You are on page 1of 5

Chapter 10 Mobilitas Sosial dan Keluarga (Social Mobility and The Family) Review Buku The Family Robert

O. Blood, Jr New York: The Free Press Nama NIM Mata Kuliah Dosen Pengampu : Nindita Farah Sasmaya : 117120100111002 : Sosiologi Keluarga : Dr. Ir. Yayuk Yuliati, MS.

Mobilitas social dapat diartikan sebagai suatu pergerakan lapisan social dalam suatu masyarakat. Mobilitas social yang bersifat vertical bisa berpindah ke atas atau dapat diartikan strata social bergerak keatas, atau bisa juga mengalami penurunan yakni dari strata yang dahulunya berada di lapisan atas menjadi berpindah ke strata bawah. Dalam berbagai kasus, kebanyakan mobilitas vertical dari bawah ke atas sering terjadi karena pendidikan semakin maju, standard an kualitas hidup meningkat, serta semakin sedikitnya jumlah anak yang dimilik oleh pasangan suami isteri. Berbeda dengan mobilitas social yang vertical meningkat, maka mobilitas social yang menurun diakibatkan oleh kehilangan salah satu anggota keluarga yang bertugas sebagai pencari nafkah (breadwinner). Sebab-sebab lainnya yang berperan dalam penurunan mobilitas social adalah kebangkrutan usaha keluarga, sakit yang diderita oleh salah satu anggota keluarga atau bahkan pencari nafkah itu sendiri, kehilangan pekerjaan yang dialami oleh sang pencari nafkah, serta kehilangan material lainnya. Secara umum, maka sering dijumpai para keluarga yang mengalami mobilitas social akan berpindah ke tempat lain yang lebih menjanjikan untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Salah satu hal yang harus diupayakan dalam suatu keluarga untuk mobilitas social vertical ke atas adalah sikap untuk mau merubah keadaan keluarga menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini bisa ditempuh melalui meningkatkan pendidikan, mencari pekerjaan yang lebih layak, mencari penghasilan tambahan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, jika suatu keluarga berkeinginan untuk maju, maka mereka harus meneliti kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh keluarga tersebut dan mencari jalan keluar guna meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Mobilitas sosial juga ada yang bersifat horizontal, di mana hal ini sering dijumpai pada keluarga yang pencari nafkah utamanya dipindahkan ke tempat lain misalnya, atau menempuh pendidikan di tempat lain. Dengan demikian, tidak ada perpindahan strata ke tempat yang lebih tinggi lapisan strata sosialnya, namun adanya pengalaman baru dengan berpindah ke tempat lain. Semua bentuk mobilitas sosial selalu mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk mencari kesuksesan dan mengejar kualitas hidup yang lebih baik. Tekanan Eksternal Dalam masyarakat yang utopis, maka terdapat suatu ide bahwa seorang individu harus mau mengorbankan kepentingannya guna mencapai kesejahteraan masyarakat secara umum. Kepentingan masyarakat sangat beraneka ragam, dan terkadang hal ini 1

dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Jika individu lebih mengutamakan kepentingan dan pendapat masyarakat luas, maka bisa dipastikan ia akan menunda kepentingankepentingan dirinya sendiri, misalnya melakukan pernikahan atau mempunyai anak. Menunda Berkeluarga Dalam kasus secara umum, maka mobilitas sosial merupakan pekerjaan maskulin. Hal ini disebabkan karena peran laki-laki sebagai pencari nafkah, di mana terkadang peran perempuan diabaikan, serta dianggap hanya sebatas pengikut suami guna mencapai strata sosial tertentu. Pada banyak kasus, maka sering dijumpai laki-laki yang berasal dari strata sosial yang lebih rendah, maka ia akan belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh guna mencapai strata sosial yang lebih tinggi. Hal seperti inilah yang terkadang menyebabkan se-seorang menunda perkawinan. Penundaan Aktivitas Seksual Studi Kinsey (1948) menyebutkan bahwa banyak remaja laki-laki yang berasal dari strata sosial yang lebih rendah melakukan hubungan seksual pada usia dini bila dibanding-kan dengan remaja laki-laki yang berasal dari strata sosial yang lebih tinggi. Hal ini disebab-kan karena pada umumnya remaja laki-laki yang berasal dari strata sosial yang lebih tinggi tersevut banyak yang menempuh pendidikan formal lebih lama, sehingga keinginan mereka untuk melakukan aktivitas sosial terabaikan. Penundaan aktivitas seksual juga terjadi pada remaja laki-laki yang mobilitasnya tinggi. Sebagai contoh, pelajar yang belajar di tempat yang jauh dari daerah asalnya, mereka menyalurkan hasrat seksual mereka dengan cara masturbasi. Penundaan Pernikahan Jika remaja laki-laki yang mobilitasnya tinggi yang membuat ia memutuskan untuk menunda aktivitas seksualnya, maka besar kemungkinan remaja laki-laki tersebut akan menunda pernikahannya. Mereka yang kemuddian sukses dan sibuk bekerja, maka ide untuk pernikahan terkadang terabaikan. Banyak kasus yang sering dijumpai, bahwa mereka yang sibuk mengejar karir banyak yang tidak menikah karena ia terlalu fokus dalam peker-jaannya. Studi yang dilakukan oleh Heers (1961) mencatat bahwa para remaja migran yang berpindah ke Amerika banyak yang belum menikah sebelum menginjak usia 24 tahun, di mana pada saat itu pernikahan rata-rata dilakukan pada usia 17-22 tahun. Satu hal yang mendasari mengapa seseorang menunda pernikahannya adalah karena sulitnya mencari partner yang potensial. Banyak ketakutan yang menghinggapi remaja laki-laki tersebut karena sulitnya untuk mencari penghidupan guna menghidupi anak isterinya. Akibatnya, muncul persepsi bahwa mereka baru akan menikah setelah kesuksesan tercapai. Heer menambahkan bahwa konsekuensi dari penundaan pernikahan akan menyebabkan pemilikan anak juga tertunda. Heer menyampaikan suatu gagasan bahwa sebenarnya pernikahan dan pemilikan anak bisa dipisahkan. Dalam ajaran Katolik disarankan bahwa sebaiknya remaja laki-laki menikah di usia yang relatif muda untuk menyalurkan hasrat seksual mereka, namun pemilikan anak bisa ditunda jika waktunya sudah memungkinkan. 2

Pembatasan Anggota Keluarga Studi yang dilakukan oleh Tien (1961) menyatakan bahwa remaja laki-laki yang mobilitasnya tinggi akan menunda pernikahan sampai sedikitnya 24 tahun. Setelah itu, mereka juga akan menunda memiliki anak sampai dengan suia 24 tahun. Data menunjuk-kan bahwa semakin sedikit anggota keluarga maka semakin mapan tingkat kehidupan ekonomi dalam keluarga tersebut. Dengan demikian, maka secara umum menunda pemilikan anak atau membatasi jumlah anak akan meningkatkan kemampuan bertahan suatu keluarga dengan kondisi finansial yang terbatas. Praktek untuk membatasi kelahiran ini kemudian diiakomodasi dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang sifatnya anjuran untuk membatasi jumlah anak. Konsekuensi dari kebijakan tersebut, muncul metode kontrasepsi yang aman, murah, serta bisa didapat di manapun individu tersebut berada. Perbedaan Mobilitas Ketika seorang individu memilih untuk melakukan mobilisasi dari daerah asal ke daerah baru yang sekiranya lebih menjanjikan untuk masa depannya, maka individu tersebut harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat ia berada. Adaptasi ini bisa berupa adaptasi secara fisik, misalnya adaptasi terhadap perubahan iklim yang ekstrem, perubahan konsumsi, serta perubahan non fisik, misalnya perubahan budaya, adat, bahasa, dan kebiasaan masyarakat setempat. Tak jarang, individu yang berpindah ini membawa keluarga terdekat mereka. Pada akhirnya, individu yang menetap ini bereproduksi terus me-nerus sampai beberapa generasi, dan menetap di daerah tujuan hingga membentuk suatu keluarga besar. Individu yang berpindah ini, seringkali juga menyambung suatu koneksi dengan daerah asalnya, misalnya jika ia telah sukses, maka ia akan mengajak kerabatnya yang lain untuk tinggal bersamanya di daerah tujuan. Akan tetapi banyak juga kasus yang terjadi, seorang individu berpindah ke daerah tujuan, menikah dengan penduduk lokal, dan tinggal di tempat tersebut tanpa ada koneksi dengan daerah asal. Pada akhirnya, kekerabatan antara individu tersebut dengan kerabatnya akan terputus. Paksaan dalam Ikatan Kekeluargaan Normalnya, ada beberapa anggota keluarga yang mempunyai sifat memaksa. Paksaan ini terkadang bersifat positif yakni dengan tujuan mendidik dan mendorong supaya terjadi kesuksesan, namun ada juga paksaan negatif, misalnya tidak menyukai salah satu anggota keluarga hingga sampai menyuruh untuk memutuskan ikatan kekerabatan. Paksaan dari Suami atau Isteri Kepribadian suami dan isteri menentukan perpindahan atau mobilitas strata sosial. Mc Guire (1952) menemukan bahwa pada kasus isteri yang ambisius, maka ia akan melaku-kan paksaan terhadap suaminya untuk berpindah guna mencari penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, meskipun merupakan kasus yang jarang, namun ditemui seorang isteri yang lebih sukses daripada suaminya ditekan untuk berpindah tempat guna mencari penghi-dupan yang lebih baik pula. Akan tetapi, kasus 3

pada suami lebih pada masalah harga diri suami tersebut, di mana ia merasa egonya sebagai laki-laki tertekan serta mengusulkan per-pindahan tempat pada isteri. Akibat dari paksaan ini terkadang bisa berujung pada percerai-an, jika perpindahan sebenarnyya tidak dikehendaki oleh individu tersebut. Kasus lain terjadi, yakni suami atau isteri yang diajak berpindah tidak mampu beradaptasi dengan dae-rah tujuan, sehingga terjadi ketidaknyamanan yang berujung pada perceraian. Paksaan Orangtua dan Anak Studi kasus yang dilakukan terhadap individu yang berpindah ke luar negeri menunjukkan bahwa anak-anak terkadang menghadapi tekanan baru karena perpindahan tersebut. Proses adaptasi dari daerah asal ke daerah yang baru terkadang tidak mudah dilalui oleh seorang anak dengan baik. Hal ini disebabkan karena orangtua merupakan figur penting yang dicontoh oleh anak. Ketika orangtua sering tidak hadir karena kesibukannya bekerja atau menempuh pendidikan dalam rangka memperbaiki taraf hidup, maka anak akan kehi-langan figur orangtua yang seharusnya mendampingi dirinya untuk tumbuh kembang ke-pribadian serta karakternya. Myers dan Robert (1959) meneliti klinik di New Haven. Mere-ka menemukan pasien-pasien yang terkena neurotik akut mempunyai latar belakang bukan asli sebagai penduduk daerah tersebut, namun mereka merupakan pendatang-pendatang dari daerah lain pada generasi terdahulu. Kasus ini menunjukkan bahwa dampak per-pindahan yang tidak sempurna akan berakibat pada kejiwaan anak, di mana tekanan pada anak akan lebih hebat bila dibandingkan dengan tekanan yang dihadapi oleh individu yang lebih dewasa. Tekanan dalam Kekerabatan Ketika seorang individu beranjak dewasa serta memutuskan untuk melakukan perpindahan ke tempat yang baru, maka pada saat itulah hubungan antara individu dengan orangtuanya akan berubah menjadi hubungan yang lebih kasual. Ikatan yang berdasarkan pada ikatan kekeluargaan akan berubah menjadi ikatan yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan (kin ties). Hubungan kekerabatan berarti hubungan yang terikat karena persaudaraan jauh, atau ikatan karena sama-sama perantau, atau persamaan nasib. Kekerabatan bisa berarti hubungan yang disebabkan karena tempat tinggal yang sama serta tujuan hidup yang sama pula. Tekanan dalam Ikatan Orangtua-Anak Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rossi (1965) menunjukkan bahwa ketika seo-rang anak melakukan perpindahan, maka kontak antara anak dan orangtuanya akan mulai renggang. Anak yang berpindah tersebut akan mulai merasa asing ketika ia datang berkunjung ke daerah asalnya, karena ia mulai merasa bahwa ia bukanlah bagian dari tempat itu lagi. Kontak antara seorang ibu dengan anak perempuannya akan renggang, namun kontak antara seorang ayah dan anak laki-lakinya terkadang bisa sangat jarang. Wilmott dan Young (1960) mengatakan bahwa di dalam dunia laki-laki, maka ada kecende-rungan penghakiman atas siapa yang lebih unggul. Ketika seorang anak laki-laki merasa bahwa dirinya belum sukses, maka kontak yang dijalin dengan ayahnya akan sangat jarang karena ego-nya sebagai laki-laki akan tersakiti, karena anak laki-laki tersebut merasa belum berhasil menyaingi ayah, dengan kata lain ia merasa belum bisa membuat orangtuanya bangga. 4

Berbeda dengan hubungan antara ayah dengan anak laki-laki, maka hubungan antara ibu dengan anak perempuan sedikit berbeda. Keduanya dianggap bukanlah suatu sosok utama dalam kehidupan keluarga, namun keduanya banyak berperan pada bidang-bidang domestik. Banyak ibu yang sebenarnya bersedih ketika anak perempuannya meninggalkan dirinya karena merasa kehilangan teman. Townsend (1957) dalam penelitiannya di Inggris mengatakan bahwa terkadang seorang ibu merasa kecewa ketika menjumpai anak perempuan yang datang kepadanya berubah menjadi sosok baru. Anak perempuan akan berubah menjadi sosok asing, dimana anak perempuan tersebut akan bercerita tentang sesuatu yang asing pula. Padahal, dalam pikiran ibu anak perempuan tersebut adalah anak perempuan yang dahulu telah dibesarkannya. Hubungan anak laki-laki dengan ibunya sedikit berbeda. Seorang ibu akan lebih dekat dengan anak laki-lakinya ketika ayah telah meninggal. Hal ini disebabkan karena ada perasaan dan konstruksi sosial yang selalu membandingkan kesuksesan antara ayah dengan anak laki-lakinya, sehingga ketika ayah meninggal maka anak laki-laki akan kemba-li kepada ibunya untuk menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Tekanan antara Saudara Hubungan antar saudara dalam kehidupan perantauan adalah hubungan persauda-raan yang unik. Dikatakan unik karena hubungan ini bisa saling mendukung, namun juga ada semacam kecemburuan atau persaingan antara saudara yang terlebih dahulu berpindah dengan saudara yang belum berpindah. Kecenderungan di antara keduanya memang sangat bergantung pada karakter individu dan pola asuh dari orang tua. Banyak kasus di mana seorang individu mengajak saudaranya untuk berpindah atau merantau, diakibatkan karena orangtua menceritakan kesuksesan yang dialami oleh anak tersebut kepada anak lainnya. Townsend (1957) mengatakan, bahwa hasil penelitian di Inggris timur menunjukkan bahwa kedua anak yang merantau tersebut ketika berada di daerah tujuan, akan cenderung menghindari satu sama lain. Anak yang belum sukses, akan menghindari saudaranya yang telah sukses. Akan tetapi, sikap persaingan dan kecemburuan ini tidak terlalu kentara dan terlihat ketika kedua anak ini mengunjungi orangtua mereka di daerah asalnya. Jenis kelamin juga mempengaruhi sikap kecemburuan ini. Peran laki-laki sebagai pencari nafkah sangat berkai-tan dengan konsep kesuksesan. Akibatnya kecenderungan untuk bersaing nampak lebih jelas terlihat pada dua anak laki-laki bersaudara yang merantau, bila dibandingkan dengan dua anak perempuan yang merantau. Pada anak perempuan yang merantau, maka peran suami masing-masing menjadi penentu kesuksesan mereka, meskipun kecemburuan dan persaingan sangat berbeda jauh dengan persaingan yang dialami oleh anak laki-laki. Anak perempuan yang suaminya lebih sukses akan membantu secara finansial terhadap saudara-nya yang kurang sukses. Akan tetapi jika tingakatan finansial di antara keduanya hampir sama, maka justru akan timbul gagasan untuk saling mendukung satu sama lain.

You might also like