You are on page 1of 53

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan tejadi dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan penyebab kematian. Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-tanda dan gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun penyebab kematian sendiri. Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya gangguan pertukaran udara pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal dengan istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter, hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan traumatik mekanik. Pada berbagai kasus asfiksia, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda. Hal ini sangat tergantung dari penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami lebih lanjut tentang penyebab asfiksia tersebut. itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

ASFIKSIA

A. Definisi Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.

B. Etiologi Asfiksia Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut: a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya. c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

C. Fisiologi Asfiksia Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu: 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena: Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
2

Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. 3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia) Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya. 4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. Intraselular Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya. Metabolik Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

D. Jenis-jenis Asfiksia Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu: 1. Strangulasi a. Gantung (Hanging) b. Penjeratan (Strangulation by Ligature) c. Pencekikan (Manual Strangulation)
3

2. Sufokasi 3. Pembengkapan (Smothering) 4. Gagging dan chocking 5. Asfiksia traumatic 6. Asfiksia postural 7. Asfiksia seksual 8. Keracunan CO dan SN 9. Tenggelam (Drowning)

E. Patofisiologi Asfiksia Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu: 1. Primer (akibat langsung dari asfiksia) Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas. 2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada: Penutupan mulut dan hidung (pembekapan). Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia).

Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

F. Gejala Klinis Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu: 1. Fase Dispnea Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang. 2. Fase Kejang Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
5

3. Fase Apnea Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak. 4. Fase Akhir Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

G. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:

1. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

Tardieus spot 2. Kongesti dan Oedema

Bintik perdarahan pada jantung

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
7

(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). 3. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. 4. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

H. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia a. Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan: 1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. 2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. 3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. 5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. 6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

b. Pemeriksaan Dalam Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan: 1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian. 2. Busa halus di dalam saluran pernapasan. 3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. 4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala

sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah subglotis. 5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. 6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

II. GANTUNG (HANGING) A. Definisi Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah ta ersebut mengalami tekanan.

B. Klasifikasi Gantung 1. Berdasarkan Titik Gantung: a. Penggantungan tipikal Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri karotis paling besar. b. Penggantungan atipikal Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.

2. Berdasarkan Posisi Tubuh a. Penggantungan Lengkap Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki mengambang dari lantai b. Penggantungan Parsial Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang

10

tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.

C. Cara Kematian Pada Kasus Gantung: Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah: 1. Bunuh diri 2. Pembunuhan 3. Kecelakaan

D. Mekanisme Kematian Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah 1. Asfiksia Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian yang paling sering. 2. Apopleksia Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi 3. Iskemia Serebral Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. 4. Syok Vasovagal Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti jantung. 5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis. Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur atau dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena fraktur adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.

11

E. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung 1. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah a. Tanda Penjeratan Pada Leher Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan semakin jelas dan dalam Bentuk jeratan berjalan miring. Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan miring (oblique) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran (V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut : Alur jeratan pucat. Tepi alur jerat coklat kemerahan. Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.

Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan mengkilat.

12

Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda

penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali.

b. Kedalaman Bekas Jeratan Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung. c. Tanda-tanda Asfiksia Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida. Tardieu spot pada Gantung diri. Tardieu spot diakibatkan pecahnya kapiler-kapiler pada kaki Source: Color Atlas of Forensic Pathology

13

d. Lebam Mayat Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal

Kasus Gantung Diri Lebam pada gantung diri terkonsentrasi pada daerah ekstemitas e. Sekresi Urin dan Feses Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.

2. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur. b. Tanda-tanda Asfiksia Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi. c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
14

e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru. f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid. g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.

F. Aspek Medikolegal Perbedaan 1. Usia Penggantungan Bunuh Diri Penggantungan Pembunuhan

Lebih sering terjadi pada remaja Tidak mengenal batasan usia dan dewasa

2.

Jejas Jerat

Bentuk miring berupa lingkaran Lingkaran terputus

tidak

terputus,

mendatar, letak di tengah leher

3.

Simpul Tali

Biasanya satu simpul pada bagian Simpul tali lebih dari satu dan samping leher. Simpul biasanya terikat kuat simpul hidup

4.

Riwayat Korban

Korban

mempunyai

riwayat Korban tidak mempunyai riwayat upaya bunuh diri yang Terdapat luka-luka yang

bunuh diri dengan cara lain Tidak terdapat luka

5.

Cedera

menyebabkan kematian dan tidak mengarah ke pembunuhan terdapat tanda-tanda perlawanan Dapat ditemukan racun dalam 6. Racun lambung korban, seperti arsen, Dapat terdapat racun berupa

sublimat, korosif. Rasa nyeri opium, kalium sianida. Racun ini mendorong korban melakukan tidak menyebabkan efek kemauan gantung diri 7. Tangan Tidak dalam keadaan terikat bunuh diri Tangan terikat mengarah k kasus pembunuhan 8. Kemudahan Tempat ditemukan 9. Tempat kejadian kejadian mudah Korban biasa digantung di tempat yang sulit ditemukan sebaliknya dari ditemukan luar maka

Jika tempat kejadian merupakan Bila tempat yang tertutup, atau terkunci

didapatkan ruangan dengan pintu penggantungan biasanya kasus terkunci makan dugaan bunih diri pembunuhan

15

adalah kuat 10. Lingkar tali Jika lingkar tali dapat keluar Jika lingkar tali tidak dapat keluar melewati kepala, maka dicurigain melewati kepala, maka dicurigai bunuh diri peristiwa pembunuhan

G. Perbedaan Penggantungan Antemortem dengan Postmortem No 1. Penggantungan Antemortem Penggantungan Postmortem

Tanda jejas jerat berupa lingkaran Tanda jejas jerat biasanya berbentuk utuh terputus (non continous) dan letaknya (continous), agak sirkuler dan letaknya pada pada leher bagian atas bagian leher tidak begitu tinggi

2.

Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali lebih dari satu biasanya lebih pada sisi leher dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakan pada bagian depan leher

3.

Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis sisi dari jejas penjeratan.

pada

salah

satu

sisi

jejas

penjeratan tidak ada atau tidak jelas.

4.

Lebam mayat tampak diatas jejas jerat Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh dan pada tungkai bawah yang menggantung sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal

5.

Pada kulit ditempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak teraba seperti kertas perkamen yaitu jelas tanda parchmentisasi

6.

Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dll Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga, sangat jelas terlihat terutama jika dll, tergantung dari penyebab kematian

kematian karena asfiksia 7. Wajah membengkak dan mata Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,

mengalami kongesti dan agak menonjol, dll, tergantung dari penyebab kematian disertai dengan gambaran pembuluh darah vena yang jelas pada bagian kening dan dahi 8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus sekali 9. pencekikan

Ereksi penis disertai dengan keluarnya Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.

16

cairan korban

sperma pria.

sering Sering

terjadi

pada Pengeluaran feses juga tidak ada

ditemukan

keluarnya feses 10. Air liur ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pada mulut, dengan arah yang vertikal kasus selain kasus penggantungan

menuju dada.

III. PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE) A. Definisi Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan. Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan thyroid.

B. Mekanisme kematian Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu : 1. Asfiksia Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian yang paling sering. 2. Iskemia Serebral Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. 3. Syok Vasovagal Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti jantung.

17

C. Cara kematian pada kasus jerat Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah: 1. Pembunuhan (paling sering). Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman dahulu). 2. Kecelakaan Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau. 3. Bunuh diri. Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut

D. Gambaran Post Mortem Penjeratan 1. Pemeriksaan Luar Jenazah a. Tanda Penjeratan Pada Leher - Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan semakin jelas dan dalam - Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha membuka jeratan tersebut. - Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan mengkilat - Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga. Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali.

18

b. Tanda-tanda Asfiksia Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. c. Lebam Mayat Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati. 2. Pemeriksaan Dalam Jenazah Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan : a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur. b. Tanda-tanda Asfiksia Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah, Terdapat buih halus di mulut Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi. c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan. d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru. e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.

19

E. Aspek Medikolegal Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat Kasus Gantung (bunuh diri) Simpul Simpul hidup Simpul dapat Kasus Jerat (pembunuhan) Simpul mati dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui

melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat) kuat) Jumlah lilitan penjerat Arah Jarak simpul titik Bisa lebih dari 1 lilitan Serong ke atas tumpu- Jauh Berbentuk terputus) Lokasi jejas Jejas jerat Luka perlawanan Luka lain-lain Lebih tinggi Meninggi ke arah simpul Biasanya ada, Lebih rendah Mendatar + mungkin Ada, sering di daerah leher v Biasanya 1 buah lilitan Mendatar/horizontal Dekat (lingkaran Berbentuk lingkaran penuh

terdapat luka percobaan lain Karakteristik simpul Jejas simpul jarang terlihat Simpul hidup Simpul dapat Terlihat jejas simpul Simpul dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui

20

melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat) kuat)

Lebam mayat Lokasi Kondisi Pakaian Ruangan

Pada bagian bawah tubuh Tersembunyi Teratur Rapi dan baik Terkunci dari dalam

Tergantung posisi tubuh korban Bervariasi Tidak teratur Tidak teratur, robek Tidak teratur, terkunci dari luar

IV. PENCEKIKAN A. Definisi Pencekikan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan bawah, yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat.

B. Mekanisme Kematian 1. Asfiksia Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gejala asfiksia : a. Fase dyspnea : Frekuensi nadi meningkat
21

Frekuensi nafas meningkat Suhu tubuh meningkat Tanda sianosis

b. Fase konvulsi c. Fase apneu : Frekuensi nafas meningkat Kesadaran menurun Relaksasi sfingter

d. Fase akhir : Nafas berhenti. 2. Refleks vagal Reflek vagal menyebabkan kematian segera (immediate death), hal ini dikaitkan dengan terminologi sudden cardiac arrest. Reflek vagal dimungkinkan bila leher terkena trauma. Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna yang akan menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal ini jarang terjadi. Jika mekanisme kematian adalah asfiksia, maka ditemukan tanda-tanda asfiksia. Tetapi jika mekanisme kematian adalah refleks vagal, tidak didapatkan tanda-tanda asfiksia. 3. Cara Kematian Terdapat 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu pembunuhan dan kecelakaan yang biasanya mati karena vagal reflex. Selain itu, terdapat 3 cara melakukan pencekikan (manual strangulasi), yaitu : a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban. b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban. c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban. Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini disebut mugging.

C. Gambaran Post Mortem Pencekikan 1. Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis tidak

22

terganggu. Pemeriksaan luar dari otopsi kasus pencekikan (manual strangulasi), terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, antara lain : a. Tanda asfiksia Sianosis Lebam merah kebiruan gelap Lebam terbentuk lebih cepat Distribusi lebam lebih luas Darah sukar membeku. b. Tanda kekerasan pada leher Luka memar pada kulit di leher Bekas tekanan jari Bekas kuku Sidik jari Tangan yang digunakan Arah pencekikan c. Tanda kekerasan pada tempat lain yang dapat menunjukkan bahwa korban melakukan perlawanan.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah a. Perdarahan atau resapan darah pada otot-otot di leher tiroid, kelenjar ludah, serta mukosa dan submukosa faring atau laring.

Pencekikan Terdapat pendarahan pada lidah akibat pencekikan Source: Color Atlas of Forensic Pathology

b. Fraktur, yang paling sering ditemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea c. Memar atau robekan membrane hipotiroidea d. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging. Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa
23

& submukosa pharing atau laring. Fraktur yang paling sering kitatemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dantrakea e. Tanda Asfiksia : Darah lebih gelap & lebih encer Busa dalam saluran pernafasan Organ tubuh lebih berat, lebih gelap, pada pengirisan banyak keluar darah d. Petekie pada : mukosa usus halus epikardium daerah aurikuloventrikular subpleura viseralis paru terutama pars diafragmatika dan fisura interlobaris kulit kepala sebelah dalam terutama daerah temporal e. Edema paru

V. SUFOKASI Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.

24

VI. PEMBEKAPAN A. Definisi Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya. Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat berlangsung. Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.

B. Cara Kematian Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu : 1. Bunuh diri (suicide) Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita penyakit gangguan mental, orang tahanan, penggunaan obat-obatan psikotropik dan pengguna alkohol, yaitu Dengan membenamkan wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang menutupi hidung dan mulut.

25

2. Kecelakaan (accidental smothering) Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur berdampingan dengan orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya menindih si anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan dewasa muda bisa terjadi kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya. 3. Pembunuhan (homicidal smothering) Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras. Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada hidung dan mulut. Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan dengan menindih atau menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan burking.

C. Gambaran Post Mortem Pembekapan 1. Pemeriksaan Luar Jenazah a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan. b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan. c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat mengalami memar atau cedera. d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. Memar

atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang
26

yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada anak-anak oleh karena tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi dan rahang. e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang harus dilakukan sayatan untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban. f. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah a. Tetap cairnya darah Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin. Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena cepatnya proses kematian b. Kongesti (pembendungan yang sistemik) Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan banyak darah. c. Edema pulmonum Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. d. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages) Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru terutama di lobus

27

bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit

kepala sebelah dalam

terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis. 16 e. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.

D. Gambaran Mikroskopis Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan emboli. Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia.

VII.

TERSEDAK ( CHOKING DAN GAGGING )

A. Definisi Sumbatan saluran napas atas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara masuk ke paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring akibat benda solid atau semisolid biasanya merupakan makanan yang sering disebut sebagai caf coronary.

28

B. Mekanisme Kematian Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian. Bisa juga terjadi akibat spasme laring akibat benda yang bersifat iritatif.

C. Cara Kematian Kematian dapat terjadi sebagai akibat: 1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan benda asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit mental atau tahanan. 2. Pembunuhan ( homicodal choking ). Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya. 3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.

D. Gambaran Post Mortem Tersedak Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring atau laringofaring ) ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

VIII. TENGGELAM (Drowning) A. Definisi Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Istilah tenggelam harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa. Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut maka
29

peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di dalam wastafel atau ember berisi air. (buku UNDIP) Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam air, perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk kedalam air. Perlu diketahui bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi.

B. Jenis-Jenis Tenggelam Jenis-jenis tenggelam antara lain: (buku UI) 1. Wet drowning Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam. 2. Dry drowning Pada keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran pernapasan, akibat spasme laring. 3. Secondary drowning Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi. 4. Immersion syndrome Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

C. Sebab Kematian Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan diantaranya oleh: 1. Vagal Reflex Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena vagal reflex disebut tenggelam tipe I. Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post-mortem tidak ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drowning). 2. Spasme Laring Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut tenggelam tipe I.
30

3. Pengaruh air yang masuk paru-paru a. Tenggelam di air tawar Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai gangguan elektrolit. Pada keadaan ini terjadi absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat (hiperkalemi), terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dan dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5 menit. Pemeriksaan post mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paruparu. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II A.

b. Tenggelam di air asin Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia dan hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit. Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringgan intertisial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri lebih tinggi daripada janung kanan dan ditemukan buih serta bendabenda air. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam (lebih lambat dibandingkan dengan tenggelam tipe IIA).

31

D. Cara Kematian Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena: 1. Kecelakaan Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh ke laut, danau atau sungai. Pada anak-anak keclakaan sering terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan itu antara lain karena mabuk atau mendapat serangan epilepsi. 2. Bunuh diri Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi. Kadang-kadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar supaya tubuh dapat tenggelam. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membedakan tenggelam karena bunih diri dengan pembunuhan.

3. Pembunuhan Banyak cara yang digunakan, seperti misalnya melemparkan korban ke laut atau memasukan kepalanya ke dalam bak berisi air. Dari segi patologik saja sulit dapat membedakan apakah peristiwa tenggelam itu akibat pembunuhan atau bunuh diri. Pemeriksaan di tempat kejadian dapat membantu. Jika benar karena pembunuhan perlu diteliti apakah korban di tenggelamkan kedalam air ketika ia masih hidup atau sesudah dibunuh lebih dahulu dengan cara lain.

E. Pemeriksaan Post Mortem Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam keadaan membusuk. Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah: 1. Menentukan identitas korban Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain: o Pakaian dan benda-benda milik korban o Warna dan distribusi rambut dan identitas lain o Kelainana atau deformitas dan jaringan parut o Sidik jari o Pemeriksaan gigi o Teknik identifikasi lain
32

2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan : a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih hidup waktu tenggelam adalah pemeriksaan diatom b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan. c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai membusuk. Demikian juga dengan isi lambung dan usus. d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mepunyai nilai bermakna. e. Pada beberapa kasus ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air. 3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau kekerasan lain. 4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian misanya kekerasan, obatobatan, alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah jenazah. 5. Tempat korban pertama kali tenggelam Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran nafas, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam ditempat itu atau tempat lain. 6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk ke air, maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu cairan melalui saluran nafas bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke

33

hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan alkohol. Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti kematian terjadi seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk. Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan. Korban tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu 2-12 menit (fatal periode). Dalam periode ini bila orban dikeluarkan dari air, ada kemungkinan masih dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil. F. Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan bendabenda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam dalam air. b. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah. c. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang pendarahan atau perbendungan. Cutis anserina d. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama pada ekstremitas akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air. Gambaran kutis anserina kadangkala dapat juga akibat rigor mortis pada otot tersebut. e. Washer womans hand dimana telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu lama. f. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan Washer womans hand

memegang apa saja seperti rumput atau benda -benda lain dalam air.

34

g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan pada benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar waktu terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-benda atau binatang dalam air. Pemeriksaan Dalam Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran pernafasan. b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi pada kasus tenggelam di laut. c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum interalveolar. Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan merupakan tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha respirasi. e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah 9melalui proses imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar. f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga terdapat dalam usus halus.

G. Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan Diatom. Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat, alut, sungai, sumur.
35

Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom masuk ke dalam saluran nafas atau pencernaan, kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakkan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tesebar ke seluruh jaringan. Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran pencernaan terhadap makanan dan minuman. Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau pada sumsum tulang cukup ditemukan satu 2. Pemeriksaan Diatom dapat dilakukan dengan pemeriksaan destruksi pada paru dan pemeriksaan getah paru. 3. Pemeriksaan Darah Jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yng berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya. Perbedaan kadar elektrolit lebih rendah dari 10% dapat menyokong diagnosis. 4. Pemeriksaan mikroskopik jaringan 5. Pemeriksaan keracunan

H. Diagnosis Tenggelam Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukkan), maka diagnosis kematian akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui pemeriksaan yang teliti dari: - Pemeriksaan luar, - Pemeriksaan dalam, - Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan dan berat jenis serta kadar elektrolit darah. Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam dibuat berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang bila disokong oleh penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau sumsum tulang, maka diagnosis akan menjadi makin pasti.

36

IX.

ASFIKSIA TRAUMATIK Asfiksia traumatik adalah suatu keadaan dimana terdapatnya tekanan pada dada yang

mengakibatkan fiksasi mekanis dari dada yang menghambat pergerakan nafas sehingga udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat, misalnya tertimbun pasir, tanah longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh. Asfiksia traumatik juga dapat terjadi karena berdesak-desakan keluar dari suatu ruangan melalui pintu yang sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi kompresi pada dada dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir. Akibatnya gerakan pernapasan tidak mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Asfiksia traumatik tidak pernah terjadi pada kasus bunuh diri, dan paling sering terjadi pada kecelakaan. Asfiksia traumatik dapat juga terjadi pada kasus pembunuhan, sebagai contoh adalah kasus burking yang merupakan kombinasi pembekapan dan tekanan dari luar pada dada. Pada burking korban dibuat tidak berdaya, kemudian dilentangkan, diduduki atai berlutut di dada korban dengan satu tangan menutup lubang hidung dan mulut korban, tangan lain menekan rahang bawah korban ke arah atas. Korban cepat mati dengan cara ini dan meninggalkan tanda kekerasan yang minimal atau kadang tidak ada. Pada pemeriksaan post mortem akan terlihat adanya tanda-tanda umum asfiksia; seperti misalnya cyanosis, bintik-bintik perdarahan pada bagian atas dari tubuh, edema serta pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah atas akibat darah terdorong ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang menekan itu sangat berat maka besar kemunginan kematiannya bukan karena asfiksia, tetapi karena sebab lain; seperti misalnya perdarahan karena hancurnya organ dalam.

X.

ASFIKSIA POSTURAL Asfiksia postural adalah keadaan dimana bagian atas tubuh lebih rendah daripada

bagian lain yang menyebabkan terjadinya tekanan dari abdomen ke diafragma dan menghambat pergerakan nafas yang biasanya terjadi pada seseorang dengan penurunan kesadaran contohnya pada orang dibawah pengaruh alcohol atau obat psikotropika juga pada individu dengan gangguan neurologi.

37

XI. ASFIKSIA SEKSUAL Biasanya terjadi pada kasus deviasi seksual yang menggunakan cara gantung atau jerat untuk mendapatkan kepuasan, yang karena terlambat mengendurkan tali atau sukar melepaskan diri sesudah tercapai keadaan penurunan kesadaran. Korban biasanya laki-laki, pasca adolesens dan ditemukan tanda penyimpangan lain.

XII. KERACUNAN KARBON MONOKSIDA (CO) A. Karbono Monoksida (CO) Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh baik secara kimiawi dan faali yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu penyakit dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan mekanisme kerjanya dalam tubuh manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat, dan karbon
38

monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya arsen, asam karbol, dan garam Pb.2. Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna, tidak berbau yang dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan organik, baik dalam alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan. Ia terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen

B. Toksikokinetika Karbonmonoksida (CO) CO diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin secara reversible, membentuk karboksi-hemoglobin (COHb). Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P450. Afinitas CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen, tergantung pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 208-245 kali afinitas oksigen. CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan Hb dengan CO bersifat reversible dan setelah Hb dilepaskan oleh CO, sel darah merah tidak mengalami kerusakan. Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara lingkungan (ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial), lamanya pemaparan, dan ventilasi paru. Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang setengahnya dari kadar semula. Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan atau kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.

C. Farmakodinamika Karbon Monoksida (CO) Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom a3. dengan diikatnya Hb menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah berkurang kemampuan untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan menghambat
39

disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan.2 Untuk menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard. Rumusnya adalah sebagai berikut: Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi CO di udara (dalam ppm) Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan menentukan kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi toksisitas CO yaitu aktivitas fisik dan penyakit yang menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan seperti arteriosklerosis pembuluh dara otak dan jantung, emfisema paru, asma bronchial, TBC paru dan penyakit metabolik serta obatobatan yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat, contohnya alkohol, barbiturat dan morfin.

D. Tanda dan Gejala Keracunan Karbon Monoksida (CO) Tanda dan gejala keracunan CO bervariasi tergantung pada kadar COHb dalam darah. % Saturasi COHb Gejala Keracunan

10 10-20

Tidak ada Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan, pelebaran pembuluh darah subkutan, dispnu, gangguan koordinasi Gejalanya sakit kepala, berdenyut pada pelipis, emosional Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual dan muntah, dan kolaps Sama dengan yang tersebut diatas tetapi dengan kemungkinan besar untuk kolaps atau sinkop. Pernafasan dan nadi bertambah cepat, ataksia Sinkop, pernafasan dan nadi bertambah cepat, koma dengan kejang intermiten. Pernafasan cheyne stokes

20-30

30-40

40-50

50-60

40

60-70

Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernafasan, mungkin mati. Nadi lemah, pernafasan pernafasan dan mati lambat, gagal

70-80

E. Gambaran Post Mortem Keracunan Karbon Monoksida Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang ( cheery red colour ), yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Namun ternyata warna lebam mayat tersebut juga dapat ditemukan pada mayat yang didinginkan, korban keracunan sianida, dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga membentuk nitroksi-hemoglobin. Pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus, dapat ditemukan petekie. Ditemukan pula ensefalomalasia simetris pada globus palidus. Namun, kelainankelainan tersebut ternyata tidak patognomonik untuk keracunan CO. Sedangkan pada miokardium dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris ventrikel kiri, kadang-kadang juga terdapat pada otot ventrikel, terutama di subperikardial dan subendokardial. Pada pemeriksaan mikroskopik menunjukan gambaran sesuai dengan infark miokardium akut. Hipoksia atau defisiensi oksigen, merupakan penyebab cedera sel tersering dan terpenting, serta menyebabkan kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemia, yang merupakan terhentinya suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah arteri atau berkurangnya drainase vena. Defisiensi oksigen juga dapat disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak adekuat, salah satu contohnya adalah pada keracunan CO.

Kasus Luka bakar Kematian pada luka bakar yang diakibatkan keracunan karbon monoksida kulit berubah menjadi merah dibedakan dengan kulit yang menjadi merah akibat luka bakar langsung
41

XIII. KERACUNAN SIANIDA Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh Nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang kapal. A. Sumber Hidrogen sianida (asam sianida, HCN) merupakan cairan jernih yang bersifat asam, larut dalam air, alkohol dan eter; mempunyai titik didih 26,50C sehingga mudah menguap dalam suhu ruangan dan titik beku 140C. HCN mempunyai aroma khas amandel (bitter almonds, pach pit). HCN dipakai dalam sintesis kimia dan fumigasi gudang-gudang kapal untuk membunuh tikus. HCN dapat dibuat dengan jalan mereaksikan garam sianida dengan asam sehingga terbentuk HCN. Garam Sianida, NaCN dan KCN dipakai dalam proses pengerasan besi dan baja, dalam proses penyepuhan emas dan perak serta dalam fotografi. AgCN digunakan dalam pembuatan semir sepatu putih. K-Feroasianida digunakan dalam bidang fotografi, Acrylonitrile digunakan untuk sintesis karet. Ca-cyanimide untuk pupuk penyubur. Cyanogen (C2N2) dipakai dalam sintesis kimiawi. Sianida juga didapat dari biji tumbuhtumbuhan terutama biji-bijian dari genus prunus yang mengandung glikosida sianogenetik atau amigdalin; seperti singkong liar, umbi-umbian liar, temu lawak, chery liar, pulm, aprikot liar, jetberry bush, dll. B. Farmakokinetik Garam sianida cepat diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Cyanogen dan uap HCN diabsorbsi mealui pernapasan. HCN cair akan cepat diabsorbsi melalui kulit tetapi gas HCN lambat. Sedangkan nitrit organik (iminodipropilnitril, glikonitril, glikonitril, asetonitril) cepat diserap melalui kulit. Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi dan kulit. Setelah diabsorbsi, masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak dapat berikatan dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk methemoglobin akan terbentuk
42

sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa oleh darah. Selain itu sianida juga secara refleks merangsang pernapasan dengan bekerja pada ujung saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernapasan bertambah cepat dan menyebabkan gas racun yang di inhalasi makin banyak. Proses oksidasi dan reduksi terjadi sebagai berikut: Fe++sitokrom-oksidase + CN Fe+++sitokrom-oksidase

Fe+++sitokrom-oksidase-sianida Dengan demkian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan sehingga timbul anoksia jaringan (anoksia histotoksik). Hal ini merupakn keadaan paradoksal karena korban meninggal akibat hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen. Sianida teroksidasi dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Takaran toksis peroral untuk HCN adalah 60-90 mg sedangkan takaran toksik untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Kadar gas sianida dalam udara lingkungan dan lama inhalasi akan menentukan kecepatan timbul gejala keracunan dan kematian. Nilai TLV (Threshold Limit Value) adalah 11 mg per M3 untuk gas HCN, sedangkan TLV untuk debu sianida adalah 5 gr per M3. Kadang-kadang korban keracunan CN melebihi takaran mematikan (letal) tetapi tidak meninggal. Hal ini mungkin disebabkan oleh toleransi individual dengan daya detoksifikasi tubuh berlebihan, dengan mengubah CN menjadi sianat dan sulfosianat. Dapat pula disebabkan oleh keadaan an-asiditas asam lambung, sehingga menyebabkan garam CN yang ditelan tidak terurai menjadi HCN. Keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin. Tetapi
43

sekarang hal ini telah dibantah, karena cukup dengan air saja dalam lambung, garam CN sudah dapat terurai menjadi HCN. Kemungkinan lain adalah karena dalam penyimpanan sianida sudah berubah menjadi garam karbonat. Misalnya NaCN + udara Na2CO3 + NH3. C. Tanda dan gejala keracunan Pada keracunan akut racun ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian dapat timbul dalam beberapa menit. Dalam interval waktu yang pendek antara menelan racun sampai kematian, dapat ditemukan gejala-gejala dramatis, korban mengeluh terasa terbakar pada kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mualmuntah, sakit kepala, vertigo, fotofobi, tinitus, pusing dan kelelahan. Dapat pula ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi cepat dan lemah, pernapasan cepat dan kadang-kadang tidak teratur, pupil dilatasi dan refleks melambat, udara pernapasan dapat berbau amandel, juga muntahan tercium bau amandel. Menjelang kematian, sianosis lebih nyata dan timbul kedut otot-otot kemudian kejang-kejang dengan inkontinensi urin dan alvi. Racun yang di inhalasi menimbulkan palpitasi, kesukaran bernapas, mual, muntah, sakit kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi mulut dan kerongkongan, pusing dan kelemahan ekstremitas cepat timbul dan kemudian kolaps, kejang-kejang, koma dan meninggal. Pada keracunan kronik korban tampak pucat, berkeringat dingin, pusing, raa tidak enak dalam perut, mual dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak napas. Keracunan kronik CN dapat menyebabkan goiter dan hipotiroid, akibat terbentuk sulfosianat. D. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Pemeriksaan luar jenazah 1. Tercium bau amandel (patognomonik untuk keracunan CN) 2. Sianosis pada wajah dan bibir 3. Busa keluar dari mulut 4. Lebam mayat berwarna merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb/ CyanMet-Hb. Warna lebam mayat yang merah terang tidak selalu ditemukan pada kasus keracunan sianida, ditrmukan pula kasus kematian akibat sianida dengan wana lebam

44

mayat yang bewarna biru-kemerahan, livid. Hal ini tergantung pada keadaan dan derajat keracunannya.

Lebam mayat pada keracunan CO / CN Pemeriksaan dalam jenazah 1. Tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perut dan otak serta lambung (bila racun melalui mulut) 2. Darah, otot, dan penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang 3. Tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjasi antemortal atau postmortal. E. Pemeriksaan laboratorium a. Uji kertas saring Kertas saring dicelupkan kedalam larutan asam piknat jenuh, biarkan hingga menjadi lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk warna ungu. Kertas saring dicelup dalam larutan KCL, dikeringkan dan dipotong-potong kecil. Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka warna akan berubah menjadi merah teang karena terbentuk sianmethemoglobin.

45

b. Reaksi Schonbein-Pagenstecher Masukan 50 mg isi lambung/ jaringan kedalam tabung elenmeyer. Kertas saring dicelupkan kedalam larutan guajacol 10% dalam alkohol, keringkan. Lalu celupkan kedalam larutan 0,1% CusO4 dalam air dan kertas saring digantungkan diatas jaringan dalam botol . Botol tersebut dihangatkan. Bila reaksi positif, akan terbntuk warna biru-hijau pada kertas saring. Reaksi ini tidak spesifik.

46

BAB III KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian. Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning). Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda=tanda asfiksia akan lbih jelas. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi. Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang berhubungan dengan kekerasan.

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik, Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997. 2. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008. 3. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009. 4. Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik FK, 2008, Tersedia di:

http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengantoksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf., Diakses pada tanggal 16 April 2012. 5. Bionity Team. Asphyxia. 2009. Tersedia di:

http://www.bionity.com/en/encyclopedia/Asphyxia.html. Diakses Pada Tanggal 16 April 2012. 6. Jason PJ., Richard J., Steven BK., Jhon M. Simpsons forensik medicine 13th ed. Hodder stoughton, 2011:151-68 7. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology 4th ed. Elsevier, 2008:149-91

48

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

ASFIKSIA Disusun oleh: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama Taufan Favian Reyhan Ferdinand Umbu Pati Vincent Suryawinata Yuanita Sofia Kamsidi Nafila bt Abdul Rahman Aprianus Jamaludin NIM 11-2010-148 11-2010-210 11-2010-156 11-2010-062 11-2010-116 11-2010-250 11-2010-032

Preceptor: dr. Berlian Isnia F, SpF dr. Naomi Y KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RS. DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 09 APRIL 2012 s.d 05 MEI 2012
49

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Asfiksia. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program Profesi Kedokteran di bagian Forensik RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pada penulisan dan penyusunan referat ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Berlian Isnia F. Spf 2. dr. Naomi Y. Penulis sadar bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan referat ini. Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi Penulis sendiri.

April 2012

Penulis

50 i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN BAB II. TINJAUAN PUSTAKA I. ASFIKSIA A. Definisi B. Etiologi C. Fisiologi D. Jenis asfiksia E. Patofisiologi F. Gejala Klinis G. Tanda Kardinal H. Gambaran Umum Post Mortem II. GANTUNG A. Definisi B. Klasifikasi C. Cara Kematian pada Kasus Gantung D. Mekanisme kematian E. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung F. Aspek Medikolegal G. Perbedaan penggantungan Antemortem debgan Postmortem III. PENJERATAN A. Definisi B. Mekanisme Kematian

i ii 01 02

02 02 02 03 04 05 07 08

10 10 11 11 12 15 16

17 17
51

ii

C. Cara Kematian pada Kasus Jerart D. Gambaran Postmortem penjeratan E. Aspek Medikolegal IV. PENCEKIKAN A. Definisi B. Mekanisme Kematian C. Gambaran Post Mortem Pencekikan V. VI. SUFOKASI PEMBEKAPAN A. Definisi B. Cara Kematian C. Gambaran Post Mortem Pembekapan D. Gambaran Mikroskopis VII. TERSEDAK A. Definisi B. Mekanisme Kematian C. Cara Kematian D. Gambaran Post Mortem Tersedak VIII. TENGGELAM (DROWNING) A. Definisi B. Jenis-jenis Tenggelam C. Sebab Kematian D. Cara Kematian E. Pemeriksaan Post Mortem F. Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam G. Pemeriksaan Laboratorium

18 18 20

21 21 22 24

25 25 26 28

28 29 29 29

29 30 30 32 32 34 35
52 iii

H. Diagnosis IX. X. XI. XII. ASFIKSIA TRAUMATIK ASFIKSIA POSTURAL ASFIKSIA SEKSUAL KERACUNAN KARBONMONOKSIDA (CO) A. Karbon Monoksida (CO) B. Toksikokinetika Karbonmonoksida (CO) C. Farmakodinamika Karbonmonoksida (CO) D. Tanda dan Gejala Keracunan Karbonmonoksida E. Gambaran Post Mortem Keracunan Karbonmonoksida XIII. KERACUNAN SIANIDA A. Sumber B. Farmakokinetik C. Tanda dan Gejala Keracunan D. Pemeriksaan Kedokteran Forensik E. Pemeriksaan Laboratorium BAB III. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

36 37 37 38

38 39 39 40 41

42 42 44 44 45 47 48

53 iv

You might also like