You are on page 1of 6

Kertas Posisi KPA: Pembangunan Bisa Berbuah Sengketa Jika RUU Pengadaan Tanah Disahkan

Pengantar Pemerintah secara resmi menyerahkan naskah RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan kepada pimpinan DPR yang ditandatangani pada 15 Desember 2010. Melalui rapat paripurna, DPR telah membentuk pansus pengadaan RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan yang beranggotakan 29 orang. Dalam proses konsultasi dengan DPR, pemerintah diwakili oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Pemerintah sangat menginginkan RUU ini segera diadakan, bahkan sebenarnya masuk dalam agenda 100 hari pemerintahan SBY Jilid II, dan Presiden telah mengeluarkan instruksi khusus untuk segera dipercepat, baru diakhir tahun 2010 naskahnya baru diusulkan oleh pemerintah. Selain itu, sebenarnya DPR juga telah memasukkan regulasi ini dalam prolegnas 2010 dengan nama yang berbeda. Pengadaan tanah untuk pembangunan/kepentingan umum sudah diatur dalam UU No.20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah, Kepres 55/1993, dan Pepres 36 tahun 2005, jo. 65/2006 sehingga perlu dipertanyakan mengapa RUU ini menjadi sangat prioritas bagi pemerintah? Siapa dibalik usulan RUU ini, dan apakah RUU ini dapat mencapai tujuan ideal dari diundangkannya? Dan apa dampak dari pemberlakuan RUU ini bagi kehidupan masyarakat? Siapa Yang Berkepentingan Terhadap Ruu Ini? Keberadaan RUU ini patut dicurigai sebagai regulasi pesanan dari kelompok kepentingan modal besar, dilihat dari rencana penerbitan RUU ini berasal dari pertemuan National Summit 2009 yang digelar pada tanggal 29-30 Oktober 2009 di Menara Bidakara. Selain sebagai gebrakan program 100 hari pemerintahan yang baru terpilih, pertemuan lintas pemerintah dan pengusaha ini adalah bagian dari pelaksanaan komitmen Indonesia yang disepakati melalui forum G-20 dan donor internasional. Sedikitnya 1.424 orang menghadiri pertemuan ini, terdiri dari para Eselon I dari seluruh departemen terkait, pejabat pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia), KADIN mulai dari pengurus Nasional sampai Provinsi, Foreign Chambers, pimpinan DPR dan DPRD, Asosiasi/gabungan/himpunan pengusaha, Lembaga Keuangan Bank dan Non-Bank, Pengamat/Pakar, Perguruan Tinggi dan kalangan media. Kesepakatan dalam National Summit tidak dapat dinafikkan begitu saja, dikarenakan berkaitan erat dengan arah pembangunan dan kepentingan masyarakat luas. Sementara draft naskah yang dibahas dalam National Summit 2009 mengacu sepenuhnya pada roadmap ekonomi Indonesia yang dihasilkan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang merupakan think-tank para pengusaha di negara ini. Seluruh agenda pembicaraan dalam temu nasional terutama di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat sarat dengan kepentingan para pengusaha. Masalah pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, penyedian energi dan pengadaan pangan dengan memberi peran yang besar bagi penanaman modal. Wajar kemudian output yang dihasilkan tampaknya tidak secara signifikan menyelesaikan problem mendasar yang dihadapi rakyat, seperti krisis pangan, krisis energi, krisis ekologi dan krisis kesejehteraan yang dihadapi mayoritas kaum tani, nelayan, buruh dan kaum miskin yang jumlahnya hampir separuh dari rakyat Indonesia. RUU ini didorong kuat oleh kelompok penguaha, khususnya para pengusaha infrastruktur. Salah satu alasan yang sering dikemukakan di berbagai forum bahwa dukungan kebijakan pemerintah atas pengadaan tanah tidak memadai dan tidak efektif. Pengadaan tanah masih menjadi penghambat proyek pembangunan karena mekanismenya tidak efektif, diantaranya karena : 1) Rumitnya pelaksanaan UU No.20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah, 2) Penetapan ganti berdasarkan musyawarah, dan 3) pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu dan biaya pengadaan tanah.

Salah satu contoh yang banyak dikemukakan adalah pengadaan tanah untuk jalan tol. Menurut data KADIN bahwa terhadap 21 ruas jalan tol, yang lahannya bebas 100 persen baru 1 ruas, dan terhadap total kebutuhan tanah 7.634 Ha, selama tiga tahun baru bebas 939 Ha atau setara dengan 14 persen. Menurut KADIN bahwa tidak pihak yang bisa dimintakan tanggungjawabnya dalam pembebasan lahan dari unsur biaya dan waktu. Dalam National Summit 2009, KADIN mengusulkan perlunya aturan pengadaan tanah yang lebih efektif. Pokok-pokok pikiran KADIN mengenai aturan ini, diantaranya : BPN menjadi pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pelaksana pengadaan tanah dapat menggunakan jasa pihak ketiga; untuk penghormatan terhadap hak dan kepentingan pemilik tanah, maka pemilik tanah yang keberatan atas apraisal yang dilakukan oleh Pimpro, pemilik tanah berhak melakukan apraisal tandingan sebagai dasar pengajuan keberatan ke pengadilan tinggi; keputusan pengadilan tinggi meliputi (besaran ganti rugi, tanah yang telah diputuskan pengadilan tinggi bisa dimulai kontruksi, dan penghapusan hak/pencabutan hak). Dengan memperhatikan pasal-pasal yang diatur dalam RUU pengadaan tanah, maka jelas dan terang sekali sebagian besar isinya sesuai dengan keinginan pengusaha infrastuktur. Kontruksi yang terbangun dari RUU ini lebih mengedepankan aspek kepastian hukum bagi pengusaha yang memerlukan tanah ketimbang jaminan keadilan bagi pihak yang terkena proyek pembangunan. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi penjamin terdepan bagi kemudahan berinventasi di Indonesia, sehingga konflik atau sengketa dari proyek pembangunan ini telah dikanalisasi sehingga pemegang hak atas tanah tidak punya kuasa untuk menolak. (pasal 42-46). Badan Internasioanal semisal ADB juga sangat berkepentingan terhadap lahirnya aturan yang jelas mengenai pengadaan tanah di Indonesia. Bagi mereka, Indonesia mempunyai masalah dalam pengadaan tanah karena : 1) Indonesia tidak memiliki informasi yang cukup mengenai siapa pemilik tanah dan atas hak apa, sehingga publik tidak bisa mengakses informasi tersebut, 2) Sistem informasi mengenai hak atas tanah sangat bergantung pada otoritas pemerintah, dan 3) Indonesia perlu membangun proses yang lebih transparan mengenai pemilik-pemilik hak atas tanah, siapa yang menguasainya, beragam tata cara pembayaran dan penyampain ganti rugi, dsb. Tanah dan Pembangunan RUU ini muncul disaat masalah-masalah agraria (secara khusus pertanahan) sebagai warisan orde baru masih belum terselesaikan. Masalah utamanya adalah karena tanah dan kekayaan alam tidak menjadi alat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal : Pertama, reduksionisme persoalan tanah yang hanya dipandang sebagai masalah ekonomi, tanpa melekatkan dimensi sosial, kultural dan politik di dalamnya. Artinya nilai tanah lebih ditentukan melalui mekanisme pasar, akibatnya makna tanah mengalami depolitisasi dan desosialisasi. Hal ini kemudian membawa konsekuensi bagi pemilik tanah ketika menghadapi proyek pembangunan, karena ikatan-ikatan non-ekonomis tidak lagi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan harga tanah. Karenanya tidak mengherankan bila pembangunan sering diikuti dengan konflik agraria yang terbuka dan tidak gampang mencari solusi penyelesaiannya. Kedua, tanah sebagai alat spekulasi akumulasi kapital. Tanah menjadi salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi. Bagi investor, pemilikan atau penguasaan tanah merupakan investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan. Tentu saja, berbagai upaya akan dilakukan oleh para ivestor untuk melakukan penguasaan langsung tanah, baik melalui intervensi aktif terhadap regulasi maupun penguasaan melalui mekanisme perdagangan produksi, barang dan jasa. Ketiga, konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah semakin tidak terkontrol, dan di sisi lain terjadi marginalisasi bagi petani dan rakyat kecil pada umumnya. Salah satu pemicunya adalah kewajiban bagi pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan investor asing dalam hal pembangunan untuk pengembangan mesin-mesin produksi kapitalisme.

Berbagai dimensi persoalan tersebut di ataslah yang menurut para pakar menjadi pemicu konflik atas tanah yang terjadi sepanjang masa. Dalam konteks ini, makna pembangunan kemudian direduksi maknanya dari apa yang telah dirumuskan oleh tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dimana pembangunan bermakna sebagai :1) membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka, membebaskan diri dari mentaliras penjajah. 2) Membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, adil dan demokratis. 3) Membangu secara fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Gunawan Wiradi;2000). Justru yang kita saksikan sebeliknya bahwa pembangunan menjadi instrument pemiskinan rakyat dan pengusuran. Menyisakan Banyak Persoalan Secara subtansi, pengaturan di dalam RUU ini tidak jauh berbeda dengan isi dari Pepres 36/2005 jo. 65/2006 yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat sipil karena Perpres ini dapat menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat dan sangat diskriminatif dalam melibatkan masyarakat dalam proses musyawarah terkait dengan ganti rugi tanah. Beberapa masalah utama yang mengganjal dalam RUU ini: Pertama, bahwa RUU ini tidak menjelaskan definisi mengenai kepentingan umum, padahal pengertian tersebut sangat penting untuk melihat cakupan operasional dari RUU ini. Selain itu, tidak jelas kriteria apa yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu objek pembangunan untuk kepentingan umum. Sebab, apa yang diatur dalam pasal 13 di RUU ini, hanya menyebut objek-objek konkritnya, bukan kriteria. Mengenai kriteria tentang kepentingan umum, pada dasarnya telah banyak didiskusikan oleh para pakar pembangunan. Setidaknya ada dua hal yang paling mendasar, yakni : 1) bahwa manfaat dari objek kepentingan umum tersebut harus dapat diakses oleh rakyat secara merata dan melintasi batas-batas segmen sosial, bukan untuk kepentingan sekelompok orang. 2) Objek dari kepentingan umum tersebut tidak untuk kepentingan komersial atau bisnis semata. (Wiradi;2009) Selain itu, dalam RUU ini terdapat objek kepentingan umum yang ditetapkan oleh presiden (pasal 13;q). Hal ini selain berpotensi mengulang perilaku buruk pemerintah dalam menafsir Hak Menguasai Negara (HMN) yang selama ini terjadi, kelak setiap proyek yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah memohon kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai kepentingan umum. Bukankah tidak ada satupun dasar kuat sebuah proyek tidak dapat disebut sebagai proyek yang mewakili kepentingan umum. Semua terbuka untuk diinterpretasi. Kedua, dengan lahirnya undang-undang pengadaan tanah, penggusuran atas tanah-tanah dan sumber daya alam yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentu saja potensi terjadinya kekerasan pelanggaran hak asasi manusia di dalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat) yang tercatat pada tahun 2004, baru 26 juta bidang yang bersertifikat atau baru 30 persennya. Pada tahun 20052008 terjadi penambahan 13 juta sertifikat, sehingga sampai dengan tahun 2008 jumlah bidang tanah yang tercatat pada tahun 2004 saja masih 60 persen yang belum bersertifikat. Lantas, Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, bagaimana dengan tanah-tanah yang tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak? Perlu ditegaskan di sini bahwa argumentasi di atas bukan bertujuan untuk mendorong program sertifikasi yang telah dilakukan oleh BPN harus dipercepat, karena percepatan sertifikasi tanah di tengah situasi ekonomi pedesaan yang semakin memburuk akan dengan sendirinya mempercepat pula rakyat melepaskan tanahnya secara sukarela kepada pihak lain. Artinya juga akan terjadi pelepasan tanah dalam bentuk lain. Dengan mengemukakan realitas di atas bahwa sesungguhnya RUU pengadaan tanah ini jika dikaitkan dengan buruknya administrasi pertanahan kita, maka sangat berpotensi jutaan rakyat yang akan terusir dan mengalami pelanggaran hak asasinya tanpa jaminan perlindungan. Ketiga, RUU ini akan mempertajam konflik agraria di Indonesia, termasuk konflik-konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat karena selama ini lemahnya perlindungan negara atas wilayah-wilayah

masyarakat adat. Hasil pendataan KPA, sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar ( 45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus) dan lain-lain (2 kasus). Tabel : Jumlah konflik di Indonesia periode Januari-Desember 2010

Konflik agraria dimungkinkan melalui penerapan pasal 6 dan pasal 9 dari RUU ini. Pasal 6 yang menyatakan bahwa: Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kemudian pada Pasal 9 RUU juga menyatakan bahwa: Pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang undang ini. Pasal 6 dan pasal 9 ini sungguh sangat jauh ketinggalan dari isi Deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh pemerintah Indonesia pada bulan September 2007. Isi deklarasi PBB tentang Hak hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Right of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang mengatur tentang tanah dan model pembangunan masyarakat adat ini diatur dalam pasal 10, yang menyatakan: Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi. Pasal 23 UNDRIP menyatakan bahwa : Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan. Terutama, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan program-program ekonomi dan kemasyarakatan yang mempengaruhi mereka, dan sejauh mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga mereka sendiri. Keempat, cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Karena keluhan pengusaha atas pengadaan tanah sesungguhnya bukanlah situasi rill yang menjadi penghambat pembangunan. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah. Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha juga ditunjukkan dengan adanya pasal khusus mengenai pengadaan tanah untuk usaha swasta. Padahal kita semua paham dan secara rutin BPS mengumumkan

mengenai situasi gurem yang mendominasi para petani kita. Keadaan ini tidak menjadi pertimbangan pemerintah di dalam mengatur mengenai pengadaan tanah di Indonesia. Kelima, sejumlah pasal dalam RUU ini sangat otoriter dan memungkinkan negara abai terhadap penegakan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara yang tanah terkena proyek pembangunan. Diantaranya pasal yang otoriter adalah tata cara ganti rugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.Ganti rugi ini juga menunjukkan tidak adanya perubahan paradigma dalam proses restitusi tanah yang berlaku selama ini. Skema lain berupa pemukiman kembali, penyertaan modal hanyalah mekanisme yang bisa dipilih oleh pihak yang memerlukan tanah bukan kewajiban. Keenam, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyekproyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Kepentingan umum menjadi selubung yang menutupi proyek-proyek tersebut (baca kepentingan modal) dalam beroperasinya. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan. Hal yang paling jelas terlihat dalam RUU ini adalah gagal mendefinisikan kepentingan umum. Ketujuh, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing. Telah ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi di bidang energi, jalan, komunikasi, bandar udara, air, dan pelabuhan. Lewat skema utang untuk Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur, pihak kreditor mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi. Kedelapan, selama ini pemerintah memiliki catatan buruk dalam pengaturan dan pengadaan tanah karena selalu memakan korban. Berdasarkan kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta, terjadi kenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada tahun 2007 di kawasan perkotaan. Kesembilan, Fungsi sosial atas tanah sebagaimana tercantum dalam UUPA bukan sekedar menjadi dasar legalitas pengambilan tanah privat oleh Negara untuk kepentingan publik, tetapi secara lebih mendasar harus dimaknai sebagai jaminan penggunaan dan pengadaan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan menghindari penghisapan rakyat golongan lemah. Oleh sebab itu pembangunan yang disebut untuk kepentingan umum, harus diukur sifat publiknya berdasarkan keluasan akses manfaat. Kemitraan modal asing dan privatisasi pembangunan infrastruktur sama diragukan kemampuannya dalam memenuhi fungsi sosial atas tanah. Kesepuluh, RUU ini bakal hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional (land use national map planing). Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini telah mengakibatkan meledaknya konflik seperti penggusuran dan penyerobotan tanah. Di tengah hingar bingar pengadaan tanah bagi kepentingan umum, saat ini tanah-tanah pertanian secara sistematis tengah diperuntukkan bagi korporasi pertanian dan pangan. Ini adalah konsekuensi dari usaha pemerintah dalam merombak tata pertanian nasional dari pola yang berbasiskan rumah tangga menjadi berbasis agro bisnis. Rumah tangga pertanian yang sebagian besar gurem secara sistematis sedang dikonsolidasikan kedalam sistem agrobisnis. Tata cara ini dimulai dengan pengaturan ke dalam tata ruang (zonasi) yang diskriminatif sekaligus represif bagi rakyat kecil namun akomodatif bagi pemodal besar.

Pembaruan Agraria sebagai Dasar Pembangunan Pembaruan Agraria adalah amanat konstitusi kita. Pasal 33 UUD 1945 menjadi dasar dari politik agraria nasional, dimana tanah dan kekayaan alam menjadi alat untuk mengsejahterakan rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 inilah yang menjadi acuan dari UUPA No.5 tahun 1960. Dan UUPA menjadi kebijakan untuk mendistribusikan aset-aset produktif kepada rakyat Indonesia, melalui pembaruan agraria. Saat ini kita sedang mewarisi berbagai macam persoalan struktural yang berpangkal karena diabaikannya masalah agraria. Setidaknya ada lima persoalan pokok karena selama ini hak-hak rakyat atas umber-sumber agraria diabaikan, yakni : (1) struktur perekonomian bangsa yang rapuh dan bangunan industrialisasi yang tidak memiliki dasar yang kokoh; (2) terjadinya akumulasi dan monopoli penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah menciptakan ketimpangan yang sangat serius dalam struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria, yang pada gilirannya telah menciptakan kondisi ketidakadilan sosial dan menciptakan kemiskinan massal; (3) terjadinya konflikkonflik dan sengketa agraria yang berkepanjangan, meluas dan tidak terselesaikan dengan tuntas apalagi terselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan; (4) terbentuknya suatu sistem hukum agraria dan pengaturan soal penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang tumpang tindih, tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, dan telah menjadi salah satu sumber penyebab dari merebaknya konflik-konflik dan sengketa agraria; dan (5) telah terbangunnya suatu struktur birokrasi dan kekuasaan negara yang menjalankan politik agraria yang tidak pernah berpihak kepada kepada kepentingan rakyat banyak melainkan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi pengusaha besar dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan difungsikannya sistem politik agraria sebagai alat untuk memperkaya elit-elit kekuasaan itu sendiri. Berdasarkan masalah-masalah di atas, sesungguhnya pembaruan agraria dalam konteks Indonesia sekarang adalah menata kembali sistem agraria kita agar dapat menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi rakyat yang tangguh dan menyelesaikan sejumlah persoalan di atas. Di dalamnya terkandung sejumlah agenda pokok yang mesti dijalankan yang dapat kita kelompokan dalam empat agenda besar, yaitu: pertama, merombak struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sudah sangat timpang saat ini; Kedua, menyelesaikan seluruh konflik dan sengketa agraria yang telah, sedang dan masih terjadi sejak masa Orde Baru hingga sekarang tanpa terkecuali dan berpegang pada prinsipprinsip keadilan serta mengedepankan kepentingan rakyat; Ketiga, melakukan perombakan, perubahan, dan sejumlah perbaikan terhadap sistem hukum agraria dan peraturan-peraturan yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam agar tidak lagi berfungsi menjadi alat legitimasi bagi aktivitas-aktivitas yang justru menegasi dan menggusur kepentingan rakyat atas sumber-sumber daya tersebut; dan yang terakhir atau; Keempat adalah diubahnya orientasi politik dan perilaku birokrat dan penguasa yang berhubungan dengan soal penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan/atau sumber-sumber daya alam.

You might also like