You are on page 1of 4

tersebut maka informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada saat anamnesis.

Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan; gangguan yang acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi. Demensia sendiri merupakan faktor resiko untuk terjadinya sindrom delirium terutama jika terdapat faktor pencetus penyakit akut. Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy Body dan demensia lobus frontalis menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitif yang sulit dibedakan dari sindrom delirium. Sindrom delirium dengan gejala psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya compos mentis, proses berpikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan minat, depressed mood serta faal sensorium yang normal. Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium akan berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demesia lebih menetap. Pasien dengan sindrom delirium bisa muncul dengan gejala seperti psikosis yakni terdapat delusi, halusinasi serta pola pikir yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini maka sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater. Gangguan Kognitif Pasca-operasi (GKPO) GKPO (Post operative cognitive dysfunction = POCD) agak berbeda dari sindrom delirium namun mempunyai implikasi klinik yang mirip. Secara klinis GKPO jarang disertai penurunan tingkat kesadaran dan perjalanannya tidak berfluktuasi. Sampai dua minggu pasca-operasi jantung insidensnya mencapai 3070% (Savageau, dikutip oleh Rasmussen, 2003). Pada minggu ketiga hingga bulan keenam, insidensnya turun sampai 10-40%. Pada operasi non-jantung insidensnya lebih rendah yakni sekitar 0-25% segera setelah operasi dan menurun hingga 515% pada beberapa bulan pasca-operasi. PENATALAKSANAAN (ROCKWOOD, 2003; SAMUELS, 2003) Tujuan utama pengobatan adalah menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan. Comprehensive geriatric assessment (pengkajian geriatri paripurna) sangat bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap faktor fisik, namun juga psikiatrik, status fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut jantung serta suhu rektal) sangat penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.

Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan kultur darah harus segera dilaksanakan. Obat-obat yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Jika terdapat kecurigaan terhadap putus obat (biasanya obat sedativum atau hipnotikum) maka riwayat tersebut bisa diperoleh dari keluarga atau pelaku rawat. Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh gelisah bisa menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bisa terjatuh dari tempat tidur atau bisa menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pendamping atau yang biasa mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat tidur bukanlah tanpa risiko, misalnya trauma atau trombosis. Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk kondisi diatas, haloperidol masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai tanggapan pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazin dan droperidol, haloperidol memiliki metabolit dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka dapat diberikan intramuskular maupun intravena. Olanzapin dapat diberikan sebagai tambahan jika agresivitas masih muncul dengan dosis maksimal haloperidol. Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti risperidon dan penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walaupun risiko efek samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti perpanjangan QT dan torsades de pointes, gejala eksatrapiramidal dan diskinesia putus obat dapat terjadi. Oleh karena itu penggunaan antipsikotik harus dikonsultasikan ke psikiater geriatri. Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan pasien dengan sindrom delirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan. Asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat akan sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah tenang dan cukup penerangan. Masih dalam konteks orientasi, dokter dan perawat harus mengetahui apakah sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu dengar untuk berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala diperlukan setiap saat.

Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah : perawat harus waspada bahwa pasien sangat mungkin tidak mampu menelan dengan baik sehingga asupan per oral tidak boleh diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai kemampuan menelan. Dokter yang merawat harus menilai kesadarannya dan dokter ahli rehabilitasi medik harus menilai kemampuan otot menelan jika pasien sadar. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos mentis dan tidak terdapat kelumpuhan otot menelan barulah perawat diizinkan memberikan asupan per oral. Selama perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat jam, jika diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkan setiap satu jam tergantung kondisi pasien. Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan yang masuk harus diukur dengan cermat tiap empat jam dan dilaporkan kepada dokter yang merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat). Sehubungan dengan hal di atas, maka keluarga pasien atau pelaku rawat yang menunggu harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan makanan atau minuman dalam keadaan kondisi yang tidak compos mentis atau terdapat kelumpuhan otot menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang baik antara perawat dengan penunggu pasien terutama perihal pemantauan urin dan asupan cairan. Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa yang baru dialami saat delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien membaik maka dokter atau perawat harus menjelaskan/mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya untuk mengantisipasi atau mencegah episoda cemas. Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan predisposisi. Segera setelah faktor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih definitif sesuai faktor pencetusnya. Memperbaiki faktor predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu selesainya masalah terkait faktor pencetus. PROGNOSIS Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke-12. Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang berhubungan dengan mortilitas, gangguan kognnitif pasca-delirium, status fungsional serta gejala sisa yang ada. Prognosis yang berhubungan mortalitas dilaporkan oleh Rockwood (1999) dalam pengamatan selama tiga tahun. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak (95% CI 1,02 ; 2,87). Sementara McCusker (2002) dan Kakuma (2003) masing-masing melaporkan peningkatan risiko tersebut sebesar 2,11 (1,18 ; 3,77) dan 7,24 (1,62 ; 32,35). Perlu disampaikan bahwa peningkatan risiko tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan

pengendalian terhadap faktor-faktor lain yang turut berperan terhadap kematian seperti beratnya kondisi komorbid, demensia, gangguan status fungsional, domisili (tinggal di panti atau tidak) serta faktor perancu yang lain. Terhadap faal kognitif digunakan beberapa instrumen untuk membantu menetapkan diagnosis demensia pasca delirium seperti MMSE (mini mental state examination) dan IADL (instrumental activities of daily living), yang kedua lebih tepat untuk menentukan derajat demensia. Rockwood (1999) mendapatkan peningkatan risiko demensia sebesar 5,97 pada kelompok dengan sindrom delirium (95% CI 1,83 ; 19,54 [setelah mengontrol faktor jenis kelamin, usia dan komorbiditas]). Besarnya perbedaan derajat perubahan faal kognitif dalam observasi selama 12 bulan lebih besar secara bermakna pada kelompok yang pernah mengalami sindrom delirium (21.83.5 dan 18,95,7) dibandingkan dengan kelompok kontroi (23,33,5 dan 24,23,9) dengan nilai rasio odd -3,4 (95% CI -62 ; -0,6) seperti dilaporkan oleh McCusker (2001). Lebih lanjut diperlihatkan bahwa besarnya perbedaan perubahan skor IADL juga lebih besar pada kelompok dengan sindrom delirium (10,7 2,3 dan 8,3 3,8) dibandingkan kelompok kontrol (9,3 2,9 dan 8,0 3,2). Pada penelitian yang menilai status fungsional, ternyata delirium berhubungan dengan status fungsional yang lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. McCusker (2001) memperlihatkan bahwa pasien-pasien dengan sindrom delirium mempunyai skor ADL Barthel (rentang 0100) yang lebih buruk (skor 53,4 29,9 menjadi 80.6 28,2 dalam 12 bulan pasca delirium) dibandingkan dengan kontrol (62,7 26,2 menjadi 87,1 13,2 dalam 12 bulan pasca delirium). Levkoff (seperti dikutip McCusker, 2003) meneliti gejala sisa delirium dan didapatkan hasil bahwa dari 125 pasien berusia 65 tahun ke atas yang masuk dengan sindrom delirium; saat pulang, hanya 44% dari pasien yang

You might also like