You are on page 1of 7

@hanzsinelir | 0611544024 mencoba membaca dan mengaitkan pemikiran @ashadisiregar dengan #diskomvis matakuliah #seminar dkv isi yogyakarta

2010

ashadisiregar Gencar kritik thd TVkomersial belum menggugah pengembangan TVpublik.TVpublik masih dlm tarikmenarik komersial atau rezim negara. 23 Nov Demikian yang terpampang pada laman akun twitter Ashadi Siregar. Di bawah nama yang tercantum pada profilnya tertulis Lecturer on journalism. Ia memang dikenal sebagai dosen di Fisipol UGM. Ashadi Siregar, lahir di Pematang Siantar, 3 Juli 1945 dan setelah menamatkan pendidikan dasar hingga SMA di Kalimantan ia menempuh studi dan lulus dari Jurusan Publisistit Fakultas Sospol UGM pada tahun 1970. Bagi kebanyakan orang, nama Ashadi Siregar dikenal dari kesuksesan novel yang ditulisnya yang juga diangkat ke layar lebar yaitu Trilogi Cintaku di Kampus Biru yang muncul pada akhir era 70-an. Sebagai novelis ia sekurangnya telah menulis 12 judul. Selain dikenal sebagai seorang pengajar dan novelis, Ashadi Siregar juga sampai saat ini masih aktif sebagai seorang jurnalis. Kiprahnya dalam bidang ini dimulai dari keterlibatan langsungnya sebagai pemimpin redaksi koran mingguan Sendi yang hanya terbit sebanyak 13 edisi karena diberedel pemerintah. Ashadi Siregar dikenal sebagai tokoh yang cukup tajam menyampaikan kritik terhadap realitas yang terjadi di negara Indonesia.

Sedikit mengenai pemikiran ASHADI SIREGAR Dalam buku Etika Komunikasi yang ditulisnya, Ashadi Siregar nampaknya mencoba mengajak masyarakat untuk menumbuhkan kritisisme dan rasionalitas dalam menhadapi realitas sosial yang terpampang dalam media masa, terutama media jurnalisme yang selalu berkaitan dengan fakta-fakta. Ia memberikan kritik terhadap ketidaksesuaian antara apa yang ditampilkan dalam jurnalisme dengan fakta yang sebenarnya. Dalam beberapa opininya, hal tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kekuatan kepentingan pemerintah dan adanya kepentingan komersial. Ashadi Siregar banyak memberikan dukungan terhadap media massa yang mendapat banyak tekanan dari pemerintah terjadi pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto melalui contohnya Departemen Penerangan yang hobi membredel media yang tidak sesuai dengan kepentingan negara. Banyak hal yang oleh Ashadi Sirehar dikatakan patut diwaspadai oleh para jurnalis dan ilmuwan. Mitos keamanan, kesejahteraan, kebenaran kekuasaan menyebabkan para jurnalis dan ilmuwan harus berhati-hati dalam mengungkapkan kenyataan. Ia mengharapkan media massa yang ada di Indonesia benar-benar mewartakan kebenaran. Bukan sekadar main aman untuk mencari keuntungan komersial. Dengan paparannya yang demikian tentang etika dalam komunikasi, khususnya jurnalisme, awalnya saya duga pemikiran Ashadi Siregar sekadar bersifat normatif dan moralis. Melalui ungkapannya dalam twitter yang saya temukan baru-baru ini, terjawab sudah pertanyaan saya. Ashadi Siregar tetap konsisten mempertahankan kebenaran. Media massa termasuk TV komersial yang sempat banyak didukungnya dalam melawan hegemoni pemerintah dalam pemberitaan kini balik menerima kritik akibat menjadi nyaman menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan komersial dan negara.

Kebenaran dalam iklan ; jujur, faktual. Bagaimana dengan disiplin ilmu kita? Adakah kaitannya dengan perjuangannya menegakkan kebenaran dalam media komunikasi jurnalistik? Dalam salah satu opininya tentang iklan yang sering bersinggungan dengan kerja komunikasi visual, yang terjadi tak jauh berbeda dengan media jurnalistik. Ia beranggapan jika iklan itu seharusnya jujur, berdasar pada fakta. Modal persuasi yang digunakan iklan untuk meyakinkan pemirsanya tentu tak dapat diepaskan dari fakta. Bahkan persuasi yang bermodal fakta seharusnya sangat efektif. Sehingga dalam proses pembuatan iklan, data dan fakta produk akan diminta sejelas-jelasnya. Sayangnya dalam proses persaingan yang keras melawan produkproduk yang seragam, seringkali fakta ditinggalkan. Iklan lebih sering dianggap memberikan informasi yang tidak benar, melebih-lebihkan, bahkan membangun mitos baru bagi calon konsumennya. Pada produk-produk komersil, sudah ada lembaga sensor yang bertanggung jawab untuk mengatasi hal tersebut, terutama yang berkaitan dengan produk

kesehatan. Iklan rokok misalnya, tidak boleh menampakkan produk rokok secara eksplisit. Begitu juga dengan produk obat yang memiliki aturan ketat dalam menyampaikan informasi dalam iklan. Permasalahan muncul pada produk-produk konsumsi yang lain, rata-rata yang dijual bukan lagi fakta produk, namun efek yang seolah-olah diciptakan oleh produk tersebut. Iklan banyak dianggap menciptakan mitos, kecantikan dan gaya hidup menjadi contoh ditemui sekarang. Sejalan dengan iklan komersial yang bebas menciptakan citra-citra yang kurang sesuai fakta, kecenderungan iklan politik yang tayang di Indonesia pun demikian. Sayang sekali dalam iklan politik tidak ditemukan lembaga sensor, padahal boleh jadi materi yang ditawarkan dan mitos yang diciptakan lebih berbahaya efeknya bagi masyarakat.

DKV vs. Fakta Bagaimana dengan produk DKV yang lain? Bisakah konsistensi kebenaran faktual dapat dipertahankan? Lebih-lebih dalam DKV yang berinduk dalam seni rupa, estetika dipandang lebih diperhatikan. Seringkali ditemui, ukuran baik-buruk dalam karya DKV juga lebih ditentukan oleh indah-tidaknya. Sering saya dengar, Ah, apike dingenekke wae lah! dalam proses pembuatan karya DKV. Menjadi pertanyaan, apakah yang kita lakukan dalam proses perancangan benar-benar berdasar pada kebenaran atau tidak. Apakah apik yang kadang didasari oleh dorongan emosional dapat berpegang pada kebenaran yang faktual? Kembali pada hakikat DKV, merancang, menyelesaikan masalah, memberi solusi. Bagaimana kita dapat melakukannya tanpa berpedoman pada fakta-fakta yang benar? Akankah kita hanya akan seolah menyelesaikan satu masalah melaui kerja kita, dan memunculkan permasalahan baru? Dengan kemampuan DKV yang dianggap mampu membangun kebenaran dan kenyataan semu, maka seharusnya DKV sama hebatnya dalam menampakkan kebenaran faktual. Tetapi, berdasarkan diskusi yang dilakukan di kelas seminar, 5 Januari 2011, nampaknya kebenaran yang berdasar pada fakta tidaklah menarik.

Sehingga menampakkan kebenaran dengan apa adanya bisa jadi malah membuat barang yang didesain tidak mendapat perhatian dari audiensnya. Nah, tetapi apakah layak, jika semua kawan-kawan DKV tidak peduli samasekali dengan kebenaran informasi yang mereka sampaikan melalui simbolsimbol dan membiarkan proses penyaringan benar-salah atau etis-tidak dilakukan sendirian oleh konsumen?

Mencoba Memberi Batasan Kebenaran Jadi bagaimana kemudian DKV dan praktisinya harus berbuat jika ingin meneladan Intergritas Ashadi Siregar dalam menjalankan profesinya? Sementara sampai sejauh ini, belum banyak ditemukan wacana etika dalam ranah DKV. Tawaran yang muncul, tentunya memberikan batasan-batasan dalam proses desain. Desainer DKV, dalam proses kerjanya menjadi pertemuan antara dua kepentingan besar; Klien dengan kepentingannya untuk dapat mempersuasi audiens agar melakukan aksi yang diharapkan melalui pesan yang disampaikan dan Audiens dengan hak-haknya untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai sebuah pesan. Sementara ini, formulasi ETIS yang bisa saya sampaikan bagi kawan-kawan DKV adalah selama karya yang dibuat mampu menempatkan posisi kedua pemilik kepentingan di atas secara seimbang. Analogi yang diberikan oleh Mas Bethardy, bahwa DKV membantu masyarakat merasakan fakta melalui kontruksi komunikasi visual dalam merasakan manisnya madu dan gula sangatlah menarik untuk menggambarkan batasan etis tentang bagaimana DKV boleh memoles tanpa lepas dari kebenaran fakta. Rasa manis yang berbeda secara empiris antara gula dan madu tentu akan mempengaruhi bagaimana menampilkannya dalam konteks DKV. Nah, kebanyakan produk yang berkaitan dengan kedua rasa manis ini pun sejauh yang sama temui juga menampilkan komunikasi visual yang berbeda. Ada semacam konstruksi pengetahuan umum dalam masyarakat yang digunakan dalam menyampaikan masing-masing rasa manis, aspek-aspek visual seperti bentuk dan warna, serta darimana kedua rasa manis ini berasal. Pencitraan madu, dalam eksplorasi sekreatif apapun dalam iklan atau desain kemasan tidak banyak mengingkari kehadiran lebah, warna keemasan, dan bentuk hexagonal. Begitu pula

pencitraan gula, hampir selalu ada tebu, warna putih kemilau kristal, dan tak jarang, semut. Penyampaian DKV yang demikian saya rasa masih relevan dengan pemikiran Ashadi Siregar, yang masih menganggap eksplorasi kreatif dalam sebuah iklan sebagai hal yang wajar. Asosiasi dan analogi masih boleh ditampilkan, selama itu masih relevan dengan kebenaran. Kalau boleh saya simpulkan, misalnya, dalam menyampaikan manisnya madu dalam konteks DKV, ekplorasi kreatif apapaun diijinkan asal sesuai dengan kebenaran informasi yang disampaikan (Misalnya menampilkan madu sesuai pengetahuan umum dalam masyarakat, atau jika ingin menampilkan hal baru, setidaknya dilakukan riset yang matang. Batasan kesesesuaian pesan dengan kebenaran, misalnya muncul dengan kesadaran tidak menampilkan semut dalam pencitraan madu karena semut bisa mati jika kena madu) dan ukuran etis yang berlaku dalam masyarakat. Bagaimana dengan yang terjadi dalam iklan politik? Kalau untuk yang satu ini, sementara filternya musti dalam diri desainer dan audiensnya sendiri. Menyampaikan pesan politik lewat iklan itu terutama yang terjadi di Indonesia, sebagai sebuah joke saya katakan Ngapusi Kuadrat.

Etika tidak melulu mengenai baik buruk, tetapi lebih merupakan kesadaran Tidak perlu malu dikatakan sebagai antek-antek kapitalis, karena mau tidak mau DKV (dalam kerangkan komunikasi pemasaran) memang lahir bersamaan dengan industrialisasi yang merupakan cikal bakal kapitalisme. Meski di sisi yang lain DKV juga lahir di jaman propaganda perang, yang kemudian gaya visual dan semangatnya kerap lebih disukai kawan-kawan mahasiswa. Kalau berdasar pada konsep etika utilitarianisme J.S. Mill yang memang menjadi dasar dari sistem Kapitalisme, maka tidak ada yang salah dalamcara DKV menyampaikan pesan. Selama dianggap berguna bagi kepentingan pemasaran dan bagi kepentingan konsumen untuk memperoleh informasi, penyampaian yang tidak faktual juga boleh dikategorikan benar. Jauh berbeda jika dilihat dari kacamata deontologi yang sangat idealis itu.

Akhirnya jawaban mengenai penerapan kebenaran faktual, kejujuran, dan integritas yang ditawarkan Ashadi Siregar dalam kehidupan DKV saya kembalikan kepada masing-masing individu yang terlibat di dalamnya. Klien, produsen, desainer, audiens, konsumen, pasti memiliki batasan-batasan moral tertentu dalam mealakukan aktivitasnya. Sekadar catatan untuk para desainer, yang selama ini banyak mengabdi kepada kepentingan klien dengan alasan manut sing mbayar!. Mengutip Djito Kasilo dalam Komunikasi Cinta, bahwa sebenarnya yang menanggung biaya iklan, desain, packaging, dan pekerjaan lainnya adalah konsumen sendiri. Mungkin lebih dari separuh dari apa yang mereka bayarkan untuk membeli sebuah produk adalah jatah yang nantinya akan diberikan juga ke desainer. Nah, kepada mereka lah seharusnya DKV mengabdi. Sekian yang bisa saya sampaikan, di tengah kebingungan dan keterbatasan bahasan ini, saya ucapkan terimakasih kepada Pak Ashadi Siregar.

You might also like