You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta ( mycobacterium leprae ) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Depkes RI ).

I.1 Latar Belakang


Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk. Kurang adanya pengetahuan tentang penyakit kusta mengakibatkan pederita kusta malu untuk berobat dan menarik diri dari komunitasnya.

II.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan dibagi atas dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. A. Tujuan umum Untuk memenuhi tugas perdana dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 01. B. Tujuan Khusus Memastikan diagnosis penyakit kusta. Dapat memahami dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen. Penyuluhan kesehatan untuk menekankan pada pemberian informasi tentang telah tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada penderita yang berobat teratur, serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial. Mengubah penatalaksanaan penderita penyakit kusta dan kehidupan penderita kusta dari pengucilan sosial.

Mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakkit atau mencegah kelainan akibat penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya komplikasi dari penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin.

BAB II PEMBAHASAN
II.1 DEFINISI
Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. Leprae). Dapat menyerang kulit, mukosa (mulut),saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endhothelial, mata, otot tulang dan testis.

II.2 ETIOLOGI
M. (leprae) merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf pereifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran pernapasan atas, hati, sum sum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membeladiri M.leprae 12 21 hari sedangakan masa tunas 40 hari 40 tahun.

II.3 EPIDEMIOLOGI
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian ahli cara penulannya adalah melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan didugajuga air susu ibu. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehinggatidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan, sosial ekonomi dan iklim. Sumber penularan adalah kusta utuh yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat. Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri, dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% manifestasi klinik menjadi determinate dan 70% menjadi sembuh.

II.4 PATOGENESIS
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh terhadap masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem immunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem immunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa.

Teori yang paling banyak digunakan adalah penularan melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama, namun berbagai penelitian mutakhir mengarah pada droplet infection yaiut penularan melalui selaput lendir pada saluran napas. M. leprae tidak dapat bergerak sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit, sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori kulit. Oleh karena itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel pada kulit kita, tidak dapat menembus kulit jika

tidak ada luka pada kulit.

II.5 MANIFESTASI KLINIK


Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut : 1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul. 2. BTA Positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila raguragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain. Ada tiga tanda kardinal : a) Lesi kulit yang anastesi b) Penebalan saraf perifer c) Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif) Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi lim kelompok bedasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik. Menurut Ridley dan Jopling :

Tipe Tuberkoloid ( TT ) :

Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )


Hampir sama dengan tipe tuberkoloid Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

Tipe Mid Borderline ( BB )


Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.

Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

Tipe Borderline Lepromatus ( BL ) Secara Klinis lesi dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus

melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi. Tipe Lepromatosa ( LL )

Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Distribusi lesi khas : Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah. Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif Cuping telinga menebal Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.

Lebih lanjut Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Lebih lanjut

Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Stadium lanjut Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

II.6 Tempat predileksi


Predileksi lesi kulit Bagian tubuh yang relatif lebih dingin misalnya muka, Hidung (mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka. Predileksi kerusakan saraf tepi M. leprae lebih sering menyerang saraf tepi yang terletak superfisial yang suhunya relatif dingin. Saraf tepi diserang dengan berbagai kelainannya yaitu : a) Nervus auricularis maknus b) Nervus ulnaris : anastesi dan paresis / paralysis otot tangan jari V dan sebagian jari IV c) Nervus peroneus komunis : kaki simper ( drop foot ) d) Nervus medianus : anastesi dan paresis paralysis otot tangan jari I, II, III dan sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari tangan kiting (claw finger), tangan cakar (claw hand) e) Nervus radialis : tangan lunglai (drop wrist) f) Nervus tibialis posterior : mati rasa telapak kaki, jari kaki kiting (claw toes)

g) Nervus facialis : lagoftalmus, mulut mencong h) Nervus trigeminus :anastesi kornea Gambaran klinis organ lain :

Mata Tulang rawan

: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan : epistaksis, hidung pelana

Tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis Lidah Larings Testis Kelenjar limfe Rambut : ulkus, nodus : suara parau : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi : limfadenitis : alopesia, madarosis

injal

: glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis,nefritis interstitial

II.7 PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS


Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah:

a) Cuping telinga kiri/kanan. b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a) Tidak menyenangkan pasien. b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain. c) Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus

kulit negatif. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta. b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta. c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat. d) Semua pasien MB setiap satu tahun sekali. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clumps seperti ditunjukkan pada gambar 3: Indeks Bakteri (IB) Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalarn sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut: 0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang +1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang +2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang +3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

II.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalamjaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut: Tipe PB Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: 1. 2. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tipe MB Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. b) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. c) DDS 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. Dosis untuk anak :

h 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu DDS Rifampisin Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan. Putus Obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila : 1 - 2 mg/kg berat badan : 10-15 mg/kg berat badan

tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Evaluasi Pengobatan Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut: Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta. Masa Pengamatan. Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif : a) Tipe PB selama 2 tahun. b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Hilang/Out of Control (OOC). Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien. Relaps (kambuh) Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT. Komplikasi Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KERAWATAN KLIEN DENGAN PENYAKIT KUSTA
A. Pengkajian
Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien datang dengan keluhan mati rasa pada daerah nodul. Umumnya ditemukan adanya bercak putih ; tidak nyeri dan tidak gatal. Riwayat penyakit sebelumnya. Klien mengatakan pernah kontak langsung dengan penderita kusta. Riwayat keluarga Ada anggota keluarga yang menderita kusta

1. Aktivitas / istirahat Gejala : Letih, lemah, kram otot, gangguan tidur. Tanda : Kelemahan 2. Integritas ego Gejala : Masalah tentang keluaga, pekerjaan, keuangan, kecacatan, masalah berhubungan dengan kondisi. Tanda : Ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah. 3. Sirkulasi Gejala : Kesemutan pada ekstremitas 4. Elimenasi Tanda : pengeluaran urine menurun / tidak ada 5. Makanan / caiaran Gejala : Penurunan berat badan / tidak ada finansial yang

Tanda : Perubahan warna kulit / kering 6. Neurensensori Gejala : Kesemutan, kram otot, gelisah Tanda : Perubahan orientasi, prilaku 7. Nyeri / Kenyamanan Gejala : Tidak terasa nyeri Tanda : Prilaku berhati hati 8. Keamanan Gejala : Adanya reaksi infeksi, penurunan rentang gerak.

B. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan reaksi inflamasi. 2. Gangguan citra tubuh, berhubungan dengan perasaan malu terhadap penampakan dan persepsi diri. 3. Kurang pengetahuan terhadap proses penyakit dan penaganannya.

C. Intervensi
Diagnosa I. Meningkatkan integritas kulit Berikan he(proses penyakit kusta) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian terapi. Diagnosa II. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien Identifikasi stadium psiko-sosial tahap perkembangan Berikan kesempatan untuk pengumkapan, mengeksprisikan tentang perubahan citra tubuh.

Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan pasien Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri Membantu pasien kearah penerimaan diri Mendorong sosialisasi diri dengan orang lain Memberikan nasehat pada pasien mengenai cara- cara perawatan kulit Diagnosa III. Tentukan pasien apakah mengetahui tentang kondisi dirinya Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar Peragakan penerapan terapi yang diprogramkan Berikan nasehat kepada pasien tentang perwatan kulit Dorong pasien untuk mendapatkan status nutrisi yang sehat.

BAB IV PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung dalam waktu lama, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan saluran pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen.Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang di temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, tahan asam dan alkohol, serta dengan pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram positif (berwarna ungu). Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran tanda dan gejala yang dimiliki.

Diantara semuanya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. IV. Saran Setelah membaca dan membahas makalah ini mahasiswa sebagai calon perawat profesional dapat memahami dan mejalankan asuhan keperawatan pada pasien lepra. Prinsip yang penting di harapkan dapat diajarkan pada pasien perawatan diri sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah : pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat

DAFTAR PUSTAKA
Arini Krisnawati, S.Kep.Ns. Penyakit Kusta. Dalam : Asuhan Keperawatan Gangguan Integumen. 2009. Ternate, Politeknik Kesehatan : 78 65

You might also like