You are on page 1of 18

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA CDR (CASE DETECTION RATE) KASUS TUBERK ULOSIS DI PUSKESMAS BENDOSARI TAHUN 2010

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat Pembimbing : Rustiningsih, S. KM., M. Kes. Ade Sofyan Dhyna Mutiarasari Pawestri Fuat Roy Hanggoro Fathul Khair Sefta Derina J500 060 008 J500 050 044

J500 060 011 J500 060 016 J500 060 050

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI iii BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang B.Rumusan Masalah C.Tujuan Penelitian D.Manfaat Penelitian BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis B. Indikator Nasional Penanggulangan TB C. CDR (Case Detection Rate) BAB III. HASIL DAN ANALISA PEMBAHASAN A.Gambaran Umum Kecamatan Bendosari B.Gambaran Umum Puskesmas Bendosari C.Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan B.Saran DAFTAR PUSTAKA ii i

1 3 4 4 18 26 27 28 29 33 33 5

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bas il Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit p ernafasan bagian bawah. (Alsagaff, 2009). Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malari a secara bersama-sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempa t juta (25%) kematian karena TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB ter us meningkat sekitar 1% per tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi T B di Afrika berkaitan dengan komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009). Di Indonesia pada tahun 1999, WHO (World Health Organization) me mperkirakan setiap tahun muncul 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian

karena tuberkulosis paru 140.000. Setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif. Risiko penular an setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) bervariasi antara 1-2 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk Indonesia 10-20 orang akan t erinfeksi, walaupun tidak semuanya akan menjadi penderita tuberkulosis paru (Her ryanto et al, 2004). Indonesia adalah negara dengan masalah tuberkulosis paru ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus bar u tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setia p hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta (Syafr izal et al, 2008). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo tahun 2010 jumlah pasien tuberkulosis yang ditemukan sekitar 546 pasien baik dari puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan untuk Kecamatan Bendosari jumlah pasien Tuberk ulosis pada tahun 2010 terdapat 255 kasus suspek TB dengan 9 kasus BTA positif, 18 kasus BTA negatif, telah diobati 27 kasus, 1 penderita dinyatakan sembuh dan 1 penderita dinyatakan meninggal Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produkti f secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan ke hilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugika n secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya BTA . Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mik roskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thorax, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai d engan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto thorax saja. Foto thorax tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada tuberkulosis paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes, 2007 ). Sedangkan diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis bai k overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan geja la utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak per lu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor (Depkes, 2007). Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara-negara yang sedang berkembang, kegagalan program TB, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia d an perubahan struktur umur kependudukan, serta dampak pandemi HIV (Depkes, 2007) . Di Indonesia, berbagai upaya telah ditempuh dalam menemukan penyakit i ni, salah satu diantaranya adalah penemuan kasus secara aktif atau pasif dan men gobatinya. Dalam hal ini penemuan adalah syarat mutlak untuk melakukan diagnosis . Salah satu diantaranya adalah dengan memeriksa dahak penderita. Namun tidak se mua penderita tuberkulosis paru mengandung kuman M. Tuberculosis dalam dahaknya. Menurut K. Toman, untuk menemukan 1 kuman pada rata-rata lapangan pandang pada pemeriksaan mikroskop diperlukan kuman sebanyak 10/ml dahak (Sembiring, 2005). Di Puskesmas Bendosari berbagai upaya juga telah ditempuh dalam menemukan penyak it TB, diantaranya penemuan kasus secara aktif atau pasif, dan penetapan target suspek perdesa. Dari penemuan tersebut suspek langsung dikirim ke Puskesmas untu k melakukan pemeriksaan dahak. Dari hasil pemeriksaan tersebut kita dapat menent ukan angka penemuan TB di wilayah tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat CDR (Case Detection Rate) pada kasus tuberkulosis di Puskesmas Bendosari tahun 2010. B.Rumusan Masalah Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya CDR (Case Detectio

n Rate) kasus tuberkulosis di Puskesmas Bendosari tahun 2010. C.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang memp engaruhi rendahnya CDR (Case Detection Rate) kasus tuberkulosis di Puskesmas Ben dosari tahun 2010. D.Manfaat Penelitian 1.Memberikan informasi mengenai angka penemuan kasus Tuberkulosis di Puskesmas B endosari pada tahun 2010. 2.Sebagai masukan dalam upaya untuk meningkatkan angka penemuan kasus Tuberkulos is di Puskesmas Bendosari. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1.Pengertian

Tuberkulosis adalah penyakit menular infeksi yang diseba bkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Arief et al, 2001). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DEPKES, 2007) . Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maup un saprofit. Ada beberapa mycobacterium patogen, tetapi hanya strain bovin dan m anusia yang patogenik terhadap manusia (Price en Wilson, 2006). 2.Patogenesis Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi tubu h dari serangan benda asing seperti kuman, virus dan jamur. Sistem tersebut terd iri atas berbagai macam sel dan molekul protein yang sanggup membedakan antara s elf antigen dan nonself antigen. Setelah sistem imun dibangkitkan terhadap suatu antigen asing, sistem tersebut akan mempunyai memory atau daya ingat dan akan m elakukan respons yang lebih spesifik serta lebih aktif jika antigen tersebut mas uk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya. Respons imun proteksi utama terhadap kuma n intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau imunitas seluler. Imunit as seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag terakti vasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Kuman yang masuk ke alveoli akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar. Secara imuno logis, sel makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag normal berperan pada pembangkitan daya tahan imunologis nonspesifik, di lengkapi dengan kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik terbatas. Makrofag in i berperanan pada daya tahan imunologis bawaan (innate resistance). Sedang makro fag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik ( acquired resistance) (Subagyo et al, 2006). Mycobacterium tuberculosis dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th (T helper) 1 melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II. Sel Th1 s elanjutnya akan mensekresi IFN yang akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat me nghancurkan kuman yang telah difagosit. Sitokin IFN- yang disekresi oleh Th1 tida k hanya berguna untuk meningkatkan kemampuan makrofag melisiskan kuman tetapi ju ga mempunyai efek penting lainnya yaitu merangsang sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh sel makrofag. Hal ini terjadi karena substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman yaitu lipoarabinomannan (LAM) yang dapat merangsang sel makrof ag memproduksi TNF- (Aditama, 2006). Tuberkulosis primer adalah tuberkulosis yang penularannya terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sek itar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelemba ban. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, partikel akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila uk uran partikel lebih dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neu trofil, baru kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel akan mati atau dibersih kan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia d

engan sekretnya (Amin, 2007). Lesi primer paru disebut focus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar g etah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. kompleks Ghon yang m engalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiografi rutin. Namun, kebanyakan infeksi tuberkulosis paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi (Price en Wilson, 2006). Tuberkulosis sekunder adalah tuberkulosis yang bersifat kronis pada oran g dewasa. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis se kunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, diabetes, AI DS, dan gagal ginjal (Amien, 2007). Sarang-sarang yang terlihat pada foto thorax biasanya berkedudukan di lapangan atas dan segmen apikal lobi bawah, walaupun k adang-kadang dapat juga terjadi di lapangan bawah yang biasanya disertai dengan pleuritis (Rasad, 2005). Sarang-sarang ini mulanya juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu, sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang di kelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang ini dapat men jadi sembuh tanpa meninggalkan cacat atau sembuh dengan serbukan jaringan fibros is. Ada yang membungkus menjadi keras menimbulkan kalsifikasi (perkapuran). Sara ng yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarn ya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan ke ju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas (Amien, 2007).

3.Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu defi nisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu: a.Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; b.Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BT A negatif; c.Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. d.Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah a.Menentukan paduan pengobatan yang sesuai b.Registrasi kasus secara benar c.Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif d.Analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus: a.Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. b.Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesim en dahak SPS hasilnya BTA positif. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostic sangat diperlu kan untuk: a.Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbu lnya resistensi, b.Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) c.Mengurangi efek samping. a.Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1)Tuberkulosis paru.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2)Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, sel aput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, ku lit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Par u: 1)Tuberkulosis paru BTA positif a)Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b)1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gam baran tuberkulosis. c)1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d)1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pe mberian antibiotika non OAT. 2)Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a)Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative b)Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c)Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d)Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan c.Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1)TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan p enyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto torak s memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2)TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilate ral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, p leuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d.Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa ti pe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk mel anjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini term

asuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setel ah selesai pengobatan ulangan. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, defa ult maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialis tik. 4.Upaya PenanggulanganTuberkulosis Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulan gan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-cou rse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis pal ing efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji c oba klinik (clinical trials), pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Pene rapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan ke pada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan denga n demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasie n merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan T B sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu inter vensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasa r sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit y ang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strat egi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1) Komitmen politis 2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. 5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap has il pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulan gan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi DOTS sebagai berikut : 1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan 4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat 6) Melaksanakan dan mengembangkan riset

5.Tatalaksana Pasien TB a.Penemuan Pasien Tb Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB me nular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, p enularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. 1)Strategi penemuan a)Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan te rsangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.

b)Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan p ada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperik sa dahaknya. c)Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif. 2)Gejala klinis pasien TB Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk da rah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise , berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bu lan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang y ang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersan gka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 3)Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan p engobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kal i. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pa gi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangu n tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pa gi. 4)Pemeriksaan Biakan Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang di gunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: a)Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis b)Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak. c)Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda. 5)Pemeriksaan Tes Resistensi Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksa nakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasion al, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah. b.Diagnosis Tb 1)Diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, y aitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). a)Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (B TA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopi s merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan u ji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. b)Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saj a. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. c)Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit . 2)Diagnosis TB ekstra paru a)Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Men

ingitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe su perfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada sp ondilitis TB dan lain-lainnya. b)Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditega kkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan ke mungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiolo gi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain. Alur Diagnosis TB paru ) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006

6. Pengobatan a. Tujuan Pengobatan Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resiste nsi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). b.Jenis dan dosis OAT 1)Isoniazid ( H ) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dala m beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB, sed angkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/ kg BB. 2)Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dap at dibunuh oleh isoniazid dosis 10 mg/kg BB diberikan untuk mengobatan harian ma upun intermiten 3 kali seminggu. 3)Pirazinamid ( Z ) Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. 4)Streptomisin ( S ) Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama pada penderita umur sampai 60 tahun dos isnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk umur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/h ari. 5)Etambutol ( E) Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB (DEPKES, 2002). c.Prinsip pengobatan OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dap at dibunuh. 1)Tahap intensif Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi lan gsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin . 2)Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namum dalam jan gka waktu yang lebih lama. d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di I ndonesia: 1)Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien :

Pasien baru BTA positif Pasien TB paru BTA negative foto thorax positif Pasien TB ekstra paru 2)Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya : Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paket sisip an adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberik an selama sebulan (28 hari) (DEPKES, 2007). Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indik asi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pad a OAT lapis kedua.

7. Komplikasi Penyakit tuberkulosis paru bilatidak ditangani dengan benar akan menimbulkan kom plikasi. Komplikasi dibagi sebagai berikut : a.Komplikasi dini Pleuritis, efusi plura, empiemadan laringitis. b.Komplikasi lanjut Obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, fibrosis paru, kor pulmonal, ami loidosis, karsinoma paru (Amien, 2007). 8. Prognosis Penderita TB Paru BTA positif yang tidak diobati akan mengalami kematian sebesar 50%, bila diobati secara massal angka kematiannya sebesar 12% dan jika diobati secara individual masih memberikan angka kematian sebesar 7,5% (Israr et al, 200 9). Pada penderita yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyul it pada organ paru dan organ lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita demikian banyak yang jatuh ke kor pulmonal. Bila terbentuk kaverneyang cukup be sar, kemungkinan batuk darah hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbul kan kematian, walaupun secara tidak langsung. B. Indikator Nasional Penanggulangan TB Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa in dikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu: Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate/ CDR) Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate /SR). Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional te rsebut di atas, yaitu: a.1.Angka Penjaringan Suspek a.2.Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya a.3.Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru a.4.Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien a.5.Angka Notifikasi Kasus (CNR) a.6.Angka Konversi a.7.Angka Kesembuhan a.8.Angka Kesalahan Laboratorium Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti: i.1.Sahih (valid) i.2.Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)

i.3.Dapat dipercaya (realiable) i.4.Dapat diukur (measureable) i.5.Dapat dicapai (achievable) Analisa dapat dilakukan dengan : 1.Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya perbeda an. 2.Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu. 1. Cara Menghitung dan Analisa Indikator a. Angka Penjaringan Suspek Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suat u wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya pe nemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungan nya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan) Rumus : Jumlah suspek yg diperiksaJumlah penduduk x 100% Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB.06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung. b.Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai di agnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Rumus: Jumlah pasien TB BTA positif yg ditemukanJumlah seluruh suspek TB yg diperiksa x 100% Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan di sebabkan : Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria su spek, atau Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ). Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan : Penjaringan terlalu ketat atau Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu). c.Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/dio bati Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tu berkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati . Rumus: Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh)Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe ) x 100% Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, i tu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

d. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien . Rumus : Jumlah pasien TB Anak (<15 thn) yg ditemukanJumlah seluruh pasien TB x 100% Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan agnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

TB tercatat yg tercatat dalam mendi besar dari

e. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR) Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dib anding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah terseb ut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Rumus: Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07Perkiraan jumlah p asien baru TB BTA Positif x 100% Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan an gka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minima l 70%. f. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat dia ntara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemua n kasus dari tahun ke tahun di wilaya```h tersebut. Rumus : Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07Jumlah penduduk x 100% Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurun nya penemuan pasien pada wilayah tersebut. g. Angka Konversi (Conversion Rate) Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indik ator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk menget ahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konversi Jumlah pasien baru TB paru BT A positif yg diobati x 100% Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bul an sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. h. Angka Kesembuhan (Cure Rate) Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BT A positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB p aru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan: 1.Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat. 2.Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua (second-line drugs). 3.Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien dengan HIV. Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif. Jumlah pasien baru TB BTA positif yg sembuhJumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati x 100% Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah seles ai pengobatan. Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan

TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap per lu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal , gagal, default, dan pindah. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasu s retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketida k-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menu runkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun. Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% un tuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar d ari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. i.Angka Keberhasilan Pengobatan Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BT A positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan leng kap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian an gka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap . Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1. Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan lengkap)Jumlah pasien b aru TB BTA positif yg diobati x 100% j. Angka Kesalahan Laboratorium Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality Assessmen t (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa yang akan datang akan diterapkan metod e LQAS di seluruh UPK. Metode LQAS Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh propinsi prop insi uji coba. Klasifikasi kesalahan Betul : Tidak ada kesalahan KH (Kesalahan Hitung) : Kesalahan kecil NPR (Negatif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil PPR (Positif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil NPT (Negatif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar PPT (Positif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa tidak me madainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaa n, ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen. Mengingat sistem penilai an yang berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru, petugas pemeriksa slide h arus mengikuti cara pembacaan dan pelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas lab oratorium mikroskopis TB. Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila : 1. Terdapat PPT atau NPT 2. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua UPK di k abupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam jumlah yang signifikan. 3. Bila terdapat 3 NPR Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai diketemukan penyebab kesalahan. Setiap UPK agar dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren h asil interpretasi setiap triwulan. Error Rate Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang me

nyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh labo ratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau la boratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung la boratorium pemeriksa pertama. Rumus : Jumlah sediaan yang dibaca salahJumlah seluruh sediaan yang diperiksa x 100% Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 5 %. Apabila error rate 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya 5% berarti mutu pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihi tung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/ kota. Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya melaksanakan cross check, disamping menganalisa error rate per PRM /PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara mi kroskopis langsung. C. CDR (Case Detection Rate) Angka penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate, CDR) adalah perse ntase jumlah kasus baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibagi dengan jum lah kasus baru TB yang diperkirakan pada suatu populasi di suatu wilayah. Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.03Perkiraan jumlah p asien baru TB BTA Positif x 100% Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasa rkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah p enduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasiona l minimal 70%.

BAB III HASIL DAN ANALISA PEMBAHASAN A.Gambaran Umum Kecamatan Bendosari 1.Keadaan Geografi Kecamatan Bendosari merupakan salah satu kecamatan di lingkungan Kabupaten Sukoh arjo dengan luas wilayah 4.479,417 km. Kecamatan Bendosari terdiri dari 14 desa/k elurahan serta 46 kebayanan. Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah di Kecamatan Bendosari dapat dilihat pada table berikut :

Jenis Penggunaan Tanah di Kecamatan Bendosari : JENIS TANAH LUAS TANAH (Ha) Tanah Sawah 2.581 Tanah Tegal 801 Pekarangan 1.525 Hutan Negara 0 Lain-lain 392 Dari data diatas terlihat bahwa penggunaan tanah untuk sawah paling luas yaitu 2.582 ha. 2.Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Bendosari adalah 67.315 jiwa dengan jumlah pen duduk terbesar adalah desa Jombor yaitu 8178 jiwa,sedangkan jumlah penduduk terk ecil desa Mojorejo 2494 jiwa. Jika dibanding dengan tahun 2008 (66.841 ) terjadi penambahan 474 jiwa. Jumlah rumah tangga (KK) di Kecamatan Bendosari tahun 2009 sebanyak 17.586 KK. D ilihat dari jumlah rumah tangga (KK) mengalami kenaikan sebanyak 1.242 KK Dari 16.344 KK tahun 2008 menjadi 1.586 KK tahun 2009.

3.Keadaan Sosial Ekonomi a. Mata pencarian penduduk Kecamatan Bendosari pada usia kerja yaitu : Mata pencarian Jumlah Petani 15.133 orang Buruh 15.665 orang TNI/POLRI 323 orang Pegawai Negeri Sipil 1.932 orang Lain-lain 9.576 orang b.Sarana perekonomian terdiri atas : Tempat perekonomian Jumlah Pasar umum 1 Pasar hewan 6 Bank 2 Lumbung desa 14 KUD 1 Koperasi simpan 1 Badan-badan kredit 1 Toko 47

Kios 195 4.Keadaan Pendidikan Jumlah penduduk laki-laki yang belum tamat SD sebanyak 2.738 jiwa dan telah tama t SLTP/MTs sebanyak 4.755 jiwa dan telah tamat SLTP/MTs sebanyak 4.395 jiwa. Unt uk pendidikan yang lain belum tersedia data. B.Gambaran Umum Puskesmas Bendosari 1.Visi Visi Puskesmas Bendosari adalah Kecamatan Bendosari Sehat 2015. 2.Misi Misi mencerminkan peran, fungsi dan kewenangan Puskesmas Bendosari yang secara t eknis bertanggungjawab terhadap pencapaian tujuan dan sasaran. Adapun misi Puske smas Bendosari yaitu : a.Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan. b.Mendorong kemandirian untuk hidup sehat. c.Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terj angkau. d.Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat besert a lingkungannya. 3.Motto Bersama masyarakat menuju Kecamatan Bendosari Sehat 2015. 4.Strategi Strategi pelaksanaan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan faktor-faktor ku nci keberhasilan sebagai berikut: 1.Komitmen semua pihak terkait yang meliputi kesamaan pemahaman tenmtang penting mya keshatan sesuai dengan prinsip paradigma sehat. 2.Meningkatnya citra positif pelayanan kesehatan diberbagai lapisan masyarakat. 3.Kelangsungan dan keselarasan pembangunan antara lintas program dan lintas sekt oral. 4.Ketersediaan pemerataan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang ber kualitas dan sesuai kebutuhan. 5.Kecukupan proporsi aplikasi pembiayaan kesehatan dan tersedianya pembiayaan ke sehatan bagi kelompok rentan/miskin serta pelayanan yang bersifat public good te rmasuk pembiayaan kejadian luar biasa dan penanggulangan bencana. C.Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis (P2TB) Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang masih sulit dit anggulangi karena sangat erat berkaitan dengan perilaku masyarakat dan kondisi l ingkungan sosial ekonomi, tujuan jangka panjang program pencegahan dan pemberant asan TB (P2TB) adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB tidak lagi merupaka n masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendeknya adal ah meningkatnya angka kesembuhan minimal 85% dari cakupan penemuan penderita seh ingga dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita paru BTA positif.

Tahun 2010 terdapat 255 kasus suspek TB dengan 9 kasus BTA positif, 18 kasus BT A negatif, telah diobati 27 kasus, 1 penderita dinyatakan sembuh dan 1 penderita dinyatakan meninggal. Data tersebut dapat digambarkan dalam grafik : Gambar 1. Diagram data penderita TB di Puskesmas Bendosari tahun 2010 Angka penemuan penderita/Case Detection Rate (CDR) untuk tahun 2010 di Puskesmas

Bendosari sebesar : Dari perhitungan diatas, didapatkan CDR di Puskesmas Bendosari pada tahun 2010 a dalah 12,85 %. Angka tersebut masih jauh dari target yang diharapkan yaitu 70%. Faktor penyebab rendahnya CDR : c.1.Man a.i.1.a.Beban kerja petugas yang masih tinggi, a.i.1.b.kurangnya koordinasi dengan pelayanan kesehatan swasta/kerjasama lintas program, a.i.1.c.kurangnya pengetahuan tentang TB dari semua petugas Puskesmas, a.i.1.d.kurang edukasi pada masyarakat tentang pengobatan TB. 2. Money dana sebenarnya udah mencukupi Kemitraan dan dukungan Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) kurang dalam pembi ayaan program pengendalian TB. 3. Material Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun telah diberikan mukolitik-ek spektoran (terutama pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan obat a nti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar) dan kualitas dahak yang diperiksa kura ng baik. 4. Methods a. Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB. b. Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam di seluruh In donesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk semua kota, kabupaten dan kecam atan. Untuk mengatasi masalah tersebut disarankan agar diterapkan penyesuaian (adjustm ent) estimasi prevalensi kasus TB yang digunakan sebagai target CDR di tingkat k ota, kabupaten, maupun kecamatan. Sebagai contoh, banyak analisis menunjukkan, t ingkat pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, kondisi lingkungan pemukiman, da n infeksi HIV/AIDS di suatu wilayah merupakan faktor risiko TB. Karena itu estim asi kasus TB dapat disesuaikan menurut variabel-variabel tersebut. Dengan angka korelasi (penyesuaian) tersebut maka provinsi/ kota/ kabupaten/ kecamatan yang p enduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, kepadatan penduduk lebih re ndah, lingkungan pemukiman lebih bersih, dan insidensi infeksi HIV/ AIDS, memili ki estimasi prevalensi kasus TB yang lebih rendah daripada provinsi/ kota/ kabup aten/ kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih rendah, kepad atan penduduk lebih tinggi, lingkungan pemukiman lebih buruk, dan insidensi infe ksi HIV/ AIDS lebih tinggi. Dengan metode itu dapat dihindari overestimasi dan u nderestimasi tentang prevalensi kasus TB di suatu populasi. Selain itu, untuk mengatasi rendahnya tingkat CDR Tuberkulosis khususnya di Pusk esmas Bendosari, maka dapat dilakukan beberapa langkah diantaranya : (1) meningk atkan keaktifan bagi petugas dalam mencari penderita, (2) meningkatkan koordina si dengan pelayanan kesehatan swasta, (3) melakukan bimbingan teknis medis seca ra rutin tentang TB kepada semua petugas pelayanan, (4) memberikan penyuluhan ke pada penderita dan keluarganya tentang resiko penyakit TB, (5) upaya menggerakka n partisipasi masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus TB.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Angka penemuan kasus/Case Detection Rate (CDR) di Puskesmas Bendosari pa da tahun 2010 adalah 12,85% dan angka tersebut jauh lebih rendah dari target yan g diharapkan yaitu 70%. c.2.Faktor penyebab rendahnya CDR : (1) beban kerja petugas masih tinggi, (2) ku rangnya koordinasi dengan pelayanan kesehatan swasta/kerjasama lintas program, ( 3) kurangnya pengetahuan tentang TB dari semua petugas Puskesmas, (4) kurang edu kasi pada masyarakat tentang pengobatan TB. B.Saran 1.Memberikan tambahan pengetahuan secara berkala kepada petugas Puskesmas tentan g program TB dan penyuluhan kepada masyarakat tentang Tuberkulosis. 2.Menambah petugas yang menangani permasalahan Tuberkulosis di Puskesmas Bendosa ri. 3.Kerjasama yang kokoh antar lintas program antara Puskesmas, Rumah Sakit, dokt er Spesialis Paru serta warga masyarakat untuk mewujudkan tercapainya keberhasil an peningkatan angka penemuan kasus Tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA Aditama, TY., 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal Tube rkulosis Indonesia volume 3 p.4 Alsagaff, Hood., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press pp. 73, 77 Amien, Zulkifli., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakar ta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI pp. 989, 990-3 DEPKES, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi pertama Cetakan ke 8 p. 12 DEPKES, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua Cetakan 1 pp. 4, 14 Herryanto et al, 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di Kabupat en Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan, 1;1-6 http://www.ekologi.litbang.depkes.go. id/data/vol%203/ Herryanto_1.pdf PDPI, 2006. Tuberkulosis Pedomen Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jak arta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia p. 20 Price, SA en Wilson, LMC ., 2006.Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi Konsep Klin isProses-ProsesPenyakit, bagian 1, edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EG C pp. 852-3 Rasad, Sjahriar., 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit FKUI p. 1 32 Sembiring, Hilaluddin., 2005. Hubungan Pemeriksaan Dahak Dengan Kelainan Radiolog is Pada Penderita TBC Paru Dewasa. http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-hila

luddin.pdf Subagyo et al, 2004. Pemeriksaan Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi Infeksi Tuberkulosis dalam Jurnal Tuberkulosis Indonesia volume 3 pp. 6, 7 Syafrizal, 2008., Pengelolaan Penanganan Pengobatan Tuberkulosis di RS. DR M Djam il Padang

You might also like