You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), di antara 130 juta bayi yang lahir setiap

tahun di seluruh dunia, 8 juta meninggal sebelum mencapai tahun pertama kehidupan mereka. Di Amerika Serikat, 17-34% dari kematian bayi ini dikaitkan dengan prematuritas, dan hanya sekitar setengah kasus prematur dihasilkan dari penyebab yang dapat diidentifikasi.(Louis J. Muglia & Michael Katz, 2010) Pada tahun 2005 di AS, hampir 28.384 bayi meninggal pada tahun pertama mereka hidup (Tabel 1.1). Kelahiran prematur, yang didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum usia 37 minggu, terlibat dalam sekitar dua pertiga dari kematian ini. Seperti yang ditunjukkan tabel 1.1, kelahiran preterm lanjut, yang didefinisikan pelahiran usia 34-36 kehamilan, terjadi pada 70% kasus pelahiran preterm. Dengan demikian, pelahiran preterm tetap menjadi suatu masalah kesehatan yang utama. (F. Gary C., et al, 2010) Total Bayi Usia kehamilan saat lahir < 32 minggu 32-33 minggu 34-36 minggu 37-41 minggu > 42 minggu 83,428 (2) 65,853 (1.6) 373,663 (9) 3,346,237 (81) 239,850 (6) 15,287 (54) 1099 (4) 1727 (10) 8116 (29) 637 (2) Jumlah Bayi Hidup (%) 4,138,573 (100) Jumlah Bayi Mati (%) 28,384 (100)

Tidak tahu 29,542 (0.7) 516 (2) Tabel 1.1 Jumlah mortalitas bayi baru lahir di Amerika Serikat pada tahun 2005 Kejadian pelahiran preterm masih tinggi dan merupakan penyebab kematian neonatal utama. Di Amerika Serikat, kejadiannya 8-10% dan di Indonesia 16-18% dari semua kelahiran hidup.(Sofie R. Krisnadi, 2003) Tujuan pembuatan makalah ini adalah menjelaskan bagaimana mendiagnosis persalinan preterm sedini mungkin, faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan preterm dan pelaksanaan yang sebaik mungkin untuk persalinan preterm. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran bayi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Secara legal, di Inggris, the 1992 Amendment to the Infant Life Preservation Act,menetapkan batas viabilitas sebagai 24 minggu.(Phillip Bennett, 2007) Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1961 menambahkan usia gestasi sebagai satu kriteria bayi prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang. Dibuat pembedaan antara berat badan lahir rendah (2500 g atau kurang) dan prematuritas (37 minggu atau kurang)(F. Gary C., et al, 2005) 2.2 Endokrinologi dan Biokimia Persalinan 2.2.1 Pengaruh Proses Inflamasi Pada Persalinan Sepanjang kehamilan cervix uterus membutuhkan untuk tetap kokoh dan tertutup ketika tubuh dari uterus tumbuh secara hipertrofi dan hiperplasia tetapi tanpa disertai adanya kontraksi. Untuk persalinan yang berhasil cervix diubah menjadi struktur yang lembut dan lentur yang dapat berdilatasi membesar dan uterus menjadi organ yang dapat berkontraksi dengan kuat. Beberapa minggu sebelum melahirkan terjadi perubahan bagian bawah uterus yang menjadi masak dan terjadi penipisan dari cervix. Perubahan pada segmen bawah uterus ini berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin yang merupakan suatu produk inflamasi, terutama interleukin-1, -6 dan -8 dan prostaglandin dari membran yang melapisi janin dan desidua dan dari leher uterus itu sendiri. Pematangan cervix dikaitkan dengan masuknya sel-sel inflamasi ke dalam cervix yang melepaskan matriks metalloprotein yang berkontribusi anatomis dengan perubahan yang terkait dengan pematangan cervix. Kemudian peningkatan kontraktilitas dominan terjadi di segmen atas uterus dikaitkan dengan peningkatan ekspresi reseptor dari oksitosin dan prostaglandin, pada protein gap-junction yang menengahi konektivitas elektris antara miosit-miosit, dan perubahan yang lebih kompleks lagi pada jalur sinyal intraselular yang bisa meningkatkan kontraktilitas dari miositmiosit.(Phillip Bennett, 2007) 2.2.2 Pengaruh Hormonal Pada Persalinan

Dalam banyak spesies progesteron diduga memainkan peran penting dalam menekan onset persalinan. Progesteron memiliki sifat anti-inflamasi umumnya pada uterus. Peristiwa biokimia yang berhubungan dengan pematangan cervix dan telah dimulainya proses persalinan seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan suatu proses peradangan. Pada beberapa spesies dimulainya proses persalianan didahului dengan menurunnya kadar progesteron. (Phillip Bennett, 2007; Ronald S. Gibbs et al, 2008) Menurunnya kadar progesteron tampaknya disebabkan oleh meningkatnya respon sel adrenal janin adrenocorticotropic hormon (ACTH), mengakibatkan peningkatan produksi kortisol. Melalui beberapa langkah, kortisol menyebabkan biosintesis steroid plasenta dan penurunan sekresi progesteron. Penurunan progesteron beredar mengarah ke peningkatan pembentukan gap junction miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin, dan meningkatkan respon dari uterus dan mampu menghasilkan kontraksi. (Ronald S. Gibbs et al, 2008) Namun pada manusia, tidak ada peningkatan yang besar kortisol dari kelenjar adrenal janin sebelum persalinan, dan tidak terjadi penurunan dramatis dari hormon progesteron secara konsisten. Progesteron penting dalam kehamilan manusia, dan sejumlah studi telah meneliti peran rasio progesteron-ke-estrogen sebelum timbulnya persalinan. Pada 1974, para peneliti menunjukkan penurunan yang signifikan kadar serum progesteron dan peningkatan tingkat estrogen dalam banyak perempuan sebelum persalinan. Temuan ini belum direproduksi secara konsisten. Peningkatan estriol mungkin merupakan sinyal dari janin yang menunjukkan bahwa itu matang dan siap untuk persalinan. Produksi estriol meningkat selama bulan terakhir kehamilan. Dalam jumlah besar yang dihasilkan, fungsi estriol sama dengan estradiol dalam merangsang pertumbuhan uterus. Terdapat laporan dari meningginya rasio estradiol / progesteron pada akhir kehamilan. (Ronald S. Gibbs et al, 2008) Kadar sirkulasi corticotrophin releasing hormone (CRH), yang disintesis oleh plasenta, meningkat secara progresif selama kehamilan dan terutama selama mingguminggu sebelum onset persalinan. Konsentrasi CRH binding protein menurun dengan bertambahnya usia kehamilan, kira-kira 3 minggu sebelum onset persalinan dimana konsentrasi CRH melebihi protein pengikatnya. Tidak seperti CRH pada hipothalamus, CRH di plasenta diatur oleh kortisol. Beberapa studi telah menghubungkan antara

produksi CRH plasenta dengan waktu persalinan dan telah menunjukkan bahwa kenaikan prematur CRH dikaitkan dengan kelahiran prematur. (Phillip Bennett, 2007) Tidak ada peningkatan produksi oksitosin terkait dengan permulaan atau perkembangan baik persalinan prematur atau aterm. Namun, terdapat peningkatan reseptor ekspresi oksitosin dalam uterus dan terdapat produksi oksitosin lokal dalam uterus, desidua dan membran janin. Walaupun mungkin oksitosin tidak berperan penting dalam waktu yang tepat dari kelahiranpada manusia, peningkatan dari kepadatan reseptor oksitosin menunjukkan bahwa oksitosin tidak memainkan peran dalam menengahi kontraktilitas. (Phillip Bennett, 2007) 2.3 Etiologi Persalinan prematur bukanlah wujud satu penyakit, tetapi merupakan gejala atau sindrome yang mungkin mempunyai 1 (satu) atau lebih sejumlah penyebab (Gambar 2.1). Persalinan prematur telah dikaitkan dengan inkompetensi cervix, kelainan haemostasis, infeksi dalam uterus, plasenta abruption atau perdarahan desidua, janin atau stres ibu dan beberapa kehamilan.

Gambar 2.1 Penyebab dari terjadinya pelahiran premature (Phillip Bennett, 2007)

2.3.1Faktor Ibu

2.3.1.1 Infeksi Cairan Amnion dan Korioamnion Terdapat korelasi yang kuat antara infeksi dalam uterus dan mulainya permulaan persalinan preterm spontan. Infeksi pada selaput dan cairan amnionin disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dapat menyebabakan beberapa kasus seperti ketuban pecah, persalinan prematur, atau keduanya. Infeksi dalam uterus memiliki potensi untuk mengaktivasi semua jalur biokimia yang mengarah pada pematangan cervix dan kontraksi uterus. Infeksi dari darah dari tempat lain jarang terjadi. (Phillip Bennett, 2007; F. Gary C., et al, 2007; Ronald S. Gibbs et al, 2008) Patogenesis Kelemahan atau pendeknya cervix merupakan faktor utama terjadinya risiko infeksi ascendens bakteri. Namun, terdapat kemungkinan juga bahwa dengan jumlah patogen mematikan yang tinggi dalam vagina, bakteri dapat memperoleh akses menuju daerah uterus yang lebih rendah melalui leher uterus yang berfungsi normal, di mana bakteri tersebut mengaktifkan mediator inflamasi yang membuat cervix menjadi matang dan memendek. Bakteri mungkin juga mendapatkan akses menuju rongga ketuban melalui penyebaran secara hematogen atau melalui bersamaan dengan dilakukannya prosedur yang invasif. (Phillip Bennett, 2007) Produk-produk bakteri seperti endotoksin merangsang monosit desidua untuk memproduksi sitokin, termasuk interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan interleukin-6, yang pada gilirannya merangsang asam arakidonat dan kemudian memproduksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bertindak sebagai parakrin untuk merangsang kontraksi miometrium. (F. Gary C., et al, 2007) Faktor pengaktif trombosit juga ikut berperan dalam aktivasi jaringan sitokin, yang ditemukan di dalam cairan amnion. Faktor pengaktif trombosit diperkirakan diproduksi di dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teori, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi. (F. Gary C., et al, 2005)

Gambar 2.2 Patogenesis bakteri menghasilkan persalinan preterm 2.3.1.2 Vaginosis Bacterialis Pada vaginosis bakterialis, produksi hydrogen peroksida, lactobacillus yang merupakan flora normal vagina diganti dengan bakteri anaerob, termasuk Gardnella vaginalis, Mobiluncus species, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakterialis dihubungkan dengan aborsi spontan, persalinan preterm, ruptur ketuban prematur, korioamnionitis, dan infeksi cairan amnion. (F. Gary C., et al, 2010) Penatalaksanaan Antibiotik mungkin tidak selalu menghasilkan pembentukan kembali flora normal bakteri. Dua antibiotik yang umum digunakan dalam pengobatan vaginosis bakterialis ialah metronidazol diberikan per oral atau klindamisin yang dapat diberikan baik per oral atau per vaginam. Klindamisin mungkin memiliki keuntungan lebih daripada metronidazol karena memiliki kegiatan yang lebih baik terhadap bakteri anaerob, Mycoplasma hominis dan Urea urealyticum yang sering dikaitkan dengan vaginosis bakteri. Bukti terbaru adalah bahwa skrining ibu hamil dengan resiko tinggi persalinan prematur didasarkan pada masa lalu mereka yaitu riwayat obstetrinya atau faktor-faktor lain dan pengobatan bakteri vaginosis (BV) dapat dibenarkan, namun saat ini tidak ada bukti kuat untuk merekomendasikan skrining rutin dan perawatan populasi kebidanan umum. (Phillip Bennett, 2007) 2.3.1.3 Faktor Gaya Hidup Plasenta dari ibu yang perokok telah terbukti menjadi lebih besar, dengan meningkatnya luas permukaan plasenta, dan memiliki karakteristik lesi-lesi sebagai akibat kurangnya perfusi dari uterus. Suzuki et al berspekulasi bahwa merokok dapat menyebabkan perubahan sel endotel yang kemudian menyebabkan vasokonstriksi dan kekakuan dinding arteriol, dengan perfusi yang kurang dari plasenta. Hal ini, dapat

mengakibatkan iskemia dari desidua basalis, yang kemudian menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan. (Cande V. Ananth et al, 1996) Karbon monoksida dalam asap rokok dapat mengganggu oksigenasi janin dengan membentuk carboxyhemoglobin, dan nikotin dapat meningkatkan tekanan darah ibu dan detak jantung, juga menghambat aliran darah ke janin, sehingga pada ibu perokok sering dapat membuat pertumbuhan janin terganggu dan melahirkan dengan berat badan bayi yang rendah. (Nancy A. Melville, 2010) Komplikasi plasenta dapat berupa perdarahan, terutama plasenta abruption (solutio plasenta) dan, yang lebih sedikit, ialah plasenta previa, merupakan faktor yang penting dalam predisposisi kelahiran prematur dan bayi lahir mati pada ibu yang merokok selama kehamilan. (Nancy A. Melville, 2010) Faktor-faktor ibu lain yaitu ibu terlalu muda atau lanjut usia; kemiskinan; penggunaan alcohol, dan faktor-faktor seperti pekerjaan lama berjalan atau berdiri, kondisi kerja berat dan panjang. Santiago dan rekan (2005) menemukan tidak ada peningkatan insidensi kelahiran prematur berulang pada wanita dengan riwayat lahir prematur dan yang bekerja berada di luar rumah atau memerlukan tenaga fisik selama kehamilan mereka saat ini. (F. Gary C., et al, 2007) Pada ibu yang terlalu tua terjadi lesi sklerotik (proses ateriosklerosis) pada arteri miometrium sehingga dapat menyebabkan perfusi yang kurang dari plasenta mengarah pada risiko yang lebih tinggi pada hasil mortalitas dan morbiditas perinatal. Perfusi yang kurang dapat mengakibatkan iskemia dari desidua basalis, yang kemudian menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan. (Hind Beydoun et al, 2004; Cande V. Ananth et al, 1996)

2.3.1.4 Perdarahan 2.3.1.4.1 Abruptio Plasenta Abruptio plasenta atau solutio plasenta dapat mengakibatkan terjadinya prematur pelahiran. Ini terjadi melalui pengeluaran trombin yang merangsang kontraksi miometrium oleh reseptor yang diaktivasi protease tetapi secara independen juga disebabkan sintesis dari prostaglandin. Ini menjelaskan kesan klinis bahwa persalinan preterm berkaitan dengan chorionamnionitis sering cepat sedangkan yang berhubungan

dengan plasenta abruptio ialah karena kurang pada begitu abruptio

plasenta tidak ada proses kematangan (preripening) cervix uterus. Pembentukan trombin mungkin juga mempunyai peran dalam persalinan prematur yang disebabkan karena chorionamnionitis ketika dilepaskannya trombin sebagai akibat dari perdarahan desidua.(Gambar 2.2) (Phillip Bennett, 2007) Penatalaksanaan Menunda persalinan mungkin akan bermanfaat ketika janin belum matang (terapi tokolitik). Rata-rata waktu untuk persalinan di semua 43 wanita adalah sekitar 12 hari dan tidak ada lahir mati. Kelahiran sectio sesaria dilakukan pada 75 persen dari semua kasus. (F. Gary C., et al, 2010) Beberapa penyebab langsung fetal distress diperlihatkan pada bagan 2.1. Sedikit yang dapat dilakukan untuk memodifikasi penyebab lain yang menyebabkan fetal distress kecuali dengan mengeluarkan janin dengan persalinan. (F. Gary C., et al, 2010)

Gambar 2.3 Macam-macam penyebab fetal distress karena abruptio plasenta dan penatalaksanaannya (F. Gary C., et al, 2010) 2.3.1.4.2 Plasenta Previae Gejala yang merupakan ciri khas ialah perdarahan yang tidak nyeri, yang tidak muncul sampai trimester II akhir atau setelahnya. Mekanismenya adalah sebagai berikut setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding uterus karena isi uterus lebih cepat

tumbuhnya dari uterus sendiri, akibatnya ialah bahwa isthmus uteri tertarik menjadi dinding cavum uteri (Segemn Bawah Uterus). Pada plasenta previa, ini tidak mungkin tanpa pergeseran antara plasenta dan dinding uterus, saat perdarahan tergantung pada kekuatan insersi plasenta dan kekuatan tarikan pada isthmus uteri. Jadi dalam kehamilan tidak perlu ada his untuk menimbulkan perdarahan tapi sudah jelas dalam prsalinan his pembukaan menyebabkan perdarahan karena bagian plasenta di atas akan terlepas pada dasarnya. Perdarahan pada plasenta previa bersifat terlepas pada dasarnya. (F. Gary C., et al, 2010; Sulaeman Sastrawinata, 1984) Penatalaksanaan Penatalaksanaan dengan janin preterm membutuhkan observasi yang ketat, namun dengan syarat tidak adanya perdarahan yang terus-menerus. Bagi beberapa wanita, mungkin dirawat di rumah sakit lama menjadi ideal. Wanita dan keluarganya harus sepenuhnya memperhatikan dengan serius masalah plasenta previa dan harus siap sewaktu-waktu untuk membawa ibu hamil ke rumah sakit dengan segera. Jika perdarahan banyak, pembukaan kecil, nullipara dan tingkat pasenta previa yang berat mendorong kita melakukan SC, sebaliknya perdarahan yang sedang, pembukaan yang sudah besar, multiparitas, dan tingkat plasenta previa ringan dan anak yang mati mengarahkan pada usaha pemecahan ketuban. (F. Gary C., et al, 2010; Sulaeman Sastrawinata, 1984) 2.3.2 Faktor Janin 2.3.2.1 Kehamilan Multipel Patogenesis Beberapa kehamilan mungkin mengarah pada kelahiran prematur melalui setidaknya dua mekanisme. Over-distensi uterus mengarah ke regulasi prematur terkait dengan kontraksi yang disebabkan oleh protein-protein dan faktor yang memediasi kematangan cervix, yang seluruhnya menunjukkan adanya kepekaan terhadap regangan mekanis. Kehamilan kembar yang berhubungan dengan jumlah beberapa plasenta sehingga terjadi peningkatan CRH yang lebih awal dalam sirkulasi dibandingkan dengan janin yang tunggal. (Phillip Bennett, 2007) 2.3.2.2 Stress Pada Ibu dan Janin

Pada kedua kasus tersebut dipostulasikan bahwa sekresi berlebih dari kortisol menyebabkan meningkatnya regulasi dari produksi CRH dalam plasenta. (Phillip Bennett, 2007) 2.3.3 Faktor Lainnya 2.3.3.1 Genetik Sifat keluarga, riwayat prematur dan sifat rasial kelahiran prematur telah diketahui bahwa genetika mungkin memainkan peran dalam menyebabkan persalinan preterm. Gen untuk relaksin desidua merupakan salah satu kandidat. Defek pada protein trifunctional mitokondria defek janin atau polimorfisme dalam kompleks gen interleukin-1, reseptor 2adrenergik, atau faktor nekrosis tumor (TNF) mungkin juga terlibat dalam ruptur membran yang prematur.(F. Gary C., et al, 2007) 2.4 Diagnosis 2.4.1 Gejala Pada Pasien The American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists (1997) merumuskan kriteria untuk membuktikan adanya persalinan preterm, yaitu: (Erol Amon et al, 2007) 1. Kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit ditambah perubahan progresif pada cervix, 2. Dilatasi cervix > 1 cm
3. Pendataran cervix 80% atau lebih.

Adapun kriteria lainnya dari Ingemarsson's untuk mendiagnosis persalinan prematur: (Erol Amon et al, 2007) 1. Kehamilan 28-36 minggu 2. Kontraksi uterus yang menyakitkan, teratur, yang terjadi pada interval kurang dari 10 menit, selama paling sedikit 30 menit, menggunakan tocography eksternal 3. Selaput utuh
4. Uterus mendatar atau hampir mendatar dan berdilatasi antara 1 dan 4 cm.

Sejumlah keluhan mungkin terdapat pada persalinan prematur (Tabel 2.1) tapi banyak dari gejala-gejala ini sering terjadi pada kehamilan normal dan sering diabaikan oleh dokter atau bidan yang melakukan perawatan prenatal. Kontraksi seperti kram

10

menstruasi sering kali menjadi keluhan yang paling mencolok, dengan hanya 13% dari pasien persalinan prematur tidak terjadi gejala ini. Sekitar 10% dari wanita hamil normal mengeluh adanya kontraksi yang menyakitkan. (Erol Amon et al, 2007) Biasanya, pasien dengan persalinan prematur mengancam mempunyai respon yang baik terhadap terapi konservatif sederhana (bedrest, hidrasi, obat penenang, atau dosis subkutan terbatas terbutaline atau nifedipine). Jarang, infus kontinu dari obat tokolitik diperlukan untuk aktivitas dan kontraksi uterus terus-menerus ada dan signifikan. Prognosis dari persalinan saat aterm tampaknya meningkat jika persalinan prematur dimulai pada trimester ketiga bukan di trimester kedua. (Erol Amon et al, 2007) Tabel 2.1 Gejala utama persalinan prematur. (Erol Amon et al, 2007) Sakit perut Sakit punggung Nyeri panggul Kram menstruasi Perdarahan vagina Leukorea dengan pewarnaan merah muda Tekanan pada panggul Sering berkemih

2.4.2 Perubahan Cervix 2.4.2.1 Dilatasi Cervix Dilatasi cervix setelah tengah usia kehamilan diduga sebagai faktor resiko untuk persalinan preterm,meskipun beberapa klinisi mempertimbangkan adanya beberapa varian anatomi yang normal, terutama pada wanita mulipara. Cook dan Ellwood (1996) mengevaluasi cervix pada wanita nulipara dan multipara dengan usia kehamilan 18 dan 30 minggu menggunakan USG transvaginal, menemukan bahwa panjang dan dilatasi uterus tetap identik pada keduanya selama usia kehamilannya. (F. Gary C., et al, 2010) 2.4.2.2 Panjang Cervix
11

. Rata-rata panjang cervix pada minggu ke-24 adalah sekitar 35 mm, dan wanita yang mempunyai cervix yang memendek progresif mengalami peningkatan angka kelahiran preterm. (F. Gary C., et al, 2010) Pada wanita hamil dengan persalinan sebelumnya kurang dari 32 minggu, Owen dkk. (2001) melaporkan hubungan yang signifikan dari panjang cervix pada usia gestasi 16 sampai 24 minggu dengan kelahiran preterm selanjutnya sebelum minggu ke-35. Dalam studi selanjutnya, Owen dkk (2003) menyimpulkan bahwa nilai panjang cervix untuk memprediksi persalinan sebelum usia kehamilan 35 minggu hanya jelas pada ibu hamil resiko tinggi terhadap persalinan preterm. (F. Gary C., et al, 2010) 2.4.3 Fibronectin Janin Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblas, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Leeson dkk., (1996). Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput ketuban utuh aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma cervix sebelum persalinan. (F. Gary C., et al, 2010) Lockwood dkk. (1991) melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput ketuban pecah dapat menjadi suatu petanda adanya ancaman persalinan preterm. Fibronektin janin diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay dan nilai di atas 50 ng/mL dianggap sebagai hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus dihindari. (F. Gary C., et al, 2010) 2.5 Pencegahan Kelahiran Preterm Pada saat ini tidak ada terapi profilaksis yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah timbulnya persalinan prematur pada populasi ibu hamil berisiko tinggi. Tidak ada bukti bahwa obat beta-sympathomimetic oral mengurangi risiko persalianan prematur dan penggunaannya secara umum telah ditinggalkan di praktek kebidanan Inggris. Terapi yang umum digunakan ialah cervix cerclage, obat antiinflamasi non steroid dan baru-baru

12

ini penggunaan progesteron. (Phillip Bennett, 2007) 2.5.1 Progesteron Progesteron dianggap menghambat proinflamasi produksi sitokin sel dan

prostaglandin dalam uterus dan menghambat kontraktilitas miometrium. Pada tahun 2003, Da Fonseca et al. melaporkan bahwa perempuan dengan risiko tinggi kelahiran prematur dan secara acak menerima 100-mg progesteron supositoria vagina sehari antara 24 dan 33 minggu memiliki jumlah persalinan prematur yang lebih rendah (13,8% pada 37 minggu, 2,8% sebelum 34 minggu) versus kelompok plasebo (28% sebelum 37 minggu, 18,6% sebelum 34 minggu). Dalam studi serupa Mies et al. menggunakan suntikan mingguan dari 17 hydroxyprogesterone capruate (250 mg) pada ibu dengan usia kehamilan antara 16 dan 36 minggu, hasilnya ternyata dapat mengurangi rata-rata persalinan prematur sebanyak 5536% sebelum usia kehamilan 37 minggu dan 19-11% sebelum usia kehamilan 32 minggu. (Phillip Bennett, 2007; F. Gary C., et al, 2010) 2.5.2 Ligasi Cervix Cerclage Kelainan fungsi cervix dapat menjadi faktor utama atau kontributor minor terhadap kejadian biokimia dan mekanis yang dapat menyebabkan kelahiran prematur. Sudah jelas bahwa pada wanita dengan riwayat cervix yang lemah, misalnya, pada wanita dengan dengan riwayat operasi cervix atau mereka dengan episode berulang dari kehilangan janin trimester kedua tanpa rasa sakit relatif cepat, cerclage cervix akan memperbaiki prospek dalam suksesnya kehamilan berikutnya secara signifikan. (Phillip Bennett, 2007)

13

Gambar 2.4 Cerclage cervix Terdapat 3 kondisi diamana penggunaan cerclage cervix bermanfaat pada pencegahan kelahiran preterm. Kesatu, cerclage dapat digunakan pada wanita dengan riwayat kelahiran prematur pada tengah trimester ketiga yang berulang dan wanita yang didiagnosis memiliki cervix yang inkompeten. Kondisi kedua, wanita yang memiliki cervix yang pendek saat dilakukan USG. Ketiga, melakukan cerclage penyelamatan/rescue, pada saat cervix yang inkompeten baru dikenali pada ibu dengan kelahiran preterm yang mengancam. Rescue cerclage cervix dilakukan pada wanita dengan dilatasi cervix yang diam/silent dan menonjol dari membran ke dalam vagina tetapi tidak disertai kontraksi uterus sebelumnya (gambar 2.3). (Gary C., et al, 2010) 2.5.3 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) Peran penting dari sel inflamasi prostaglandin dan sitokin dalam etiologi persalinan prematur menunjukkan bahwa non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) dapat bermanfaat dalam mencegah kelahiran prematur. NSAID bekerja terutama dengan menginhibisi enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisasi sintesis prostaglandin. Akan tetapi, berbagai OAINS juga memiliki aksi mekanisme lain meliputi efek pada jalur sinyal intraselular dan pada faktor transkripsi termasuk NF-kappa B. Ada dua isoform utama pada enzim cyclo-oxygenase disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah secara konstitutif diekspresikan dalam sel mayoritas, sedangkan COX-2 ialah bagian yang menginduksi dan mengkatalisis sintesis prostaglandin pada tempat peradangan. COX-2 merupakan cyclo-oxyge nase utama yang terkait dengan meningkatnya sintesis prostaglandin yang muncul saat terjadinya persalinan. (Phillip Bennett, 2007) Oligohidramnios terjadi pada 30% dari janin yang terkena indometasin. Efek ini tergantung dosis dan mungkin terjadi baik dengan penggunaan jangka pendek maupun

14

jangka panjang. Penghentian terapi biasanya menghasilkan pergantian cepat janin normal urin output dan resolusi dari oligohydramnion. (Phillip Bennett, 2007) Penyempitan terjadi ductus arteriosus hingga 50% janin terkena indometasin pada usia kehamilan lebih besar dari 32 minggu.. Duktus penyempitan terlihat jarang di bawah usia kehamilan 32 minggu dan lebih jarang di bawah usia kehamilan 28 minggu. Terapi indometasin jangka panjang, terutama setelah usia kehamilan 32 minggu berhubungan dengan risiko hipertensi paru bayi secara signifikan. (Phillip Bennett, 2007) Jika NSAID seperti indometasin harus digunakan, misalnya, sebagai terapi jangka pendek dalam penggunaan cervix cerclage, maka penting bahwa harus ada USG untuk melihat produksi urin janin atau indeks cairan ketuban dan dari ductus arteriosus dan terapi harus dihentikan ketika muncul efek samping. (Phillip Bennett, 2007) 2.6 Penatalaksanaan 2.6.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Dan Persalinan Preterm 2.6.1.1 Riwayat Pecah Ketuban Preterm Meskipun komplikasi ini hanya ditemukan pada 1,7 persen kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20 persen kematian perinatal selama periode waktu ini. Pada saat masuk, 75 persen wanita sudah in partu, 5 persen melahirkan karena penyulit lain, dan 10 persen lainnya melahirkan setelah persalinan spontan dalam 48 jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecah-nya ketuban. Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai pelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah (Carroll dkk., 1995a). Gambar 2.5, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, hanya diperlukan beberapa hari saja hingga pelahiran terjadi disbanding dengan trimester kedua. (Gary C., et al, 2010)

15

Gambar 2.5 Hubungan interval waktu antara ketuban pecah dini dan pelahiran pada 172 kehamilan tunggal. (Kotak = yang bertahan; lingkaran = kematian karena prematuritas; segitiga = kematian akibat hipoplasia paru) (Gary C., et al, 2010) 2.6.1.2 Rawat Inap Sebagian besar ahli kebidanan merawat inap wanita dengan kehamilan yang mengalami penyulit pecah ketuban preterm. Keprihatinan tentang biaya perawatan rumah sakit yang lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang setelah ketuban pecah.. Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan inap dan masa tinggal ibu di rumah sakit berkurang 50 persen pada ibu yang dikirim pulang 14 menjadi 7 (hari). Yang penting, para peneliti ini menekankan bahwa penelitian ini terlalu kecil untuk nenyimpulkan bahwa penatalaksanaan di rumah aman-aman saja. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.1.3 Penatalaksanaan Menunggu Meskipun ada banyak sekali literatur mengenai penatalaksanaan menunggu pada ketuban pecah preterm, baru sedikit penelitian acak yang telah dilakukan. Dalam penelitian acak wanita yang menerima tokolitik dan terapi menunggu. Peneliti menyimpulkan intervensi aktif tidak memperbaiki hasil perinatal. (Garite dkk, 1981, 1987; Nelson dkk, 1985). (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.1.4 Pelahiran Disengaja Pelahiran secara sengaja banyak dipraktikkan sebelum tahun 1970-an karena ketakutan akan terjadi sepsis. Telah dilakukan dua percobaan acak tentang pelahiran disengaja pada kehamilan dengan penyulit pecah ketuban preterm. Mercer dkk. (1993) mengacak 93 kehamilan dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara 32 dan 36 minggu untuk melahirkan dibandingkan dengan penatalaksanaan menunggu. Semua mencatat adanya pematangan paru janin. Pelahiran secara sengaja mengurangi lama perawatan ibu di rumah sakit dan juga menurunkan angka infeksi baik pada ibu maupun neonatus. Cox dan Leveno (1995) juga mengacak 129 wanita dengan pecah ketuban pada usia gestasi

16

antara 30 dan 34 minggu. Terdapat satu kematian janin (akibat sepsis) pada kehamilan yang ditangani secara menunggu dan tiga kematian neonatal (dua diantaranya karena sepsis dan satu karena hipoplasia paru). Pada bayi yang dilahirkan dengan sengaja. Kedua pendekatan penatalaksanaan tersebut dirasa tidak memuaskan. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.1.5 Korioamnionitis Nyata Banyak peneliti yang beranggapan bahwa pecah ketuban yang lama berhubungan dengan peningkatan mortalitas fetal dan maternal (Ho dkk, 2003). Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin-sebaiknya pervaginam. Sayangnya satu-satunya indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38OC (100,4F) atau lebih yang menyertai pecah ketuban menandakan infeksi. Leukositosis ibu saja dinyatakan tidak dapat diandalkan. Selama penatalaksanaan menunggu, observasi ibu dan takikardi janin, lunaknya uterus, dan keluarnya cairan dari vaginam yang bau perlu dilakukan. (F. Gary C., et al, 2010) Pada korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus meningkat secara nyata. Disimpulkan bahwa bayi dengan berat lahir sangat rendah rentan terhadap cedera neurologis yang menyertai korioamnionitis. (F. Gary C., et al, 2010)

2.6.1.6 Percepatan Pematangan Fungsi Paru Glack (1979) menekankan bahwa produksi surfaktan kemungkinan dipercepat jauh sebelum aterm pada kehamilan yang dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau janin. Contohnya antara lain penyakit ginjal atau kardiovaskular kronis, gangguan hipertensi lama yang disebabkan oleh kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan janin terhambat, infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm. Pandangan ini dianut secara luas meskipun data yang lebih baru menyangkal adanya hubungan ini. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.1.7 Terapi Antimikroba Efek menguntungkan dari obat antimikroba: (1) lebih sedikit wanita yang mengalami korioamnionitis; (2) lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis, dan (3)

17

kehamilan lebih sering memanjang 7 hari pada ibu yang diberi antimikroba. Angka harapan hidup tidak dipengaruhi, demikian pula insiden enterokolitis nekrofikans, gawat napas, atau perdarahan intracranial. (F. Gary C., et al, 2010) Beberapa memprediksi terapi antimikroba lama pada kehamilan ini menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Carroll dkk. (1996) serta Mercer dkk. telah menyatakan keprihatinan bahwa terapi seperti ini potensial meningkatkan risiko seleksi pathogen yang resisten.(F. Gary C., et al, 2010) 2.6.1.8 Kortikosteroid The National Institus of Health Consensus Development Confrence (2000) menganjurkan pemberian tunggal kortikosteroid antenatal pada ibu dengan pecah ketuban preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu dan yang tidak ditemukan adanya korioamnionitis. Sejak saat itu, banyak penelitian metanalisis yang dilakukan, dan berdasarkan the American College Obstetrics and Gynecologist (2007), terapi kortikosteroid dosis tunggal dianjurkan pada usia kehamilan 24-32 minggu. Tidak ada consensus yang menyatakan terapi tersebut. Pemberian tidak dianjurkan pada usia kehamilan sebelum 24 minggu. (F. Gary C., et al, 2010)

2.6.2 Persalinan Preterm Dengan Selaput Janin Utuh Penatalaksanaan antepartum pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala persalinan preterm serta selaput ketuban intak kurang lebih sama dengan yang telah diuraikan untuk kehamilan dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan terapi adalah menghindari pelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila mungkin. Obat-obat yang ditujukan untuk menghentikan atau menekan kontraksi uterus sering diberikan, dan hal ini akan dibahas kemudian. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.2.1 Amniosentesis untuk Mendeteksi Infeksi Romero dan rekannya (1993) mencoba mengevaluasi nilai diagnostic dari cairan amnion dengan leukositosis, kadar gula yang rendah, konsentrasi interleukin-6 yang tinggi, atau adanya bakteri gram positif pada 120 wanita dengan kelahiran prematur dan

18

membrane yang utuh. Hasil investigasi ini menemukan bahwa tidak ditemukan bakteri pada cairan amnion pada 99% wanita. Konsentrasi interleukin-6 sebanyak 82% spesifik untuk mendeteksi cairan amnion yang mengandung bakteri. The American College Obstetrics and Ginecology (2003) menyimpulkan bahwa tidak ada bukti melakukan amniocentesis rutin untuk mengidentifikasi suatu infeksi. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.2.2 Terapi Kortikosteroid Untuk Kematangan Paru Janin Terapi kortikosteroid efektif dalam menurunkan insidensi dari respiratory distress dan angka kematian neonatal jika kelahiran dapat ditunda setelah pemberian awal betametason. Bayi baru lahir yang terekspose terapi ini tidak mendapatkan penyakit sampai usia 31 tahun. Penelitian Liggins dan Howie (1972) merangsang lebih dari 35 tahun penelitian paru-paru janin lainnya. Dan pada tahun 1995, National Institute of Health Consensus Development merekomendasikan penggunaan kortikosteoid untuk pematangan paru-paru janin yang terancam kelahiran preterm. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.2.3 Metode-Metode Untuk Menghambat Persalinan Preterm 2.6.2.3.1Tirah Baring Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah tirah baring selama kehamilan. Pada tahun 1994, Goldenberg dkk. telah mengulas tirah baring yang digunakan untuk merawat berbagai macam komplikasi kehamilan dan tidak menemukan bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah kelahiran preterm. 2.6.2.3.2 Hidrasi Dan Sedasi Helfgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan sedasi pertama secara acak yang dibandingkan dengan tirah baring saja dalam perawatan 119 wanita yang sedang dalam persalinan preterm. Wanita yang diacak untuk mendapatkan terapi menerima 500 mL larutan Ringer Laktat secara intravena dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfat intramuskular. Terapi seperti ini ternyata tidak lebih menguntungkan daripada tirah baring saja. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.2.3.3 Agonis Reseptor Beta Adrenegik

19

Banyak senyawa bereaksi dengan reseptor -adrenergik untuk mengurangi kadar ion kalsium intraseluler dan mencegah protein yang mengaktivasi kontraksi miometrium. Dalam kondisi yang akut, obat-obatan dapat diberikan secara intravena (ritodrine dan terbutaline) atau secara subkutan (terbutaline). Dosis ditingkatkan sampai uterus ibu menjadi tenang atau terjadinya efek samping yang mencegah dari meningkatkan dosis lebih lanjut. Terjadinya tachyphylaxis terjadi dengan cepat. Di Amerika Serikat, ritodrine dan terbutaline telah digunakan dalam obstetri, namun hanya ritodrin hidroklorida yang telah diakui oleh Food and Drug Administration untuk mengobati persalinan preterm. (Ronald S. Gibbs et al, 2008; F. Gary C., et al, 2010) 2.6.2.3.4 Magnesium Sulfat Magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengubah kontraktilitas miometrium in vivo dan in vitro. Perannya diperkirakan sebagai antagonis kalsium. Steer dan Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium sulfat yang diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal diikuti dengan infuse kontinu 2 g/jam, biasanya akan menghentikan persalinan. Ibu yang diberikan magnesium sulfat harus diobservasi karena adanya bahaya hipermagnesemia. (F. Gary C., et al, 2010) Magnesium sulfat juga memberikan efek janin dan bayi baru lahir secara signifikan. Magnesium sulfat melintasi plasenta dan berakumulasi dalam janin. Akibatnya, dapat mempengaruhi parameter biofisik janin (terutama aktivitas pernapasan janin) dan penurunan variabilitas detak jantung janin. Neonatus yang lahir dengan konsentrasi magnesium sulfat tali lebih dari 4 mg per 100 mL mungkin menunjukkan tanda-tanda depresi, termasuk penurunan otot, mengantuk, usaha pernapasan yang buruk, dan skor Apgar yang rendah. Kasus bayi osteoporosis dengan patah tulang terkait telah dilaporkan pada seorang wanita diterapi dengan tokolitik jangka panjang dengan magnesium sulfat. (Ronald S. Gibbs et al, 2008) 2.6.2.3.5 Inhibitor Prostaglandin Indometasin menghentikan kontraksi dan menunda kelahiran. Indometasin dapat digunaka secara per oral atau per rectal. (F. Gary C., et al, 2010) Indometasin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan hematologi, penyakit ulkus peptikum, dan diketahui alergi dan tampaknya dapat meningkatkan waktu

20

pendarahan. Kontraindikasi relatif pada penyakit ginjal ibu. Indometasin tidak secara signifikan mempengaruhi perfusi uteroplacental atau nilai Apgar. (Erol Amon et al, 2007) Komplikasi pada janin paling signifikan berhubungan dengan penutupan ductus arteriosus yang prematur, gagal jantung kanan, dan kematian janin. Jenis prostaglandin E memungkinkan ductus arteriosus tetap paten, sedangkan indometasin cenderung membuat ductus menutup, lebih cenderung menutup duktus reversibel setelah beberapa minggu. Penutupan duktus yang ireversibel dapat terjadi pada usia kehamilan lebih tua, lebih dekat dengan waktu penutupan fisiologis, namun ada laporan kasus terjadinya kematian janin diakibatkan penutupan duktus yang lengkap. (Erol Amon et al, 2007) 2.6.2.3.6 Obat Penyekat Saluran Kalsium Aktivitas otot polos, termasuk miometrium, secara langsung berhubungan dengan kalsium bebas di dalam sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium akan menghambat kontraksi. Nifedipine telah digunakan sebagai obat tokolitik. Banyak protokol untuk nifedipine. Umumnya, 10 mg nifedipine diberikan peroral. Jika kontraksi tetap ada, dosis dapat diulang setiap 20 menit untuk total 30 mg dalam 1 jam. Hipotensi maternal dapat terjadi secara relatif umum. Jika terjadi hipotensi berkembang, nifedipine dosis tambahan harus diberikan. Sekali kontraksi menurun, pasien dapat menerima 10 mg setiap 6 jam nifedipine per oral atau menerima 30-60 mg nifedipine sustainde release per hari. Nicardipine, yaitu relaksan uterus yang kuat, dapat diberikan sebanyak 40-mg dalam 2 jam dengan dosis maksimum 80 mg jika kontraksi rahim tidak mereda. Dapat dilanjutkan dengan pemberian nicardipine 45 mg sustained-release setiap 12 jam. (Ronald S. Gibbs, 2008) 2.6.2.3.7 Ikhtisar Penggunaan Tokolitik Untuk Kelahiran Preterm Pada banyak wanita, tokolitik dapat menghentikan kontraksi sementara, namun jarang mencegah dari persalinan preterm. Dalam metaanalisis terapi tokolitik, Gyetvai dan koleganya (1999) menyimpulkan meskipun persalinan dapat ditunda untuk pemberian kortikosteroid, pengobatan tidak memperbaiki hasil perinatal. Berkman dan rekannya (2003) meninjau ulang 60 laporan dan menyimpulkan bahwa tokolitik dapat memperlama gestasi, tetapi Agonis- tidak lebih baik dari obat-obat lainnya, malahan dapat berbahaya

21

buat ibunya. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat dari terapi tokolitik pemeliharaan. (F. Gary C., et al, 2010) Merujuk kepada aturan secara umum jika diberikan tokolitik, maka kortikosteroid harus juga seiring diberikan. Rentang usia kehamilan untuk diberikannya obat ini masih diperdebatkan, namun karena kortikosteroid tidak umum digunakan setelah usia kehamilan 33 minggu dan karena hasil perinatal pada umumnya baik setelah usia kehamilan 33 minggu, maka kebanyakan dokter tidak menggunakan tokolitik dan kortikosteroid pada usia kehamilan 33 minggu atau lebih. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.3 Penatalaksanaan Intrapartum Secara umum, semakin imatur janinnya, semakin besar risiko akibat persalinan dan pelahiran. 2.6.3.1 Persalinan Apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari, lebih baik dengan pemantau elektronik .kontinu. Takikardia janin terutama bila terjadi pecah ketuban,menandakan adanya sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa asidemia intrapartum dapat memperberat beberapa komplikasi neonatal yang biasanya hanya ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya, Low dkk. (1995) mengamati bahwa asidosis intrapartum pH darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0 memainkan peran penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin dkk. (1996b) menemukan bahwa peningkatan asidemia darah arteri umbilikalis berhubungan dengan penyakit pernapasan yang lebih berat pada neonatus preterm meski tidak ditemukan efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi perdarahan intrakranial. (F. Gary C., et al, 2010) Infeksi streptokokus grup B sering terjadi dan berbahaya pada neonatus preterm, sehingga terapi profilaksis sebaiknya diberikan. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.3.2 Pelahiran Bila mulut vagina tidak relaks, episiotomi untuk pelahiran mungkin dapat bermanfaat begitu kepala janin mencapai perineum. Hasil perinatal tidak menganjurkan penggunaan forceps untuk melindungi kepala janin preterm yang fragile (mudah

22

pecah). Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus pada kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka ketahanan hidup bayi-bayi ini jika mereka dilahirkan di pusat perawatan tersier. (F. Gary C., et al, 2010) 2.6.3.3 Pencegahan Perdarahan Intrakranial Neonatal Bayi-bayi preterm sering mengalami perdarahan matriks germinal yang dapat meluas menjadi perdarahan intraventrikel yang lebih serius. Dihipotesiskan bahwa seksio sesarea untuk meniadakan trauma persalinan dan pelahiran pervaginam mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Dalam studi terbesar, Malloy dkk. (1991) menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko kematian serta perdarahan intrakranial. Perdarahan ini berhubungan dengan apakah janinnya telah mengalami fase aktif persalinan atau belum. Menghindari fase aktif persalinan sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran preterm karena jalur pelahiran tidak ditetapkan sampai persalinan benar-benar telah pasti berlangsung. (F. Gary C., et al, 2010)

BAB III KESIMPULAN Kelahiran prematur adalah kelahiran pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara 500 sampai 2499 gram. Kelahiran prematur berhubungan dengan 2/3 banyaknya dari kematian bayi, dan terutama terjadi pada orang kulit hitam. Kelahiran prematur meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi dalam satu tahun pertama kehidupan Jumlah kelahiran prematur terus meningkat setiap tahunnya, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, dimana jumlah kelahiran prematur di Indonesia 16-18% dari seluruh kelahiran hidup. Pada wanita dengan persalinan prematur episode akut, tokolitik dapat diberikan dengan kortikosteroid antenatal. Namun obat-obatan tokolitik mempunyai potensi yang berbahaya dan harus digunakan dengan hati-hati dan harus terawasi. Saat ini, tidak ada data yang mendukung bahwa penggunaan tokolitik sebagai terapi pemeliharaan pada

23

wanita dengan persalinan prematur berhasil dicegah total. Pencegahan kelahiran prematur belum memberikan hasil yang diharapkan, walaupun data saat ini mendukung menggunakan progesteron sebagai upaya pencegahan. Wanita yang dalam persalinan prematur sebaiknya diberikan kortikosteoid antenatal berdasarkan guideline ACOG (American College Obstetrics and Gynecology) tahun 2002. Dengan adanya upaya penelitian-penelitian lebih lanjut diharapkan dapat lebih menjelaskan biologi kelahiran dan kelahiran yang tidak normal untuk dapat lebih mengembangkan terapi yang lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Anonymous. 2008. Fetal Fibronectin Test. Diakses tanggal 28 Mei 2011 dari http://www.mayoclinic.com/health/fetal-fibronectin/MY00128

2. Anonymous. 2010. Prematur Birth. Diakses tanggal 29 Mei 2011 dari

http://www.marchofdimes.com/professionals/14332_1157.asp
3. F. Gary Cunningham., Kenneth J. L., Stephen L. B., Dwight J. Rouse., John C. H.,

Catherine Y. Spong. 2010. Fetal Growth Diorder Dalam : EBook Williams Obstetric. 23st edition. New York : Mc graw Hill.
4. Goepfert, A.R. 2001. Preterm Delivery Dalam:Obstetrics and Gynecology

Principle for Practise. New York: McGraw-Hill.


5.

Hidayat Wijayanegara, Firman F Wirakusumah, Johanes C. Mose, et al. 2005. Persalinan preterm (kurang bulan) dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi

24

Obstetri dan Ginekologi RSHS.edisi kedua. Bandung: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RSHS. Hal: 48.
6.

Iams, J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery Dalam: Maternal-Fetal Medicine. 5th ed. Saunders.

7. Jazayeri, Alla hyar. 2008. Premature Rupture of Membranes. Diakses tanggal 27

Mei 2011 dari http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview.


8. Medlinux. 2007. Ruptur membran Prematur. Diakses tanggal 27 Mei 2011 dari

http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ruptur membran - pre-persalinan.html.


9. O'Connell, M.P. & Lindow, S.W. 2001. Reversal of asymptomatic cervical length

shortening with cervical cerclage: a preliminary study Dalam: Oxford Journal. Diakses tanggal 28 Mei 2011 dari http://humrep.oxfordjournals.org/cgi/content/full/16/1/172.
10. Rompas, J. 2004. Persalinan Preterm. Diakses tanggal 27 Mei 2011 dari

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145-11Persalinan preterm.pdf/145.
11. Ronald S. Gibbs, Beth Y.Karlan, Arthur F.Haney, Ingrid E. Nygaard. 2008.

Preterm Labor and Post-Term Delivery Dalam: E Book Danforth's Obstetrics and Gynecology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hal 173.
12. Ross, Michael G.

2009. Preterm Labor. Diakses tanggal 28 Mei 2011 dari

http://emedicine.medscape.com/article/260998-overview.
13. Sarwono Prawirorahardjo.2008. Persalinan Preterm. Dalam Ilmu Kebidanan. 4th

ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardjo. Hal 667-676.


14. Stoppler, C., Melisa. Bacterial Vaginosis. Diakses tanggal 27 Mei 2011 dari

http://www.medicinenet.com/bacterial_vaginosis/article.htm.
15. Sulaiman Sastrawinata, Djamhoer M., Firman F.2004. Persalinan kurang bulan

Dalam: Obstetri Patologi. 2th ed. Jakarta: ECG.


16. Weiss,

E.,

Robin.

The Diakses

Incompetent Cervix tanggal 27

Cerclage, Mei

Bedrest 2011

and dari

Other Treatments.

http://pregnancy.about.com/cs/incompetentcervix/a/aaincomp.htm.

25

You might also like