You are on page 1of 24

GADAI

A. SEJARAH PEGADAIAN

Era Kolonial Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan Bank van Leening yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari

tangan Belanda (1811-1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari Pemerintah Daerah setempat ("liecentie stelsel"). Namun metode tersebut berdampak buruk pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu metode "liecentie stelsel" diganti menjadi "pacth stelsel" yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah. Pada saat Belanda berkuasa kembali, pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama. Pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan "cultuur stelsel" di mana dalam kajian tentang pegadaian saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan

perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian. Pada masa pendudukan Jepang gedung kantor pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di jalan Kramat Raya 162, Jakarta dijadikan tempat tawanan perang

dan kantor pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari. Era Kemerdekaan Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian memanas. Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini, Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan PemerintahNo.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), dan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.10/1990 (yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (Perum) hingga sekarang. Gadai debadakan menjadi 2 macam yaitu: 1. Gadai Konvensional, dan 2. Gadai Syariah (RAHN)

B. GADAI KONVENSIONAL

B.1. Pengertian Gadai Konvensional Arti gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang itu secara didahulukan dari pada orang berpiutang lainnya, kecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya penyelamatannya setelah barang itu digadaikan adalah biaya-biaya mana harus didahulukan.(berdasarkan pasal 1150-1160 KUHPer).

B.2. Dasar Hukum Gadai Dasar hukum pelaksanaan gadai dibagi menjadi dua yaitu: 1. Dasar Hukum Materiil, terdapat dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. 2. Dasar Hukum Formil, di Perum Pegadaian adalah: a. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. b. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Peralihan Bentuk Perusahaan Pegadaian. c. Keputusan Direksi Perum Pegadaian No. SM 2/I/29 Tanggal 27 Oktober 1990 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perum Pegadaian. d. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Jawatan Pegadaian menjadi Perusahaan Umum

B.3. Subyek dan Obyek Gadai

1. Subyek Hukum Gadai Subyek gadai adalah setiap manusia selaku pribadi (Natuurlijke Persoon) dan setiap badan hukum (Rechts Persoon). Di dalam perjanjian gadai, pada umumnya melibatkan beberapa pihak yaitu: a. Pemberi gadai/ Pandgever/ debitor yaitu pihak yang menggadaikan barangnya. b. Penerima gadai/ pandnemer/ kreditor/ pemegang gadai yaitu pihak yang menerima gadai. c. Berdasarkan pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, dimungkinkan adanya pihak ketiga yang mempunyai kedudukan tersendiri. Apabila pihak ketiga atas persetujuan pihak pemberi gadai dan pihak pemegang gadai memegang benda gadai maka disebut pihak ketiga pemegang gadai.

2. Obyek Hukum Gadai Benda yang dapat dijadikan jaminan gadai adalah benda-benda

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1152 ayat (2) dan Pasal 1153 KUH Perdata, yaitu: a. Benda bergerak yang berwujud, misalnya: emas, kendaraan bermotor, televisi, arloji dan lain-lain b. Benda bergerak yang tidak berwujud, yang berupa macam-macam tagihan, agar mendapatkan pembayaran sejumlah uang , dapat digunakan suratsurat piutang. Surat-surat piutang yang dimaksud terdiri dari: 1) Surat piutang atas nama (Vordering Op Naam), yaitu surat/ akta yang didalamnya nama kreditor disebut dengan jelas tanpa tambahan apaapa (Pasal 1153 KUH Perdata), contohnya: saham atas nama, deposito berjangka. 2) Surat piutang atas bawa/ kepada pembawa (Vordering Aan Toonder/ To Bearer), yaitu surat/akta yang didalamnya nama kreditor tidak disebut, atau disebut dengan jelas dalam akta namun dengan tambahan katakata atau pembawa (Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata), contohnya: cek, sertifikat deposito. 3) Surat piutang kepada pengganti/ atas tunjuk (Vordering Aan Order), yaitu surat/ akta yang didalamnya nama kreditor disebut dengan jelas dengan tambahan kata-kata atau pengganti (Pasal 1152 bis KUH Perdata), contohnya: wesel.

Sedangkan di dalam Perum Pegadaian, obyek gadai meliputi semua benda bergerak, kecuali: a. Barang-barang milik pemerintah (senjata api, senjata tajam, pakaian dinas, perlengkapan ABRI dan Pemerintah) b. Barang-barang yang mudah busuk (makanan dan minuman, obatobatan dan tembakau) c. Barang yang berbahaya dan mudah terbakar (korek api, petasan, bensin, tabung berisi gas) d. Barang yang sukar ditaksir nilainya (barang purbakala) e. Barang yang peredarannya dilarang (ganja, kokain, opium, heroin, senjata api, dan sebagainya)

f.

Barang yang tidak tetap harganya dan sukar ditetapkan taksirannya (lukisan dan buku)

g. Barang-barang lainnya (barang yang disewa-belikan, barang yang diperoleh melalui utang dan belum lunas, barang titipan sementara)

B.4. Sifat- Sifat Gadai

1. Sifat Umum Gadai a. Hak absolut Atas sesuatu hak kebendaan seseorang dapat mempunyai suatu kedudukan berkuasa (Bezit), hak milik (Eigendom), hak waris, hak pakai hasil, hak pengabdian tanah, hak gadai ataupun hipotik (Pasal 528 KUH Perdata) b. Droit de suite dan Hak menggugat Apabila barang gadai hilang dari tangan penerima gadai atau kecurian sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata, maka ia berhak menuntutnya kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata. Pasal ini mencerminkan adanya sifat droit de suite karena hak gadai akan terus mengikuti bendanya ditangan siapapun benda tersebut berada. Demikian juga di dalamnya terkandung suatu hak menggugat karena si penerima gadai berhak menuntut kembali barang yang hilang tersebut. c. Droit de preference Dalam Pasal 1130 jo Pasal 1150 KUH Perdata, gadai mempunyai sifat yang didahulukan artinya memberikan kekuasaan kepada seorang kreditor untuk mengembil pelunasan dari hasil penjualan barang secara didahulukan dari kreditor lainnya.

2. Sifat Khusus Gadai a. Accessoir Berlakunya hak gadai tergantung pada ada atau tidaknya perjanjian pokok atau utang piutang artinya jika perjanjian utang piutang sah maka perjanjian gadai sebagai perjanjian tambahan mengikuti perjanjian

pokoknya yaitu juga sah dan sebaliknya jika perjanjian utang piutang tidak sah maka perjanjian gadai juga tidak sah. b. Ondelbaar (tidak dapat dibagi-bagi) Berdasarkan Pasal 1160 KUH Perdata, barang gadai tidak dapat dibagibagi sekalipun utangnya diantara para ahli waris si berutang atau diantara para ahli waris si berpiutang. Dengan demikian, gadai ,meliputi seluruh bendanya sebagai satu kesatuan, artinya sebagian hak gadai tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian utang. c. Barang yang digadaikan merupakan jaminan bagi pembayaran kembali utang debitor kepada kreditor. d. Barang yang digadaikan dalam kekuasaan kreditor atau penerima gadai sebagai akibat adanya syarat inbezitstelling. Syarat yang dimaksud dapat disimpulkan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1150 dan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.

B.5. Hak dan Kewajiban Para pihak Gadai

1. Hak dan Kewajiban Penerima/ Pemegang Gadai (Kreditor) Hak Kreditor a. Pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan,yaitu apabila penberi gadai pada saat jatuh tempo atau pada waktuyang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaiorang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminantersebut diambil sebagai untuk melunasi hutang pemberi gadai dansisanya dikembalikan kepadanya. b. Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yangtelah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan c. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk manahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberigadai (hak retentie).

Kewajiban Kreditor a. Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnyaatau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya. b. Pemegang gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barangyang digadaikan untuk kepentingan sendiri. c. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepadapemberi dagai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.b.Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai

2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai (Debitor) Hak Debitor a. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya. b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian pemegang gadai. c. Pemberi gadai berhak untuk mandapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainya. d. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemeganggadai telah jelas menyalahgunakan barangnya. Kewajiban Debitor a. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang

telahditerimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telahditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai. b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau baranggadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberigadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai

B.6. Tata Cara Menggadaikan Terjadinya hak gadai tergantung pada benda yang digadaikan apakah tergolong benda bergerak yang berwujud atau benda bergerak yang tidak berwujud.

1. Benda Bergerak yang Berwujud Hak gadai dapat terjadi melalui dua tahap, yaitu: a. Tahap pertama Perjanjian antara para pihak yang berisi kesanggupan kreditor untuk meminjamkan sejumlah uang kepada debitor dan kesanggupan debitor untuk menyerahkan sejumlah / sebuah benda bergerak sebagai jaminan pelunasan utang (pand overeenkomst). Di sini perjanjian masih bersifat konsensual obligatoir oleh karena baru meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak. Undang-undang tidak mensyaratkan bentuk tertentu maka perjanjian dapat dilakukan secara tertulis artinya dengan akta otentik atau dibawah tangan dan dapat juga secara lisan. b. Tahap kedua Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) yaitu kreditor

menyerahkan sejumlah uang kepada debitor, sedangkan debitor sebagai pemberi gadai menyerahkan benda bergerak yang digadaikan kepada kreditor penerima gadai (syarat inbezitstelling). Penyerahan secara nyata ini mengisyaratkan bahwa secara yuridis gadai telah terjadi. Jika debitor tidak menyerahkan bendanya kepada kreditor maka berdasarkan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata gadai tersebut tidak sah. 2. Benda Bergerak Tidak Berwujud a. Gadai piutang kepada pembawa (vordering aan toonder/ to bearer), berikut adalah tahapannya: 1) Para pihak melakukan perjanjian gadai yang dapat dilakukan baik secara tertulis (otentik) maupun dibawah tangan atau secara lisan (Pasal 1151 KUH Perdata) 2) Mengacu pada ketentuan Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, hak gadai dilakukan dengan menyerahkan surat piutang atas bawa kepada pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui kedua belah

pihak (inbezitstelling). Surat piutang ini dibuat oleh debitor yang didalamnya menerangkan bahwa debitor mempunyai utang sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Pemegangnya ini berhak menagih kepada debitor sejumlah uang tersebut sambil

mengembalikan surat yang bersangkutan kepada debitor.

b. Gadai piutang atas tunjuk (vordering aan order), berikut adalah tahapannya: 1) Adanya perjanjian gadai yaitu persetujuan kehendak untuk

mengadakan hak gadai yang dinyatakan para pihak 2) Berdasarkan Pasal 1152 bis KUH Perdata, hak gadai terhadap piutang atas tunjuk dilakukan dengan endossement, kreditor

dimungkinkan melakukan hak-hak yang timbul dari surat piutang tersebut, sedangkan pemegang gadai berhak menagih menurut hukum sesuai dengan isi surat piutang itu.

c. Gadai piutang atas nama (vordering op naam), berikut adalah tahapannya: 1) Adanya perjanjian gadai antara pihak debitor dan kreditor yang bentuknya harus tertulis. Seperti halnya dalam perjanjian surat piutang lainnya, pada tahap ini perjanjian masih bersifat obligatoir dan konsensual. 2) Menurut Pasal 1153 KUH Perdata, hak gadai atas benda-benda bergerak yang tidak bertubuh, kecuali surat-surat tunjuk (aan order) dan surat-surat atas bawa , dilakukan dengan pemberitahuan terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Tentang pemberitahuan serta ijin oleh si pemberi gadai, dapat dimintakan suatu bukti tertulis.

B.7. Alat Bukti Dalam hal apabila barang gadai tersebut hilang atau nilai dari barang tersebut turun/merosot akibat kesalahan, kesengajaan, atau kelalaian dari pemegang gadai, makapemegang gadai harus bertanggungjawab atas hal itu. Hal ini berbeda jika kehilangan atau kemerosotan nilai barang tersebut

disebabkan karena faktor-faktor di luar kehendak pemegang gadai atau force majeur . Pasal 1157 ayat (1) KUHPer menyebutkan sebagai berikut:

Si berpiutang adalah bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Dari pasal tersebut, jelas bahwa pemegang gadai harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kemerosotan yang disebabkan karena ulahnya. Dalam pasal ini disebutkan..sekadar itutelah terjadi karena kelalaiannya, yang apabila kita strict terhadap pasal tersebut, maka pemegang gadai bertanggung jawab hanya jika lalai saja. Bagaimana kalau itu adalah karena kesengajaan, apakah pemegang gadai tetap bertanggung jawab? Tentu saja dia harus

bertanggungjawab. Pasal tersebut harus ditafsirkan lebih luas lagi dan tanggung jawab tersebuttermasuk dalam hal adanya kesengajaan atau penyalahgunaan oleh penerima gadai. Tentunya,pemberi gadai harus membuktikan kesalahan pemegang gadai dalam merawat barang gadai milik debitur. Oleh karena gadai timbul dari suatu perjanjian gadai, kesalahan pemegang gadai membuat dirinya tidak dapat memenuhi prestasi-prestasi yang ditentukan oleh perjanjian gadai. Dapat dikatakan bahwa pemegang gadai telah wanprestasi. Namun, wanprestasi atau lalai ini harus dinyatakan oleh pemberi gadai secara tertulis, sebagaimana diatur oleh Pasal 1238 KUHPer. Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus di anggap lalai dengan lewatnya waktu yang di tentukan. Dalam pasal 1238 KUHPer di atas, kata si berutang di atas jangan selalu ditafsirkan hanyasebagai pihak yang berhutang uang saja, namun pihak yang memiliki kewajiban yang harus dipenuhi kepada pihak lain dalam perikatan. Pemegang gadai dalam hal ini harus ditafsirkan sebagai si berutang karena dia memiliki kewajiban untuk merawat dan memelihara barang gadai tersebut. Disamping secara tertulis langsung oleh debitur pemberi gadai dalam menyatakan lalai,debitur pemberi gadai juga dapat menuntut di muka atas kelalaian atau wanprestasi pemeganggadai, dan membuktikan kelalaian tersebut di muka hakim. Apabila memang terbukti bahwa pemegang gadai telah wanprestasi, maka debitur dapat menuntut kembali barang gadainya atau nilai uang yang setara dengan barang gadainya. Terhadap pemegang gadai, dia

10

diwajibkan mengganti kerugian, biaya, dan bunga jikalau terbukti telah lalai dalam menjalankanprestasi perikatan atau perjanjian gadainya. Maksud dari ketentuan tersebut jelas bahwa apabila pemberi gadai merasa bahwa pemegang gadai telah lalai dalam melaksanaan kewajibannya dan akibat kelalaian tersebut pemberi gadai merasa dirugikan dan ingin mengklaim hak atau ganti rugi atas perbuatan pemegang gadai,maka pemberi gadai harus membuktikan adanya keadaan tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian adanya kesalahan atau kelalaian suatu pihak harus melalui alat-alat bukti di bawah ini berdasarkan Pasal 1866 KUHPer jo. 164 HIR: 1) Bukti surat. Bukti surat disini berdasarkan HIR terdiri dari surat biasa, akta otentik,dan akta di bawah tangan.Namun, bukti surat disini harus juga diartikan secara lebih luas dan dapat pula mencakup dokumen-dokumen penting dan tertulis sertatentunya perjanjian yang melandasi gadai tersebut. Dalam hal ini, si pemberi gadai berdasarkan bukti surat tersebut harus membuktikan bahwa pemegang gadai telah lalai dalam

menjalankan kewajibannya. 2) Bukti saksi. Apabila memang ada dan diperlukan, pemberi gadai mendatangkan saksi bagi dirinya untuk membuktikan kalau penerima gadai telah lalai, asalkansaksi tersebut bukanlah saksi yang dilarang diperdengarkan kesaksiannya berdasarkan Pasal 145 HIR. 3) Persangkaan-persangkaan. Bukti ini digunakan apabila sukar untuk memperoleh saksi yang melihat, mendengar, atau mengetahui peristiwa kelalaian pemegang gadai. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan tersebut haruslah memang penting, teliti, tertentu, danberhubungan satu sama lain. 4) Pengakuan. Alat bukti berupa pengakuan ini sangat penting, namun apakah seseorang yang bersalah rela untuk memberikan pengakuan bahwa dirinya telah lalai? Tentunya tergantung dari itikad pemegang gadai. Terlepas dari itu,pengakuan ini dapat diperoleh baik melalui sidang ataupun di luar sidang. Hakim yang memeriksa perkara ini harus

11

menganggap bahwa pengakuan yang dibuat pemegang gadai merupakan bukti yang cukup dan sempurna baik pengakuan tersebut diucapkan sendiri langsung atau kuasanya. Apabila pengakuan tersebut dilakukan di luar sidang, maka diserahkan kepada hakim untuk menilai kebenaran pengakuan tersebut. 5) Sumpah. Bukti ini cukup penting dalam Hukum Acara Perdata. Hakim maupun pemberi gadai selaku penggugat dapat meminta pemegang gadai untuk bersumpah dalam hal membuktikan lalai tidaknya si pemegang gadai.Sebenarnya sumpah merupakan alat bukti, namun keterangan pemegang gandai lah yang merupakan alat buktinya yang kemudian dikuatkan oleh sumpah.

Dalam praktek, masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan yaitu pengetahuan hakim. Yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah adalah hal atau keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim Dalam Sidang Berdasarkan pertimbangan alat bukti yang diajukan dalam persidangan, hakim dapat menentukan dan menetapkan sendiri perihal kebenaran dalam kasus yang bersangkutan. Oleh karena gadai timbul dari perjanjian, maka alat bukti utama dan yang paling dasar adalah perjanjian gadai itu sendiri dan apabila perlu perjanjian pokoknya. Disinilah dimuat apasaja kewajiban bagai para pihak khususnya pemegang gadai, prestasi-prestasinya, dan akibat-akibat hukumnya

B.8. Hapusnya Gadai Hak gadai hapus karena hal-hal sebagai berikut: 1. Karena hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai (Pasal 1381 KUH Perdata). Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari gadai, sehingga apabila perikatan pokoknya hapus maka hak gadai juga akan hapus. Perikatan pokok hapus karena pelunasa, kompensasi, novasi, dan penghapusan utang. 2. Karena musnahnya benda gadai

12

3. Karena percampuran yaitu hak milik dan hak gadai berada dalam satu tangan 4. Apabila barang gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai (Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata. Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan kalau berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah putus 5. Karena kreditor telah menyalahgunakan benda gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata. 6. Dengan dilepaskannya benda gadai secara sukarela.

B.9. Eksekusi Gadai Eksekusi gadai pada dasarnya bersifat sederhana. Dalam KUHPer, proses eksekusi yang sederhana ini disebut dengan parate executie Melalui parate executie, pemegang gadai dapat melaksanakan eksekusi atau penjualan barangbarang gadai tanpa perantaraan pengadilan, ataupun tanpa perlu minta bantuan juru sita. Pemegang gadai di sini dapat menjual atas kekuasaan sendiri atas objek gadai tersebut, apabila pemberi gadai atau debitur wanprestasi terhadap perikatan pokoknya. Hal ini telah diatur secara jelas dalam Pasal 1155 ayat 1 KUHPer. Pasal tersebut menyebutkan: Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercedera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serat atas syarat-syarat yang lazin berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya daripada penjualan tersebut.

Lebih lanjut dalam ayat 2 disebutkan bahwa: Jika barang gadainya terdiri atas barang-barang perdagangan atau efek-efek yang dapat diperdagangkan di pasar atau di bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.

13

Kekuasaan pemegang gadai dalam melaksanakan eksekusi gadai ini pada hakikatnya sama dengan halnya dia memiliki hartanya sendiri. Namun, eksekusi semacam ini tidaklah imperatif, namun dapat disimpangi oleh perjanjian para pihak. Seperti disebutkan oleh Pasal 1155 ayat 1, yaitu Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain..., di situ jelas bahwa parate executie dapat disimpangi dengan jenis eksekusi lainnya misalnya melalui lelang di muka umum. Adanya ketentuan penyimpangan jenis eksekusi ini sebenarnya bertujuan melindungi pemberi gadai, khususnya apabila barang yang digadaikan adalah barang-barang yang ditentukan oleh hasil penjualan. Berbeda dengan piutang atau tagihan atau unjuk atau atas nama, jumlah nominal dan tagihan telah tercantum dalam bukti kuitansi atau surat tagihan yang bersangkutan. Namun, untuk barang-barang yang nilainya ditentukan berdasarkan penjualan, jumlah nominal belum ditentukan sampai dengan pada saat penjualan atau lelang. Ketika proses penjualan tersebut, terbuka kemungkinan adanya permainan harga jual barang-barang gadai oleh pemegang gadai agar dapat menguntungkan dirinya, misalnya dengan membuat harga barang tersebut merosot walaupun harga barang tersebut sebenarnya sangat tinggi. Kemudian, di samping melalui parate executie, dalam pasal 1156 KUHPer juga mengenal eksekusi melalui titel eksekutorial yang dapat dimohonkan kepada hakim. Pemegang gadai atau kreditur dapat menuntut (baca: memohon) kepada hakim agar barang gadainya dapat dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim. Selain itu, pemegang gadai juga dapat memohon kepada hakim untuk memiliki barang gadai tersebut dengan harga yang ditentukan oleh hakim untuk kemudian diperhitungkan dengan utang pemberi gadai atau debitur. Apabila cara ini yang ditempuh oleh kreditur, maka kreditur wajib memberikan pemberitahuan hal ini kepada debitur. Pada prinsipnya sebagaimana dikemukakan di atas, mekanisme eksekusi gadai bersifat sederhana. Sifat yang sederhana ini bertujuan untuk melindungi pemegang gadai dalam hal ini kreditur agar dapat memperoleh pelunasan utang debitur jikalau debitur wanprestasi. Apabila mekanisme gugatan merupakan mekanisme yang harus ditempuh dalam mengeksekusi barang gadai ini, maka hal ini akan memperumit bahkan merugikan kreditur karena adanya biaya dan waktu yang harus dikeluarkan, terlebih lagi jika nilai barang gadai tersebut

14

ternyata lebih kecil dari biaya yang harus dikeluarkan dalam pengajuan gugatan. Namun, bukan berarti mekanisme eksekusi ini terus bertujuan kreditur. Debitur pun sebagai pemberi gadai patut dilindungi terutama oleh perbuatan atau penyalahgunaan pemegang gadai atas objek gadai dan nilai objek gadai yang dijual.

C. GADAI SYARIAH (RAHN)

C.1. Pengertian Gadai Syariah (RAHN) Pengertian gadai syariah dalam Hukum Islam adalah Rahn yang mempunyai arti menahan salah satu harta milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterima dari peminjam atau murtahin. Rahn terjadi karena adanya transaksi muamalah tidak secara tunai (hutang piutang). Dan apabila bermuamalah tidak secara tunai, hendaknya ditulis sebagai bukti agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari. Sayid Sabiq mendefinisikan rahn adalah : menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara sebagai jaminan utang yang memungkin untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Gadai syariah atau rahn pada mulanya merupakan salah satu produk yang ditawarkan oleh Bank Syariah. Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di Indonesia telah mengadakan kerjasama dengan Perum Pegadaian, dan melahirkan Unit Layanan Gadai Syariah (kini, Cabang Pegadaian Syariah) yang merupakan lembaga mandiri berdasarkan prinsip syariah. C.2. Dasar Hukum Gadai Syariah (RAHN) 1) Al-Quran : Ayat-ayat Al-Quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat tersebut adalah: Apabila kamu bermuamalah tidak secara tuni untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskan, yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan.

15

2) As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari). 3) Ijtihad : Berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist di atas menunjukkan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih dalam dengan melakukan Ijtihad. 4) Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang RAHN yang menetapkan Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan

C.3. Rukun dan Syarat Gadai Syariah 1. Rukun Gadai Syariah Terdapat beberapa rukun gadai syariah yang harus dipenuhi oleh pihak pegadaian, yaitu: 1) Ar-Rahin (pihak yang menggadaikan), yaitu: orang yang telah dewasa, berakal, bias dipercaya dan memiliki barang yang akan digadaikan 2) Al-Murtahin (pihak yang menerima gadai), yaitu: orang bank atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang gadai 3) Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan) adalah barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang 4) Al-Marhun bih (utang), adalah sejumlah sana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun 5) Sighat atau Ijab dan Qobul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin

16

2. Syarat Gadai 1) Rahin dan Murtahin, harus memenuhi syarat-syarat yang berakal, sehat dan kemampuan yang berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi gadai 2) Sighat, harus memenuhi dua unsure: a) Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu dimasa depan b) Rahn, mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu dimasa depan 3) Marhun bih (utang), harus memenuhi syarat: a) Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya b) Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah c) Harus dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak bias diukur maka rahn itu tidak sah 4) Marhun (barang), harus memenuhi syarat: a) Berupa harta yang bernilai dan dapat diperjual belikan b) Harus bisa dimanfaatkan c) Diketahui keadaan fisiknya, sehingga barang harus diterima secara langsung d) Dimiliki oleh rahin (pemberi gadai) setidaknya harus seijin pemiliknya

C.4. Hak dan Kewajiban para Pihak Gadai Syariah Menurut Abdul Aziz Dahlan,19 bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Murtahin (Kreditor) Hak Kreditor 1. Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang

17

berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin; 2. Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun; 3. Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie). Kewajiban Kreditor 1. Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya; 2. Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk

kepentingan sendiri; dan 3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.

2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah (Debitor) Hak Debitor 1. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih; 2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin; 3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya; 4. Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun. Kewajiban Kreditor 1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin; 2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.

18

C.5. Tata Cara Menggadaikan Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. 2. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai lipstick yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan.Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian.Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan: a. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan. b. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman. c. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.

19

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk : 1. melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan, 2. mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi, 3. atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

C.6. Alat Bukti Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Pada ayat 282 surat Al Baqarah , mengharuskan adanya penulis untuk menuliskannya. Namun, jika pun tidak ada penulis, yang harus digunakan adalah dengan cara gadai. Gadai ini merupakan barang yang diserahkan kepada pemberi utang, sebagai jaminan. Jika utang tidak bisa dibayar, maka barang tersebut menjadi milik pemberi utang. Dari penjelasan di atas, sebenarnya dapat ditarik satu garis, yaitu bahwa dalam utang-piutang harus ada alat bukti. Alat bukti ini yang akan menyatakan bahwa si A memiliki utang, dan si B memiliki piutang, dengan besar sekian, dibayar tanggal sekian. Maka alat bukti yang dimaksud oleh ayat 282 bisa dikatakan sebagai alat bukti pasif. Sedangkan alat bukti yang dimaksud ayat berikutnya bersifat aktif. Alat bukti saksi dan catatan (ayat 282) baru akan bisa berlaku (berfungsi) jika masuk pengadilan. Masing-masing pihak memiliki bukti tersebut untuk mengklaim hak mereka. Sedangkan, alat bukti gadai, tak perlu ada proses pengadilan. Seorang yang telah memegang barang sebagai jaminan atas utang

20

yang diberikan dapat langsung memiliki barang tersebut tatkala utangnya tidak dapat dibayar oleh yang diberi utang. Mengenai ayat 283, disebutkan bahwa jika kamu dalam

perjalanan,sedang kamu tidak memperoleh penulis digunakan gadai. Menurut Ibnu Katsir, zaman dahulu orang suka bepergian (safar), dan ketika safar, masih sulit ditemui toko yang menjual peralatan tulis, dan sebagainya, maka dipakailah cara gadai ini. Namun, untuk zaman sekarang, sangat kecil kemungkinan tidak ditemukan seorang yang bisa menulis, dan peralatan menulisnya. Sehingga, yang dimaksud penulis (tulisan) ini adalah yang tulisannya itu berkekuatan hukum, misalnya dengan adanya materai dalam surat perjanjian, dsb.

C.7. Hapusnya Gadai Menurut ketentuan syariat Islam bahwa apabila jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian untuk pembayaran utang telah terlewati maka si berutang atau rahin berkewajiban untuk membayar utang. Seandainya si berutang atau rahin tidak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengembalikan pinjaman hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai/murtahin untuk menjual barang gadai. Dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadairahin maka si penerima gadai murtahin dapat minta pertolongan hakim untuk memaksa si pemberi gadai/rahin untuk melunasi utangnya atau memberi ijin kepada si penerima gadai/murtahin untuk menjual barang gadai. Apabila penerima/pemegang gadai/murtahin telah menjual barang gadai tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh rahin, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada rahin. Sebaliknya sekalipun barang gadai telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi utang rahin maka rahin gadai masih mempunyai kewajiban untuk membayar kekurangannya. Berakhirnya gadai syatiah/rahn dengan gadai konvensional pada prinsipnya sama yaitu: 1. Rahin mambayar utangnya 2. Diserahkan barang oleh murtahin secara sukarela 3. Dijual dengan perintah rahin 4. Pembebasan utang dengan cara apapun, meksipun tidak ada persetujuan

21

C.8. Eksekusi Gadai Syariah Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual atau melakukan pelelangan barang gadai, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Secara teknis harus ada pemberitahuan 5 hari sebelum tanggal penjualan. Ketentuannya adalah : 1. Untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2 % untuk pembeli 2. Pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas 3. Biaya penjualan sebesar 1 % dari hasil penjualan, biaya pinjaman 4 bulan, sisanya dikembalikan ke nasabah 4. Sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1 tahun akan diserahkan ke baitul maal

C.9. Persamaan dan Perbedaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah (RAHN)

1. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah (RAHN) 1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang, 2. Adanya agunan sebagai jaminan utang, 3. Tidak boleh mengambil mamfaat barang yang digadaikan, 4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai, 5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.

22

2. Perbedaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah (RAHN) 1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolongmenolong tanpa mencari keuntungan; sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan. 2. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam hukum Islam, hak Rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. 3. Dalam Rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang. 4. Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

23

DAFTAR PUSTAKA

Anastasia Putri. 2011. Aspek Hukum Dalam Ekonomi: Gadai, Hipotik, Fidusia. Angger R dan Cipto Hadi T. 2008. Makalah Pegadaian dan Sistem Gadai di Indonesia Arma Safitri. et al. 2009. Makalah Pegadaian Syariah. Jakarta Indriyani Atik. 2008. Hukum Jaminan: Benda-Benda Selain Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Jakarta: PT. Semesta Asa Bersama Muhammad Faiz. 2007. Artikel Tentang Gadai dan Gadai Saham Munir Fuady. 2000. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Mukhlas. 2010. Tesis: Implementasi Gadai Syariah dengan Akad Murabahah dan Rahn (Study di Pegadaian Syariah Cabang Mlati Slemen Yogyakarta). http://eprints.uns.ac.id/492/1/169412009201011061.pdf. Diunduh: 14 April 2012 Sasli Rais. Mengenal Pegadaian Syariah dan Prospeknya. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved= 0CCsQFjAC&url=http%3A%2F%2Fimages.nuris2007.multiply.multiplycontent .com%2Fattachment%2F0%2FSYGHBAoKCEoAACqD1is1%2FMengenal%2 520Pegadaian%2520Syariah%2520%2526%2520Prospeknya.pdf%3Fkey%3 Dnuris2007%3Ajournal%3A37%26nmid%3D185110777&ei=vGGKTKbOYLprQeguNW1Cw&usg=AFQjCNG3DL8SB6XQdJeWMet5LaaL875Yw&sig2=u6DVooKC_cI7kDB-scPL5A. Diunduh: 15 April 2012 Staff Gunadarma. Pegadaian Syariah. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:baiEtogB_bAJ:peni. staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/9017/Pegadaian%2BSyariah.doc+pros edur+lahirnya+jaminan+gadai+konvensional&hl=id&gl=id. Diunduh: 14 April 2012 Ekonomi Syariat. 2010. Gadai dalam Islam. http://ekonomisyariat.com/fikihekonomi-syariat/gadai-dalam-islam.html. Diunduh: 16 April 2012 Wikipedia. 2012. Pegadaian. http://id.wikipedia.org/wiki/Pegadaian. Diunduh: 16 April 2012 Tomie D Luffy. 2009. Pegadaian Syariah. http://www.gudanginfo.com/2009/08/pegadaian-syariah.html. Diunduh: 16 April 2012

24

You might also like