You are on page 1of 85

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Apendisitis merupakan peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ apendik tersebut (Sylvia Anderson Price, 2005). Untuk mencegah terjadinya apendisitis sebenarnya adalah dengan menjaga perilaku makan atau pola makan yang baik dan tepat yaitu tiga kali sehari, seperti mengkonsumsi serat yang cukup yang berasal dari sayur-sayuran. Apendektomi merupakan pengobatan apendisitis dengan pengambilan apendiks melalui operasi. Operasi ini dilakukan jika peradangan apendiks tidak pecah (Reeves, 1999). Apendektomi dapat dilakukan dengan anastesi spinal dengan insisi abdomen bawah (Brunner dan Suddart, 2002). Tiap tahunnya baik di negara maju maupun negara berkembang terjadi peningkatan kasus 20%25% penyakit yang berhubungan dengan pencernaan maupun pola makan serta kebiasaan makan-makanan di sembarang tempat yang berdampak pada terjadinya penyumbatan makanan pada usus karena terbentuknya benda padat (massa) di ujung umbai cacing sehingga menyebabkan aliran keluar kotoran terhambat pada daerah tersebut. Sumbatan ini bisa terbentuk dari sisa makanan yang mengeras, lendir dalam usus yang mengental, bekuan darah, ataupun tumor kecil pada saluran usus. Dengan adanya sumbatan ini, ditambah dengan terjadinya infeksi yang mungkin terjadi pada daerah tersebut, maka terjadilah radang pada umbai cacing tersebut atau disebut juga usus buntu (apendisitis). (Depkes RI, 2007).

Sekitar 200.000 apendektomi dilakukan tiap tahun di Amerika Serikat kejadian infeksi luka operasi pasca apendektomi pada pasien apendisitis akut. Secara umum di Indonesia apendiks masih merupakan penyokong terbesar untuk pasien operasi setiap tahunnya, hasil laporan dari Rumah Sakit Gatot Soebroto, Jakarta pada tahun 2006 setidaknya apendiks menempati urutan keenam dari sepuluh penyakit terbesar yang ada dan sebagian besar disebabkan pola makan pasien yang kurang tepat dan kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung cukup serat setiap harinya (Depkes RI, 2007). Terbukti bahwa Angka Kematian Ibu di Semarang pada tahun 2005 sebesar 115 per 100.000. Dalam hal ini pada pasien post operasi apendektomi akan terasa nyeri pada titik post operasi. Salah satu tindakan untuk mengatasi nyeri tersebut adalah dengan pemberian analgesik, namun hanya terbatas pada tindakan medis (Brunner dan Suddart, 2002). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil rekam medis ruang bedah RSUD Dr. Soegiri Lamongan pasien yang menderita apendisitis pada tahun 2009 sebanyak 152 pasien dan (100%) yang mengalami operasi apendektomi sedangkan pada tahun 2010 yang menderita apendisitis sebanyak 156 pasien dan (100%) juga yang mengalami operasi apendektomi, kemudian dari data di atas tersebut (100%) pasien menyatakan nyeri post operasi, mulai dari nyeri ringan (31%), nyeri sedang (42%) dan nyeri berat (27%), dari data tersebut ternyata (86%) pasien tidak menerapkan mobilisasi dini dan (92%) pasien tidak menerapkan mekanisme koping. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyaknya pasien post operasi apendektomi yang mengeluh nyeri.

Akibatnya apabila reaksi analgesik yang sudah habis maka nyeri akan terasa kembali, bahkan nyeri terasa lebih berat, sehingga masih harus menunggu adanya pemberian analgesik kembali dan masih ada jeda waktu nyeri. Hal itu semua karena pemberian analgesik saja pada pasien post operasi apendektomi (Brunner dan Suddart, 2002). Adapun faktor-faktor yang berperan dalam mengurangi nyeri seseorang post operasi antara lain umur, jenis kelamin, sosial budaya, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman, gaya koping, dan mobilisasi. Umur juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang karena semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Jenis kelamin, berkaitan dengan perilaku model, bahwa individu akan melakukan modelling sesuai dengan jenis kelaminnya (Latipum, 2003). Sosial budaya, sistem budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Nursalam, 2003). Makna nyeri, Makna seseorang berkaitan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Perhatian, Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri (perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang mengikat). Ansietas, ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Keletihan, Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, kelelahan mengakibatakan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Pengalaman sebelumnya,

Pengalaman nyeri sebelumnya tidak terlalu berarti bahwa individu tersebut menerima nyeri lebih mudah pada masa akan datang. Gaya koping, Nyeri dapat membuat pasien merasa kesepian, dengan rasa sepi klien merasa kehilangan kontrol dengan demikian gaya koping mempengaruhi individu tersebut untuk

mengatasi nyeri. Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur mempunyai tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehat dan penting untuk kemandirian, demikian pula dengan pasien post operasi diharapkan dapat melakukan mobilisasi sesegera mungkin, seperti melakukan gerakan kaki, bergeser di tempat tidur, melakukan nafas dalam, batuk efektif dan teknik bangkit dari tempat tidur (Brunner dan Suddarth, 2001), dengan melakukan mobilisasi sesegera mungkin maka penurunan nyeri akan berhasil. Mekanisme koping merupakan upaya langsung untuk mengatasi stres (Astuti Y. N dan Poppy F, 2002). Tahap akhir koping aantara lain keberhasilan mengatasi stres, koping selain mengatasi stres juga membantu mengubah persepsi, mentolelir atau melepaskan dari stres. Hasil koping berupa perubahan lingkungan penyebab stres atau persepsi individu terhadap stres. Termasuk persepsi individu terhadap nyeri sehingga apabila individu dapat merubah persepsi tersebut dapat menurunkan skala nyeri. Akibat yang mendasar pada pasien post operasi pembedahan yang tidak melakukan mobilisasi segera antara lain proses penyembuhan luka lebih lambat sehingga perawatan lebih lama dan kemungkinan komplikasi postoperasi seperti atelektasis dan pneumonia hipostatis dapat terjadi, oleh karena itu pelaksanaan

mobilisasi perlu mendapat penjelasan sebelum operasi dilaksanakan guna meningkatkan kemampuan kemandirian pasien post operasi. Pemberian informasi pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan bertujuan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dalam menjalani rangkaian prosedur pembedahan sehingga klien diharapkan lebih kooperatif, berpartisipasi dalam perawatan post operasi, dan mengurangi resiko komplikasi post operasi (Potter & Perry, 2005). Menurut Stuart dan Sundeen (2005) yang dikutip dari Esti Budi Rahayu, FIK UI (2008) mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan, sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Akibatnya jika pasien tidak dapat melaksanakan mekanisme koping yang adaptif maka skala nyeri akan tetap tinggi sehingga akan selalu mengeluh. Upaya untuk menurunkan nyeri post operasi apendektomi dapat dilakukan dengan cara antara lain peningkatan penyuluhan atau informasi dari petugas kesehatan kepada masyarakat untuk memperhatikan pentingnya mobilisasi dan mekanisme koping. Untuk menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi. Dari banyaknya faktor yang menyebabkan timbulnya masalah maka peneliti memfokuskan penelitian pada hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan masalah :
1. Adakah hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan?.
2. Adakah hubungan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada

pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan?.

1.3. Tujuan Penelitian 1.1. Tujuan Umum Menganalisa hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping terhadap perubahan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. 1.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
2. Mengidentifikasi penggunaan penggunaan mekanisme koping pada pasien post

operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
3. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien dengan post operasi apendektomi di

Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.

4. Menganalisis hubungan mobilisasi dini terhadap perubahan skala nyeri pada

pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
5. Menganalisis hubungan penggunaan mekanisme koping terhadap perubahan

skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.

1.4. 1.1.

Manfaat Penelitian Bagi Akademis Merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal

perawatan pasien dengan post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan dan sebagai sarana pembanding bagi dunia ilmu pengetahuan dalam memperkaya informasi tentang mobilisasi dan mekanisme koping pada pasien dengan post operasi apendektomi.

1.2. 1.

Bagi Praktisi Bagi Rumah Sakit Dapat memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya.

2.

Bagi Profesi Sarjana Keperawatan

Dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal perawatan pasien dengan post operasi apendektomi. 3. Bagi Penulis Meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam bidang penelitian serta mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Lamongan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini

disajikan beberapa konsep tinjauan pustaka antara lain

Konsep Mobilisasi, Konsep Mekanisme Koping, Konsep Nyeri, Konsep Apendisitis, Kerangka Konsep dan Hipotesis.

2.1. Konsep Dasar Mobilisasi 2.1.1. Pengertian Mobilisasi

Mobilisasi merupakan keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik tetapi bukan imobil (Carpenito L. Juall, 2001). Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi dini merupakan salah satu penatalaksanaan masa nifas yang dapat diterima (Bobak dkk, 2005). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).
2.1.2. Pengetian Mobilisasi Dini

Mobilisasi adalah dorongan untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin (Saifuddin, 2002). Mobilisasi dini adalah dorongan untuk turun dari tempat tidur secepat mungkin (Brunner dan Suddarth, 2002). 9 Menurut Carpenito L. J, (2001) mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal ensensial untuk mempertahankan

10

kemandirian. Dari ketiga kesimpulan diatas, mobilisasi dini merupakan kebijakan untuk selaras mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan.
2.1.3. Jenis Mobilisasi

Menurut Mussrifatul (2006) terdapat 2 jenis mobilisasi yaitu :


1.

Mobilisasi Penuh Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari.

2.

Mobilisasi Sebagian Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan yang jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.

2.1.4. Tujuan Mobilisasi

Menurut Tarwoto (2003) status mobilisasi mempunyai kesehatan mental dan efektifitas fisik tubuh, yaitu :
1. 2. 3. 4. 5.

Harga diri dan body image. Sistem tubuh dan aktivitas yang teratur. Meningkatkan kesehatan. Mencegah ketidakmampuan. Memperlambat serangan penyakit degeneratif.

2.1.5. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi

Menurut Hidayat A. Aziz Alimul, (2006) mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

11

1.

Gaya hidup. Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.

2.

Proses penyakit atau cedera. Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena dapat memepengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, pasien post operasi BPH akan mengalami keterbatasan pergerakan.

3.

Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas atau sakit karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.

4.

Tingkat energi. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas.Agar seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.

5.

Usia dan status perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

Menurut beberapa sumber mobilisasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
1.

Pendidikan. Pendidikan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu individu,

12

kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan dalam meningkatkan kemampuan (prilaku) untuk mencapai apa yang di harapkan oleh perilaku pendidikan (Soekidjo Notoatmodjo, 2002). Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa melalui suatu proses pendidikan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai metode serta strategi pendidikan, maka akan diperoleh dasar pengetahuan yang kuat dalam menerima ataupun melihat suatu perubahan yang terjadi pada dirinya, keluarga, maupun lingkungan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi mengenai mobilisasi dini post operasi fraktur sehingga semakin banyak pula pengetahuan-pengetahuan, begitu pula sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat seseorang terhadap informasi yang diberikan mengenai mobilisasi dini pasien post operasi fraktur sehingga masih banyak pasien post operasi fraktur yang kurang pengetahuan tentang mobilisasi dini.
2.

Pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengikat fakta, simbul, prosedur teknik dan teori (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Mobilisasi dini merupakan suatu prosedur yang harus dilakukan, agar seseorang dapat melakukan prosedur dengan baik harus sudah ada pengetahuan.

3.

Sikap Petugas. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2002), sikap petugas merupakan faktor pendorong yang berhubungan dengan prilaku. Artinya jika seorang petugas yang bersikap baik dalam menganjurkan penderita untuk melakukan mobilisasi dini maka pasien tersebut dengan mudah mau

13

melakukan mobilisasi dini.


4.

Lingkungan. Prilaku individu senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menurut kebutuhannya (Soekidjo Notoatmodjo, 2002). Jika keduanya sekitarnya mendukung untuk melakukan mobilisasi dini maka otomatis ibu juga akan melakukan mobilisasi dini.

5.

Persepsi. Persepsi adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi serta meraba (kerja indra) di sekitar kita (Trirustami W, 1999). Begitu juga dalam melakukan mobilisasi dini kadang pasien yang mempunyai persepsi baik tentang manfaat yang diperoleh dari mobilisasi dini maka dengan mudah mau melakukan praktek mobilisasi dini.

6.

Peran. Peran adalah prilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang suatu posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam suatu system sosial. Keluarga adalah 2 orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan kebersamaan melalui pernikahan atau adopsi dan mempunyai ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagian dari sebuah keluarga (Tanto Hariyanto, 2005). Maka sangatlah penting sebuah keluarga dalam mendampingi pasien post operasi fraktur terhadap memberi motivasi kepada penderita tentang mobilisasi dini.

7.

Ketakutan. Ketakutan adalah keadaan dimana seorang individu mengalami suatu perasaan gangguan fisiologis atau emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi yang dirasakan sebagai bahaya (Carpenito L. J, 2001). Alasan pasien post operasi fraktur banyak gerakan

14

adalah takut sakit. 2.1.6. Body Mekanik Body mekanik adalah penggunaan organ secara efisiensi dan efektif sesuai dengan fungsinya, sehingga aktivitas dan istirahat pasien dengan posisi yang benar akan meningkatkan kesehatan (Tarwoto, 2003). Prinsip yang digunakan dalam mekanika tubuh adalah sebagai berikut :
1.

Body Aligment atau postur. Postur yang baik karena menggunakan otot dan rangka tersebut secarabenar.

2.

Keseimbangan. Keadaan postur yang seimbang sesuai dengan garis sumbu dengan sentralnya.

3.

Koordinasi pergerakan tubuh. Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan seperti kemampuan benda.

2.1.7. TahapTahap Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini dapat dilakukan ketika kondisi penderita stabil dan kondisi fisiknya memungkinkan (Brunner dan Suddarth, 2002). Mobilisasi dilakukan secara bertahap yaitu :
1.

Latihan nafas dalam untuk menyempurnakan ekspansi paru. Latihan dengan duduk di atas tempat tidur. Latihan tangan dan kaki. Latihan Fleksi dan ekstensi kaki secara bergantian. Putar tumit dengan gerakan sirkuler. Tekan bagian belakang lutut ke permukaan tempat tidur (rileks). Lakukan fleksi dan ekstensi tungkai secara bergantian.

2. 3. 4. 5. 6.
7.

15

8.

Latihan lengan melalui rentang gerak penuh dengan perhatian khusus pada abduksi dan rotasi eksternal bahu.

9.

Latihan miring ke salah satu sisi dengan lengan atas ke depan, bagian dasar tungkai agak fleksi, kepala disangga dengan bantal, bantal ke-2 diletakkan memanjang antara tungkai.

10.

Latihan kaki untuk membantu dalam mempertahankan sirkulasi yang baik. Latihan kontraksi abdomen dan gluteal. Latihan berdiri di sisi tempat tidur, bila telah tebiasa posisi tegak penderita dapat mulai berjalan. Miring salah satu sisi mengayunkan tungkai dan turun dari tempat tidur yaitu keadaan dimana individu beresiko mengalami keterbatasan gerak untuk turun dari tempat tidur (Carppenito LJ, 2001).

11.
12.

2.2. Konsep Mekanisme Koping 2.2.1. Definisi Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat pada diri seseorang (National Safety Council, 2004). Dalam hal ini, untuk dapat melakukan koping diperlukan sifat internal dan sifat eksternal. Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam (Budi Ana K, 1998). Upaya individu dapat berupa perubahan cara berpikir (kognitif), perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi.

16

Mekanisme koping didefinisikan sebagai upaya langsung untuk mengatasi stres (Astuti Y. N dan Poppy F, 2002). Tahap akhir koping adalah keberhasilan mengatasi stres, koping selain mengatasi stres juga membantu mengubah persepsi, mentolelir atau melepaskan dari stres. Hasil koping berupa perubahan lingkungan penyebab stres atau persepsi individu terhadap stres.
2.2.2. Reaksi Mekanisme koping

Menurut Stuart dan Sundeen (2005) yang dikutip dari Esti Budi Rahayu, FIK UI (2008) mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan, sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Mekanisme koping adaptif mencakup berbicara dengan orang lain tentang masalah yang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang dihadapi, kemampuan menemukan makna dari penyakit, berhubungan dengan kekuatan supernatural, melakukan latihan penanganan stres dan meminta dukungan emosional. Mekanisme koping maladaptif mencakup ketidakmampuan memenuhi peran, perubahan dalam partisipasi sosial, gangguan hubungan interpersonal dan mengalami kecemasan. Mekanisme koping juga dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1.

Reaksi yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Reaction)

17

Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul, (2006), cara ini digunakan individu untuk menyelesaikan masalah, dan atau untuk memenuhi kebutuhan, ada tiga macam, antara lain: 1) Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stresor, atau memenuhi kebutuhan. 2) 3) Menarik diri, yaitu menarik diri dari stresor secara fisik maupun emosi. Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan, dan sebagainya.
2.

Reaksi yang bersumber pada pertahanan ego (Deffence Mechanism). Menurut Rasmun (2001), reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam

menghadapi stres atau kecemasan. Berikut ini adalah macam reaksi yang berorientasi pada pertahanan ego:
1)

Kompensasi, yaitu kelemahan yang ada pada dirinya ditutup dengan meningkatkan kemampuan dibidang lain untuk mengurangi kecemasan.

2)

Mengingkari, yaitu perilaku menolak realitas yang terjadi pada dirinya, dengan berusaha mengatakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

3)

Mengalihkan, yaitu mengalihkan emosi yang diarahkan pada benda atau obyek yang kurang atau tidak berbahaya.

4)

Disosiasi, yaitu kehilangan kemampuan mengingat peristiwa yang terjadi pada dirinya.

5)

Identifikasi, yaitu individu menyamakan dirinya dengan bintang pujaannya dengan meniru pikiran, penampilan, perilaku atau kesukaannya.

18

6)

Intelektualisasi, yaitu alasan atau logika yang berlebihan untuk menekan perasaan yang tidak menyenangkan.

7)

Intropeksi, yaitu perilaku dimana individu menyatukan nilai orang lain atau kelompok ke dalam dirinya.

8)

Isolasi, yaitu memisahkan komponen emosi dengan pikiran yang dilakukan sesaat maupun dalam waktu yang lama atau panjang.

9)

Proyeksi, yaitu keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.

10)

Rasionalisasi, yaitu memberikan alasan yang dapat diterima secara sosial, yang tampaknya masuk akal untuk membenarkan kesalahan dirinya.

11)

Reaksi formasi, yaitu pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa yang benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh orang lain.

12)

Regresi, yaitu menghindari stres, kecemasan dengan menampilkan perilaku kembali seperti pada perkembangan anak.

13) Represi, yaitu menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan atau

konflik atau ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat mekanisme ego lainnya.
14)

Spliting, yaitu kegagalan individu dalam mengintegrasikan dirinya dalam menilai baik-buruk yang memandang seseorang semuanya baik semuanya buruk tidak konsisten.

15)

Supresi, menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan diingkarinya sebagaimana yang pernah dikomunikasikan sebelumnya.

19

16)

Sublimasi, penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara sosial karena dorongan yang merupakan saluran normal dari ekspresi yang terhambat.

2.2.3. Metode koping

Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti yang dikemukakan oleh Bell (1977), dua metode tersebut antara lain:
1.

Metode koping jangka panjang Cara ini adalah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis

dalam menangani masalah psikologis dalam kurun waktu yang lama contohnya adalah : 1) Berbicara dengan orang lain curhat (curah pendapat dari hati ke hati) dengan teman, keluarga atau profesi tentang masalah yang sedang dihadapi, 2) Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang dihadapi, 3) Menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural, 4) Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan atau masalah, 5) Membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi, 6) Mengambil pelajaran dan peristiwa atau pengalaman masa lalu.
2.

Metode koping jangka pendek Cara ini digunakan untuk mengurangi stres atau ketegangan psikologis dan

cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif untuk digunakan dalam jangka panjang contohnya adalah: 1) Menggunakan alkohol atau obat, 2) Melamun dan fantasi, 3) Mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, 4) Tidak ragu, dan merasa

20

yakin bahwa semua akan kembali stabil, 5) Banyak tidur, 6) Banyak merokok, 7) Menangis, 8) Beralih pada aktivitas lain agar dapat melupakan masalah. Pada tingkat keluarga koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah atau ketegangan seperti yang dikemukakan oleh Budi Ana Keliat (1998) adalah: 1) Mencari dukungan sosial seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh, 2) Reframing yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya dan menerima, 3) Mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama atau aktif dalam pertemuan ibadah, 4) Menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan, 5) Penilaian secara pasif terhadap peristiwa yang dialami dengan cara menonton TV, atau diam saja.
2.2.4. Strategi Koping

Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi, tergantung keterampilan koping yang biasa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Moos (1984) dalam Smeltzer & Bare (2002) menguraikan tujuh kategori keterampilan koping yaitu: 1. Menyangkal, meliputi penolakan untuk menerima atau menghargai keseriusan penyakit.
2.

Mencari informasi, keterampilan koping dalam mencari informasi yaitu: 1) Pengumpulan informasi yang berkaitan dengan penyakit dapat

menghilangkan ansietas yang disebabkan oleh salah konsepsi dan ketidakpastian, 2) Menggunakan sumber intelektual secara efektif.

21

3.

Meminta dukungan emosional, keterampilan koping yang bermakna adalah dapat meraih bantuan dari orang lain, sehingga akan memelihara harapan melalui dukungan.

4.

Pembelajaran perawatan diri, ketidakberdayaan akan berkurang karena rasa bangga dalam pencapaian membantu memulihkan atau memelihara harga diri.

5.

Menetapkan tujuan konkret, terbatas, membagi tugas-tugas tersebut menjadi tujuan yang lebih kecil dan dapat ditangani akhirnya akan mengarah pada keberhasilan.

6.

Mengulang hasil alternatif, dengan mengingat kembali bagaimana pasien mampu mengatasi masa lalu akan menguatkan percaya diri.

7.

Menemukan makna dari penyakit, kebanyakan orang menganggap penyakit serius sebagai titik balik kehidupan mereka, baik spiritual maupun fisiologis. Menurut National Safety Council, strategi koping yang berhasil mengatasi

stres harus memiliki empat komponen pokok: 1) peningkatan kesadaran terhadap masalah, 2) pengolahan informasi, 3) pengubahan perilaku, 4) resolusi damai.

2.3. Konsep Dasar Nyeri 2.3.1. Pengertian Nyeri adalah pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual maupun potensial (Rahariyani, 2008). Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,

bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam

22

hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (A. Aziz dkk, 2006). Nyeri adalah suatu sensorik subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang dirasakan dalam kejadiankejadian dimana terjadi kerusakan (Potter, 2006). 2.3.2. Klasifikasi
1. 1) a.

Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul. (2006) nyeri dibagi atas : Nyeri secara umum dibagi menjadi 2 : Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang yang paling tidak 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot.

b.

Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan, misalnya nyeri terminal, sindroma nyeri kronis dan nyeri psikosomatis.

2) a. b. 2. 1)

Berdasarkan sifatnya nyeri dibagi menjadi 2 : Nyeri tertusuk Nyeri terbakar Menurut Potter (2006) berdasarkan lokasinya nyeri dibagi menjadi 4 jenis : Nyeri superfisial. Nyeri berlangsung sebentar dan terlokasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.

2)

Nyeri viseral dalam. Nyeri bersifat menyebar

kebeberapa arah. Durasi

bervariasi tetapi biasanya lebih lama daripada nyeri superfisialis.


3)

Nyeri alih. Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan

23

dapat terasa dengan berbagai karakteristik.


4)

Nyeri radiasi. Nyeri terasa seakan menyebar kebagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh.

2.3.3. Penyebab Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul. (2006) penyebab nyeri adalah :
1.

Trauma pada jaringan tubuh tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

2.

Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.

3. 4.

Tumor dapat juga menekan pada reseptor nyeri. Iskhemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.

5.

Spasme otot dapat menstimulasi mekanik.

2.3.4. Patofisiologi Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul, (2006) berdasarkan patofisiologinya adalah : Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri dimaksud adalah nociceptor. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan yang lain dilepas apabila terdapat kerusakan jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang diterima oleh reseptor oleh 2 jenis serabut yaitu serabut A (sensasi tajam, terlokalisasi dan jelas) dan serabut C (sensasi buruk, viseral dan terus menerus). Serabut A mempunyai sifat inhibitor serabut C. Serabut-serabut

24

eferens masuk ke spinal melalui akar dorsal serta sinaps pada dorsal horn. Kemudian, implus nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yaitu STT (spinothalamic tract) dan SRT (spinoretucular tract) yang membawa informasi sifat dan lokasi nyeri. Dalam proses transmisi terdapat 2 jalur mekanisme yaitu jalur opiate (ditandai pertemuan reseptor pada otak yang terdiri dari jalur spinal desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan medula ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nociceptor impus supresif) dan jalur nonopiate merupakan jalur sesendens yang tidak memberikan respon terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui mekanismenya.
2.3.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Menurut Potter (2006) nyeri dapat dipengaruhi oleh :


1.

Usia. Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anakanak dan lansia.

2.

Jenis kelamin. Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri.

3.

Kebudayaan. Kenyakinan dan nilainilai budaya mempengaruhi cra individu mengatasi nyeri.

4.

Makna nyeri. Makna seseorang berkaitan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

5.

Perhatian. Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri (perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang mengikat).

25

6.

Ansietas. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas.

7.

Keletihan.

Keletihan

meningkatkan

persepsi

nyeri,

kelelahan

mengakibatakan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.


8.

Pengalaman sebelumnya. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak terlalu berarti bahwa individu tersebut menerima nyeri lebih mudah pada masa akan datang.

9.

Gaya koping. Nyeri dapat membuat pasien merasa kesepian, dengan rasa sepi klien merasa kehilangan kontrol dengan demikian gaya koping mempengaruhi individu tersebut untuk mengatasi nyeri.

10.

Dukungan keluarga dan sosial. Individu dari kelompok sosial budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang tempat mereka

menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri.

2.3.6. Skala nyeri Skala nyeri menurut Smeltzer, Suzanne C. dalam posted (2002) adalah sebagai berikut :
1.

Skala nyeri deskriftif

26

10

Gambar 2. 1 Skala nyeri deskriftif Keterangan :


1) 2) 3) 4) 5) 2.

Skala 0 Skala 1-3 Skala 4-6 Skala 7-9 Skala 10

: tidak nyeri : nyeri ringan : nyeri sedang : nyeri berat terkontrol : nyeri berat tidak terkontrol

Skala numerik (0 - 10)

10

Gambar 2. 2 Skala nyeri numerik Keterangan :


1) 2) 3)

Skala 0 Skala 5 Skala 10

: tidak ada nyeri : nyeri ringan : nyeri paling parah

3.

Skala analog visual

0 1 Tidak nyeri

9 10 Nyeri sangat hebat

Gambar 2. 3 Skala nyeri visual

27

4.

Skala nyeri menurut Bourbanis

0 Tidak nyeri

2 Nyeri ringan

5 Nyer sedang

8 Nyeri berat

10 Nyeri sangat berat

Gambar 2. 4 Skala nyeri menurut Bourbanis Keterangan :


1) 2)

Skala 0 Skala 1-3 dengan baik.

: tidak nyeri. : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi

3)

Skala 4-6

: Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsiksnnya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
4)

Skala 7-9

: Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih nafas panjang dan distraksi.
5) Skala 10

: Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi.

2.3.7.

Penatalaksanaan Klien yang sedang merasa nyeri khususnya nyeri yang hebat, ingin nyeri

yang dirasakannya segera hilang (Potter, 2006). Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mempengaruhi nyeri sebesar besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat 2 metode untuk terapi nyeri

28

yaitu farmakologi dan non farmakologi (Price Sylvia A, 2006).


1.

Distraksi. Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Potter, 2006).

2.

Relaksasi. Teknik relaksasi memberi individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri (Potter, 2006).

3.

Stimulasi kulit. Stimulasi kulit bisa dengan menggosokkan punggung atau daerah nyeri, memijat dengan air hangat serta menggunakan air hangat atau dingin (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).

4.

Hipnotis diri. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisikondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi mereka (Potter, 2006).

5.

Biofeedback.

Biofeedback

dapat

menghentikan

nyeri

kepala

dan

mengurangi resiko nyeri kepala yang akan datang (Potter, 2006).


6.

Analgesik. Jenis analgesik yang sering digunakan adalah non narkoba (aspirin, asetaminofen, NSAID). Obat obatan yang termasuk dalam NSAID meliputi ibuprofen, mefenamic acid, fenoprofen, dan lain lain (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).

7.

Stimulator listrik. Yaitu dengan memblok atau mengubah stimulus nyeri dengan stimulus yang kurang dirasakan. Bentuk stimulatornya meliputi Transcutaneus electrical stimulator columna vertebrae (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).

8.

Pembedahan. Terapi pembedahan dilakukan pada klien yang tidak dapat

29

mentoleransi terapi konservatif atau jika terapi konservatif tidak memberi hasil yang efektif (Potter, 2006). 2.3.8. Teori Nyeri Ada beberapa teori-teori transmisi nyeri, untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini: Tabel 3. 1 Teori Transmisi Nyeri
Jenis Nyeri Pemisahan (Specifity) Pola (Pattern) Gate control Respon Fisiologis Reseptor nyeri tertentu akan menyalurkan impuls ke seluruh jaras nyeri menuju ke otak. Proses ini tidak memperhitungkan aspek fisiologis persepsi dan respon nyeri. Nyeri terjadi karena efek gabungan dari intensitas stimulus dan jumlah impuls pada ujung dorsal medula spinalis. Ini tidak termasuk efek fisiologis. Impuls nyeri dapat dikendalikan oleh mekanisme gerbang pada ujung dorsal medula spinalis guna memungkinkan atau menghalangi transmisi impuls nyeri. Faktor gerbang ini terdiri atas efek impuls yang ditransmisikan melalui serabut saraf konduksi cepat atau lambat, dan efek impuls yang turun dari batang otak. Stimulus yang mengenai nosiseptor memulai transmisi impuls saraf. Transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh adanya neurotransmiter yang spesifik. Inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh adanya: 1) impuls menuju serabut saraf besar yang memblok impuls pada serabut saraf lambat, dan 2) sistem supresif opiat endogen.

Transmisi dan inhibisi

Sumber: Wahit I.M, SKM & Ns. Nurul C, 2008 2.3.9. Fisiologi Nyeri Ada tiga komponen untuk memahami nyeri fisiologi nyeri, yaitu resepsi, persepsi, dan reaksi (Potter & Perry, 2006). Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer, lalu memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai didalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau di transmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengetahuan dan pengalaman yang lalu serta

30

kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter & Perry, 2006). 1. Resepsi Nyeri terjadi karena ada bagian atau organ yang menerima stimulus nyeri tersebut, yaitu reseptor nyeri (Nosiseptor). Nosiseptor merupakan serabut saraf yang mentransmisikan nyeri (Smeltzer, Suzanne C. 2002). Nosiseptor terdapat pada saraf bebas, yang tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala (Guyton & Hall, 1996). Stimulus yang merangsang nyeri sifatnya bisa mekanik, termal, kimiawi atau stimulus listrik. Pemaparan stimulus menyebabkan pelepasan substansi seperti histamin, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri (Clancy & Mc. Vicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006). Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri, kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di sepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf yang mengkonduksi stimulus nyeri : serabut A-delta dan serabut C (Guyton & Hall, 1996). Tabel berikut menggambarkan perbedaan fungsi kedua serabut : Tabel 3. 2 Perbedaan Fungsi Serabut Saraf A-delta dan Serabut Saraf C
A-delta Bermielin: tranmisi lebih cepat Lapang reseptif kecil: lokasi tepat Tajam, terlokalisasi jelas Unimodal: mekanik atau panas 25% nosiseptor C Tidak bermielin: transmisi lebih lambat Lapang reseptif luas: lokasi tersebar Nyeri tumpul, gatal, terbakar Polimodal: mekanik, panas, bahan kimia 75% nosiseptor

Sumber: Kenworthy, 2002.

31

Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut berakhir di bagian kornu dorsalis medula spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter, seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2006). Impuls nyeri di transmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat, kemudian berjalan ke medula spinalis, maka informasi ditransmisikan dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk sistem limbik, talamus, dan korteks sensori serta korteks asosiasi. Terdapat serabut-serabut saraf di traktus spinotalamus yang berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2006). Serabut ini disebut sistem nyeri desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi stimulus nyeri. 2. Persepsi Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat individu sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri, yang di jelaskan lebih terperinci pada tabel 3. 3 di bawah ini: Tabel 3. 3 Sistem Interaksi Persepsi Nyeri
SENSORI-DISKRIMINATIF 1) Transmisi nyeri terjadi antara talamus dan korteks sensori. 2) Seorang individu mempersepsikan lokasi, keparahan dan karakter nyeri. 3) Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kesadaran (misalnya Analgesik, anestetik, penyakit serebral) menurunkan persepsi nyeri. 4) Faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus (misalnya

32

Ansietas, gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri. MOTIVASI AFEKTIF 1) Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik menghasilkan persepsi nyeri. 2) Pembentukan retikular menghasilkan respons pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau menghindari stimulus nyeri. 3) Sistem limbik mengontrol respon emosi dan kemampuan yaitu koping nyeri. KOGNITIF-EVALUATIF 1) Pusat kortikal yang lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi. 2) Kebudayaan, pengalaman dengan nyeri, dan emosi, mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman nyeri. 3) Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan.

Sumber: Potter & Perry, 2006. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi. 3. Reaksi Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Terdapat dua macam respon terhadap nyeri, yaitu: 1) Respon fisiologis, dan 2) Respon perilaku.

2.4.

Konsep Dasar Apendisitis

2.41.. Pengertian Apendisitis

Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan merupakan penyebab paling umum bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997). Apendisitis adalah peradangan Apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Sylvia Anderson Price, 2005)

33

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
2.42.. Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, Apendiks pendek dan melebar dipersambungkan dengan sekum. Selama anak anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam itraperitoneal. Pada Apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungkan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi Apendikss. Posisi Apendikss terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvis (21%), Patileal (5%), Paracaecal (2%), Subcaecal (1,5%) dan Preleal (1%) (Tengku Anita, 2008).

34

Gambar 2. 5 Anatomi Apendikss Apendikss didarahi oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri Apendiks termasuk End arter. Apendikss memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi meso Apendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal (Tengku Anita, 2008). Walaupun Apendiks kurang memiliki fungsi, namun apndiks dapat berfungsi seperti organ lainnya. Apendiks menghasilkan lendir 1 -2 ml perhari. Lendir dicurahkan ke caecum. Jika terjadi hambatan maka akan terjadi patogenesa apendisitis akut. GALT (Gut Assosiated Lymphoid Tissue) yang terdapat pada Apendiks menghasilkan Ig-A. Namun, jika Apendiks diangkat, tidak mempegaruhi sistem imun tubuh karena jumlahnya yang sedikit sekali (Tengku Anita, 2008).

2.43.. Etiologi dan Angka Kejadian Apendisitis

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteri yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetu diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor Apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini, namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang Apendikss, diantaranya : (Tengku Anita, 2008).

35

1.

Faktor Sumbatan (obstruksi) Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena statis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui bermacam-macam apendisitis akut diantaranya : fekalith ditemukan 100% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur. 2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendsistis akut. Adanya fekolith dalam lumen Apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen Apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombunasi antara Bacteriodes Fragilis dan E.Coli, serta splanichicus, Lacto-Bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes Splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 90% dan aerob < 10%. 3. Kecenderungan Familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ, Apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

36

4.

Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makananya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadianya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makna rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi. Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan paa usia yang sagat mudah atau orang tua, dikarenakan bentuk anatomis Apendiks yang berbeda pad usia tersebut. Epidemologi insiden apendisitis akut di negara naju lebih tinggi dari pada di negara berkembang, namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tnggi. Apendisitis dapat ditemuka pada semua umur, hanya pada anak kurang dari 1 tahun kurng dilaporkan, mungkin karena tidak diduga. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. (Tengku Anita, 2008).
2.44.. Tanda dan Gejala Apendisitis

Menurut Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson gejala awal yang khas, yang merupakan gejal klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya

37

disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5C38,5C. (Tengku Anita, 2008). Selain gejala klasik, ada beberaa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak Apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut : (Sjamsuhidajat R, 2005)
1.

Bila letak Apendiks retrosekal retroperitoneal Yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan

bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2.

Bila Apendiks terletak di rongga pelvis Bila Apendiks terletak di dekat atau melekat pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila Apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjad peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.

38

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut bebrapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas yakni : (Sjamsuhidajat R, 2005) 1) Pada anak-anak Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapajam kemudian akan terjadi muntah-muntah dqan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketikjelasan gejala ini, sering diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 2) Pada orang tua berusia lanjut Gejala sering samar-samar aja tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnsis setelah terjadi perforasi. 3) Pada wanita Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa denga apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulai, menstruasi), radag panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan pada gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

39

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentuka lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, Psoas dan Obturator positif, akan semakin meyakinkan diagnosis klinis apendisitis (Mansjoer Arif, dkk, 2000). 2.45.. Pemeriksaan Menurut david Sabiston (1995) pemeriksaan pada pasien apendisitis adalah sebagi berikut : 1.
1)

Pemeriksaan Fisik Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini sering ditemukan distensi perut.

2)

Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

3)

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak Apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan Apendiks

40

yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
4)

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila Apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulakan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

2. 1)

Pemeriksaan penunjang (Mansjoer Arif, 2000 dan Tengku Anita, 2008) Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

2)

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT - scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada Apendiks. Sedangkan pada pemeriksaa CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan Apendiks salit serta perluasan dari Apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

41

3)

Berdasarkan keadaan klinis, harusnya diperlihatkan secara rutin yaitu : (Tengku Anita, 2008)

4)

Analisa urin. Test ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi kemungkinan dari evaluasi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

5)

Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan kuadran kanan atas.

6)
7)

Serum B-HCG untuk memeriksa kemungkinan adanya kehamilan. Kebanyakan kasus apendisitis didiagnosa tanpa memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas kanan abnormal, gas dalam lumen apndiks dan ileus lebih menonjol. Foto dalam keaaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan patologi yang meniru apendisitis akut. Contohnya udara bebas intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaq, benda asing serta batas udara cairan di dalam usus yang menunjukan obstruksi usus. Sejumlah laporan tentang manfaat enema barium telah jelas mencakup beberapa komplikasi. Pemeriksaan enema barium jelas tidak diperlukan dalam kebanyaka kasus apendisitis akut dan mungkin harus dicadangakan pada kasus yang lebih rumit, terutama yang dengan resiko operasinya berlebihan.

2.46.. Penatalaksanaan

42

Menurut Sjamsuhidajat R. (2005) penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meiputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai resiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awalberupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaksis sebelum pembedahan dengan menggunakan antibotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi (Tengku Anita, 2008)
1) Cairan intravena : cairan yang secara massive ke rongga peritoneum harus

diganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toksik sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah diberikan bila mengalami dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.

43

2) Antibiotik : pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri

pathogen, antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporin, ampicilinsulbakatan, dll, dan metronidazol atau klindandanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarka kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan samapai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari apendisitis perforasi. Terapi bedah meliputi Apendektomi dan laparoskopik Apendektomi. Apendektomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan Apendiks. Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan diseksi melalui ablique aksterna, ablique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum Apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup. 2.47.. Apendektomi Apendisektomi atau Apendektomi ialah suatu tindakan pembedahan membuang Apendiks (Soetamto, 2001). Apedektomi adalah pengangkatan Apendiks terinflamasi dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan pendekatan endoskopi. Namun adanya perlengketan multiple, posisi retroperitorial dari Apendiks atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (tradisional) (Marilynn E. Doenges, 1999).

44

1. 1) 2) 3)

Indikasi Apendektomi meliputi : (Soetamto, 2001) Apendisitis akut Apendisitis subakut Apendisitis infiltrate (Apendiksular mass) yang sudah dalam stadium tenang (a froid)

4) 5)

Apendisitis perforata Apendisitis kronis Persiapan pembedahan meliputi : (Soetamto, 2001) Penderita harus dipuasakan sedikitnya 4 sampai 6 jam sebelum operasi. Pemberian antibiotika (spectrum luas). Bilamana ada nperitonitis umum perlu memperbaiki keadaan umum dengan memberi infus serta pemasangan kateter.

2. 1) 2)

3) 4)

Pemberian premedikasi anastesi. Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan (mencuci) dan bilamana perlu dicukur.

2.48.. Perawatan pasca operasi Pada pasca operatif, pasien ditempatkan pada posisi semi-fowler. Posisi ini mengurangi tegangan insisi dan organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri. Opioid biasanya sulfat morfin, diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila mereka dapat mentoleransi. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan secara intravena. Makanan dapat diberikan sesuai keinginan pada hari pembedahan bila toleransi. Apabila apendektomi tidak mengalami komplikasi, pasien dapat dipulangkan pada hari itu

45

juga bila suhu dalam batas normal dan area operasi terasa nyaman (Brunner & Suddarth, 2002). Pada kasus yang tidak ada komplikasi, pasien dapat minum cairan dan kemudian makan-makanan padat secepatnya ketika pasien merasa bisa makan dan rencana pemulangan dapat direncanakan dalam 24 sampai 48 jam (Norton et al, 2000). Intervensi keperawatan setelah operasi, pasien harus dimonitor adanya distensi abdomen dan kembalinya peristaltik usus. Analgetik juga diberikan secara teratur. Tanda-tanda vital dimonitor untuk mengetahui tanda - tanda infeksi, khususnya adanya peningkatan suhu tubuh. Luka dapat dievaluasi untuk penyembuhannya dan adanya cairan yang keluar. Diet dapat diberikan secepatnya setelah peristaltik kembali normal (Reeves, 1999).

2.5. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah abstraksi dengan suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel, baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti sehingga membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan teori (Nursalam, 2003).

Usia Pengetahuan Pengalaman Mekanisme koping

Jenis kelamin Kebudayaan Nyeri pada Mobilisasi Perhatian Keletihan pasien post operasi Apendektomi

46

Ansietas Dukungan keluarga

Keterangan : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.

Sumber : Potter (2006)

Penurunan nyeri dapat dipengaruhi oleh dua faktor antara lain faktor langsung dan tidak langsung. Untuk faktor yang tidak langsung meliputi : usia, pengetahuan, pengalaman, mekanisme koping, ansietas. Sedangkan untuk faktor yang langsung meliputi : jenis kelamin, kebudayaan, mobilisasi, makna nyeri, perhatian, keletihan , dan dukungan keluarga. Pada penelitian ini diberi batasan faktor yang diteliti adalah mobilisasi dan mekanisme koping apabila faktor tersebut di atas mendukung dengan baik, maka proses penurunan nyeri akan dapat dicapai, namun sebaliknya apabila faktor tersebut tidak mendukung dengan baik maka kemungkinan pelaksanaan mobilisasi tidak didukung dengan baik maka kemungkinan penurunan nyeri tidak akan berhasil.

47

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Hipotesis disusun sebelum penelitian dilaksanakan, karena hipotesis akan bisa memberikan petunjuk pada tahap pengumpulan, analisa dan interpretasi data (Nursalam, 2003). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
2. Ada hubungan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien

post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan disajikan tentang metode penelitian yang berisi antara lain : desain penelitian, waktu dan tempat penelitian, kerangka kerja, identifikasi operasional variabel, sampling desain, pengumpulan dan analisa data, etika penelitian dan keterbatasan penelitian.

3.1. Desain Penelitian Desain Penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun penelitian pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2003).

48

Desain penelitian ini menggunakan metode korelasional yaitu mengkaji hubungan antara dua variabel. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada, (Nursalam, 2003). Adapun pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekan pada waktu pengukuran / observasi data variabel independent dan dependent hanya satu kali, pada satu saat. Pada jenis ini variabel independent dan dependent dinilai secara simultan pada satu saat, dan tidak ada follow up. (Nursalam, 2003).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2011 dan dilaksanakan di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. 3.3. Kerangka Kerja 48 Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul (2006), Kerangka kerja merupakan bagan kerja rancangan kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Populasi : Seluruh pasien dengan Apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri lamongan pada Bulan Maret Mei 2011, Dengan perkiraan 22 pasien. Sampling : Simple Random Sampling Sampel : Sebagian pasien Apendektomi Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan pada Bulan Maret Mei 2011, Dengan perkiraan 20 pasien. Desain korelational dengan pendekatan cross sectional Variabel Independent : Mobilisasi dini Variabel Independent : Mekanisme koping Variabel dependent : Skala nyeri pada Post operasi Apendektomi

49

Alat ukur : lembar observasi

Alat ukur : lembar observasi

Alat ukur : lembar observasi

Pengolahan dan Analisis Data : Editing, Coding, Scoring, Tabulating Uji Spearman dengan menggunakan SPSS Penyajian hasil Penarikan kesimpulan Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping penurunan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia dan RSUD. dr. Soegiri Lamongan. 3.4 Sampling Desain 3.4.1 Populasi Populasi adalah setiap subjek yang mengetahui kriteria yang ditetapkan (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini populasinya adalah Seluruh pasien dengan Apendektomi di RSUD. dr. Soegiri lamongan pada Bulan Maret Mei 2011 yang diperkirakan berjumlah 22 responden. 3.4.2 Sampel Sampel merupakan bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui sampling (Nursalam. 2008). Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2006). Sampel penelitian ini sebagian pasien apendektomi Ruang Bougenville dan

50

Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan pada Bulan Maret Mei 2011 yang diperkirakan berjumlah 20 responden. 6.3 Besar sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi, Arikounto, 2006). Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Soekidjo, Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan populasi di atas sampel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut menggunakan rumus menurut (Nursalam, 2003) :

n=

N.Z 2 .p.q d 2 .(N - 1) + Z 2 .p.q

Keterangan: n : Perkiraan jumlah sampel N : Perkiraan besar populasi Z : Nilai standar normal untuk 0,05 (1,96) p : Perkiraan proporsi, jika tidak di ketahui dianggap 50% q : 1-p (100%-p) d : tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,05) Diketahui: N : 22 Z : 0,05= 1,96

51

p : 0,5 q : 0,5 d : 0,05 Maka:

N.Z 2 .p.q n= 2 d .(N - 1) + Z 2 .p.q


n= 22.1,96 2.0,5.0,5 0.05 2.(45 - 1) + 1,96 2.0,5.0,5 22.3,8416. 0,25 0,0025.44 + 3,8416.0,2 5

n=

n=

21,1288 0,11 + 0,9604

21,1288 = 19,739163 1,0704

Jadi perkiraan jumlah sampel adalah 20 orang. 3.4.4. Sampling Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2008). Desain sampling penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling sampling pemilihan sampel dengan cara ini merupakan jenis probabilitas yang paling sederhana. Untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak (Nursalam, 2008). Untuk pengambilan sampel dilakukan selama 3 bulan mulai bulan Maret - Mei 2011, sampai besar sampel terpenuhi sejumlah 20 pasien.

3.5.

Identifikasi Variabel

52

3.5.1. Definisi Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain- lain). Ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Dalam riset, variabel dikarakteristikan sebagai derajat, jumlah dan perbedaan. Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi suatu penelitian (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel.

3.5.2. Variabel dalam Penelitian ini 1. Variabel Independent (bebas)

Variabel independent adalah Variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependent. Variabel bebas biasanya dimanipulasi dan diukur untuk diketahui hubunganya atau pengaruhnya terhadap variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini yang merupakan variabel independent adalah 1) Mobilisasi dini, 2) mekanisme koping.
2. Variabel Dependent (terikat)

Variabel dependent adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel ini dapat diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini

53

yang termasuk variabel dependent adalah Skala nyeri pada Post operasi Apendektomi.

3.6 Definisi Operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007). Tabel 4. 1 Definisi Operasional Hubungan Mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
Variabel Definisi Operasional Indikator Alat ukur Skala data Skor

54

Variabel Independent: Mobilisasi dini

Kemampuan individu untuk bergerak secara bebas setelah post op apendektomi.

Mobilisasi yang sesuai dengan pasien post op Apendektomi. 1 . L

Observasi

Ordinal

2 .
L 3 . K 4 . L

Variabel independent : Mekanisme koping

Yaitu adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaika n masalah terhadap nyeri yang dihadapi.

Mekanisme koping adaptif yang sesuai pada pasien post op Apendektomi. 1. Berbicara dengan orang lain tentang masalah nyeri dihadapi. Soal no 1 & 2. 2. Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang nyeri yang dihadapi. Soal no 3 & 4.

Kuesioner

Ordinal

Skor nilai : 1. Mobilis asi baik : jika pasien melakuk an dengan benar langkah 1 s/d 4. Skor : 1 2. Mobilis asi sedang : jika pasien melakuk an sebagia n dari Mobilis asi dengan benar. Skor : 2 3. Mobilis asi buruk : jika pasien tidak melakuk an sama sekali. Skor : 3 Skor nilai : 1. Mekanisme koping adaftif baik : 76100% . Skor :1 2. Mekanisme koping adaptif sedang : 5675%. Skor : 2 3. Mekanisme koping adaptif buruk :

55

3. Kemampuan
menemukan makna dari nyeri. Soal no 5 & 6.

55% Skor : 3

Variabel Dependent: Skala nyeri pada pasien post operasi Apendektomi

Yaitu pengalaman sensori yang tidak menyenangka n akibat kerusakan jaringan aktual maupun potensial dalam hal ini post op apendektomi.

1. Skala 0 :
tidak nyeri. 2. Skala 13 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomu nikasi dengan baik. 3. Skala 46 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis , menyeri ngai, dapat menunju kkan lokasi nyeri, dapat mendesk ripsiksnn ya, dapat mengikut i perintah dengan baik.

Observasi

Ordinal

0 : tidak nyeri. Skor : 1 1-3 : Nyeri ringan. Skor : 2 4-6 : Nyeri sedang. Skor : 3 7-9 : Nyeri berat. Skor : 4 10 : Nyeri sangat berat. Skor : 5

56

4. Skala 79 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadan g tidak dapat mengikut i perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunju kkan lokasi nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih nafas panjang dan distraksi. 5. Skala 10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi.

3.7

Pengumpulan dan Analisa Data


3.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan ijin dari Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Lamongan dan Direktur Rumah Sakit di RSUD Dr. Soegiri Lamongan, peneliti melakukan pendekatan terhadap responden untuk mendapatkan

57

persetujuan responden menjadi subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi, dan mengukur tingkat skala nyeri pada pasien sebelum melakukan mobilisasi. Setelah itu dilakukan pengukuran skala nyeri lagi. Kemudian pengumpulan data variabel bebas 1) (Mobilisasi dini) dan Variabel terikat (skala nyeri pada post op apendektomi) adalah lembar observasi. Dimana peneliti melakukan observasi langsung terhadap Mobilisasi dan mekanisme koping yang dilakukan oleh responden post operasi apendektomi. Untuk mendapat data variabel dependent penurunan skala nyeri post operasi Apendektomi, peneliti menggunakan lembar observasi dan wawancara secara langsung dengan mengedepankan etika, dan variabel independent dengan teknik Mobilisasi dini dengan menggunakan checklist. Kemudian untuk variabel bebas 2) (Mekanisme koping) adalah dengan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan sebelumnya peneliti mengajukan lembar persetujuan menjadi responden. Apabila responden bersedia maka diminta untuk menandatangani lembar persetujuan, selanjutnya menjelaskan cara pengisian kuesioner. Pemberian kuesioner ini terdiri dari pertanyaan, masing-masing pertanyaan diberi respon tunggal dengan memberi tanda contreng () pada jawaban yang dianggap benar.
3.7.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan lebih mudah (Nursalam, 2003).

58

Jenis instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan alat tulis yang berguna untuk pengisian kuesioner untuk Mekanisme koping. Di dalam pengumpulan data pada penelitian digunakan alat berupa kuesioner yang diberikan pada responden yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner dalam penelitian diartikan sebagai daftar petanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden memberikan jawaban dengan tanda-tanda tertentu (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Jenis pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup yaitu jawaban sudah disediakan oleh peneliti, responden hanya memilih salah satu dari jawaban tersebut (Azwar, Azrul, 2003). Sedangkan untuk Mobilisasi dini dan Skala nyeri pada post operasi apendektomi dilakukan dengan observasi yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung kepada responden penelitian untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti (Hidayat, A. Azis Alimul, 2007). 3.7.3 Pengolahan data Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data. Langkahlangkah pengolahan data setelah data terkumpul meliputi : .1 Editing Merupakan upaya memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau yang akan dikumpulkan. Dilakukan pada tahap pengumpulan data (Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007). Peneliti memeriksa dan meneliti kembali lembar observasi dan lembar kuesioner yang terkumpul. .2 Coding

59

Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data terdiri atas beberapa kategori. Biasanya dalam pemberian kode dibuat daftar kode untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel (Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007). Pada variabel Mobilisasi dini, Mobilisasi baik diberi kode A, Mobilisasi sedang diberi kode B, dan Mobilisasi buruk diberi kode C. Pada variabel mekanisme koping, apabila koping adaftif baik diberi kode A, koping adaftif sedang diberi kode B, koping adaptif buruk diberi kode C. Pada variabel penurunan nyeri, tidak nyeri diberi kode A, nyeri ringan diberi kode B, nyeri sedang diberi kode C, nyeri berat diberi kode D, nyeri sangat berat diberi kode E. .3 Scoring Memberikan skor atau nilai pada setiap jawaban responden. (Nursalam, 2003). Untuk variabel independent Mobilisasi dini :
1) Mobilisasi baik : jika pasien melakukan dengan benar langkah 1 s/d 4 : skor 1 2) Mobilisasi sedang : jika pasien melakukan sebagian dari Mobilisasi dengan

benar : skor 2
3) Mobilisasi buruk : jika pasien tidak melakukan sama sekali : skor 3

Untuk variabel independent mekanisme koping : Sp N= Sm x100%

60

Keterangan : N : Prosentase jawaban responden

Sm : Jumlah skor tertinggi Sp : Jumlah skor yang didapat Interpretasi hasil:


1) Mekanisme koping adaftif baik : 76-100% 2) Mekanisme koping adaptif sedang : 56-75% 3) Mekanisme koping adaptif buruk : 55%

(Sugiyono, 2006).

: skor 1 : skor 2 : skor 3

Untuk variabel dependent Skala nyeri pada post operasi apendektomi : 0 : tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan 4-6 : Nyeri sedang 7-9 : Nyeri berat 10 : Nyeri sangat berat. 4. Tabulating Setelah memberi kode, peneliti siap mengelolah data dengan membuat tabel ferekuensi atau tabel silang. Dengan berhasil disusunnya tabel - tabel, maka analisa data berikutnya akan mudah dilakukan. Hasil prosentase kemudian diinterpretasikan dengan modifikasi simpulan menurut kriteria Suharsimi Arikunto (2006), sebagai berikut : 1) 100% : Seluruhnya : skor 1 : skor 2 : skor 3 : skor 4 : skor 5

2) 76%-99% : Hampir seluruhnya

61

3) 51%-75% : Sebagian besar

4) 50%

: Setengahnya atau sebagian

5) 26%-49% : Hampir setengahnya atau hampir sebagian 6) 1%-25%

: Sebagian kecil : Tidak satupun

7) 0%

3.7.4 Teknik analisa data Setelah dikumpulkan melalui wawancara dan observasi pada variabel dependent, dilakukan pemberian skor, selanjutnya jawaban diinterpretasikan dalam kalimat kualitatif dengan acuan sebagai berikut :
6) Skala 0

: tidak nyeri.

7) Skala 1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik.
8) Skala 4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsiksnnya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
9) Skala 7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih nafas panjang dan distraksi.
10) Skala 10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi. Mengingat

62

penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antar 3 variabel yaitu Mobilisasi dini, mekanisme koping dan penurunan nyeri dengan post op Apendektomi, dimana variabel independent skala data ordinal, variable dependent skala data ordinal maka analisa data yang digunakan adalah Spearman tetapi sebelumnya dianalisa dengan cara menggumpulkan data terlebih dahulu kemudian melakukan tabulasi silang dengan tingkat keyakinan 95 % (=0,05).

Rumus spearman :
f P= N x 100%

Keterangan: P : proporsi F : jumlah jawaban yang benar N : jumlah skor maksimal, jika pertanyaan dijawab benar 100 : Nilai konstan (Menurut suharsimi arikunto. 1998)

Dengan kesimpulan : Jika koefisien korelasi (rs) hitung lebih besar dari nilai kritis r pada tabel dengan taraf signifikan () sebesar 0,05 maka H0 akan ditolak, berarti terdapat hubungan antara Mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan (Soekidjo

63

Notoatmodjo, 2003).

3.8 Etika Penelitian Menurut Nursalam (2003), penelitian apapun khususnya yang menggunakan manusia sebagai subjek tidak boleh bertentangan dengan etika, oleh karena itu setiap peneliti menggunakan subjek harus mendapatkan persetujuan dari subjek yang diteliti dan institusi tempat penelitian.

3.8.1.

Lembar persetujuan (Informed Consent) Saat pengambilan sample terlebih dahulu peneliti meminta izin kepada

setiap subjek yang akan diteliti baik secara lisan maupun melalui lembar persetujuan atau kesediaanya dijadikan objek penelitian.
3.8.2.

Tanpa nama (Anonimity) Untuk menjaga kerahasiaan identitas objek peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data atau kuesioner cukup dengan memberikan kode masing-masing lembar tersebut.
3.8.3.

Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh objek dijamin oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu saja akan disajikan atau dilaporkan sehingga rahasia tetap terjaga.
3.8.4

Berbuat baik (Benefince)

64

Dalam penelitian ini, peneliti menjaga privacy responden yang tidak menyenangkan hal-hal selain yang berkaitan dengan lingkup penelitian.

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal Maret sampai Mei 2011 dilaksanakan di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. Hasil penelitian ini disajikan dalam 2 bagian yaitu data umum data khusus. Data umum meliputi gambaran umum lokasi penelitian dan karakteristik responden yang terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan sedangkan data khusus terdiri dari kemampuan mobilisasi dini, mekanisme koping dan skala nyeri serta hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi. Penyajian data berdasarkan tabulasi data yang diperoleh setelah responden mengisi

64

65

quesioner yang dibagikan dan telah melalui proses editing, coding dan scoring dengan bantuan program SPSS versi 16,0 maka didapatkan hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.

4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Data Umum 1. Gambaran lokasi penelitian Penelitian ini berlokasi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, yang merupakan salah satu Rumah Sakit tipe B di Jawa Timur yang menjadi pusat pelayanan kesehatan, pendidikan sekaligus penelitian. Rumah sakit ini beralamat di jalan Kusuma Bangsa No. 7 Lamongan dengan luas tanah 3,5 hektar. RSUD. dr. Soegiri Lamongan memiliki berbagai instansi pelayanan, diantaranya instansi rawat inap, rawat jalan, IGD (Instansi Gawat Darurat), rekam medik dan pelayanan penunjang medik. Penelitian ini dilakukan di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia. 2. Karakteristik responden Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 20 pasien, dengan karakteristik sebagai berikut : 1) Jenis kelamin Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011.

66

NO 1 2

Jenis Kelamin Laki laki Perempuan Jumlah

Frekuensi 14 6 20

Prosentase (%) 70,0 30,0 100,0

Dari tabel 5.1 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki laki yaitu 14 responden (70,0%) dan hampir sebagian responden berjenis kelamin perempuan yaitu 6 responden (30,0%).

2) Umur Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan umur pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. NO 1 2 3 4 Umur < 20 th 21 35 th 36 50 th 50 th Jumlah Frekuensi 4 2 4 10 20 Persentase (%) 20,0 10,0 20,0 50,0 100,0

Dari tabel 5.2 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian responden umur 50 tahun yaitu 10 responden (50,0%), dan sebagian kecil umur < 21 35 tahun yaitu 2 responden (10,0%). 3) Pendidikan Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011.

67

NO 1 2 3 4

Pendidikan SD SMP SMA Tidak Sekolah Jumlah

Frekuensi 10 4 2 4 20

Persentase (%) 50,0 20,0 10,0 20,0 100,0

Dari tabel 5.3 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian responden berpendidikan SD yaitu 10 responden (50,0%), dan sebagian kecil berpendidikan SMA yaitu 2 responden (10,0%).

4) Pekerjaan Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. NO 1 2 3 Pekerjaan Tidak bekerja Petani Wiraswasta / swasta Jumlah Frekuensi 8 7 5 20 Persentase (%) 40,0 35,0 25,0 100,0

Dari tabel 5.4 di atas diperoleh hasil bahwa hampir hampir sebagian responden tidak bekerja yaitu 8 responden (40,0%), dan sebagian kecil Wiraswasta / swasta yaitu 5 responden (25,0%). 4.1.2. Data Khusus
1. Pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post operasi apendektomi di Ruang

Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan Pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien

68

post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. NO 1 2 Mobilisasi Baik Sedang Jumlah Frekuensi 9 11 20 Prosentase (%) 45,0 55,0 100,0

Dari tabel 5.5 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden mobilisasi sedang yaitu 9 responden (45,0%), dan hampir sebagian mobilisasi baik yaitu 9 responden (45,0%).

2. Penggunaan mekanisme koping pada pasien post operasi apendektomi di Ruang

Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan Penggunaan mekanisme koping pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. NO 1 2 3 Mekanisme Koping Adaptif Baik Adaptif Sedang Adaptif Buruk Jumlah Frekuensi 9 10 1 20 Prosentase (%) 45,0 50,0 5,0 100,0

Dari tabel 5.6 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian responden melakukan mekanisme koping adaptif sedang 10 responden (50,0%), dan sebagian kecil mekanisme koping adaptif buruk 1 responden (5,0%).
3. Skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan

Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011.

69

Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. NO 1 2 Skala Nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Jumlah Frekuensi 13 7 20 Prosentase (%) 65,0 35,0 100,0

Dari tabel 5.7 di atas diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden nyeri ringan yaitu 13 responden (65,0%), dan hampir sebagian nyeri sedang yaitu 7 responden (35,0%).

4. Hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Tabel 5.8 Distribusi responden berdasarkan Hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Mobilisasi Dini Baik Sedang Jumlah Skala Nyeri Ringan 9 (45,0%) 4 (20,0%) 13 (65,0%) rs = 0,664 Sedang 0 (0%) 7 (35,0%) 7 (35,0%) p = 0,01 Total 9 (100,0%) 11 (100,0%) 20 (100,0%)

Berdasarkan dari tabel 5.8 dapat diketahui bahwa hampir sebagian

70

responden apendektomi yang mobilisasinya baik mempunyai skala nyeri ringan yaitu 9 responden (45,0%) dan sebagian kecil responden apendektomi yang mobilisasinya sedang mempunyai skala nyeri ringan yaitu 4 responden (20,0%). Hasil uji Spearman dengan bantuan program komputer SPSS versi 16,0 dengan N = 20 didapat rs hitung 0,664 dan p = 0,01 dimana < 0,05 maka Ho ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi.

5. Hubungan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Tabel 5.9 Distribusi responden berdasarkan Hubungan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan 2011. Mekanisme Koping Baik Sedang Buruk Jumlah Ringan 9 (45,0%) 4 (20,0%) 0 (0%) 13 (65,0%) rs = 0,687 Skala Nyeri Sedang 0 (0%) 6 (30,0%) 1 (5,0%) 7 (35,0%) p = 0,01 Total 9 (100,0%) 10 (100,0%) 1 (100,0%) 20 (100,0%)

71

Berdasarkan dari tabel 5.9 dapat diketahui bahwa hampir sebagian responden apendektomi yang mekanisme kopingnya adaptif baik mempunyai skala nyeri ringan yaitu 9 responden (45,0%) dan sebagian kecil responden apendektomi yang mempunyai mekanisme koping adaptif buruk mempunyai skala nyeri sedang yaitu 1 responden (5,0%). Hasil uji Spearman dengan bantuan program komputer SPSS versi 16,0 dengan N = 20 didapat rs hitung = 0,687 dan p = 0,01 dimana < 0,05 maka Ho ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara Mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi.

4.2. Pembahasan Pada pembahasan ini akan disajikan hasil penelitian tentang hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan yang dilakukan pada pada tanggal Maret sampai Mei 2011.
4.2.1. Mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien post operasi apendektomi mempunyai mobilisasi sedang. Menurut Bobak, 2005 Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk

72

bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi dini merupakan salah satu penatalaksanaan masa post operasi yang dapat diterima. Setiap individu mobilisasinya sangat berbeda satu sama lain. Ada yang mobilisasinya baik, sedang, dan buruk. Seseorang dikatakan mobilisasinya baik apabila bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi dan menjalankan peran sehari hari. Dikatakan mobilisasi sedang apabila kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan yang jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi saraf motorik dan sensorik pada area tubuh. Dan dikatakan mobilisasi buruk apabila tidak dapat bergerak sama sekali di area yang jelas sehingga dapat mempengaruhi interaksinya dan tidak bisa menjalankan peran sehari harinya. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi apendektomi hampir seluruhnya bisa melakukan teknik nafas dalam, melaksanakan teknik duduk di atas tempat tidur, teknik kontraksi abdomen dan gluteal, dan melaksanakan teknik latihan berdiri di sisi tempat tidur. Setelah melakukan aktivitas tersebut pasien merasa nyaman dan nyeri berkurang. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien post apendektomi adalah pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Asianbrain.com). Hal ini sesuai dengan pendapat Soekidjo Notoadmojo (2005) bahwa

73

pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, dari hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari sebagian responden berpendidikan SD di mana pada tingkat pendidikan seperti ini akan sangat berpengaruh pada pengetahuan seseorang dalam penyerapan informasi dan pandangan / pola pikir yang pada akhirnya berpengaruh pula pada pengetahuan teknik mobilisasi dini post operasi apendektomi karena kurangnya informasi tentang kesehatan.

4.2.2. Mengidentifikasi Penggunaan mekanisme koping pada pasien post operasi

apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, menunjukkan bahwa sebagian pasien post operasi apendektomi Menggunakan mekanisme koping adaptif sedang. Mekanisme koping merupakan suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat pada diri seseorang (National Safety Council, 2004). Dalam hal ini yaitu untuk mengatasi nyeri, dan setiap individu mempunyai mekanisme koping yang berbeda beda satu sama lain, ada yang mekanisme kopingnya adaptif dan ada yang mekanisme kopingnya maladaptif. Menurut Stuart dan Sundeen (2005) yang dikutip dari Esti Budi Rahayu, FIK UI (2008) mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang

74

mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan, mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah lingkungan. Setiap individu yang mempunyai mekanisme koping adaptif bisa dibedakan menjadi adapfit baik, adaptif sedang, dan adaptif buruk. Seseorang dikatakan mekanisme kopingnya adaptif baik antara lain mencari informasi tentang yang dirasakan, meminta dukungan dengan orang sekitar, dan memahami makna dari penyakit itu kemudian untuk mekanisme koping adaptif sedang apabila melaksanakan sebagian dari hal tersebut diatas dan selanjutnya mekanisme koping adaptif buruk apabila sampai menjalankan salah satu saja atau bahkan tidak melakukan hal tersebut di atas menurut pendapat dari Smeltzer & Bare (2002). Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi apendektomi hampir seluruhnyamenggunakan mekanisme koping adaptif sedang dan baik dari pertanyaan yang dijawab di kuesioner tersebut. Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping pasien post apendektomi adalah Umur. Umur juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang karena semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja menurut Potter (2006). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian pasien umur < 50 tahun. Jenis kelamin, berkaitan dengan perilaku model, bahwa individu akan melakukan modelling sesuai dengan jenis kelaminnya (Latipum, 2003). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar pasien berjenis kelamin laki laki. pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai

75

Selain itu pengalaman juga bisa mempengaruhi mekanisme koping. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sylvia, (2006). Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang pada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Dengan begitulah pasien akan belajar dari pegalaman nyeri sebelumnya dan tidak terlalu berarti jika pasien menerima nyeri pada masa akan datang.

4.2.3. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien dengan post operasi apendektomi

di RSUD. dr. Soegiri Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien post operasi apendektomi mempunyai skala nyeri ringan. Nyeri adalah suatu sensorik subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang dirasakan dalam kejadian kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter Patricia, 2006). Nyeri berlangsung sebentar dan terlokasi, bersifat menyebar kebeberapa arah, terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik, terasa seakan menyebar kebagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi apendektomi, sebagian besar ada sentuhan terasa nyeri, dapat beraktifitas

76

ringan, dan TTV normal. Sehingga pada saat seperti ini pasien masih membutuhkan pendamping dari keluarga dan tenaga kesehatan yang bisa memberikan rasa nyaman rasa nyeri berkurang. Faktor yang mempengaruhi skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi adalah Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anakanak dan lansia pendapat Potter (2006). Dari hasil penelitian diperoleh Sebagian kecil Pasien 21 35 Tahun, seringkali anak belum bisa menahan nyeri dan mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak dan sebagian pasien > 50 Tahun, pada orang dewasa cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani. Dari hasil penelitian menunjukkkan bahwa sebagian pasien berumur > 50 tahun, dimana pada usia tersebut pasien bisa memendam rasa nyeri post operasi apendektomi dikarenakan pada usia tersebut pasien mempunyai pengalaman yang lebih baik, sehingga nyeri dianggap suatu hal yang wajar setelah operasi apendektomi. Selain itu pengalaman juga bisa mempengaruhi nyeri. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sylvia, (2006). Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang pada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Dengan begitulah pasien akan belajar dari pegalaman nyeri sebelumnya dan tidak terlalu berarti jika pasien menerima nyeri pada masa akan datang.
4.2.4. Menganalisis hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post

77

operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, menunjukkan bahwa hampir sebagian pasien apendektomi yang mobilisasinya baik mempunyai skala nyeri ringan dan sebagian
kecil responden apendektomi yang mobilisasinya sedang mempunyai skala nyeri ringan.

Ho ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi. Menurut Mussrifatul (2006) Mobilisasi Penuh Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari hari. Mobilisasi Sebagian Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan yang jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Begitu juga dalam melakukan mobilisasi dini kadang pasien yang mempunyai persepsi baik tentang manfaat yang diperoleh dari mobilisasi dini maka dengan mudah mau melakukan praktek mobilisasi dini. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi apendektomi,

sebagian besar yang mobilisasinya baik ditinjukan dengan penurunan skala nyeri ringan sedangkan pasien yang mobilisasinya buruk ditunjukkan dengan skala nyeri yang berat. Faktor yang mempengaruhi hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi adalah pekerjaan. Hal ini sesuai pendapat dari Nur Salam (2001) bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan

78

untuk menunjang kehidupan keluarga, bekerja pada umumnya adalah kegiatan yang menyita waktu, bekerja akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa hampir sebagian pasien post operasi apendektomi tidak bekerja, dan sebagian kecil pasien wiraswasta, dalam hal ini berhubungan dengan penghasilan dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien post operasi apendektomi. Biaya operasi apendektomi yang sangat tinggi bisa menyebabkan pasien bisa mengalami khawatir, cemas dan gelisah sehingga mereka terdorong unutk sembuh dan melakukan mobilisasi dini sesuai perintah.

Faktor lain yang mempengaruhi hubungan mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi adalah pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekidjo Notoadmojo (2005) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, dari hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari sebagian responden berpendidikan SD di mana pada tingkat pendidikan seperti ini akan sangat berpengaruh pada pengetahuan seseorang dalam penyerapan informasi dan pandangan / pola pikir yang pada akhirnya berpengaruh pula pada pengetahuan teknik mobilisasi dini dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi karena kurangnya informasi tentang kesehatan sehingga cenderung mencari informasi yang lebih sehingga hasil yang didapat hampir sebagian mobilisasi baik dengan skala nyeri ringan. Selain itu peran keluarga hal ini juga sesuai dengan pendapat Tanto

79

Hartanto (2005). Peran adalah prilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang suatu posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam suatu system sosial. Keluarga adalah 2 orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan kebersamaan melalui pernikahan atau adopsi dan mempunyai ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagian dari sebuah keluarga. Maka sangatlah penting sebuah keluarga dalam mendampingi pasien post apendektomi terhadap memberi motivasi kepada penderita tentang mobilisasi dini.

4.2.5. Menganalisis hubungan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri

pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan, menunjukkan bahwa hampir sebagian responden apendektomi yang mekanisme kopingnya adaptif baik mempunyai skala nyeri ringan dan sebagian kecil responden apendektomi yang mempunyai mekanisme koping adaptif buruk mempunyai skala nyeri sedang. Ho ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi. Mekanisme koping merupakan suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat pada diri seseorang (National Safety Council, 2004). Dalam hal ini yaitu untuk mengatasi nyeri, dan setiap individu mempunyai mekanisme koping yang berbeda beda satu sama lain, ada yang mekanisme kopingnya adaptif dan ada yang mekanisme kopingnya

80

maladaptif. Menurut Stuart dan Sundeen (2005) yang dikutip dari Esti Budi Rahayu, FIK UI (2008) mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan, mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah lingkungan. Faktor yang mempengaruhi hubungan mekanisme koping dengan skala nyeri pada paien post operasi apendektomi adalah Umur. Umur juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang karena semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja menurut Potter (2006), Sehingga dapat dijelaskan bahwa pada responden yang mempunyai umur muda cenderung tidak bisa memendam nyeri sedangkan untuk umur yang sudah dewasa cenderung bisa memendam nyeri hal ini juga terkait dengan pengalaman yang dimiliki usia dewasa menurut Sylvia, (2006). Faktor lain yang mempengaruhi hubungan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi adalah jenis kelamin. Jenis kelamin, berkaitan dengan perilaku model, bahwa individu akan melakukan modelling sesuai dengan jenis kelaminnya (Latipum, 2003). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar pasien berjenis kelamin laki laki, dimana laki laki cenderung memiliki tingkat mekanisme koping yang baik daripada perempuan hal itu sesuai dengan tingkat emosi yang lebih stabil pada laki lakisehingga bisa memendam nyeri lebih baik daripada perempuan. Selain itu peran keluarga hal ini juga sesuai dengan pendapat Tanto pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai

81

Hartanto (2005). Peran adalah prilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang suatu posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam suatu system sosial. Keluarga adalah 2 orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan kebersamaan melalui pernikahan atau adopsi dan mempunyai ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagian dari sebuah keluarga. Maka sangatlah penting sebuah keluarga dalam mendampingi pasien post apendektomi terhadap memberi motivasi kepada penderita tentang Mekanisme koping yang baik. BAB 5 PENUTUP

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang sudah dilakukan mengenai hubungan mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. 5.1. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
5.1.1. Sebagian besar pasien mempunyai mobilisasi sedang. 5.1.2. Sebagian pasien mempunyai mekanisme koping adaptif sedang.

5.1.3. Sebagian besar pasien mempunyai nyeri ringan.

82

5.1.4. Ada hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan skala nyeri

pada pasien post operasi apendektomi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan.
5.1.5. Ada hubungan yang signifikan antara mekanisme koping dengan skala nyeri

pada pasien post operasi apendektemi di Ruang Bougenville dan Ruang Dahlia RSUD. dr. Soegiri Lamongan. 5.2. SARAN Dengan memperhatikan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka saran yang dapat dipertimbangkan untuk suatu perbaikan adalah sebagai berikut :
5.2.1. Bagi Institusi Pendidikan

81 Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya mobilisasi dini dan penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi dan sebagai sarana pembanding dunia ilmu pengetahuan dalam memperkaya informasi tentang asuhan keperawatan pasien post operasi apendektomi. 5.2.2. Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian diharapakan dapat menjadi bahan masukan dalam membuat kebijakan dalam menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi dengan cara pemberian asuhan keperawatan yang baik. 5.2.3. Bagi Penelitian Yang Akan Datang Dapat digunakan oleh peneliti yang akan datang sebagai sumber pengetahuan dan pengalaman dalam mempelajari hubungan mobilisasi dini dan

83

penggunaan mekanisme koping dengan skala nyeri pada pasien post operasi apendektomi. 5.2.4. Bagi Masyarakat Bagi pasien post operasi apendektomi hendaknya berusaha meningkatkan mobilisasi dini dengan tahap tahap yang sesuai dengan mobilisasi dini post operasi. Bagi pasien post operasi apendektomi hendaknya lebih mengontrol mekanisme koping, karena dengan mekanisme koping yang baik maka nyeri dapat diminimalisir.

DAFTARPUSTAKA

Apley

G., Solomon L., 1993, Apleys System of Orthopedies and Fractures, 7thedition : ButterworthHeinemann Ltd., Oxford.

Azwar, Azrul. (2003). Metodologi Penelitian Kedokteran Dan kesehatan Masyarakat. Batam: Bina Aksara Bobak, dkk. (2005). Buku Ajar KeperawatanMaternita s. Jakarta : EGC. Carpenito, Lynda Juall. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, EGC, Jakarta. Efendi, F., 2008, Mobilisasi Dini, (online), available : Http://indonesiannursing. com/2008/05/25/mobilisasi -dini/, (1 April 2010). Hidayat, A. Aziz Alimul. (2006 ) Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan, Jakarta : Salemba Medika.

84

Kusumawan, E, 2008, Pentingnya Bergerak Pasca Operasi, (online), available : http://spesialisbedah.com/2008/11/penting ya-bergerak -pasca-operasi/ , (18 Agustus 2010). Musrifatul U dan Hidayat, A. Aziz Alimul. (2006). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta : Hipokrates Nursalam, (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Perry and Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Of Nursing. Jakarta : EGC. Potter. (2005). Konsep Dasar Nyeri. www//http:qittun.com.net.id Potter. (2006). Fundamental Keperawatan Konsep Proses Proses Dan Praktek, Jakarta: EGC Raharyani. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien gangguan Sistem Integumen. Jakarta : EGC. Saifuddin, dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta:YBPSP Smeltzer, Suzanne C. (2002). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC Soekitjo Notoatmodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta : Rineka Cipta. Soekidjo Notoadmojo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta Suddart and Brunner (2001). Keperawatan Medikal-Bedah; Cet, 1 Jakarta : EGC Suddart and Brunner (2002). Keperawatan Medikal-Bedah; Cet, 8 Jakarta : EGC Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta

85

Tarwoto, Wartonah. 2005. Kebutuhan dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika Uliyah Musrifatul, (2006). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan; Cet. 1, Jakarta: Salemba Medika

You might also like