You are on page 1of 5

A.

Latar Belakang Masalah Hampir setengah abad politik luar negeri Amerika Serikat (AS) bergerak lincah karena Uni Soviet yang komunis mampu mengimbangi permainan Amerika. Setelah Uni Soviet ambruk dan komunisme di Eropa Timur pingsan lemas, Amerika seolah mencari musuh pengganti. Perang Dingin jilid dua harus diciptakan. Amerika terkejut melihat Revolusi Islam Iran berhasil menggusur kekuasaan Shah Mohamad Pahlevi, yang sepenuhnya ditopang Amerika. Sampai sekarang, ilmu-ilmu sosial belum dapat mengungkapkan sebab-akibat Revolusi Iran 1979. Sejak Revolusi Iran itulah dunia menyaksikan banjir informasi tentang Islam lewat majalah, jurnal, koran, buku, radio, televisi, dan Internet. Dalam berbagai seminar dan simposium di kampus, di forum regional dan internasional, Islam dijadikan pokok pembahasan yang mengasyikkan. Apalagi setelah peristiwa 11 September 2001, ledakan informasi tentang Islam dan terorisme tak terbendung lagi. Sesungguhnya, ketika Uni Soviet runtuh bersama Partai Komunis-nya yang begitu perkasa, dunia Islam mengharap hubungan Islam-Barat menjadi lebih akrab dan produktif. Alasannya, dunia Barat-Kristen dan dunia Islam sama-sama antikomunisme dan keduanya berada dalam hubungan yang non-antagonistis. Lewat hubungan yang saling menghormati dan saling memahami, seharusnya dapat ditemukan berbagai manfaat bagi keduanya. Citra Amerika dan Barat pada umumnya cukup positif di kalangan dunia Islam. Sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an, negeri-negeri muslim mengirimkan angkatan mudanya belajar ke Amerika, Eropa Barat, dan Australia. Kebanyakan negeri muslim berusaha mengakomodasi demokrasi Barat dengan segala plus dan minusnya. Hubungan dagang dan ekonomi dunia Islam condong ke Barat dan tidak ke Timur (dalam arti dunia sosialiskomunis). Akan tetapi harapan itu kandas, bahkan kian mustahil setelah peristiwa 11 September 2001 yang meluluh-lantakkan gedung WTC di New York dan menghancurkan sebagian gedung Pentagon di Washington, DC. Ditambah dengan seruan perang global terhadap terorisme oleh Presiden Amerika George W. Bush dan pendudukan Amerika atas Irak, hubungan Amerika dengan dunia Islam makin tegang. Penyakit Islamofobia pun kian luas. Salah satu yang menjadi pemicunya adalah pembangunan masjid di Ground Zero.

Protes atas pembangunan Masjid di ground zero lokasi bekas reruntuhan WTC pada tragedi 9/11 seperti menyulut kebangkitan islamofobia di Amerika di wilayah lain. Padahal, sebenarnya masjid yang disebut dengan nama Park51 itu sudah ada sebelumnya, di tempat yang sama, dan sudah ada di sana setahun silam. Yang dimintakan perijinan adalah ekspansi agar cukup menampung jamaah sholat yang lebih banyak, serta menjadi semacam Muslim cultural center. Masjid Park51 sendiri diprakarsai oleh Imam Feisal Rauf dan istrinya Daisy Khan seorang Muslim Amerika yang getol mempromosikan dialog antar-agama, dan rencana itu sudah mengantongi ijin dari otoritas kota serta Walikota New York Michael Bloomberg. Para pemrotes sebenarnya tahu bahwa menurut undang-undang di Amerika Serikat, mereka tidak bisa menghentikan ekspansi masjid tersebut karena itu adalah hak individual yang dilindungi, apalagi sudah punya kekuatan hukum. Sebagian pemrotes berdalih bahwa pembangunan masjid di daerah itu tidak layak, karena lokasi ground zero itu sakral. Kehadiran sebuah masjid hanya akan menambah luka hati keluarga korban tragedi 9/11 yang mencapai 3000 orang. Tapi apakah hanya ada Masjid Park51 di sana? Tidak. Daerah itu adalah wilayah hunian Lower Manhattan. Di antara bangunan hunian dan bisnis, hanya beberapa meter dari masjid itu ada klub striptease, toko minuman keras, dan toko-toko lain khas wilayah itu. Menurut Ebrahim Moosa yang merupakan associate professor studi Islam di Duke University, protes atas pembangunan Park51 adalah bagian dari pola intoleransi terhadap kaum Muslim sejak tragedi 9/11 dan kian dalam dalam beberapa tahun terakhir. Memang tidak ada kekerasan langsung terhadap orang Islam meningkat, tetapi topik pembicaraan yang berbau kebencian terhadap Islam semakin luas dan semakin memanas. Seorang penulis Muslim Amerika, Arsalan Iftikhtar menyebutkan:Islamofobia telah menjadi bentuk rasisme yang diterima di Amerika. Sebenarnya, intoleransi religius juga ditujukan kepada agama lain seperti Yahudi, Mormon, dan lainnya, namun jantung beracunnya disiapkan untuk Muslim. Franklin Graham, anak raksasa evangelis Billy Graham berkata kepada TIME bahwa Islam is a religion of hatred. Its a religion of war (agama kebencian, agama perang). Lebih jauh, Graham mengatakan bahwa Park51 seharusnya tidak diijinkan karena semua orang Muslim bisa berjalan masuk ke sana, dan semua wilayah yang mereka lalui dengan jalan kaki akan di-klaim sebagai wilayah Islam. Mereka sekarang akan menyebut daerah World Trade Center sebagai tanah Islam.

Sebagian orang Amerika mempertanyakan dengan sinis: Arab Saudi tidak mengijinkan gereja dan sinagog dibangun, jadi kenapa Amerika harus mengijinkan pembangunan tempat peribadahan Islam? Sebenarnya hal ini adalah persamaan atau analogi yang bodoh. AS dan Arab Saudi tidak sama. Arab Saudi adalah negara berazaskan agama, sementara Amerika Serikat dibangun dengan landasan idealisme kebebasan beragama dan toleransi. Kenapa Islamofobia tiba-tiba menguat? Beberapa Muslim Amerika berpendapat bahwa sebenarnya tidak menguat tiba-tiba. Sentimen ini sudah ada selama bertahun-tahun. Yang lainnya menyebutkan tragedi 9/11 adalah puncak semuanya. Arsalan Iftikhar ingat adanya ledakan gelombang pertama anti-Muslim setelah serangan teroris tersebut oleh pemimpin Kristen seperti Pat Robertson dan Jerry Falwell yang secara terbuka mempertanyakan apakah Islam benar-benar agama, dan memberi label Nabi Muhammad sebagai perampok, penyamun, dan teroris. Beberapa insiden lain dengan pemimpin politik juga terjadi. Jumlah kaum Muslim di Amerika Serikat sendiri, menurut sebuah survey, mencapai 2.5 juta orang dari total 300 juta lebih penduduk. Angka ini sebenarnya lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya yang diperkirakan mencapai 6 hingga 8 juta orang. Namun demikian, sebaran musholla di Amerika mencapai menurut Ihsan Bagby seorang professor studi Islam di Universitas Kentucky sekitar 1900 buah (meningkat 700 buah dari survey di tahun 2001), tapi memang kebanyakan berupa musholla kecil di ruang ganti atau sudut perkantoran, dan hanya beberapa yang berupa masjid. Namun demikian, bahkan President Bush dan Menlu Condollezza Rice perlu repot untuk menenangkan gejolak anti Islam di Amerika sesaat setelah insiden tragis 9/11. Bush mengunjungi Islamic Centre di Washington dan menyebut Islam sebagai agama damai. Tidak seheboh dan sedemonstratif Bush, Obama juga melakukan hal serupa bahkan berusaha menjangkau dunia Islam di luar negeri Amerika. Bush dan Obama sama-sama menekankan garis tegas yang membedakan antara ekstrimis yang penginterpretasikan Islam dengan jalan kekerasan seperti Osama Bin Laden, dengan mayoritas kaum Muslim yang damai. Bagi kaum Muslim yang mengagumi ideologi Amerika, dan menginginkan Park51 dibangun, mereka berkata:Jika mereka tidak membangunnya, Pemerintah berarti setuju dengan pihak yang mengatakan bahwa kaum Muslim tidak bisa menjadi orang Amerika yang baik. Kalau memang begitu, lebih baik bagiku pulang ke Baghdad, karena aku tidak akan pernah diterima di sini.

Usaha pemimpin Amerika untuk mengakomodasi Islam sebagai bagian integral masyarakat Islam masih menghadapi jalan terjal. Bangkitnya Islam di Amerika Serikat adalah test case serius bagi tegaknya ideologi bangsa itu sendiri, setelah selama berabad-abad merdeka dan ternyata dalam sejarahnya diwarnai dengan prejudice, intoleransi bahkan kekerasan religius. Amerika memang dibangun atas idealisme kebebasan beragama dan toleransi, persamaan hak, dan tanah harapan. Ketika Pendeta Terry Jones berinisiaif hendak membakar Al-Quran untuk memperingati insiden 9/11, berbagai elemen bangsa Amerika menekan sang pendeta untuk mengurungkan niatnya. Semua elemen tersebut ingin menegakkan konstitusi bangsa itu. Kabar terakhir pendeta tersebut membatalkan rencananya, dengan tuntutan pembangunan Islamic Centre harus keluar dari ground zero. Sebenarnya, hal itu tidak bisa dipertentangkan dan bukan komoditi untuk saling dipertukarkan. Dalam perjalanannya, Islamofobia menjadi salah satu factor penentu kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Salah satunya adalah perang terhadap terorisme global (Global War on Terorism / GWOT). Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai bagaimana sebenarnya Islamofobia di Amerika Serikat,.

B. Rumusan Masalah Faktor-faktor apa yang menyebabkan eskalasi Islamofobia di Amerika Serikat sangat fluktuatif? C. Kerangka Dasar Pemikiran Teori Kognitif Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimulasi negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; turk dkk, 2001). Isu utama dalam teori ini adalah apakah

kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas. Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini-rasa takut yang menetap dan pakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulasi dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998).

You might also like