You are on page 1of 14

Arti Imamah

Bagi kaum Syiah, imamah luar biasa penting, sementara mazhab lain kaum
Muslim tidak memandang sedemikian penting. Alasannya adalah konsepsi
imamah kami beda dengan konsepsi imamah mazhab lain. Tak syak lagi, ada
kesamaannya juga, namun yang memandang luar biasa penting terhadap imamah
hanyalah kaum Syiah. Misal, ketika kaum Syiah, ingin menguraikan prinsip-
prinsip pokok agama menurut ajaran Syiah, Syiah katakan bahwa prinsip-prinsip
ini adalah Tauhid, Kenabian, Keadilan Ilahi, Imamah dan Akhirat. Kaum syiah
memandang imamah sebagai prinsip pokok agama. Sedikit banyak, kaum Sunni
juga tidak sama sekali menolak imamah. Namun menurut keyakinan mereka,
imamah bukan prinsip pokok agama. Mereka memandang imamah hanya sebagai
masalah tambahan. Sesungguhnya ada perbedaan pendapat yang mendasar
mengenai imamah. Kaum Syiah mempercayai imamah seperti ini, sedangkan
kaum Sunni mempercayai imamah yang lain. Alasan kenapa kaum Syiah
memandang imamah sebagai prinsip pokok agama, sedangkan kaum Sunni
memandangnya sebagai masalah tambahan, adalah konsepsi Syiah mengenai
Imamah beda sekali dengan konsepsi imamah Sunni.

Makna Imam
Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa
Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya
pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri
menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Di dalam Al-Qur'an mengatakan:
_4LUEE_4 LOOj* ]g4
4^@O^`) .4L^1EOu4 )_^O)
ug g4OOEC^- 4~)4
jE_OUO- 47.4C)4 jE_OEO-
W W-O+^~E4 E4 4g)l4N ^_@
73. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan
kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah
(QS. al-Anbiy': 73)


Di tempat lain dikatakan:
_4LUEE_4 LOOj* ]ONN;4C
O) jOEL- W 4O4C4
gOE41^- ]+O=^LNC ^j
41. dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru
(manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS.
al-Qashash: 41)
Mengenai Fir'aun, Al-Qur'an menggunakan frase yang mengandung arti yang
sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:
N^4C +O4`O~ 4O4C
gOE41^- N-E14Ou
4OEL- W "^-)4 1OO^-
1+OOE^- ^_g
98. ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan
mereka ke dalam neraka. neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi.
(QS. Hd: 98)
Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun sekarang
perhatian kami bukan pada pemimpin yang jahat. Baiklah sekarang kami bahas
konsepsi imamah. Kata "imamah" berlaku untuk beberapa kasus. Beberapa
konsep imamah diakui oleh kaum Sunni juga. Namun mereka berbeda dengan
kami mengenai siapa imam itu dan bagaimana kualitasnya. Mereka sama sekali
tidak mempercayai konsep-konsep imamah tertentu. Mereka tidak mempercayai
imamah dalam arti seperti yang kami percayai. Mereka tidak sepakat dengan
orang yang mengemban jabatan ini. Imamah versi mereka tak lain adalah
pemimpin sosial, dan dalam arti seperti inilah kata ini digunakah dalam buku-
buku teolog akademis lama.

Khja Nasiruddin Tusi, dalam "at-Tajrid", mendefinisikan imamah sebagai
kewajiban umum masyarakat. Di sini perlu juga disebutkan poin lain:
Beragam Aspek Nabi
Nabi saw, dalam masa hidupnya karena khusus posisinya dalam Islam, memiliki
beberapa aspek seperti ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan riwayat hidupnya. Pada
saat yang sama Nabi memiliki beberapa jabatan. Dia adalah seorang Nabi Allah,
dan dalam kapasitas ini dia menyampaikan risalah dan perintah Allah kepada
umat manusia. Al-Qur'an mengatakan:
.E` 47. +.- _O>4N g).Oc4O
;}g` u- O4O^- *+
OcOUg4 Og~).4 _O.O^-
_OE4-41^-4 -=OE^-4
^-4 O):OO- O. 4pO74C
.1 4u-4 g7.41g4^N- 7Lg` _
.4`4 N7>-47 NOcO- +7ONC
4`4 7Og4+ +Ou44N W-O_4^ _
W-OE>-4 -.- W Ep) -.-
CgE- g^- ^_
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyr: 7)
Dengan kata lain, apa saja petunjuk dan perintah yang diberikan Nabi saw kepada
umat manusia, maka itu diberikannya atas nama Allah. Dari sudut pandang ini,
Nabi saw hanya menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jabatan lain
Nabi saw adalah hakim agung, karena itu Nabi melaksanakan keadilan di tengah
kaum Muslim. Menurut Islam, setiap orang tidak bisa menjadi hakim, karena dari
sudut pandang Islam, memutuskan perkara adalah urusan Allah. Allah menyuruh
keadilan, dan hakim adalah orang yang melaksanakan keadilan kalau terjadi
perselisihan. Jabatan ini juga dengan jelas diberikan kepada Nabi saw oleh Al-
Qur'an. Al-Qur'an mengatakan:
E El)4O4 ]ON4g`uNC _/4EO
EOENC E1g 4OEE- _E4uO4
W-_ EO) )O^
~w}4OEO Og)` =e^1_~
W-OggU=O+C4 V1)UO ^g)
65. Demi Tuhanmu, mereka tak akan mempercayai kebenaran sampai
mereka menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselmhkan dan
menerima apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada
keputusanmu dengan sepenuh hati. (QS. an-Nis': 65)
Nabi saw diangkat menjadi hakim oleh Allah. Karena itu, jabatan hakim ini
bukanlah jabatan biasa, melainkan Jabatan ilahiah. Praktisnya dia juga Nabi-
hakim. Jabatan ketiga yang resmi diemban Nabi saw dan jabatan ini diberikan
kepadanya oleh Al-Qur'an adalah jabatan sebagai kepala negara. Dia adalah
kepala negara dan pemimpin masyarakat Muslim. Dengan kata lain, dalam
masyarakat Muslim dia adalah pembuat kebijakan dan orang yang memiliki
kemampuan memerintah dengan baik. Diyakini bahwa aspek ini, yang terdapat
dalam diri Nabi saw, yang digambarkan oleh ayat Al-Qur'an,
Og^4C 4g~-.- W-EON44`-47
W-ONOgC -.- W-ONOgC4
4OcO- Ojq4 jO- 7Lg`
W ^)_
59. Wahai Orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-
Nya dan pemimpin-pernimpin (kompeten)-mu. (QS. an-Nis': 59)
Sesungguhnya tiga jabatan yang diemban Nabi saw bukan sekadar jabatan formal
atau seremonial. Petunjuk dan perintah yang kita terima darinya pada dasarnya
ada tiga macam:
(1) Macam pertama berupa wahyu Allah. Mengenai wahyu Allah ini Nabi
saw tak dapat berbuat atas inisiatifnya sendiri. Fungsi satu-satunya adalah
menyampaikan kepada umat manusia wahyu yang diturunkan kepadanya.
(2) Petunjuk dan perintah agama. Misal, Nabi mengajarkan bagaimana salat
dan berpuasa. Namun ketika dia melaksanakan keadilan, maka
keputusannya bukan keputusan wahyu. Kalau terjadi perselisihan antara dua
orang, maka Nabi memutuskan perkaranya berdasarkan standar Islam, dan
memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal seperti ini,
Jibril tidak turun membawa wahyu untuknya. Kalau untuk kasus-kasus luar
biasa, masalahnya lain. Pada umumnya Nabi saw memutuskan semua
perkara hukum berdasarkan bukti yang ada, persis seperti yang dilakukan
orang lain. Paling banter dapat dikatakan bahwa keputusannya lebih baik
dibanding keputusan orang lain. Nabi sendiri mengatakan bahwa dirinya
diperintahkan untuk menyampaikan pendapat berdasarkan apa yang
tampaknya masuk akal. Misal ada penggugat dan tergugat, dan penggugat
mengajukan dua saksi yang tak tercela. Nabi akan memutuskan perkara ini
berdasarkan bukti mereka. Jadi, keputusan ini akan merupakan keputusan
Nabi sendiri, dan bukan keputusan yang diwahyukan kepadanya.
(3) Dalam kapasitas ketiga ini, ketika Nabi saw memberikan perintah
sebagai pemimpin masyarakat, sifat perintahnya ini beda dengan sifat apa
yang disampaikannya sebagai wahyu Allah. Allah mengangkat Nabi sebagai
pemimpin masyarakat. Dalam kapasitas ini Nabi terkadang bermusyawarah.
Kita tahu bahwa Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya pada
waktu Perang Badar dan Uhud dan pada banyak kesempatan lainnya.
Tampaknya tak ada musyawarah mengenai perintah wahyu Tuhan. Nabi tak
pernah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya mengenai bagaimana
bersembahyang maghrib. Kalau ada masalah-masalah tertentu yang
ditanyakan kepada Nabi, sementara Allah memerintahkan begini, maka
Nabi harus mengikuti perintah-Nya. Namun untuk masalah-masalah yang
tak ada ketentuan ilahiahnya, Nabi sering berkonsultasi dengan sahabat
untuk meminta pendapatnya. Kalau dalam kasus-kasus seperti ini Nabi
mengeluarkan ketentuan, ini dilakukannya karena Nabi mendapat
wewenang dari Allah untuk melakukan demikian. Dalam beberapa kasus
yang berkaitan dengan manajemen sosial, memang Nabi juga menerima
wahyu, namun ini merupakan kasus yang luar biasa. Biasanya Nabi tidak
menerima petunjuk terperinci mengenai masalah-masalah sosial-politik, dan
mengenai masalah-masalah ini Nabi tidak bcrtindak sebagai rasul semata.
Fakta yang tak dapat dipungkiri moniuijukkan bahwa Nabi, dalam semua
kapasitas ini, bekerja simuhan.
Imamah dalam Arti Pemimpin Masyarakat
Makna pertama imamah seperti disebutkan di atas adalah mgas umum
masyarakat. Salah satu jabatan Nabi yang kosong begini Nabi wafat adalah
kepemimpinan masyarakat. Jelas, masyarakat butuh pemimpin. Siapa pemimpin
masyarakat sepeninggal Nabi? Baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat
bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi. Di sinilah
timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah
menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya Imam
Alilah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kaum Sunni yang logika
lain tidak menerima pandangan ini setidak-tidaknya dalam bentuk yang diterima
kaum Syiah. Menurut kaum Sunni, Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai
penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum
Sunni menerima prinsip Imamah ketika mereka mengatakan bahwa kaum Muslim
membutuhkan pemimpin. Yang mereka katakan adalah bahwa pemimpin dipilih
oleh kaum Muslim. Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Nabi sendirilah yang
menunjuk penerusnya berdasarkan wahyu Allah.
Kalau saja masalah imamah sekadar masalah kepemimpinan politik sepeninggal
Nabi, kami, kaum Syiah, tentu tak akan menganggap imamah sebagai prinsip
pokok agama, dan tentu pas kalau menggolongkan masalah ini sebagai masalah
tambahan. Dapat kami katakan bahwa masalah imamah yang dipercaya kaum
Syiah sekadar mendeklarasikan bahwa Imam Ali as adalah salah seorang sahabat
Nabi saw seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan banyak lainnya atau bahkan
seperti Abu Dzar dan Salman, namun Imam Ali as lebih baik, lebih berilmu, lebih
takwa dan lebih mampu dibanding sahabat-sahabat lain dan bahwa Nabi saw
menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya. Namun kaum Syiah tidak berhenti di
sini saja. Mereka mempercayai dua ajaran yang tak ada di kaum Sunni. Salah
satunya adalah imamah dalam arti otoritas keagamaan.

Imamah dalam Arti Otoritas Keagamaan
Telah kami kemukakan bahwa Nabi saw menyampaikan wahyu Allah SWT yang
diterimanya kepada orang yang bebas bertanya kepada Nabi apa saja yang ingin
diketahuinya tentang ajaran Islam. Orang juga bertanya kepada Nabi tentang apa
yang tak didapati mereka dalam Al-Qur'an. Sekarang pertanyaannya adalah
apakah isi Al-Qur'an dan apa yang telah disampaikan Nabi kepada khalayak
umum adalah apa yang diinginkan Islam, yaitu menyampaikan petunjuk, ajaran
dan pengetahuan Islam? Karena itu, Nabi saw mendidik Imam Ali as, penerusnya,
sebagai pakar luar biasa, dan mengajarkan kepada Imam Ali as scgalanya tentang
Islam, setidak-tidaknya semua prinsip dan norma umum Islam. Imam Ali as
adalah sahabat Nabi yang paling mencolok keunggulannya. Dia maksum seperti
Nabi saw, Dia bahkan tahu apa yang disiratkan oleh Allah SWT.
Nabi saw bersabda ketika memperkenalkan Imam Ali as:
"Sepeninggalku, bawalah semua masalah keagamaan kepada Ali, tanyakan kepada
Ali dan penerus-penerusku yang lain apa saja yang ingin kalian ketahui."
Dalam hal ini, imamah merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu spesialisasi
yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat
dicapai mujtahid. Para imam adalah pakar dalam Islam. Pengetahuan istimewa
mereka mengenai Islam bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa
saja salah. Mereka menerima pengetahuan dengan cara yang tak kita ketahui.
Imam Ali as menerima pengetahuan tentang ilmu-ilmu Islam langsung dari Nabi
saw. Dan Imam-imam berikutnya menerimanya melalui Imam Ali bin Abi Thalib
as. Dalam kasus imam-imam, pengetahuan ini tak mengandung kekeliruan.
Pengetahuan ini diturunkan dari satu imam ke imam yang lain.
Kaum Sunni tak percaya adanya orang yang berposisi seperti itu. Dengan kata
lain, kaum Sunni tidak mempercayai adanya imam dalam pengertian seperti ini.
Kaum Sunni mengatakan bahwa, alih-alih Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar adalah
Imam. Mereka tidak mengakui bahwa sahabat Nabi, tidak Abu Bakar, tidak Umar,
tidak Utsman, memegang jabatan seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganggap
begitu banyak kekeliruan dalam masalah keagamaan berasal dari Abu Bakar dan
Umar. Sebaliknya, kaum Syiah percaya imam-imam mereka maksum, dan tak
akan pernah mengakui bahwa imam-imam mereka pernah berbuat keliru. Namun
kaum Sunni, dalam buku-buku mereka, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah
mengatakan begini, namun dia salah. Ketika menyadari kekeliruannya, dia berkata
bahwa ada setan yang selalu mengalahkannya. Kaum Sunni juga mengatakan
bahwa Umar pernah berbuat keliru, dan kemudian, dengan menyebut-nyebut
wanita-wanita tertentu, menyatakan bahwa wanita-wanita itu lebih alim dibanding
dirinya.
Konon ketika Abu Bakar meninggal, anggota keluarganya yang wanita, termasuk
putrinya, Aisyah, istri Nabi saw, menangis. Ketika Umar mendengar ratapan
mereka, Umar mengirim pcsan kepada mereka agar diam, namun mereka tidak
memenuhi pcrmintaan Umar. Umar mengirim pesan lagi dan kemudian
mengancam akan menghukum mereka. Akhirnya Aisyah diberitahu oleh beberapa
wanita bahwa Umar mengancam kalau mereka tak mau diam. Aisyah menyuruh
memanggil Umar. Ketika Umar datang, Aisyah menanyakan apa yang diinginkan
dikatakan Umar dan kenapa Umar mengirim pesan demi pesan. Umar mengatakan
mendengar Nabi saw bersabda:
"Kalau ada orang meninggal, lalu anggota keluarganya menangisinya, maka orang
yang meninggal tersebut akan mendapat hukuman." Aisyah berkata, "Anda tidak
mengerti. Anda salah. Masalahnya bukan begitu. Aku tahu bagaimana itu. Ketika
seorang Yahudi yang jahat meninggal, keluarganya menangisinya. Nabi saw
bersabda bahwa mereka menangis dan dia dihukum. Nabi saw tidak mengatakan
bahwa dia dihukum karena mereka menangis. Nabi saw mengatakan bahwa
mereka menangisinya, namun mereka tidak tahu bahwa dia tengah dihukum.
Bagaimana hubungannya dengan masalah ini? Meskipun menangis dilarang,
kenapa Allah harus menghukum orang tak berdosa karena dosa yang kita
lakukan?" "Aneh, kata Umar. "Begitukah?" "Ya," kata Aisyah, "begitulah."
Umar pun berkata, "Seandainya wanita-wanita ini tak ada, Umar akan celaka."
Kaum Sunni sendiri mengatakan bahwa tujuh puluh (sangat banyak) kali Umar
berkata, "Kalau tak ada Ali, Umar akan celaka." Umar sendiri berkali-kali
mengakui bahwa Ali sering meluruskan kesalahan-kesalahannya, dan Umar biasa
mengakui kesalahannya. Pendek kata, kaum Sunni tidak mempercayai imam
dalam pengertian seperti yang kami yakini. Namun fakta yang tak terpungkiri
menunjukkan bahwa Nabi sajalah yang menerima wahyu samawi. Kami tidak
mengatakan bahwa para imam juga menerima wahyu. Risalah Islam disampaikan
kepada umat manusia oleh Nabi saja, dan kepada Nabi saja Allah menurunkan
ajaran-ajaran penting Islam. Tak ada ajaran dan ketentuan Islam yang tidak
diwahyukan kepada Nabi. Namun pertanyaan apakah semua ajaran Islam
disampaikan kepada seluruh manusia, lain masalahnya. Kaum Sunni mengatakan
bahwa Nabi menyampaikan semua ajaran Islam kepada sahabat-sahabatnya.
Namun kaum Sunni berada dalam dilema ketika menghadapi problem yang tak
ada riwayatnya dari sahabat Nabi. Untuk memecahkan situasi ini, kaum, Sunni
mengemukakan hukum analogi, dengan hukum analogi ini mereka mengaku
melengkapi apa yang tak ada. Dalam hubungan ini Imam Ali as berkata, "Apakah
Anda bermaksud mengatakan bahwa agama Allah tidak lengkap, dan Andalah
yang melengkapinya?" (Nahj al-Balghah, khotbah 18)
Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Allah SWT menurunkan ajaran Islam
dengan lengkap kepada Nabi saw, dan Nabi saw menyampaikannya dengan
lengkap kepada umat manusia. Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap,
namun Nabi saw tidak menyebutkan segala sesuatunya kepada manusia pada
umumnya. Sesungguhnya banyak pertanyaan diajukan selama hayat Nabi saw.
Namun, Nabi saw menyampaikah semua ajaran yang diterimanya dari Allah
kepada murid istimewanya, Imam Ali bin Abi Thalib as, dan meminta Imam Ali
as untuk menyampaikannya kepada masyarakat bila diperlukan.
Di sinilah muncul masalah kemaksuman. Kaum Syiah mengatakan bahwa karena
Nabi saw, sengaja atau tidak, tak mungkin salah bicara, murid istimewanya pun
tak mungkin salah, karena Nabi saw mendapat pertolongan dari Allah SWT,
murid istimewa ini pun mendapat pertolongan dari Allah SWT. Inilah satu lagi
karakter imamah.

Imamah dalam Arti Wilayah
Ini merupakan arti ketiga imamah, dan sungguh artinya yang paling tinggi. Dalam
ajaran Syiah, pengertian seperti ini sangat dititikberatkan. Sedikit banyak, wilayah
merupakan titik kesamaan antara Syiah dan tasawuf. Namun kalau kami kata
demikian, jangan salah paham, karena mungkin Anda mendapati apa yang
dikatakan kaum orientalis mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah
adalah masalah yang sangat mendapat perhatian kaum sufi dan mendapat
perhatian kaum Syiah juga sejak masa awal Islam. Saya ingat bahwa sekitar
sepuluh tahun silam seorang orientalis mewawancarai Allamah Thabathaba'i.
Salah satu pertanyaan yang diajukannya adalah apakah Syiah mengambil konsepsi
wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi mengambilnya dari Syiah. Faktanya
adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan Syiah ketika belum ada tasawuf.
Kalau saja terjadi pengambilan dari yang satu oleh yang lain, maka harus
dikatakan bahwa kaum sufilah yang mengambilnya dari Syiah. Masalah wilayah
dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman. Kaum
sufi sangat menekankan poin ini.
Maulawi mengatakan bahwa di setiap masa ada seorang wali, qa'im (penguasa
zaman). Di setiap masa ada seorang manusia sempurna yang memiliki semua
keunggulan manusiawi. Tak ada zaman yang tak ada wall sempurnanya, yang
sering digambarkan sebagai quthb (poros, otoritas). Kaum sufi percaya bahwa
wall sempurna adalah juga manusia sempurna. Mereka menganggap wall
sempurna memiliki banyakjabatan, sebagiannya tak dapat kita mengerti, Salah
satu jabatannya adalah mengendalikan hati manusia, dalam pengertian bahwa dia
adalah roh universal yang mengungguli semua roh. Maulawi secara tidak
langsung menyebut jabatan ini dalam kisahnya tentang Ibrahim bin Adham. Kisah
ini tak lebih dari cerita fiksi belaka. Namun Maulawi bercerita untuk menjelaskan
apa yang dimaksudnya. Dia bercerita hanya untuk menekankan. maksudnya.
Maulawi mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke sungai, kemudian
melemparkan jarum ke sungai itu. Lalu dia menginginkan kembalinya jarum itu.
Ikan-ikan pada menyembulkan kepalanya dari sungai, masing-masing membawa
satu jarum di mulutnya. Maulawi selanjutnya mengatakan, "Wahai yang tak
memiliki kemampuan, perhatikan hati Anda di hadapan mereka yang memiliki
sifat-sifat unggul hati."
Selanjutnya dia mengatakan, "Syaikh (pemandu spiritual) itu jadi sadar akan apa
yang ada di hati orang. Syaikh bisa tahu itu karena dirinya bagaikan singa,
sedangkan hati orang bagaikan sarangnya".
Syiah pada umumnya menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling
tinggi. Mereka percaya bahwa wali dan imam adalah penguasa zaman, dan selalu
ada seorang manusia sempurna di dunia ini. Dalam kebanyakan ziyarah
(penghormatan) yang kami baca, kami mengakui eksistensi wilayah dan imamah
dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. Dalam
ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap sebagai bagian dari ajaran Syiah,
kami mengatakan, "Aku memberikan kesaksian bahwa engkau melihat di mana
aku berada; engkau mendengar perkataanku dan membalas salamku." Perlu
dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada seorang imam yang telah wafat. Dari
sudut pandang kami, dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang telah wafat
dan imam yang masih hidup. Kami katakan, "Salam atasmu, Ali bin Musa ar-
Ridha. Aku menyadari dan memberikan kesaksian bahwa engkau mendengar dan
membalas salamku."
Kaum Sunni, kecuali kaum Wahabi, percaya bahwa Nabi saw saja yang memiliki
kualitas mengetahui dan mendengar ini. Menurut mereka, di dunia ini tak ada lagi
yang memiliki status spiritual yang tinggi seperti itu dan persepsi spiritual seperti
itu. Namun kami, kaum Syiah, percaya bahwa posisi ini dimiliki oleh imam-imam
kami. Kepercayaan ini merupakan bagian dari prinsip agama kami, dan kami
selalu mengakuinya.
Pendek kata, masalah imamah ada tiga derajatnya, dan kalau kami tidak
membedakan ketiga derajat ini, kami akan menghadapi kesulitan berkenaan
dengan pengambilan kesimpulan tertentu dalam hubungan ini. Berdasarkan ketiga
derajat ini, ada tiga kelompok dalam Syiah. Mereka mengatakan bahwa Nabi saw
mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin masyarakat sepeninggalnya, dan
bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman tak dapat mengklaim posisi ini. Orang-
orang seperti ini menjadi Syiah hanya sebatas ini saja. Mereka tidak mempercayai
dua derajat selanjutnya, atau bungkam tentang dua derajat ini. Sebagian lainnya
mempercayai derajat kedua meski tidak mempercayai derajat ketiga. Konon
almarhum Muhammad Baqir Durchal, guru Ayatullah Burujerdi di Isfahan, tak
mempercayai derajat ketiga ini. Namun mayoritas Syiah dan ulama Syiah
mempercayai derajat ketiga juga.
Kalau mau membahas imamah, maka harus dibahasnya dalam tiga tahap; imamah
menurut Al-Qur'an, imamah menurut hadis, dan imamah menurut akal. Pertama-
tama man kita lihat apakah ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan imamah
menunjukkan arti imamah seperti yang diyakini kaum Syiah. Dan jika begitu,
apakah menunjukkan imamah dalam pengertian kepemimpinan politik dan sosial
saja, ataukah dalam pengertian otoritas keagamaan dan wilayah spiritual juga.
Setelah ini dijelaskan, baru kita lihat apa yang dikatakan hadis-hadis Nabi
mengenai imamah. Akhirnya kita analisis imamah dari sudut pandang akal, dan
kita lihat apa yang dikatakan akal mengenai tahap-tahapnya itu. Apakah
pandangan Sunni yang menyebutkan bahwa penerus Nabi harus dipilih oleh umat
lebih masuk akal, atau apakah merupakan fakta kalau Nabi sendiri telah
mengangkat penerusnya? Begitu juga, apa yang sesuai dengan akal berkenaan
dengan dua lagi arti imamah.

Hadis Imamah
Sebelum mengemukakan ayat-ayat Al-Qur'an tentang imamah, kami ingin
mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah dan Sunni. Biasanya hadis
yang sama-sama disepakati oleh Syiah dan Sunni tak dapat diabaikan, karena
kesepakatan ini menunjukkan bahwa hadis itu autentik, sekalipun susunan katanya
bisa saja berbeda dalam beragam riwayat. Kami, kaum Syiah, biasanya
meriwayatkan hadis ini seperti ini: "Barangsiapa mati sementara tidak mengenal
imam zamannya, maka dia mati jahiliah." Kata-kata ini sangat serius, karena pada
periode jahiliah orang tidak mempercayai keesaan Allah (tauhid) dan juga tidak
mempercayai kenabian. Hadis ini terdapat di sebagian besar kitab hadis Syiah,
termasuk "al-Kf" yang dianggap sebagai koleksi hadis Syiah paling andal. Fakta
pentingnya adalah hadis ini juga terdapat dalam kitab-kitab Sunni. Menurut satu
riwayat mereka menyebut susunan kata "Barangsiapa mati tanpa imam, maka
matinya mati jahiliah." Susunan kata lainnya adalah "Barangsiapa mati dalam
keadaan tidak berbaiat, maka matinya mati jahiliah." Teks lain mengatakan,
"Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berimam, maka matinya mati jahiliah."
Ada beberapa versi lain, dan itu menunjukkan betapa Nabi saw memandang
sangat pending masalah imamah.
Mereka yang menerima imamah hanya dalam pengertian kepemimpinan sosial
mengatakan bahwa Nabi saw memandang sangat penting masalah kepemimpinan
karena hukum Islam baru dapat dilaksanakan kalau ada pemimpin yang bajik dan
kesetiaan kuat umat kepadanya. Islam bukanlah agama individualistik. Tak ada
yang dapat mengatakan bahwa karena dia mempercayai Allah dan Nabi-Nya,
maka dia tak ada hubungannya dengan orang lain. Setiap orang harus tahu dan
mengerti siapa imam pada masanya, dan harus beraktivitas di bawah naungan
kepemimpinannya.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian otoritas keagamaan
mengatakan bahwa barangsiapa memperhatikan agamanya, maka dia harus
mengenal otoritas keagamaannya, dan harus tahu siapa yang harus diikutinya
dalam masalah agama. Mutlak tidak Islami kalau mempercayai agama namun
mendapatkan agama dari sumber yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian wilayah spiritual mengatakan
bahwa hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tidak di bawah perwalian wali
yang sempurna, maka dia seperti orang yang mati pada masa jahiliah. Karena
hadis ini mutawatir (diriwayatkan oleh rangkaian otoritas yang banyak
jumlahnya), maka kami sebudcan hadis ini dahulu untuk pegangan dalam
pembahasan lebih lanjut masalah imamah. Kini man kita lihat ayat-ayat Al-
Qur'an.

Imamah dalam Al-Qur'an
Beberapa ayat Al-Qur'an dikutip oleh kaum Syiah berkaitan dengan imamah.
Salah satunya diawali dengan kata-kata, "Walimu hanyalah Allah." Dalam semua
kasus ini ada hadis-hadis Sunni yang mendukung sudut pandang Syiah. Bunyi
ayat ini adalah:
4^^) N71g4 +.- N.Oc4O4
4g~-.-4 W-ONL4`-47 4g~-.-
4pOONC E_OUO- 4pO>uNC4
E_OEEO- -4 4pONg4O ^))
55. Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman
yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-M`idah: 55)

Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah wait yang artinya wali. Karena itu
wilayah artinya perwalian. Menurut ajaran Islam, zakat tidak dibayar sembari
rukuk. Karena itu membayar zakat sembari rukuk tak dapat disebut prinsip atau
norma umum yang berlaku untuk banyak orang. Ayat ini berkenaan dengan satu
peristiwa yang terjadi hanya sekali. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Syiah maupun
Sunni. Imam Ali as tengah rukuk ketika seorang peminta-minta datang meminta
sedekah. Imam Ali as memberi isyarat dan menarik perhatiannya dengan jarinya.
Si peminta-minta segera mengambil cincin Imam Ali as dari jarinya, lalu pergi.
Dengan kata lain, Imam Ali as tidak menunggu sampai salatnya selesai. Imam Ali
as begitu luar biasa sehingga dalam keadaan tengah salat pun Imam dengan
isyarat menyuruh si peminta-minta untuk mengambil cincin di jari Imam,
menjualnya dan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Baik kaum Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Imam Ali as berbuat demikian,
dan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ini. Dapat dicatat bahwa
bersedekah dalam keadaan tengah rukuk tidak termasuk dalam ajaran Islam.
Bukan wajib dan bukan pula dianjurkan. Karena itu tak dapat dikatakan bahwa
beberapa orang melakukan demikian. Karena itu (mereka yang berbuat demikian)
jelaslah yang dimaksud adalah Imam Ali as. Di beberapa tempat Al-Qur'an
menggunakan ungkapan "mereka mengatakan...", padahal hal itu diucapkan oleh
hanya satu orang. Di sini juga "mereka yang berbuat demikian" artinya adalah si
individu yang berbuat demikian. Karena itu melalui ayat ini Imam Ali as diangkat
menjadi wali umat Muslim. Namun demikian, ayat ini perlu dibahas lebih lanjut,
dan pembahasannya nanti. Ada ayat-ayat lain berkenaan dengan peristiwa Ghadir.
Peristiwa ini sendiri merupakan bagian dari tradisi Islam. Ini akan dibahas nanti.
Salah satu ayat tersebut, yang turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir, berbunyi:
Og^4C NOcO- 'uggU4 .4`
4@O^q C^O) }g` El))OO W p)4
- E^> E =e^^U4
+O4-EcjO _ +.-4 Cu4C =}g`
+EEL- Ep) -.- Ogg4
4O^- 4jOg^- ^g_
67. Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari
Tuhanmu, karena jika tidak, kamu berarti tidak menyampaikan risalah-Nya.
(QS. al-M`idah: 67)
Nada ayat ini sama seriusnya dengan nada hadis, "Barangsiapa mati dalam
keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah."
Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa pokok
masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak menyampaikannya, berarti
Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah Allah.
Syiah dan Sunni sepakat bahwa Surah al-M`idah adalah Surah terakhir yang
diturunkan kepada Nabi saw, dan ayat ini merupakan satu dari ayat-ayat terakhir
Surah ini. Dengan kata lain, turun ketika Nabi sudah menyampaikan semua
hukum dan ajaran lain Islam selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah
sebagai Nabi saw. Ayat ini termasuk petunjuk, perintah atau ajaran terakhir Islam.
Kini kaum Syiah bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa yang begitu
penting sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang dikerjakan Nabi di
masa sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat menunjukkan pokok
masalah apa pun yang berkaitan dengan tahun-tahun terakhir hayat Nabi saw yang
begitu penting. Namun kami katakan bahwa masalah imamah begitu penting
sehingga kalau imamah hilang, maka tak ada lagi yang tersisa. Tanpa imamah,
seluruh bangunan Islam akan hancur lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat
dan hadis-hadis Sunni itu sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.
Dalam Surah al-M`idah itu sendiri ada ayat lain yang bunyinya,
Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku kepadamu,
dan Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-M`idah: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu penting
sehingga agama jadi sempurna, karunia Allah kepada umat manusia jadi lengkap,
dan tanpa itu Islam tak mungkin seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kaum
Syiah berargumen bahwa nada ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang
berkenaan dengan ayat ini begitu penting sehingga eksistensi Islam sebagai agama
yang benar itu sendiri bergantung pada sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya
adalah seperti apa sesuatu itu. Kaum Syiah mengatakan dapat menunjukkan
sesuatu itu. Sedangkan kaum lainnya tidak. Selain itu, ada riwayat-riwayat yang
menegaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan masalah imamah. Tiga ayat ini
yang merupakan substansi argumen-argumen Syiah sudah kami kemukakan.

You might also like