You are on page 1of 26

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................1 I. II. III. IV. V. PENDAHULUAN....................................................................................2-3 INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI............................................................

3 ETIOLOGI................................................................................................3-4 ANATOMI................................................................................................4-6 DIAGNOSIS................................................................................................6 Gambaran Klinis.......................................................................................6-7 Gambaran Radiologis.............................................................................7-17 VI. VII. VIII. IX. DIAGNOSIS BANDING ..........................................................................18 PENGOBATAN....................................................................................19-22 KOMPLIKASI......................................................................................22-24 PROGNOSIS..............................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA................................................................................25-26

SINUSITIS Nur Halimatussaniah Bte Ishak, Supriyati, Bachtiar Murtala I. PENDAHULUAN Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membrana mukosa sinus disertai nyeri lokal. Sesuai anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus disebut paranasal sinusitis. (1,2) Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. (2) Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. (2) Klasifikasi sinusitis dapat dikategorikan sebagai gejala berlangsung kurang dari 4 minggu dimana dengan pengobatan yang tepat dan cepat pasien bisa sembuh sepenuhnya. Sinusitis subakut merupakan

perkembangan gejala selama 4 hingga 12 minggu dan dinyatakan sinusitis kronis bila gejala berlangsung melebihi 3 bulan. (3) Terdapat beberapa gejala dan tanda yang bisa membedakan antara sinusitis akut, sinusitis subakut dan sinusitis kronis. Seperti radang-radang
2

akut timbul sebagai gejala sinusitis akut, hilangnya tanda radang akut dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible adalah tanda bagi sinusitis subkutan dan dikatakan sinusitis kronis ditandai dengan perubahan histologik mukosa irreversible, misalnya sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. (2) II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis dengan lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis lebih sering terjadi dari awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya sinusitis meningkat seiring dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus respiratorius lainnya. Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena mereka lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka perbandingannya 20% perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis lebih sering diderita oleh anak-anak dan dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus. (3) III. ETIOLOGI Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain.(3) Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit sinusitis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma. Adapun agen etiologinya dapat berupa virus, bakteri atau jamur. (4) a. Virus, sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, infeksi virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga

menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinyu dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus. Antara agen virus tersering menyebabkan sinusitis antara lain: Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan adenovirus.(4) b. Bakteri, organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan antara lain: Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Branhamella cataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Penyebab dari sinusitis kronik hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis akut. Namun karena sinusitis kronik berhubungan dengan drainase yang kurang adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung bersifat opportunistik, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob (Peptostreptococcus, Corynobacterium, Bacteroides, dan Veillonella). (4) c. Jamur, biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi

immunosupresif, dan immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS. Jamur penyebab infeksi biasanya berasal dari genus Aspergillus dan Zygomycetes. (5)

IV.

ANATOMI Hidung adalah organ penciuman dan jalan utama untuk udara masuk dan keluar dari paru. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang superior dan bagian lateral rongga hidung. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam tulang wajah yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. (6)

Gambar 1. Anatomi sinus paranasalis (dikutip dari kepustakaan no.7)

a. Sinus Maxillaris Sinus ini merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maxilla, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan palatum. (4) b. Sinus frontalis Sinus frontalis terletak di os frontal, terbagi dua kanan dan kiri yang biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah. Sinus frontalis biasanya tersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita

dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menyebar ke daerah ini. (4) c. Sinus Ethmoidalis Sinus ini berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi menjadi sinus ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus ethmoidalis anterior bermuara di meatus medius dan sinus ethmoidalis posterior bermuara di meatus superior. (4) d. Sinus sphenoidalis Sinus sphenoidalis terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoidalis posterior. Sinus sphenoidalis dibagi oleh dua sekat yang disebut septum intersphenoid. Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fossa serebri median dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus cavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi), dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons. (4) V. DIAGNOSIS Gambaran Klinis Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung sumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada muka dan mukus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip) dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. (2) Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maxilla, nyeri dia antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid,

nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maxilla kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. (2) Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.(2) Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis. Kadangkadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis, bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.(2) Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.(8)
-

Pemeriksaan foto kepala Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas

berbagai macam posisi antara lain: (8) a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell) b. Foto kepala lateral c. Foto kepala posisi Waters d. Foto kepala posisi Submentoverteks e. Foto Rhese f. Foto basis kranii dengan sudut optimal g. Foto proyeksi Towne
7

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.(8) a.Foto kepala posisi AP (Posisi Caldwell) Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal. (8)

Gambar 2. Foto kepala posisi Caldwell (diambil dari kepustakaan 9)

Gambar 3. Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut. (dikutip dari kepustakaan 8)

d. Foto lateral kepala Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain. (8)

Gambar 4. Foto lateral kepala (dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 5. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla (dikutip dari kepustakaan 3)

10

Pada sinusitis tampak : - penebalan mukosa - air fluid level (kadang-kadang) - perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal - penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik) (1)

e. Foto kepala Posisi Submentovertical Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding posterior sinus maxillaris. (8)

Gambar 6. Foto kepala posisi submentoverteks (dikutip dari kepustakaan 9)

11

f. Foto posisi Waters Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. (8)

Gambar 7. Foto posisi Waters (dikutip dari kepustakaan 9)

g. Foto posisi Rhese Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain. (8)

12

Gambar 8. Foto posisi Rhese (dikutip dari kepustakaan 8)

h. Foto kepala posisi Towne Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 300-600 ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.proyeksi ini paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus posterior. (8) Pemeriksaan Tomogram. Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan pemeriksaan axial dan coronal CT-Scan. Pada Pemeriksaan Tomogram biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau Waters.(8)

13

Gambar 9. Foto posisi Towne (di kutip dari kepustakaan 8) Pemeriksaan CT-Scan Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis. (10)

14

Gambar 10. Foto normal CT Scan sinus Maxilla

(dikutip dari kepustakaan 8)

Gambar 11. Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan. (dikutip dari kepustakaan 17)

15

Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. (1)

Gambar 12. Foto CT-Scan axial memperlihatkan gambaran sinusitis ethmoid dan sphenoid dextra dengan destruksi dinding lateral sinus sphenoid dextra (dikutip dari kepustakaan 3)

Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah terapi konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin terjadi pada kasus tersebut, ialah: - Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air fluid level - Polip yang mengisi ruang sinus - Polip antrakoana - Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus - Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas berbentuk konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada mukokel didaerah sinus etmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT. - Tumor(1)
16

Pemeriksaan MRI MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan struktur

jaringan lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek tumor dan sinusitis fungal. Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan CT Scan dalam mengevaluasi sinusitis. MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang yang kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat dan sulit dilakukan pada pasien klaustrofobia. (10) MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan mengenali mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk mendeteksi empiema subdural atau epidural. (11)

Gambar 13. Foto MRI normal sinus. (dikutip dari kepustakaan 3)

17

Gambar 14. Foto MRI menunjukkan ekstensi intraorbital sinus ethmoid bagian kanan (dikutip dari kepustakaan 3)

V.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari sinusitis paranasalis yaitu: 1. Fibrosa kistik Pada gambaran CT Scan, lebih dari 90% pasien fibrosa kistik juga terdapat gambaran seperti sinusitis kronik yaitu tampak gambaran perselubungan dan displacement dari dinding lateral cavum nasi pada meatus medius. Tampak pula pembengkakan pada dinding lateral cavum nasi dengan penumpukan mucus pada sinus maxillaris. (12)

18

Gambar 12. Foto CT Scan Axial memperlihatkan gambaran penumpukan di sinus maxilla. (dikutip dari kepustakaan 12)

2. Polip Nasi Pada gambaran CT Scan tampak pembesaran/ penebalan dinding nasal lateral, polip antral-choanal juga dapat memberikan gambaran perselubungan pada sinus maxillaris dengan lesi yang menonjol ke atas dari antrum maxillaris ke choanae. (13)

Gambar 13. Foto CT Scan coronal. Tampak opaque seluruh sinus paransalis dengan soft tissue memenuhi cavum nasi.(dikutip dari kepustakaan 16).

19

VI.

PENGOBATAN Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi dan mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di kompleks ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. (2) Penatalaksanaan sinusitis supuratif dapat dibagi menjadi penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan bedah dapat berupa penatalaksanaan bedah minor, pembedahan di poliklinik atau intervensi di ruang operasi. (14)

1. Penatalaksanaan Medis Karena sebagian besar infeksi sinusitis supuratif akut disebabkan oleh organisme gram-positif yang kebanyakannya Diplococcus pneumonia,

Staphylococcus aureus, Steptococcus (grup A,B,dan D), dan Heamophilus influenza (gram negatif) disertai hospes organisme anaerob, maka terapi terpilihnya penisilin G. Penisilin G juga merupakan pilihan yang baik terapi awal dan definitive untuk kokus gram negatif, basal gram positif dan gram negative. Ini kunci utama penatalaksanaan medis pada sinusitis supuratif akut. Untuk H.influenza, diindikasikan pemberian ampisilin. (15) Terapi antibiotic harud diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Lama terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinussinus yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat; bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik. .(14) Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase dan pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal. .(2)

20

Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat. Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis. .(15)

2. Penatalaksanaan Bedah Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah drainase sinus yang terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit. Hal ini diperlukan (1) bila terancam komplikasi, (2) untuk menghilangkan nyeri hebat, dan (3) bila pasien tidak berespon terhadapat terapi medis. .(14) a) Pembedahan Radikal Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus ethmoidalis dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi Kilian. Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal). .(2) b) Pembedahan Non-Radikal Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. .(2)

VII.

KOMPLIKASI Komplikasi sinusitis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila

tidak mendapatkan penanganan yang baik dan adekuat. Letak sinus paranasal

21

yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada infeksi sinusitis akut ataupun kronik. .(2) Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena : 1). terapi yang tidak adekuat, 2). daya tahan tubuh yang rendah 3). virulensi kuman dan 4). penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.(2) Komplikasi yang sering ditimbulkan antara lain sebagai berikut: 1. Komplikasi ke mata Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus ethmoid dan sphenoid, batas superior sinus frontal dan batas inferior sinus maxilla. Sinusitis merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi ke mata, 17 % berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan. .(4,15) Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak lebih sering. Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Ethmoiditis sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maxilla.(2) 2. Komplikasi intrakranial Komplikasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang terbentuk.(4) Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal : 1. Osteomielitis : penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke

tulang kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala tampak odem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di superiosteum.(4,16) 2. Epidural abses terdapat timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat longgar pada tulang dahi. Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam. .(4)
22

3.

Subdural empiema, terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun

penyebaran langsung dari abses epidural. Gejala nyeri kepala hebat, ada tandatanda iskemik/infark kortek seperti hemiparesis, hemiplegi, paralisis n.Facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan akhirnya kesadaran menurun. .(4) 4. Abses otak. Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Bila abses timbul perlahan, gejala neurologi tak jelas tampak, bila odem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur. .(4) 5. Meningitis. Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari sinus ethmoid dan sphenoid. Gejala-gejala tampak jelas : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. .(4)

Gambar 13. Foto CT Scan axial orbital. Tampak infiltrasi soft tissue periorbital sinistra komplikasi dari kegagalan pengobatan sinusitis maxillaris. (dikutip dari kepustakaan 16)

23

Gambar 14. Foto CT Scan orbita posterior. Ekstansi dari sinusitis maxillaris ke dalam orbita. (dikutip dari kepustakaan 16)

VIII. PROGNOSIS Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70% penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi bedah, namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan. .(15)

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdy Ghazali Malueka, Sinus Paranasal (SPN). Sinusitis. Dalam: Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, cetakan ketiga; april 2011, p. 116-118 2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001.hal.150-3 3. Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Updated Apr 2, 2012. Available from: http//emedicine.medscape.com/article/232670overview#a0156 4. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT ( BOIES Fundamental of Otolaryngology). 1997.hal.240-59. 5. Leignton S, Robson A, Russell J. Rhinosinusitis. In : Burton M. Hall & Colmans Diseases of Ear, Nose and Throat.Fifteenth Edition. London: Churchill Livingstone; 2000.p.111-7 6. Moller TB, Reif E. Nasal Sinuses. In : Pocket Atlas OF Radiologic Anatomy. Second Edition. New York:Thieme Suttgart; 2000.p.19-22 7. Frank H Netter, MD, paranasal sinuses, nasal region, dalam: Atlas of Human Anatomy 4th edition, Pennysylvania, Saunders Elsevier, 2006, p.48 8. Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi FKUI; 2005. Hal 431-45 Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran;

25

9. Dr Tomas Sempere Dura, Orbit And Paranasal Sinuses Conventional XRays. Dalam : Atlas Of Anatomy By Sectional Imaging, Berlin, Bayer Health Care; 2009 10. Okuyemi KS, Tsue TT. Radiologic Imaging In The Management Of Sinusitis. In: Siwek J. Radiologic Decision Making. Kansa: University of Kansas School Of Medicine;2002.p.1882-6 11. Nicoll D, McPhee SJ, Pignone M, Chou TM, Detmer WM. Sinusitis. In: Pocket Guide To Diagnostic Test. Third Edition. San Francisco: Lippincott Williams &Wilkins Publisher,1999.p.208 12. Murray N. Sinonasal Manifestations of Cystic Fibrosis. In: Meyers AD, MD. 2011 [cited 2011 July 7]. Available from: http://www.medscape.com 13. John E McClay, MD. Overview of Nasal Polyps. In : Mayer Md, AD. 2012 [cited 2012 April 2012] Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview 14. Cody DT, Kern EB, Pearson BW, Sinusitis. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung Dan Tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2002.hal 233-9 15. Shah AR, Salamone FN, Tani TA, Acute & Chronic Sinusitis. In : Lalwni AK. Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head & Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill; 2008.P.273-81 16. Chavda SV, Oliff JFC. The Sinuses. In : Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getting Started In Clinical Radiology. New York: Getting Started In Clinical Radiologic; 2006.P. 1519-29 17. Russell A.Faust, PhD,MD. Development Of The Paranasal Sinuses In Children. In: Ask The Boogor Doctor. 2010. Available From: http://www.boogordoctor.com/2012/02/development-of-the-paranasalsinuses-in-children/

26

You might also like