Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
1
Judul saya ambil dari sebuah email yang dikirim ke saya berupa ‘black email’ yang
menyerukan setiap orang yang menerima email tersebut untuk golput dalam pemilu mendatang. Saya
sangat berterimakasih atas email dari pengirim anonim tersebut.
Seruan untuk tidak memilih dalam pemilihan umum (selanjutkan akan ditulis
dengan istilah pemilu), setidaknya sampai saat ini, masih terus gencar dilakukan.
Tidak kurang dari Abdurrahman Wahid, dalam banyak kesempatan, menyerukan
pada para pengikutnya untuk tidak menggunakan hak politik mereka dengan tidak
memilih atau bergabung dalam golongan putih (selanjutnya akan ditulis golput)
dalam pemilihan umum mendatang. Apa yang diserukan oleh Gus Dur, terlepas dari
motif di balik seruan tersebut, merupakan salah satu seruan yang cukup
mengundang kontroversi, meskipun kebenaran dan bukti ucapan (bahkan posisi Gus
Dur sendiri nantinya) tersebut masih harus menunggu waktu. Nampaknya dalam
beberapa waktu ke depan, perbincangan mengenai seruan untuk tidak memilih atau
golput dalam pemilihan umum, masih akan menarik perhatian orang. Sebenarnya,
apa yang di maksud dengan golongan putih atau golput? Benarkah golput
merupakan tindakan apolitik, atau justru golput sendiri merupakan pilihan politik?
Lalu mengapa setiap orang tiba-tiba berkepentingan untuk ambil suara dalam
persoalan golput? Siapa yang sebenarnya berkepentingan dalam persoalan golput?
Pada umumnya, terutama para elite politik, selalu melihat golput sebagai
wujud pilihan politik yang ‘negatif, ‘tidak benar’, bahkan ‘menyesatkan’.
Persoalannya tentu saja tidak lah semudah yang dipikirkan oleh banyak orang.
Golput hanya dilihat dari sisi negatif, yakni sebagai bentuk tindakan yang dilakukan
oleh warga negara yang ‘tidak peduli pada hak politik’ mereka sebagaimana
disangka oleh para elite politik. Golput selalu dilihat sebagai tindakan warga negara
yang ‘tidak sadar hukum’, tindakan yang diambil oleh warga negara yang ‘tidak
peduli terhadap masa depan bangsa’, maupun tindakan yang diambil oleh warga
negara yang ‘tidak berpendidikan’.
Bagi saya, golput tentu saja memiliki sisi positif, setidaknya terdapat dua sisi
positif golput. Pertama, golput menyebabkan hilangnya klaim dukungan mayoritas
rakyat oleh para kepala daerah maupun partai politik mengenai kemenangan mereka,
di mana para kepala daerah maupun partai politik seringkali mengklaim diri mereka
Adalah Ketua MPR yang secara tegas meminta masyarakat untuk tidak
golput sekaligus meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa larangan atau bahkan
haram bagi masyarakat untuk golput. Meskipun MUI secara tegas menolak karena
hal ini bukan lah termasuk dalam persoalan agama, namun seruan ini rupanya
ditanggapi cukup beragam. Beberapa ulama NU di Jawa Timur misalnya mengambil
konsensus mengenai keharaman golput, yang secara langsung ditolak oleh Gus Dur
sebagai “kelompok kiai kampung” yang “tidak memiliki pengikut”. Hasyim Muzadi
pun angkat bicara mengenai persoalan hukum golput yang ia kaitkan dengan
‘nasbul imamah’ atau penegakkan kepemimpinan, hal ini berkaitan dengan
pertemuan alim ulama di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1997 yang mengeluarkan
resolusi mengenai pentingnya keberadaan seorang pemimpin bagi ummat.2
2
Wawancara dengan Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam acara Genta Demokrasi di Metro
TV pada 26 Desember 2008.
Pada dasarnya, gerakan sosial politik adalah satu prinsip dasar dalam dunia
sosial, di mana masyarakat secara kolektif menyuarakan keluhan dan hak-hak
mereka, termasuk kesejahteraan, dengan mengambil bentuk aksi kolektif, seperti
aksi turun ke jalan, yang menggambarkan keluhan mereka mengenai kondisi mereka
maupun harapan agar suatu hal dilakukan untuk mereka (lihat Snow, Soule dan
Kriesi, 2004:3). Dalam konteks yang lebih luas, gerakan sosial politik adalah sebuah
gerakan, yang seringkali berwujud kolektif, yang dilaksanakan oleh individu atau
kelompok bertujuan untuk menyuarakan kritik dan keluhan mereka dan/atau
bertujuan untuk menentang kekuasaan dominan (lihat Koopmans 2004).
Gerakan sosial politik tentu saja memiliki berbagai dimensi, di mana gerakan
tersebut mengambil landasan pemikiran, apakah itu neo-Marxisme, interaksionisme,
fungsionalisme struktural, maupun gerakan sosial baru (Hoffman 2006, Staggenborg
2005). Teori Marx dapat dikatakan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
studi gerakan sosial politik, di mana Marx melihat dalam masyarakat industri,
gerakan sosial dan, terutama, revolusi berasal dari kontradiksi struktural antara
kapital dan buruh. Konsekuensinya logis: setiap aktor yang terlibat dalam gerakan
sosial didefinisikan berdasarkan kontradiksi sistemik fundamental ini, yakni antara
kaum pemilik kapital dengan buruh atau antara borjuis dengan proletar (lihat
Bottomore 2008, Hoffman 2006). Berbeda dengan Marx yang melihat gerakan sosial
berlandaskan kontradiksi struktural, interaksionisme melihat gerakan sosial muncul
dari situasi yang tidak terstruktur. Berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan
kelompok orang bergerak dan bertindak berdasarkan pemahaman dan ekspektasi
bersama, gerakan sosial muncul dari situasi yang tak terstruktur. Kondisi ini adalah
“Ayo Boikot Pemilu”: 12
Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat
suatu kondisi yang terdapat sedikit sekali pedoman kultural bersama atau pedoman
tersebut ada namun sangat kacau sehingga harus disusun dan didefinisikan kembali,
dan dalam konteks itu lah gerakan sosial muncul (Renon, 2008:784), dengan
demikian, gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi sosial
tersebut.
Tentu saja tidak semua gerakan sosial yang berkembang berhubungan dengan
dimensi keagamaan yang dominan, meskipun beberapa gerakan modern pun
memiliki kaitan dengan agama. Gerakan para pebatik Lawean misalnya, yang
membentuk sebuah organisasi besar bernama Sarekat Dagang Islam, merupakan
contoh yang sangat representatif mengenai gerakan sosial modern (lihat Shiraishi
1997). Sebuah organisasi yang bermula dari para sekumpulan para pengusaha batik
yang bergabung dalam Rekso Roemekso dan bertujuan untuk saling bantu di antara
mereka sekaligus sebagai lawan dari Kong Sing, sebuah organisasi Tionghoa yang
dianggap melakukan tindakan “arogan” dan memonopoli bahan baku batik,
meskipun pada awalnya organisasi ini bertugas sebagai ‘penjaga keamanan’ batik
yang sedang dijemur agar tidak dicuri oleh para kecu. Organisasi ini kemudian
berubah, di bawah kepemimpinan Samanhoedi dan arahan Tirtoadhisoerjo, menjadi
Sarekat Dagang Islam, yang bernaung di bawah Sarekat Dagang Islam di Bogor.
Organisasi ini terus membesar di bawah pimpinan Tjokroaminoto, tidak hanya di
wilayah Surakarta (Mangkunegara), tapi juga merambah ke wilayah lain. Perubahan
besar pun terjadi, dengan perubahan nama menjadi Sarekat Islam, sebuah organisasi
massa yang luar biasa besar pada masanya, dan dari organisasi ini pula lah sebuah
organisasi lainnya lahir: Partai Komunis Indonesia.
“Ayo Boikot Pemilu”: 15
Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat
Beberapa gerakan yang muncul dapat dikatakan memakan banyak korban
jiwa. Gerakan di tiga daerah misalnya, menggambarkan berbagai tindak kekerasan
dan pembunuhan terhadap para pangreh praja yang dianggap tidak setia dengan
revolusi karena tetap melayani pemerintah kolonial (lihat Lucas 1989). Ada pula
gerakan pembantaian yang dilakukan pada masa awal Orde Baru sebagai gerakan
penghapusan PKI dan antek-anteknya, sekaligus sebagai upaya mencegah terjadinya
kembali gerakan 30 September (lihat Roosa 2008). Gerakan lain yang juga patut
diperhatikan adalah gerakan mahasiswa ketika melakukan unjuk rasa pada tahun
1998 (lihat Boudreau 2002). Meskipun gerakan mahasiswa tersebut ‘agak unik’,
terutama dengan tidak adanya tokoh sentral gerakan dan tidak adanya organisasi
yang terstruktur dengan rapih.
Gerakan sosial pun tidak selalu dalam bentuk organisasi massa dengan
struktur organisasi yang jelas, namun dapat juga dalam bentuk yang paling
sederhana: sebuah perlawanan ‘khas Asia’. Dalam kajian Scott (2000), meskipun
mengambil lokasi penelitian di Malaysia namun rasanya dapat diaplikasikan di
Indonesia, melihat bahwa gerakan sosial yang terjadi di kalangan rakyat miskin
adalah usaha mereka untuk bertahan hidup. Sebuah “senjata orang yang lemah”,
berupa organisasi anonim, landasan hukum moral yang didasarkan pada prinsip tahu
sama tahu, maupun perlawanan kecil-kecilan seperti pencurian, mogok kerja, pura-
pura sakit, hingga menggunjing di belakang untuk menjatuhkan nama baik. Hal-hal
kecil ini lah yang merupakan senjata andalan yang dipergunakan oleh kaum lemah
yang selalu kalah dalam menentang perlakuan yang sewenang-wenang dari
kelompok ekonomi mapan dan politik yang kuat.
Bagaimana golongan putih atau golput sebagai sebuah gerakan sosial politik?
Dalam wujud seperti apa golput bergerak dalam dimensi gerakan sosial politik?
Atau lebih penting lagi, mengapa golput menjadi sebuah gerakan sosial politik?
Sejauh ini saya telah menjelaskan mengenai makna definitif golput dan implikasi
definisi tersebut, juga imlplikasi golput secara politis, saya juga telah menjelaskan
mengenai gerakan sosial politik secara konseptual dan contohnya di Indonesia. Pada
poin ini, saya akan mencoba menjelaskan golput dalam pemilihan umum sebagai
sebuah gerakan sosial politik; namun sebelum saya menjelaskan golput sebagai
sebuah gerakan sosial politik rakyat, saya akan menjelaskan ciri-ciri golput sebagai
gerakan sosial politik.
Kedua, selain tidak terdapat sebuah organisasi yang secara khusus mengatur
mengenai golput, juga tidak terdapat tokoh utama yang secara khusus menyerukan
untuk golput di mana seruan tersebut dipercaya dan diikuti oleh semua orang, atau
dalam terminologi Hoffer (1993), seorang yang kata-katanya diikuti oleh “true
believer”. Meskipun Hoofer menyatakan bahwa setiap gerakan sosial, tak perduli
motif gerakan tersebut, selalu terdapat sekelompok orang yang rela menyerahkan
segalanya, termasuk nyawa, untuk berkorban atau sebuah fanatisme tinggi terhadap
gerakan tersebut. Dalam kasus golput, Gus Dur tidak lah dapat dikatakan sebagai
aktor utama yang menciptakan terjadinya pengorbanan semacam itu, meskipun hal
ini pun tidak lah salah sepenuhnya. Seruan Gus Dur boleh jadi akan memicu
sekelompok orang yang kelewat fanatik terhadap Gus Dur akan benar-benar
melaksanakan perintah tersebut seperti seorang hamba atas perintah tuannya, namun
toh sangat berlebihan jika beranggapan setiap orang NU di Jawa Timur akan
menjadi true believer dalam menanggapi seruan Gus Dur tersebut.
Ketiga, mereka yang golput tidak lah berasal hanya dari satu kelas sosial
tertentu, atau dalam bahasa lain, golput tidak memandang status dan kelas sosial
seseorang. Mereka yang golput tidak hanya mereka yang secara ekonomi marjinal,
namun juga mereka yang secara ekonomi mapan. Berbeda dengan anggapan Hoffer
(1993) yang menganggap bahwa mereka yang kecewa, tidak puas dan frustasi
terhadap diri mereka sendiri sebagai ‘panen’ pertama terhadap sebuah gerakan sosial
Keempat, golput sebagai gerakan sosial politik tidak lah dilakukan secara
terbuka dan diwujudkan dalam bentuk kelompok massa, hal ini tentu saja sangat
berbeda dengan berbagai gerakan sosial lain yang terjadi di Indonesia. Dalam
gerakan mahasiswa pada tahun 1998 misalnya, terlihat bahwa gerakan protes
tersebut dilakukan dengan wujud gerakan mahasiswa secara massal yang menduduki
Gedung MPR/DPR atau gerakan protes berupa demontrasi, meskipun dalam skala
kecil, yang dilakukan untuk menentang represi negara (lihat Boudreau 2002). Hal
yang juga berbeda dengan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh petani
Banten pada tahun 1888 (lihat Kartodirdjo 1984a), maupun gerakan Nyi Aciah dan
Jumadilkubra (Kartodirdjo 1984b) di mana gerakan-gerakan tersebut menekankan
pada sebuah gerakan massa yang secara sengaja dipusatkan. Golput sebagai sebuah
gerakan sosial politik tidak lah dilakukan dengan mengumpulkan massa yang secara
khusus bertujuan untuk menolak pemilihan umum, namun dilaksanakan secara
perseorangan, hanya saja jumlah secara akumulatif jelas tidak dapat dipandang
sebelah mata.
Kelima, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah berbentuk
sebuah ‘kudeta berdarah’. Jika melihat gerakan 30 September yang digambarkan
sebagai sebuah kudeta berdarah sekaligus memantik sebuah pembantaian yang lebih
besar terhadap ‘antek-antek’ PKI, sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru
dengan mengambil dalih pemberontakan PKI dan pembunuhan para jenderal (lihat
Roosa 2008), atau gerakan rakyat yang terjadi di tiga daerah (lihat Lucas 1989) yang
membunuh para birokrat dan aparatur desa yang tetap taat pada pemerintahan
Keenam, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak hanya bukan
merupakan kudeta berdarah, golput juga tidak dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, lebih jauh, golput bergerak tidak dengan kekuatan militer bersenjata.
Berbeda sepenuhnya dengan gerakan 30 september, terlepas dari siapa dalang di
balik peristiwa tersebut, yang menggunakan kekerasan dan kekuatan militer,
terutama untuk memberangus akar gerakan tersebut yang ‘dianggap’ kaki-tangan
Partai Komunis Indonesia (lihat Roosa 2008). Golput sebagai gerakan sosial politik
tidak lah dijalankan dan ‘disebarkan’ melalui jalur-jalur kekerasan maupun ancaman
fisik, mengingat golput merupakan pilihan individual seseorang. Meskipun
demikian, saya tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa golput tidak ‘disebarkan’
melalui ancaman-ancaman fisik, barangkali ada, tapi hal ini rasanya tidak lah
berlaku di setiap daerah di Indonesia.
Ketujuh, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah ditujukan
untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Hal ini misalnya berbeda ketika melihat
contoh kasus gerakan di tiga daerah (Lucas 1989) yang dalam beberapa gerakannya
mencoba untuk menggulingkan para pangreh praja daerah yang tidak setia terhadap
gerakan revolusi, di mana gerakan tiga daerah dapat dilihat sebagai bentuk ‘main
hakim sendiri’, perampokan, kekerasan, pembunuhan, maupun pengerusakan
gudang dan gedung-gedung pabrik. Meskipun belum ada sebuah gerakan yang
berusaha menggulingkan kekuasaan yang sah dari seorang presiden, terkecuali kalau
gerakan 30 september dianggap sebagai gerakan untuk menggulingkan Soekarno, di
Sebagai sebuah gerakan sosial politik yang unik, tentu saja golput memiliki
sejumlah ciri-ciri penting. Setidaknya terdapat lima ciri penting, selain tujuh ciri
lainnya di atas, golput sebagai sebuah gerakan sosial politik. Pertama, golput
dimulai oleh sebuah rasa kecewa yang dirasakan terhadap elite politik maupun oleh
partai politik. Kekecewaan ini lah yang memunculkan sebuah antipati tersendiri
terhadap pemilihan umum, terlebih terhadap hasil dan kinerja wakil rakyat, maupun
presiden dan wakil presiden yang telah terpilih. Kekecewaan ini, jika merujuk teori
deprivasi relatif, muncul sebagai akibat kesenjangan antara harapan dengan
kenyataan yang ada. Ketika golput muncul sebagai akibat dari adanya kekecewaan,
maka wujub abstraksi yang paling mudah muncul adalah protes.
Kedua, golput dilakukan sebagai bentuk protes. Hal ini tentu saja mudah di
mengerti, terutama jika melihat golput sebagai wujud protes ‘khas rakyat’ yang
dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlibat organisasi atau terpengaruh ideologi
apapun. Sebagai wujud protes khas rakyat, hal yang hampir sama dengan yang
dilakukan oleh petani Sedaka di Malaysia (lihat Scott 2000), golput dilakukan oleh
mereka yang selama ini termarjinalkan dalam bidang politik, di mana golput
dipergunakan sebagai ‘weapon of the weak’. Sebagai wujud protes yang dapat
dilakukan oleh setiap warga negara tanpa memandang status dan kedudukan, golput
dapat terjadi di hampir semua tempat di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Ketiga, golput dilakukan secara universal tanpa memandang status dan kelas
sosial. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, golput dapat dilakukan oleh
setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih tanpa
memandang batas-batas ras, suku, agama, kedudukan, status dan lain sebagainya.
Dalam realitas sebenarnya, golput dilakukan tidak hanya oleh mereka yang secara
Keempat, golput dilakukan oleh individu secara sadar. Hal ini penting,
mengingat golput pada dasarnya adalah pilihan yang diambil oleh seseorang yang
memahami betul tindakannya. Tentu saja harus dikecualikan dalam hal ini adalah
mereka yang sengaja memilih golput karena mengalami paksaan maupun ancaman
dari pihak lain. Hal yang lebih kompleks terjadi manakala golput dikaitkan dengan
true believers, katakan lah mereka yang percaya sepenuhnya pada anjuran Gus Dur
untuk golput, tapi saya rasa mereka pun dikecualikan dalam poin ini. Sebagai
sebuah pilihan yang murni individual dan dapat dikatakan memiliki rasionalitas
tersendiri, maka pilihan untuk golput menjadi pilihan yang tidak dapat dipengaruhi
oleh seruan atau pun perintah orang lain.
Dalam konteks Indonesia saat ini, rasanya salah satu alasan yang, barangkali,
paling banyak digunakan adalah kekecewaan terhadap kinerja legislatif, baik itu
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kekecewaan ini terjadi
setidaknya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, rakyat melihat kinerja legislatif
yang lamban dalam banyak hal, baik itu dalam persoalan legislasi maupun lobi-lobi
politik. Berbagai kebijakan yang diambil oleh DPR terkesan sangan lamban dan
bertele-tele, bahkan cenderung hanya ingin publisitas semata. DPR misalnya tercatat
seringkali mengeluarkan wacana hak angket meskipun seringkali berujung
antiklimaks. Kritik yang mereka berikan atas kebijakan eksekutif cenderung parsial
dan tidak berkelanjutan. Hak angket kenaikan harga BBM misalnya, justru berakhir
dengan bungkamnya DPR, hal ini lah yang memicu pada point berikutnya.
Di sisi yang lain, golput sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga negara
tidak lah diatur dalam perundang-undangan. Hal ini tentu saja membawa implikasi
Saya pun harus mengakui, bahwa dalam banyak kasus, golput muncul
sebagai akibat ketidakmampuan KPU dalam mendata semua warga negara yang
memiliki hak pilih dan memberikan surat undangan untuk memilih kepada mereka.
Kesalahan seperti ini boleh jadi menyumbang porsi yang cukup banyak ketika kita
berbicara mengenai golput, hanya saja, lagi-lagi, saya cenderung untuk
menempatkan kasus semacam ini bukan sebagai bentuk golput, mengingat golput
merupakan pilihan yang diambil oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih
dan terdaftar sebagai pemilih namun memilih untuk tidak menggunakan hak pilih
yang dimilikinya.
Golput sebagai sebuah gerakan sosial politik dengan demikian lebih mudah
dilihat: yakni sebagai bentuk protes perseorangan, yang dalam tingkatan tertentu
memiliki kuantitas yang signifikan secara kolektif, terhadap kondisi yang ada atau
kekecewaan yang muncul sebagai akibat adanya kondisi deprivasi relatif yang ada
dalam dirinya. Jika golput dilihat dalam konteks ini, tidak lah terlalu sulit melihat
golput sebagai wujud riil gerakan sosial politik rakyat yang menemukan momentum
sekaligus cara penyaluran yang tepat dan signifikan, yakni dengan tidak
menggunakan hak pilihnya. Tentu saja sebagai sebuah gerakan, golput memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Dalam konteks yang lebih jauh, golput merupakan kekuatan sosial politik
khas rakyat yang merupakan sebuah tindakan individual, dalam cakupan yang lebih
besar boleh jadi dikatakan tindakan kolektif, yang dilaksanakan dengan cara
menolak memberikan suara dalam pemilihan umum. Terlepas dari berbagai motif
yang melandasi tujuan untuk golput itu sendiri, golput merupakan mosi tidak
percaya yang dilakukan oleh masyarakat, di mana mosi ini tentu saja dilakukan
dengan cara yang mudah di mengerti oleh rakyat. Mosi bahkan bertindak lebih jauh,
menyebarkan ketakutan di kalangan elite politik mengenai posisi mereka. Meskipun
dapat dianggap mengganggu kestabilan politik dan perkembangan demokrasi di
Indonesia, namun golput merupakan salah satu senjata, kalau tidak mau dikatakan
sebagai satu-satunya, yang mampu mengontrol pemerintahan dan partai politik
melalui ketakutan atas ketidakpercayaan masyarakat, di samping adanya fakta
bahwa melalui golput lah rakyat dapat menunjukkan kekuatan politiknya tanpa
khawatir dianggap sebagai usaha untuk menggoyang kekuatan pemerintah.
Di sisi yang lain, meskipun suara golput kemungkinan akan sangat besar,
sangat sulit untuk mengumpulkan mereka yang golput dan menentukan kesepakatan
bersama dalam membentuk sebuah gerakan sosial politik. Jika hal tersebut sulit
dilakukan, adalah lebih mustahil untuk mengubah sebuah keputusan mengenai siapa
yang berhak maju sebagai eksekutif dan legislatif. Hal ini lah yang menyebabkan
sebagai sebuah gerakan, boleh jadi gerakan golput tidak lah sempurna. Meskipun
demikian, golput sangat efektif sebagai senjatanya orang yang lemah, sebab hanya
melalui golput lah seseorang yang selama ini terpinggirkan secara politik
menyuarakan protes mereka. Hal ini pula lah yang menyebabkan golput, setidaknya
bagi saya, sebagai sebuah silent movement. Sebuah gerakan yang terdiam cukup
lama sambil menunggu waktunya untuk bangkit dan menuntut hak yang selama ini
terrenggut dari mereka.
Kepustakaan:
Undang-Undang:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden