You are on page 1of 22

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi bleparitis,

konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes

simpleks.Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata.Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata.Di Negara-negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun.Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks. Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan ringan. Gejala-gejala klinis keratitis herpes simpleks kambuhan tergantung berat ringannya daerah yang terkena. Dibedakan atas bentuk lesi epitelial, ulserasi trophik, stromal, iridosiklitis, dan trabekulitis.Namun demikian secara umum gejalanya meliputi: mata merah, nrocos, penglihatan kabur, adanya infiltrat maupun defek kornea dan yang sangat spesifik adanya insensibilitas kornea. Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Pemeriksaan laboratorium yang sangat mendukung konfirmasi diagnosis adalah pemeriksaan cuplikan debridement kornea dengan immunofluorescent assay maupun DNA probes. Pengobatan keratitis herpes simpleks makin marak semenjak ditemukannya idoksunidina pada tahun 1962, kemudian diikuti dengan penemuan vidarabina;

namun ternyata kedua obat tersebut bersifat toksik terhadap set kornea normal. Penemuan obat-obat anti viral terus berkembang dengan ditemukannya asiklovir, gansikiovir, dan penggunaan interferon tetes mat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Mata A) Rongga Orbita Rongga orbita merupakan suatu rongga yang dibatasi dinding tulang dan berbentuk seperti pyramid bersisi empat dengan puncak menuju kearah foramen optik. Masing-masing sisi tulang orbita berbentuk lengkung seperti buah peer (jambu) yang menguncup kea rah apeks dank anal optic. Dinding medial rongga orbita kanan berjalan kurang lebih sejajar dengan dinding medial rongga orbita kiri dan berjarak 25 mm pada orang dewasa. Di bagian belakang rongga orbita terdapat tiga lubang, yaitu: 1. Foramen optik yang merupakan ujung bagian orbita kanal optic yang member jalan kepada saraf optic, arteri oftalmik dan saraf simpatik. 2. Fisura orbita superior yang dilalui vena oftalmik, serat-serat saraf untuk otot-otot mata (N III, N IV, N VI) serta cabang pertama saraf trigeminal. 3. Fisura orbita inferior yang dilalui cabang ke-II N V, nervus maksilaris serta arteri infraorbita yang merupakan sensorik untuk daerah kelopak mata bawah, pipi, bibir bagian atas, dan gigi bagian atas.

B) Bola Mata Bola mata terdiri atas:

Dinding bola mata a. Sklera Merupakan jaringan ikat kolagen, kenyal dan tebal kira-kira 1 mm. Di bagian posterior bola mata saraf optic menembus sclera dan tempat tersebut disebut lamina kribosa. Bagian luar sclera berwarna putih dan halus, dilapisi kapsul tenon dan bagian depan oleh konjungtiva. Di antara stroma sclera dan kapsul tenon terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan kasar dan dihubungkan dengan koroid oleh filament-filamen jaringan ikat yang berpigmen, yang merupakan dinding luar ruangan supra koroid.

b. Kornea Dinding bola mata bagian depan ialah kornea yang merupakan jaringan yang jernih dan bening, bentuknya hamper sebagai lingkaran dan sedikit lebih lebar pada arah transversal (12 mm) dibanding arah vertikal. Batas kornea dan sclera disebut limbus. Tebal kornea berkisar 0.6-1.0 mm dan terdiri atas 5 lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Gambar 2.1. Anatomi Kornea

Epitel Epitel kornea merupakan lapisan paling luar kornea dan berbentuk epitel pipih berlapis tanpa tanduk. Bagian terbesar ujung saraf kornea berakhir pada epitel ini. Setiap gangguan epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa sakit atau mengganjal. Daya regenerasi epitel cukup besar sehingga apabila terjadi kerusakan, aan diperbaiki dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut. a) Membrana Bowman Terletak di bawah epitel dan merupakan suatu membrane tipis yang homogeny dan terdiri atas susunan serat kolagen kuat yang mempertahankan bentuk kornea. Bila terjadi kerusakan pada membrane bowman maka akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut. b) Stroma Merupakan lapisan paling tebal dari kornea dan terdiri dari atas jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Diantara serat-serat kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang lebih 70%. Kadar air di dalam stroma relative yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel. Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi kelebihan kadar air sehingga timbul edem kornea. Serat di dalam stroma demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea yang transparent atau jernih. Bila terjadi gangguan susunan serat di dalam stroma seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea terlihat keruh. c) Membran Descement Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstuktur dan bening. Terletak di bawah stroma, lapisan ini merupakan pelindung atau barier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
4

Endotel Terdiri atas satu lapis sel yang merupakan jaringan terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel yang mengatur cairan di dalam stroma kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi sehingga bila terjadi kerusakan, endotel tidak akan normal lagi. Endotel dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, dan penyakit intraocular. Usia lanjut dapat menyebabkan jumlah endotel berkurang. Kornea tidak mengandung pembuluh darah, jernih dan bening sebagai dinding, juga berfungsi sebagai media pengelihatan, dan dipersyarafi oleh N.V.(6)

Gambar 2.2 Kornea Potongan Melintang

Isi Bola Mata a) Lensa Merupakan badan yang bening, bikonveks dengan ketebalan sekitar 5 mm dan berdiameter 9 mm pada orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung dibandingkan dengan bagian anterior. Kedua permukaan tersebut bertemu pada tepi lensa yang dinamakan ekuator. Lensa mempunyai kapsul yang bening dan pada ekuator difiksasi oleh zonula zinn pada bagian silier. Lensa pada orang dewasa terdiri atas bagian inti (nucleus) dan bagian tepi (korteks). Nukleus
5

lebih keras dibandingkan korteks. Dengan bertambahnya umur, nucleus makin membesar sedang korteks makin menipis, sehingga akhirnya seluruh lensa mempunyai konsistensi nucleus. Fungsi lensa adalah untuk membiaskan cahaya, sehingga difokuskan pada retina. Peningkatan kekuatan pembiasan lensa disebut akomodasi. a) Uvea Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera dan tenon. Uvea merupakan jaringan yang lunak yang terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid. Iris merupakan membrane yang berwarna, berbentuk silrkuler yang ditengahnya terdapat lubang yang dinamakan pupil. Berfungsi mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam mata. Iris berpangkal pada badan silier yang merupakan pemisah antara bilik mata depan dan bilik mata belakang. Permukaan depan iris warnanya sangat bervariasi dan mempunyai lekukanlekukan kecil terutama di sekitar pupil yang disebut kripti. Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang berjalan melingkarai pupil (sfingter pupil) dan radial tegak lurus (dilatators pupil). Iris menipis di dekat perlekatannya di badan silier dan dan menebal di dekat pupil. Pembuluh darah di sekeliling pupil deisebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan silier disebut sirkulus mayor. Iris dipersyarafi oleh nervus nasosiliaris cabang dari saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis. Badan silier dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri atas otot-otot silier dan prosessus siliaris. Otot-otot silier berfungsi untuk akomodasi, jika otot-otot ini berkontraksi ia menarik prosessus silier dan koroid ke depan dan ke dalam, mengendurkan zonula zinn sehingga lensa menjadi lebih cembung. Fungsi prosesus silier adalah memproduksi cairan mata-humour aquos. Koroid adalah suatu membrane yang terbentang dari ora seratta sampai ke papil saraf optic. Koroid kaya pembuluh darah dan berfungsi terutama member nutrisi kepada retina bagian luar.

b) Badan Kaca Badan kaca mengisi sebagian besar bola mata di belakang lensa, tidak berwarna, bening dan konistensinya lunak. Bagian luar merupakan lapisan tipis (membrane hialoid). Badan kaca ditengah-tengah ditembus oleh suatu saluran yang berjalan dari papil saraf optic ke arah kapsul belakang lensa yang disebut saluran hialoid yang dalam kehidupan fetal berisi arteri hialoid. Stuktur badan kaca tidak mempunyai pembuluh dara dan menerima nurisinya dari jaringan sekitarnya seperti koroid, badan silier dan retina. c) Retina Merupakan suatu membran yang tipis dan bening, yang terdiri atas penyebaran serabut-serabut saraf optic yang letaknya diantara badan kaca dan koroid. Bagian anterior berakhir pada ora seratta. Di bagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu pengelihatan terdapat macula lutea (bintik kuning) kira-kira berdiameter 12 mm yang berperan penting untuk tajam pengelihatan. Di tengah macula lutea terdapat bercak mengkilat yang merupakan refleks fovea. Kira-kira 3 mm kea rah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerah-merahan, yang disebut papil saraf optic, yang ditengahnya agak melekuk yang dinamakan ekskavasi faali. Sel batang lebih banayak dibandingkan sel kerucut, kecuali di daerah macula, dimana sel kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya pengelihatan.

Gambar 2.3 Anatomi Mata Keratitis Definisi Keratitis adalah suatu keadaan dimana kornea mata yang merupakan bagian terdepan bola mata mengalami suatu inflamasi. Kondisi ini seringkali ditandai dengan rasa yang sangat nyeri dan kemudian dapat berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya. Gejala dan Tanda Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa sangat nyeri, rasa silau, penurunan visus mendadak, discharge kornea dan mata merasa kelilipan. Klasifikasi 1. Keratitis Superfisial a. Keratitis herpes simpleks superficial b. Keratitis herpes zoster c. Keratitis vaksinina d. Keratitis flikten e. Keratitis Sika f. Keratitis Lepra 2. Keratitis Profunda

a. Keratitis Interstitial b. Keratitis Sklerotikans

Keratitis Herpes Simpleks Definisi Keratitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Virus ini menempati manusia sebagai host, dan merupakan parasit intrasellular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan herpes simpleks dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, dan alat kelamin yang mengandung virus. Gambar 2.5 keratitis herpes simpleks

Bentuk Infeksi Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epithelial dan stromal, pada yang epithelial terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan pada sel epitel dan membentuk tukak kornea yang suferficial. Pada stromal terjadi suatu reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibody yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus, tetapi juga akan merusak jaringan stroma di sekitarnya.

Gejala dan Tanda Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan rekuren. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kirakira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipoastesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi. Kremer, dkk. (1991) melaporkan pada 1,16% pasien pasca cangkok ginjal yang disertai penggunaan imunosupresan dalam kurun waktu 4 minggu ternyata timbul keratitis herpes simp1eks.Jumlah kasus keratitis herpes mungkin semakin meningkat sehubungan dengan bertambahnya kasus penderita AIDS di masa mendatang.

10

Keratitis herpes simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks relaps dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulka kematian set serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.

Gambar 2.4 Keratitis herpes simpleks recurrent

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal. Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hat ini terjadi perobekan membrana basalis. ulkus metaherpetik bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma. ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet. Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi berkurang,

11

sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup. Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu

Gambar 2.5 Ulkus dendritik

Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun komp1ek.Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong atau gambaran melingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Gambar 2.6. Keratitis disciform

12

Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, nrocos, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis discform dapat diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos.

Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun jamur. filtrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Gambar 2.6 Keratitis stromal

Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh, descemetocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek

13

steroid. Enzim kolagenase dilepaskan oleh sel epitel rusak, sel polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.

Diagnosis Keratitis Herpes Simpleks Gambaran spesifik dendirt tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yang lain. Apalagi gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinik infeksi kornea yang relative tenang, dengan tanda-tanda peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan obat-obatan yang menurunkan resistensi kornea seperti: anastesi lokal, kortikosteroid dan obatobatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus dari jaringan epitel, dan lesi stroma.

Diagnosis Banding Keratitis Herpes Simpleks Diagnosis banding keratitis herpes simpleks dapat meliputi keratitis herpes zoster, keratitis vaksinia, dan keratitis stafilokokus

A. Klasifikasi Keratitis Herpes Simpleks Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis sebagai berikut: 1. Superfisial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika dan stroma, geografika. 2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma dan ulserasi. 3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini keratouveitis dibedakan atas bentukulserasi dan non ulserasi. Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada herpes simpleks

14

beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum. Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh PavanLangston (1983) sebagai berikut: 1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika, geografika. 2. Ulserasi trophik atau metaherpetika. 3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis. 4. Uveitis anterior dan trabekulitis. Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempuma, mengingat sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendini tanpa melibatkan adanya keratitis.

Penatalaksanaan Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Tujuan dari terapi keratitis herpetik yaitu untuk menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan juga memperkecil efek perusakan respon pandang.

Pengobatan keratitis epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata ditutup, dan pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Apabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral yang lain.

15

Pada keratitis meta herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu perlu dicegah kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak. Pengobatan yang diberikan meliputi pemberian antiviral, air mata buatan, sikioplegik, dan asetil sistein 10-20% tetes mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda penipisan dan Iuluhnya stroma. Selain itu, perlu ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva, bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila asih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.

Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal, antiviral salep, bila terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30mg selama 7-10 hari. Antibiotik topikal perlu diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif. Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar dikurangi pembeniannya dan bila perlu distop. Apabila terjadi penyulit misalnya luluh kornea, descemetocele, atau perforasi, kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus metaherpetik yang mengalami penyulit.

Pemilihan Antiviral

Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan keratitis dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan waktu penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik dibanding kedua obat antiviral tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan tnifluridin, dalam hal

16

ini diperlukan debridement. Resistensi terhadap triflunid sangat jarang, dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai resistensi silang terhadap idoksunidina maupun vidarahina. Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali dilaponkan oleh Collum dkk. (1980) didapatkan hasil benupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-rata 4,4 hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk kasus-kasus keratitis geognafik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari.(23)

Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina. Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat

meningkatkan waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan meaghambat vaskuIarisasi. Pornier dkk (1982) membuktikan bahwa asikiovir topikal menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun trifluridina.Pada pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan betametason 0,01% ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.

Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok

menggunakan tambahan prednisolon 0,05% tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan.

Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina sebesar 37%, dan vidarabina sebesar 11 %.Berdasarkan hash uji laboratonik sensitivitas, beberapa antiviral terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun gansiklovir tidak sampai 10%; sedang

17

untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina didapatkan penurunan sensitivitas jauh lebih banyak.

Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral yang potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan binatang.Interferon tetes mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina.Mekanisme dasar interferon sebagai terapi adalah membuat selsel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran virus.Pada keratitis stroma pembenian kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil yang baik pada percobaan binatang.Kombinasi antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.

Pembedahan : Silindris tidak teratur akibat keratitis stroma kronis mungkin diperbaiki dengan kaku gas-permeable lensa kontak. Pasien dengan kekeruhan kornea visual yang signifikan atau perforasi kornea mungkin memerlukan keratoplasty menembus untuk rehabilitasi visual. Jika mungkin, descemetocele kecil atau perforasi pada mata bengkak awalnya mungkin dikelola dengan perekat jaringan, lensa kontak perban, dan / atau transplantasi membran amnion. transplantasi kornea idealnya harus ditunda sampai mata kurang meradang. Prognosis untuk cangkok berhasil mendekati 80% pada mata tanpa peradangan sebelum operasi. Terapi antivirus profilaksis oral setelah keratoplasty menembus mengurangi mata berulang HSV penyakit, mengurangi episode penolakan korupsi, dan meningkatkan kelangsungan hidup korupsi. Pencegahan / Pencegahan Penelitian terus dilakukan untuk HSV vaksinasi sedang dilakukan. Sementara hampir semua vaksin perkembangan menargetkan HSV-2 dan herpes kelamin,

18

bukti menunjukkan bahwa vaksin ini mungkin menawarkan proteksi-silang dalam mencegah mata HSV-1 infeksi.Namun, kekhawatiran tetap bahwa dorongan dalam respon kekebalan terhadap HSV setelah vaksinasi dapat memperburuk keratitis stroma herpetik. Prognosa Visual prognosis tergantung pada sejauh mana jaringan parut kornea.

BAB III KESIMPULAN

1. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. 2. Bentuk infeksi keratitis herpes simpleks dapat berupa keratitis epithelial dan stromal 3. Keratitis herpes simpleks dapat bersifat infeksi primer maupun infeksi rekuren. Infeksi rekuren dibagi menjadi keratitis superficial, profunda dan keratouveitis. 4. Gejala subjektif yang ditimbulkan akibat keratitis herpes simpleks dapat berupa nrocos, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur 5. Debridement dan terapi medikamentosa merupakan penatalaksaan yang dapat dilakukan pada keratitis herpes simpleks. Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan pemberian pemberian antiviral, air mata buatan, sikioplegik, dan asetil sistein. Antiviral yang dapat digunakan antara lain idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan asyclovir.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Day DM, iones BR. Herpes simplex keratitis, in T.D:Duane (ccl.): Clinical Ophthalmology Vol.4 External Eye Disease. Philadelphia: Harper & Row PubI. 1986. pp. 19. 15 2. Verdier DD, KrachmeriH. Clinical manifestations ofherpes simplex virus infectionoftheeye, in FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. 1, chap 1, 1984. pp. 917. 3. Nahmias AJ, Josey WE. Herpes simplex viruses I and 2, in A Evans (ed): Viral Infection in Humans Epidemiology and Control. New York: Plenum PubI. Co., 1977. 4. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991; 75: 195200. 5. Foster A, Yorston D. Comeal ulceration in Tanzanian children: relationship between malaria and herpes simplex keratitis, Trans R Soc Trop Med Hyg. 1992; 86: 4567. 6. Ilyas Sidarta, Malingkay, Taim Hilman, dkk. Ilmu Penyakit Mata : Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto. 2002; halaman 3-8, 120-123. 7. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008; halaman 3-10,150-152 8. Vaughan G Daniel, Asbury Taylor, Eva Paul Riordan. Oftalmologi Umum. Editor: Suyono Joko.Edisi 14. Jakarta: Widiya Medika. 2000. Halaman 136139 9. Elmer Tu, Sugar Joel. Eye Conditions:Keratitis. 2011. University of Illonis Department of Ophtalmology and Visual Sciences. (http://www.uic.edu/com/eye/PatientCare/EyeConditions/Keratitis.shtml) 10. Pavan-Laiigston D. Herpetic diseases in G. Smolin and RA Thoft (eds.): The Cornea, Scientific Foundations and Clinical Practice, 1st ed. Boston: Brown & Co. 1983. pp. 1826.

20

11. Stevens i, Cook M. Latent herpes simplex virus in sensory ganglia, Perspect Virol 1971;8: 1720. 12. Barringer JR. Herpes simplex virus infection of nervous tissue in animal and man, Pro Med Virol 1975; 20: 15. 13. Tullo AB, Eastly DL, Hill Ti, Blyth WA. Ocular herpes simplex and the establishment of latent infection, Trans Ophthalmol Soc UK 1982: 102: 158. 14. Krcmer I, Wagner A, Shmeal D, Yussim A, Shapira Z. Herpes simplex keratitis in renal transplant patient, BrJ Ophthalmol 1991; 75: 946. 15. Shuster ii, Kaufman HE, Nesbur HB. Statistical analysis of the rate of recurrence of herpes virus ocular epithelial disease, Am I Ophthalmol. 1981: 91: 32831. 16. Suhardjo, Agni AN. Penggunaan asiklovir salep mata 3% untuk pengobatan keratitis herpetika, Medika 1992; 11: 258. 17. Grayson M. Diseases of the Cornea, 2nd ed. London: CV Mosby Co. 1983. 18. Epstein RI, Wilhelmus KR. Dendritic keratitis, will wiping it off wipe it out, in TA Deutsch (ed): Ophthalmic Clinical Debates, Year Book Med. Publ., Chicago 1989. pp. 8590. 19. Kenyon KR, Fogle JA, Stone DL, Stark WL. Regeneration of corneal epithelial basement membrane following thermal cauterization. Invest Ophthalmol Vis Sci, 1977; 16: 2925. 16. Porrier RH, Kingham JJ, deMiranda P. Annel M. Intra ocular antiviral penetration, Arch Ophthalmol. 1982; 100: 19647. 20. Meyers-Elliot RH, Pettit TH. Maxwel A. Viral antigens in the immune ring of herpes simplex stromal keratitis, Arch Ophthalmol. 1980; 98: 98790. 21. Foster CS, Duncan J. Penetrating keratoplasty for herpes simplex keratitis. AmJ Ophthalmol. 1981; 92: 3369. 22. Collum LMT, Benedict-Smith A, Hilary lB. Randomized double.blind trial acyclovirand idoxuridine in dendritic corneal ulceration, Br J Ophihalniol. 1980; 64: 7669. 23. Kaufman HE. Herpes simplex in ophthalmology, in F.C. BloW (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. l,chap. 12. New York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp. 15360.

21

24. Cohen EJ, Laibson PR. Corneal transplantation in herpes simplex keratitis, in FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. I, chap. 11. New York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp. 14752. 25. Collum LMT, Logan P. Rovenschott T. Acyclovir in herpetic disciform keratitis, Br I Ophthalmol. 1983; 67: 1158. 26. Poiler SM, Patterson A, Kho P. A comparison of local and systemic acyclovir in the management of herpetic disciform keralitis. Br J Ophthalrnol. 1990; 74: 2835. 27. McGill JL. Olgivie M. Viral drug resistence in herpes simplex ulceration. in P Trevor Roper (ed): VIth Congress of the European Society for Ophthalmology, London, 1980. pp. 814. 28. Charles SJ. Gray ii. Ocular herpes simplex virus infections: reducesensitivity to acyclovir in primary disease, BrJ Ophthalmol. 1990; 74: 2868. 29. Shiota H. Treatment of herpetic eye diseases. Abstr. XIlIth Congress of AI Kyoto. 1991. 30. Sundinacher R. The role of interferon in prophylazis and treatment of dendritic keintitis. In: FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. I, chap. 10. New York: Churchill Livingstone Inc.. 1984. pp. 12946

22

You might also like