You are on page 1of 14

BAB I ARTRITIS REUMATOID

PENDAHULUAN Ilmu yang mempelajari penyakit reumatik dan sendi disebut Reumatologi. Penyakit reumatik sendiri sebenarnya telah ada sejak zaman dahulu, yang terbukti dari fosil binatang purba yang mengalami perubahan degeneratif, yang dikenal sebagai osteoartritis. Bila pada abad yang lalu para dokter masih sukar untuk membedakan berbagai jenis artritis, dan menganggap bahwa artritis itu hanya terdiri dan beberapa jenis saja, maka pada saat ini telah dikenal lebih dan 100 jenis artitis. Walaupun demikian dalam praktek sehari-hari hanya beberapa jenis gangguan reumatik saja yang sering dijumpai yaitu penyakit sendi degeneratif rematik luar sendi (seperti nyeri pinggang, tendinitis dan fasciitis), artritis reumatoid, kelompok spondiloartropati seronegatif dan artritis gout. (1)

DEFINISI Artritis reumatoid (RA) merupakan penyakit inflamasi kronik, sistemik, dengan etiologi yang tidak diketahui, yang terutama menyerang sendi. Artritis rematoid (AR) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik , meskipun terutama mengenai jaringan persendian seringkali melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul,yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakkan persendian dan deformi tas sendi yang progresif yang menyebabkan distabilitas bahkan kematian dini. Inflamasi sendi dapat mengalami remisi, tetapi bila berlangsung terus akan terjadi destruksi sendi yang progresif deformitas, dan berakibat ketidakmampuan dalam berbagai tingkat. Dapat ditemukan manifestasi ekstraartikuler seperti nodul reumatoid, arteritis, neuropati, skleritis, perikarditis, limfadenopati dan splenomegali.
1

Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada rawan sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul oleh proses kerusakan sendi yang disebabkan oleb 2 hal yaitu : 1. Akibat proses inflamasi sinovia, akan dikeluarkan komponen destruktif kedalam cairan sinovia yang akan merusak rawan sendi. 2. Kerusakan pada rawan sendi akibat proliferasi dan jaringan granulasi yang disebut pannus. Destruksi terjadi pada rawan sendi, ligamen tendon dan tulang. (1,2,3)

INSIDENS Artritis reumatoid kira-kira 2 kali lebih sering menyerang wanita daripada pria. Insidens meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada wanita. Insidens puncak adalah antara usia 40 60 tahun. (3)

BAB II TEORI ARTRITIS REUMATOID


2

ETIOLOGI Walaupun telah dilakukan penelitian yang intersif, etiologi dari RA hingga saat ini masih belum dapat dipastikan. Penelitian mencoba menghubungkan dengan faktor endokrin, metabolik, faktor nutrisi, geografi, pekerjaan, faktor psikososial, infeksi bakteri, spirokaeta, virus dan imunologik. (1,2,3)

GAMBARAN KLINIS Gambaran klinik artritis reumatoid sangat bervariasi tergantung dari saat kita memeriksa penderita. Variasi sangat luas, mulai dari gejala klinik yang ringan sampai ke tingkat yang sangat berat dimana penderita dalam keadaan cacat dan tidak lagi mampu untuk bergerak. Perjalanan penyakit juga sangat bervariasi ada penderita yang dalam waktu singkat menderita penyakit yang berat, tetapi ada pula penderita yang menderita sejak puluhan tahun tetapi tidak menderita cacat yang berat. Pada sebagian besar penderita maka awal penyakit berlangsung secara bertahap selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, disertai dengan gejala kelemahan dan kelelahan dan nyeri pada otot dan tulang. (1)

Gejala pada sendi meliputi: 1. Poliartritis yang nyata pada sendi tertentu yang akan mengalami pembengkakan, nyeri, panas dan kemerahan, serta gangguan fungsi.

2. Simetris, sendi sisi kiri dan kanan terserang serentak atau berturut-turut. 3. Sendi yang terserang ialah : tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, panggul, lutut, pergelangan kaki, kaki dan vertebra cervical, temporomandibular dan sendi cricoaritenoid. Sendi tangan yang terserang ialah sendi carpalis, sendi metakarpofalangeal (MCP) dan sendi proksimal interfalang (PIP), sedangkan yang tidak pernah terserang ialah sendi distal interfalang (DIP). Tidak terserangnya sendi DIP ini penting untuk membedakan dengan artritis lainnya (misalnya terhadap osteoartritis).

4. Kaku pagi (morning stiffness) merupakan ciri khas dan penyakit ini, biasanya berlangsung panjang (lebih dari 1 jam). Makin berat penyakit makin bertambah panjang pula waktu kaku pagi. Setelah masa istirahat lama seperti tidur atau duduk lama selalu diikuti dengan kaku sendi. 5. Deformitas sendi yang khas dapat ditemukan pada berbagai sendi. (1)

RA Tangan Gejala awal yang khas dan RA pada tangan ialah pembengkakan sendi PIP yang membentuk gambaran fusiform atau spindle-shape. Keadaan ini kemudian diikuti dengan pembengkakan sendi metakarpofalangeal (MCP) yang simetrik. Proses peradangan yang lama akan menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi falang proksimal sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar aeviation). Deviasi ulnar ini selalu disertai dengan deviasi radial dan sendi radiocarpalis, sehingga akan memberikan gambaran deformitas zig-zag . Pada kasus lanjut dapat terjadi deformitas leher angsa (swan-neck) , sebagai akibat kombinasi dan hiper ekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP. Kombinasi dari fleksi sendi PIP dan ekstensi sendi DIP akan menyebabkan deformitas boutonniere. Akibat dan semua ini akan mengakibatkan tangan tidak dapat berfungsi dengan sempurna. RA Pergelangan tangan RA hampir selalu menyerang pengelangan tangan, pada awalnya berupa sinovitis yang dapat diraba, dan pada keadaan lanjut terjadi deformitas sehingga gerakan dorsofleksi pergelangan tangan terbatas (kurang dan 180o). Proliferasi sinovia kearah palmar akan menyebabkan penekanan pada nervus medianus sehingga mengakibatkan terjadinya sindrom carpal-tunnel, berupa parestesi pada aspek palmar ibujari, jari kedua dan ketiga dan aspek radial jari keempat. RA Siku RA siku menyebabkan pembengkakan dan kontraktur fleksi. Keadaan ini sering dijumpai dan menyebabkan kerusanan melakukan aktivitas sehari-hari. RA Bahu RA bahu biasanya terjadi pada tahap lanjut penyakit ini, akibatnya terjadi keterbatasan gerak dan rasa nyeri pada prosesus coracoid bagian bawah dan lateral. RA Cervikal

RA cervical menyebabkan nyeri dan kaku tengkuk. Biasanya sendi yang terserang ialah Cl dan C2. Pada keadaan lanjut dapat terjadi subluksasi atlanto-oksipital yang mengakibatkan penekanan pada syaraf spinal dan menyebabkan gangguan neurologik. RA Panggul Gejala RA panggul yang dapat dilihat ialah gangguan jalan dan keterbatasan gerakan sendi, sedangkan pembengkakan dan nyeri sendi sulit diobservasi, penderita hanya merasa tidak enak di lipat paha yang menjalar ke pantat, pinggang bawah dan lutut. RA Lutut Gejala yang sering terlihat ialah hipertrofi sinovia dan efusi sendi. RA Pergelangan kaki dan kaki RA didaerah ini memberikan gambaran yang tidak berbeda dengan RA tangan. Subluksasi dari ibu jari kaki menyebabkan terjadinya deformitas hammer toe. Disertai dengan deformitas lainnya akan menyebabkan kesukaran dalam menggunakan sepatu normal, sehingga diperlukan sepatu khusus. (1) 2. Manifestasi ekstra artikuler: 1. Kulit : nodul subkutan, vaskulitis 2. Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup jantung. 3. Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis interstitiel difusi 4. Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi medula spinalis. 5. Mata : sindrom Sjogren. 6. Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia, trombositopenia, dan neutropenia. (1)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
6

1. Anemia normokrom normisitik 2. Laju endap darah meningkat, sesuai dengan aktifitas penyakit, makin aktif penyakit makin tinggi LED. 3. Faktor reumatoid (RF) penting, tetapi bukan penentu diagnosis. Walaupun RF negatif, diagnosis RA tetap dapat ditegakkan secara klinik dan radiologik. Penderita dengan titer RF yang tinggi cenderung menunjukkan gejala sistemik, artritis erosif dan destruktif. 4. Anti Nuclear Antibody (ANA) dan antigen lainnya dapat ditemukan pada sebagian kecil penderita ,umumnya dengan titer yang rendah. 5. HLA-DR4 positif pada sebagian pasien. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. 6. Cairan sinovial : Jumlah sel antara 5.000-20.000 mm3, titer komplemen rendah, RF positif dan bekuan mucin jelek. 7. Pemeriksaan radiologik yang terbaik ialah melihat pada sendi pengelangan dan jari-jari tangan. Pada awal penyakit menunjukkan gambaran pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis juxtaartikuler. Pada stadium lebih lanjut ditemukan gambaran permukaan sendi yang tidak rata akibat erosi sendi, penyempitan celah sendi, subluksasi dan akhinrnya ankilosis sendi. (1,2)

8. Kadar albumin biasanya turun dan globulin naik.

KRITERIA DIAGNOSTIK Pada tahun 1987, ARA membuat kriteria diagnostik baru sebagai pengganti kriteria diagnostik yang lama. Kriteria Diagnostik untuk Artritis Reumatoid : 1. Kaku pagi minimal 1 jam yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu 2. Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu 3. Pembengkakan pada sendi pergelangan tangan, metakarpofalangeal (MCP) atau proksimal interfalang (PIP) selama 6 minggu atau lebih 4. Pembengkakan sendi yang simetrik 5. Gambanan radiologik pada tangan menunjukkan perubahan khas untuk artritis reumatoid dan harus disertai erosi dan dekalsifikasi tulang yang tidak rata 6. Nodul reumatoid 7. Faktor reumatoid positif dengan menggunakan metode pemeriksaan yang pada orang normal hasil positifnya tidak lebih dari 5%.

Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria atau lebih. (1) Kriteria Remisi Klinik pada Artritis Reumatoid: 1. Lama kaku pagi tidak lebih dari 15 menit 2. Tidak ada rasa lemah 3. Tidak ada nyeri sendi (dari riwayat penyakit) 4. Tidak ada nyeri gerakan atau bengkak sendi
8

5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi atau sekitar sarung tendon. 6. Laju endap darah kurang dan 30 mm/jam pada wanita dan 20 mm/jam pada pria (cara Westengren). Dinyatakan remisi bila ditemukan 5 kriteria atau lebih selama 2 bulan berturut-turut. (1)

KLASIFIKASI PROGRESIVITAS Derajat I, Awal 1. Pada pemeriksaan radiologik tidak ditemukan perubahan destruktif. 2. Pada pemeriksaan radiologik dapat ditemukan gambaran osteoporosis. Derajat II, Sedang 1. Pada pemeriksaan radiologik ditemui gambaran osteoporosis, dengan atau tanpa destruksi ringan tulang subkondral dapat ditemukan destruksi ringan rawan sendi. 2. Tidak ditemukan deformitas, walaupun dapat ditemukan keterbatasan gerak sendi. 3. Atrofi otot disekitarnya 4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuler, seperti nodul atau tenosivitis. Derajat III, Berat 1. Pada pemeriksaan radiologik selain osteoporosis dapat ditemukan destruksi rawan sendi dan tulang. 2. Deformitas sendi, seperti subluksasi, deviasi ulnar, hiperekstensi tanpa disertai fibrosis atau ankilosis sendi. 3. Atrofi otot yang nyata. 4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuter, seperti nodul atau tenosivitis.
9

Derajat IV, Terminal 1. Fibrosis atau ankilosis sendi 2. Kriteria dari derajat III (1)

PENATALAKSANAAN Dokter harus menyadari bahwa RA merupakan penyakit sistemik dengan onset, perjalanan penyakit dan hasil akhir yang sangat bervariasi. Dokter perlu memberi penerangan pada penderita dan keluarga tentang penyakit ini dan mengajaknya berperan serta dalam penatalaksaan utntuk penyakit ini. Tujuan utama penatalaksanaan penyakit ini ialah menghilangkan rasa nyeri, mengurangi dan menekan inflamasi, mengurangi sekecil mungkin efek samping yang tidak diharapkan, memelihara fungsi otot serta sendi dan akhirnya penderita dapat kembali kepada kehidupan yang diinginkan dan tetap produktif. Penatalaksanaan yang dianjurkan ialah mengikuti piramid pengobatan yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. (1,2) 1. Terapi Obat a. Obat antinflamasi non steroid (OAINS) Sudah menjadi perjanjian bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru, pengobatannya harus dimulai dengan OAINS, kecuali ada kontra indikasi tertentu. OAINS ini merupakan obat tahap pertama (first line) dan dikenal berbagai jenis yang mempunyai efek analgesik dan antiflamasi yang baik. Obat golongan ini tidak dapat menghentikan/mempengaruhi perjalanan penyakit artritis reumatoid. Dikenal 6 golongan OAINS, yaitu: 1. Golongan salisilat. Sailsilat merupakan obat pilihan pertama karena cukup efektif dan harganya cukup murah. kekurangannya ialah efek samping pada gasrointestinal yang cukup besar. Efek samping ini dicoba dikurangi dengan membuatnya dalam berbagai bentuk seperti bentuk buffer, bentuk
10

tablet bersalut (enteric coated) dan bentuk nonasetilik misalnya diflusinal. Efek samping lainnya seperti gangguan pendengaran, gangguan susunan syaraf pusat, inhibisi agregrasi trombosit dan gangguan test faal hati. Untuk hal ini bila sarana memungkinkan perlu memonitor terus kadar salisilat darah, sehingga tetap pada kadar yang aman. 2. Golongan indol: a.l indometasin (beredar di Indonesia), sulindak dan tolmetin (tidak beredar di Indonesia) 3. Golongan turunan asam propionat: a.l. ibuprofen, naproksen, ketoprofen, diklofenak (beredar di Indonesia), suprofen dan fenoprofen (tidak beredar di Indonesia) 4. Golongan asam antranilik: a.l. natrium meklofenamat (beredar di Indonesia). 5. Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam (beredar di Indonesia) 6. Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon (beredar di Indonesia). Hanya dapat digunakan untuk jangka pendek, tidak lebih dan 2 minggu, karena mempunyai efek penekanan pada sumsum tulang. b. Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs Obat golongan ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis reumatoid, karena itu disebut sebagai obat remitif atau disease-modifying antirheumatic drugs/DMRD. Karena efek kerjanya lambat maka disebut sebagai slowacting-antirheumatic drugs/SAARD. Obat golongan ini baru memberikan efek setelah pemakaian selama minimal 6 bulan dan tidak mempunyai efek langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi, oleh karena itu sambil menunggu efek obat ini terbentuk, maka biasanya pada awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan OAINS untuk mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat SAARD telah terbentuk maka OAINS dapat dikurangi, bahkan dihentikan bila pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan demikian SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-line drug). Indikasi pemberian SAARD terutama ditujukan pada penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti radiologik adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat golongan ini sangat toksik dan mempunyai efek samping yang besar, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat, maka sebaiknya pemberian obat ini dilakukan oleh seorang dokter spesialis. Obat yang termasuk golongan ini ialah:
11

1. Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin. 2. Garam emas 3. Penisilamin 4. Sulfasalasin 5. Obat imunosupresif. c. Kortikosterioid Penelitian membuktikan bahwa kortikosteroid tidak dapat menghambat progresifitas penyakit artritis reumatoid, sehingga penggunaan kortikosteroid harus dibatasi. Memang pada awalnya penderita merasa tertolong dengan menggunakan kortikosteroid karena gejala nyeri dan inflamasi berkurang, tetapi ternyata perjalanan penyakit berlangsung terus, erosi dan destruksi sendi berjalan terus, sehingga deformitas yang terjadipun tidak dapat dihindan. Dengan kata lain kortikosteroid hanya bersifat simptomatik dan tidak menyembuhkan (not curative). Kortikosteroid perlu segera diberikan pada keadaan penyakit yang berat yang ditandai dengan panas, anemia, berat badan menurun, neuropati, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleritis dan sindroma Felty. Pada keadaan ini diberikan dosis tinggi, yang segera dilakukan penurunan dosis bertahap (tapering) bila gejala sudah berkurang. Pada penderita RA yang tidak responsif dengan OAINS atau mempunyai kontradikasi mutlak terhadap OAINS, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (5-7,5 mg/hari) dalam jangka pendek dan diberikan selang-seling (alternate day), sambil menunggu kerja obat SAARD menjadi efektif. Pada keadaan vaskulitis sangat berat maka untuk keselamatan hidup perlu diberikan kortikosteroid megadose. Pemberian suntikan kortikosteroid intraartikuler dapat dipertimbangkan pada pasien RA yang pada 1-2 sendinya masih tetap meradang, pemberian hanya boleh beberapa kali dalam 1 tahun (kira-kira 4x/tahun), dengan jarak waktu 1 suntikan dengan suntikan yang lain tidak boleh terlalu dekat. 2. Terapi Fisik Terapi fisik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam penatalaksanaan RA. Terapi fisik yang tepat dan dengan ketrampilan yang tinggi sangat membantu mengatasi
12

problema pasien. Pada fase akut terapi fisik bertujuan mengurangi rasa nyeri dan inflamasi, memelihara fungsi otot dan luas gerak sendi. Bila masa akut sudah terlewati, maka perlu evaluasi terhadap keadaan otot, membentuk kembali kekuatan otot, dan tindakan proteksi sendi mulai diprogramkan, dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan fisioterapist. Penderita dan keluarga perlu diberikan penjelasan tentang kegunaan berbagai modalitas yang digunakan untuk mencapai hasil yang baik (misalnya penggunaan param cair, pemanasan dengan, gelombang sinar atau suara, kolam renang dsb), serta kegunaan berbagai alat bantu (tongkat, walker, kursi noda dsb) 3. Aspek Psikososial Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering menyebabkan gangguan psikis dan keputusasaan penderita. Hal ini perlu diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi pengobatan yang diberikan, baik obat-obatan maupun terapi fisik. Aspek sosial perlu pula diperhatikan, karena penderita harus menyesuaikan pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya dengan penyakit yang dideritanya, mungkin sekali penderita perlu mengganti jenis pekerjaannya atau merubah kebiasaan hidupnya. 4. Pembedahan Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan preventif antara lain dengan melakukan sinovektomi untuk mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang. Pembedahan reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas yang terjadi antara lain dengan melakukan artroplasti. (1)

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Http://www.idionline.org/l-pkb/Penyakit%20Reumatik%201.pdf. 2. Rizazyah Daud, Adnan HM. Artritis Reumatoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 1174 1181. 3. Michael AC. Artritis Reumatoid. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku 2. EGC. Jakarta. 1995; 1223 31.

14

You might also like