You are on page 1of 14

SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN

TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN CONTOH KASUS YANG TERJADI DI PERUSAHAAN INDONESIA

Disusun oleh:

Indah Pramitasari Irawan

MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA & BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA 2010

TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN CONTOH KASUS YANG TERJADI DI PERUSAHAAN INDONESIA

A.

Transfer Pricing Secara Umum

Definisi Transfer Pricing

Pemikiran organisasi modern berorientasi kepada desentralisasi. Salah satu tantangan utama dalam mengoperasikan sistem yang terdesentralisasi adalah merancang suatu metode akuntansi yang memuaskan untuk transfer barang dan jasa dari pusat laba yang satu ke pusat laba yang lain dalam suatu perusahaan. Hal ini mungkin tak akan menjadi sulit apabila hanya terjadi dalam sebuah perusahaan dan hanya terjadi dalam sebuah Negara saja karena beban-beban serta biaya-biaya yang dikeluarkan akan lebih mudah terukur. Namun, hal ini akan menjadi lebih sulit apabila suatu perusahaan ternyata memiliki berbagai cabang yang terletak tidak hanya di satu Negara saja. Perusahaan yang seperti itu akan sangat sulit menentukan harga penjualan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengawasan dan pengukuran kinerja perusahaan. Oleh karena itulah dilakukan sebuah kegiatan yang disebut sebagai transfer pricing. Saat mendengar kata transfer pricing, mungkin yang selalu ada di benak kita adalah sebuah hal pemanipulasian data atau kejahatan perusahaan multinasional. Namun, pada hakikatnya transfer pricing bukanlah itu saja. Transfer Pricing adalah sebuah cara yang digunakan perusahan untuk kepentingan usahanya agar semuanya dapat diawasi dengan baik tentunya karena disini kinerja semua divisi akan terlihat. Namun, beberapa tahun

belakangan ini banyak sekali ditemukan berbagai praktek illegal dalam transfer pricing tersebut. Transfer Pricing digunakan oleh beberapa perusahaan multinasional untuk mengecilkan pajaknya dan membuat beberapa Negara mengalami kerugian dalam penerimaan pajak, terutama Indonesia yang memang mengandalkan pajak dalam APBN nya. Dalam arti sempit, transfer pricing merupakan harga perpindahan barang atau jasa antara dua pusat laba atau lebih. Sedangkan dalam arti luas, transfer pricing adalah harga perpindahan barang atau jasa yang dipertukarkan antar unit-unit atau antar pusat pertanggungjawaban dalam suatu organisasi. Sedangkan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota grup dalam sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer yang ditentukan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat menyimpang dari harga pasar wajar karena posisi mereka yang berada dalam keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi korporasinya.

Tujuan Transfer Pricing

Jika dua atau lebih pusat laba bertanggung jawab bersama atas pengembangan, pembuatan, dan pemasaran suatu produk, maka masingmasing harus membagi pendapatan yang dihasilkan ketika produk tersebut terjual. Transfer pricing merupakan mekanisme untuk mendistribusikan pendapatan ini. Harga transfer harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tujuan berikut ini:

Memberikan informasi yang relevan kepada masing-masing unit usaha untuk menentukan imbal balik yang optimum antara biaya dan pendapatan perusahaan. Menghasilkan keputusan yang selaras dengan cita-cita. Membantu pengukuran kinerja ekonomi dari unit usaha individual. Sistem tersebut harus mudah dimengerti dan dikelola.

y y y

Bagi perusahaan multinasional, secara umum tujuan transfer pricing yang ingin dicapai adalah:
y

Performance evaluation. Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanya adalah dengan menghitung tingkat Return On Investment. Tetapi terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya berbeda. Hal seperti itu yang membuat transfer pricing sering menjadi masalah. Oleh karena itu, induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan harga transfer.

Optimal Determinatiom of Taxes. Tarif pajak antara satu Negara dengan Negara lainnya berbeda-beda. Dengan penentuan harga transfer ini, diharapkan pajak dapat diatur sedemikian rupa sehingga pengenaan pajak tidak akan terlalu tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan manipulasi dan praktek curang dalam transfer pricing.

Dampak Transfer Pricing

Transfer pricing memiliki beberapa dampak, yaitu antara lain:


y

Dampak terhadap ukuran kinerja divisi

Harga yang dikenakan untuk barang yang ditransfer mempengaruhi biaya divisi pembelian dan pendapatann divisi penjualan. Artinya laba kedua divisi tersebut dipengaruhi oleh transfer pricing.
y

Dampak terhadap keuntungan perusahaan Meskipun transfer pricing aktual tidak mempengaruhi perusahaan sebagai satu kesatuan, penetapan transfer pricing ternyata mampu mempengaruhi tingkat laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika transfer pricing mempengaruhi perilaku divisi dan pajak penghasilan, divisi-divisi yang bertindak secara independen mungkin menentapkan transfer pricing yang memaksimalkan laba divisi, tetapi menimbulkan pengaruh sebaliknya bagi laba perusahaan secara keseluruhan.

Metode Transfer Pricing

Jika ditinjau dari segi ekonomi dan manajemen, konsep dasar transfer pricing adalah:
y

Dari segi ekonomi Dari segi ekonomi, prinsip dasar dari transfer pricing adalah memaksimalkan laba perusahaan. Sehingga perusahaan harus secara berkala menjual produk sampai dengan titik dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan dijual (atau dikenal dengan sebutan marginal cost) lebih rendah dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit tersebut. Dalam hal penentuan harga untuk perusahaan yang terintegrasi, harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.

Dari segi manajemen Dari segi manajemen, transfer pricing lebih ditujukan untuk mengukur kinerja divisi, laba perusahaan secara keseluruhan, dan otonomi divisi dan menilai motivasi dan performance setiap divisi yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.

Praktek Transfer Pricing Perusahaan Multinasional

Keputusan bisnis sebuah perusahaan sebagian besar juga dipengaruhi oleh pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya meminimalisasi beban pajak secara baik (yang berarti tidak melanggar peraturan perpajakan) sering disebut dengan perencanaan pajak atau tax planning. Perencanaan pajak merujuk pada suatu proses rekayasa usaha dan transaksi wajib pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih sesuai dengan peraturan perpajakan. Transfer pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Namun, disisi lain praktik transfer pricing dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan. Praktik transfer pricing sebenarnya telah terjadi di banyak perusahaan, baik perusahaan domestik maupun multinasional asalkan perusahaan tersebut melakukan produksi atau kegiatannya dalam divisi-divisi. Hanya saja, efek terhadap pajak dalam hal ini tidak sama. Perusahaan yang hanya beroperasi di satu negara saja tidak akan memeberikan efek ke pajak yang sangat signifikan dalam rangka transfer pricing. Hal ini karena tarif pajak yang digunakan adalah sama. Lain halnya jika dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan beberapa cabang di berbagai negara. Transfer pricing ini akan sangat signifikan pengaruhnya dalam penerimaan pajak. Hal ini karena perbedaan tarif pajak yang ada di berbagai negara.

Suatu transfer pricing dapat terjadi karena suatu hubungan istimewa atau afiliasi antara anggota dalam suatu grup perusahaan multinasional. Suatu transfer pricing sedikitnya melibatkan dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak yang melakukan transfer atau transferor dan pihak yang menerima transfer atau transferee. Dengan adanya hubungan istimewa ini, perusahaan multinasional dapat melakukan negosiasi dalam penentuan harga transaksinya. Akibatnya, harga yang terjadi terkadang bukanlah harga yang

sewajarnya atau tidak sesuai juga dengan harga pasar saat terjadinya transaksi. Dengan begitu, data-data dalam laporan keuangannya tidak akan sesuai dengan yang seharusnya. Karena dalam transaksi antar perusahaan anggota dalam suatu grup multinational transaction ini bisa timbul negosiasi kecenderungannya adalah membuat bebannya seolah besar dalam perusahaan pembeli. Dalam praktik transfer pricing yang menyimpang ini, dipertimbangkan pula tarif pajaknya. Untuk negara dengan tarif pajak yang tinggi, pastinya mereka akan memanipulasi agar penghasilannya rendah dengan mengatur biayanya agar setinggi mungkin dan mengalihkan penghasilannya kepada yang pajaknya lebih sedikit. Tak jarang pula suatu negara hanya digunakan sebagai tempat transit dalam upaya praktik transfer pricing ini. Fenomena yang agak memprihatinkan ialah pengusaha pada

perusahaan-perusahaan multinasional begitu tega membuat Indonesia sebagai loss center untuk perusahaan multinasionalnya. Operasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya. Perusahaan dapat direkayasa untuk terus rugi, padahal tetap terjadi pembayaran royalty atau imbalan jasa teknis dan jasa lain dari perusahaan Indonesia kepada perusahaan lain di mancanegara yang sebenarnya masih dalam satu grup dengan perusahaan yang ada di Indoensia. Struktur permodalan lebih banyak dibiayai pinjaman

dibanding modal sendiri, pembayaran dividen dalam jumlah besar apabila perusahaan memperoleh laba, memanfaatkan celah ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, maupun dengan memanfaatkan tax heaven country (negara-negara dengan beban pajak rendah dibandingkan Indonesia).

Penanganan Transfer Pricing

Negara berkembang, seperti Indonesia, menyadari bahwa korporasi multinasional dengan berbagai cara mempergunakan rekayasa transfer pricing untuk mengalihkan potensi pajak Indonesia ke negara lain degan berbagai dalih, alasan, dan justifikasi. Oleh karena itulah, otoritas fiskal selalu memandang bahwa tujuan transfer pricing adalah untuk penghindaran pajak. Praktik transfer pricing pada dasarnya dapat terjadi karena adanya suatu hubungan istimewa antarperusahaan yang berada dalam satu grup perusahaan multinasional, sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik dalam penentuan harga transfer. System Advance Price Agreement (APA) sebenarnya merupakan sistem yang terbaik untuk pencegahan kasus transfer pricing. Sekarang hanya perlu mengembangkan sistem ini dengan menjalin relasi yang lebih banyak lagi ke negara-negara lain dan lebih dekat lagi dengan wajib pajak. Berdasarkan Dewan Pengurus Pajak Dalam Negeri Inggris (The Board of Inland Revenue atau TBIR) sistem APA dirancang guna menawarkan jalan keluar yang lebih mudah bagi fiskus dan wajib pajak di dalam menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing. Sedangkan definisi umum APA adalah sebuah persetujuan tertulis antara wajib pajak, yang di dalam kasus ini adalah pengusaha, dan TBIR yang secara bersama-sama menentukan di depan suatu metode untuk menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing. Setelah dicapai persetujuan diantara kedua belah pihak, keduanya memberikan jaminan bahwa metode

tersebut diterima dan akan terus dipergunakan sebagai acuan dalam menentukan harga pasar wajar selama jangka wakktu yang telah disepakati. APA memiliki empat tahap negosiasi:
y

Wajib pajak secara sukarela menunjukkan ketertarikannya untuk menerapkan system APA dengan cara mengajukan permintaan kepada fiskus. Penyampaian aplikasi permohonan secara formal yang ditandai dengan pemberian informasi yang ekstensif menegnai operasi usaha serta metode transfer pricing apa yang digunakan guna memperoleh harga pasar wajar dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai perusahaan, pasar, dan persaingan yang harus dihadapi. Dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit lunak untuk memastikan apakah semua perhitungan yang diajukan oleh wajib pajak dapat diterima.

y Tercapainya APA diantara kedua belah pihak.


APA tidak berlaku lagi apabila :
y

Masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut;

Salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak.

B.

Transfer Pricing pada PT Asian Agri Group (AAG)

Analisis Kasus

PT Asian Agri adalah induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas. Perusahaan ini milik Sukanto Tanoto, orang terkaya pada tahun 2006 versi majalah Forbes. Kerugian negara akibat kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri telah mencapai Rp 1,3 Triliun. Perhatian penuh pemerintah pun diberikan untuk menangani kasus pajak terbesar sepanjang sejarah perpajakan negeri ini. Dari hasil penyelidikan petugas diketahui bahwa kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat Pemeberitahuan (SPT) Tahunan pajak selama tiga tahun, yakni sejak tahun 2002 hingga 2005. Modus yang dilakukan oleh PT Asian Agri adalah dengan mennggelembungkan biaya, memperbesar kerugiasn transaksi ekspor, dan menciutkan hasil penjualan. Tujuannya adalam meminimalkan profit untuk menekan beban pajak. direktorat Jenderal Pajak telah menemukan bukti kuat Asian Agri menggelapkan pajak. perusahaan ini terbukti menggelembungkan biaya perusahaan sebesar Rp 1,5 Triliuun, membesarkan kerugian transaksi ekspor sebesar Rp 232 Miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp 899 Miliar. Berdasarkan bukti yang ada, hasil penghematan jumlah pajak yang harus disetor kepada kas negara itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi PT Asian Agri di luat negeri, seperti Hongkong, Makao, Mauritius, dan British Virgin Island lewat sejumlah transaksi. Menariknya lagi, terungkapnya kasus pengelapan pajak yang dilakukan Asian Agri ini disebabkan oleh laporan dari Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller Asian Agri. Vincentius melaporkan bekas perusahaan tempatnya bekerja tersebut karena tidak mendapatkan pengampunan dari sang taipan atas

aksinya membobol rekening PT Asian Agri senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura.

Analisis Penanganan Kasus

Meskipun pemerintah telah menargetkan kasus PT Asian Agri selesai akhir Maret 2008, tetapi kenyataannya sampai bulan Februari 2009 masih belum ada keputusan pengadilan mengenai penyelesaian kasus ini. Di lain pihak, upaya penyelesaian kasus-kasus perpajakan juga harus mempertimbangkan efisiensi waktu penyelidikian. Jika waktu penyelidikan terlalu lama, sementara bukti sulit ditemukan untuk dibwa ke pengadilan, tentunya upaya penyelesaian kasus ini akan tidak efisien. Untuk kasus semacam ini, Direktorat Jenderal Pajak menyelesaikannya di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan tersebut dipertimbangkan mengingat aspek kecepatan waktu dan penyelamatan pendapatan negara. Penyelesaian kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri akan membutuhkan waktu yang lama apabila diselesaikan melalui pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menemukan bukti tindakan transfer pricing dengan menjual CPO dengan harga di bawah harga pasar dunia yang berbuntut pada penggelapan pajak. jika kasus-kasus pajak yang sulit dibuktikan di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara dapat hilang. Jalur pengadilan pajak sangat bergantung pada temuan-temuan kantor pajak. Namun, jika sulir dibuktikan, bisa jadi pengadilan justru memutuskan tidak ditemukan unsur kerugian negara. Dugaan atau indikasi adanya transfer pricing tersebut harus didukung dengan data-data secara detail dan akurat mengenai berapa harga pasti penjualan CPO dalam transaksi yang dilakukan PT Asian Agriini bisa dilakukan dengan menggunakan meode dan teknik pemeriksaan sebagaimana

yang telah diberikan, misalkan dengan menggunakan metode harga pasar sebanding. Tidak dibenarkan tindakan asal tuding, melainkan harus ada data yang pasti. Harga CPO dunia ditentukan atau berpatokan dengan harga pasar dunia di Rotterdam. Kesulitan pembuktian transfer pricing ini disebabkan harga minyak sawit dunia selalu berubah-ubah sehingga sulit dicari patokan harga, termasuk membandingkannya dengan harga pasar CPO di Rotterdam. Ketika kontrak ekspor terjadi, bisa saja harga pasar dunia di Rotterdam sedang tinggi, tetapi eksportir menjual lebih murah. Belum lagi biaya angkut, pajak ekspor, asuransi, dll. Beberapa ahli, mengatakan bahwa permasalah kasus Asian Agri ini seharusnya dapat diselesaikanapabila PT Asian Agri mau membayra utang pokok pajak dan dendanya sebesar 400% atau senilai total 6,5 Triliun rupiah. Ancaman pidana hanyalah sebagai solusi terakhir jika WP tetap ingkar. Kasus ini pada akhirnya tetap dilimpahkan ke pengadilan dan dirjen Pajak serta Kejagung setuju bahwa masalah ini adalah kasus pidana.

C.

Transfer Pricing pada PT Adaro Energi Tbk.

Analisis Kasus

Transfer pricing diduga dilakukan dengan menjual batu bara kepada Coaltrade salah satu perusahaan terafiliasi dengan harga miring, yakni US$26 per ton pada 2005 dan US$29 pada tahun berikutnya. Penjualan Adaro pada 2005, menurut sebuah dokumen hanya US$697,1 juta dan US$1,003 miliar pada 2006. Padahal, kalau dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah US$1,287 miliar dan pada 2006 sebesar US$1,371 miliar. Itu berarti ada selisih yang cukup besar antara hasil penjualan Adaro berdasarkan perhitungan sendiri dengan

nilai penjualan berdasarkan harga pasar. Nilainya, kalau dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum dihitung royalti 13,5% yang harus dibayarkan kepada negara. Kasus transfer pricing batu bara yang ditemukan pada tahun 2005 sampai 2006 diduga dilakukan Adaro mencuat ke permukaan setelah staf ahli departemen ESDM, Sudhono Iswahyudi bersama Ditjen Pajak melaporkan ke kejagung. Berdasarkan dokumen yang diterima TRUST dari seorang aparat pajak, diketahui bahwa penjualan Adaro untuk tahun 2005 tercatat hanya US$697,1 juta dan tahun 2006 sebesar US$1,003 miliar. Kalau penjualan itu dihitung berdasarkan harga pasar, maka pada tahun 2005 (harga pasar US$48 per ton) Adaro seharusnya mendapat penghasilan US$1,287 miliar dan tahun 2006 sebesar US$1,371 miliar(harga pasar US$40). Selisih antara hasil penjualan Adaro (berdasarkan harga yang

ditentukan sendiri) dengan nilai penjualan berdasarkan harga pasar ternyata amat besar. Jika di rupiahkan, sekitar Rp9,121 triliun selama 2 tahun. Dari jumlah itu, kalau dihitung nilai royaltinya saja, yang 13,5%, maka potensi pemasukan Negara mencapai Rp1.231 triliun.

DAFTAR PUSTAKA

http://sijenius.wordpress.com/2008/08/09/harga-transfer-definisipenentuan-aspek-internasional/ http://www.sinarharapan.co.id/berita/0712/17/sh03.html http://www.scribd.com/doc/27107315/Kasus-Pt-Adaro-Energy-Tbk http://www.scribd.com/doc/27465002/Transfer-Pricing http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=9696&q=&hlm=1

You might also like