui Ditjen Dikti, yakni seluruh mahasiswa di semua jenjang strata harus membuat publikasi jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Keputusan yang terkesan sangat mendadak tersebut tentu menjadi huru-hara di kalangan masyarakat kampus. Tidak hanya mahasiswa yang kebingungan, para rektor pun ikut-ikutan ramai mewacanakan kebijakan ini. Pro dan kontra tentu merupakan suatu keniscayaan dalam iklim demokrasi. Kemendikbud setidaknya mengklaim tiga tujuan utama dari kebijakan jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan ini, yakni: menanamkan budaya menulis, menumbuhkan dialektika intelektual, serta mengurangi plagiasi. Mulia memang. Dan jika kebijakan ini dapat diimplementasikan secara holistik di seluruh Indonesia Raya, saya rasa kualitas lulusan perguruan tinggi akan jauh lebih mumpuni dan canggih. Namun, rencana dan mimpi besar yang hendak diwujudkan oleh pemerintah melalui kebijakan tersebut sekiranya tidak akan mungkin secara instan terwujud.

Diperlukan langkah besar pula untuk mampu mengimbangi mimpi tersebut, dan sayangnya effort pemerintah untuk merencanakan dan menjalankan mimpi tersebut belum keliatan 'niat'. Persiapan menuju optimalnya implementasi kebijakan tersebut terkesan asal-asalan. Banyak hal krusial yang harusnya diperbaiki terlebih dahulu sebelum dengan enaknya - 'memaksa' mahasiswa menghasilkan karya yang mampu dimuat dalam jurnal ilmiah. Hal yang perlu diperbaiki itu antara lain, pertama, menata sistem pendidikan di perguruan tinggi. Agenda kebijakan yang lebih krusial itu mestinya adalah memperbaiki sistem pendidikan di perguruan tinggi, standar kompetensi universitas, sinkronisasi kurikulum, dan yang lainnya. Kualitas kompetensi di perguruan tinggi satu dengan yang lainnya tentu berbeda. Jangankan membandingkan kampus di Jawa dan di luar Jawa, bahkan perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) di Pulau Jawa pun masih banyak yang kualitasnya rendah. Jika kebijakan ini nantinya dipaksakan padahal sistem pendidikan yang ada masih morat-marit akan dapat dipastikan kualitas jurnal yang dihasilkan akan jauh di bawah standar dan asal-asalan, hanya untuk membuat mahasiswa dapat lulus dengan selamat. Belum lagi kemungkinan menjamurnya biro atau calo jurnal ilmiah. Kedua, membenahi sarana, prasarana, serta infrastruktur penunjang yang mendukung kebijakan ini. Jurnal ilmiah bukanlah tulisan yang dapat dibuat asal-asalan. Perlu telaah yang dalam, proses penelitian serta hasil analisa yang valid. Tanpa adanya infrastruktur penunjang yang memadai serta dana penelitian yang susah diakses, akan sangat sulit membuat karya ilmiah yang baik dan sesuai standar. Masalah sarana dan infrastruktur penunjang ini, kita semua tentu setuju bahwasanya ada banyak sekali universitas yang masih sangat terbatas sarana dan infrastruktur penunjang. Terlebih di universitas antah berantah yang ada di timur Indonesia, jangankan mengakses internet, terkadang sinyal HP saja merem melek. Ketiga, membenahi mental mahasiswa, membekali dengan budaya literasi dan anti plagiasi. Budaya literasi sangat penting diinternalisasikan dalam diri setiap mahasiswa agar terbiasa berpikir secara sistematis, sensitif, ilmiah dan memiliki banyak referensi dalam menyikapi masalah. Budaya membaca di kalangan masyarakat dan pelajar Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk mensiasati mahasiswa untuk membudayakan membaca, akan sulit rasanya mengharapkan karya ilmiah yang bebas plagiat. Jangankan mahasiswa biasa, bahkan banyak dosen dan professor yang tesis dan desertasinya adalah hasil plagiat. Tentu hal ini sangat memalukan. Terlepas dari semua itu, sesungguhnya niatan baik dari Kemendikbud ini sangat layak untuk diapresiasi. Karena biar bagaimanapun juga, seorang mahasiswa yang didaulat sebagai intelektual muda dan akademisi memang seharusnya menghasilkan karya sebagai bentuk dedikasi untuk Indonesia. Itulah mengapa mereka disebut 'maha'-siswa. Dan sebuah karya berupa tulisan merupakan salah satu bentuk nyata dari sumbangan mahasiswa untuk negeri meskipun bukan satu-satunya tentu. Kita sebaiknya husnudzan sajalah pada pemerintah. Siapa tahu memang niatan pemerintah

mengeluarkan kebijakan tersebut adalah benar-benar untuk mencetak lulusan PT yang berkualitas, tidak sekadar menjaga gengsi dan prestise karena ketinggalan dengan Malaysia yang kabarnya menghasilkan jurnal hingga tujuh kali lipat lebih banyak daripada yang dihasilkan di Indonesia. Momen huru hara kebijakan ini menjadi saat yang tepat kiranya bagi kaum akademisi untuk ramai-ramai membantu, mendorong dan mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membenahi dunia pendidikan di Indonesia, memeratakan pembangunan segala bidang di daerah pelosok, memperbaiki sistem, meningkatkan kompetensi universitas, pengajar, teknologi, sarana dan infrastruktur penunjang agar kebijakan yang telah dikeluarkan ini tidak mubadzir dan sia-sia. Butuh waktu tentu, dan tidak mudah memang, tetapi bukankah untuk mencapai perubahan yang lebih baik memang memerlukan waktu dan proses yang panjang? Hidup mahasiswa Indonesia! Ainun Habibah Mahasiswa S-1 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM)(//rfa)
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/05/367/587321/jurnal-ilmiah-solusi-peningkatan-mutumahasiswa-indonesia

You might also like