You are on page 1of 7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan mulai tanggal 10 Oktober sampai dengan 24 Oktober 2011 di RSUDZA Banda Aceh, dengan jumlah sampel sebanyak 75 orang. Data diambil berupa data sekunder penderita hiperemesis gravidarum yang diperoleh melalui pencatatan terhadap rekam medik pasien periode Januari 2007 s/d Desember 2010. 4.2 Karakteristik Sampel Jumlah seluruh populasi yang ditemukan pada penelitian ini adalah sebanyak 99 orang. Jumlah sampel pasien hiperemesis gravidarum yang sesuai dengan kriteria inklusi adalah 75 orang (n=75), sedangkan pasien hiperemesis gravidarum yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi adalah 24 orang (n=24). Data lengkap terlihat pada gambar 4.1.

76%

24%

Kriteria inklusi

kriteria ekslusi

Gambar 4.1 Distribusi Hasil Berdasarkan Jumlah Sampel Berdasarkan gambar 4.1 diatas ditemukan 75 pasien yang termasuk kedalam kriteria inklusi yaitu berkisar dari umur 20 tahun sampai 35 tahun, sedangkan yang termasuk kedalam kriteria ekslusi sebanyak 24 pasien berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.

27

28

4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Usia Penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada penelitian ini mempunyai usia berkisar dalam rentang 20 tahun sampai 35 tahun. Berdasarkan jumlah sampel yang diteliti, paling banyak terdapat pada rentang umur 26 tahun 30 tahun sebanyak 34 orang (45%), kemudian rentang umur 20 tahun 25 tahun sebanyak 27 orang (36%) dan yang terakhir pada rentang umur 31 tahun 35 tahun sebanyak 14 orang (19%). Data lengkap terlihat pada gambar 4.2.

36%

45%

19%

20 tahun -25tahun

26 tahun -30tahun

31 tahun -35tahun

Gambar 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Umur Umur ibu mempunyai pengaruh yang erat dengan perkembangan alat reproduksi. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisik organ tubuh ibu dalam menerima kehadiran dan mendukung perkembangan janin. Umur juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap persalinan dan kehamilan. Umur yang terlalu muda merupakan suatu faktor resiko terjadinya hiperemesis gravidarum. Hal ini terutama terjadi pada wanita hamil yang berusia dibawah umur 30 tahun (Wilcox et al., 2009). Pada penelitian ini didapatkan hiperemesis gravidarum lebih sering mengenai ibu hamil pada rentang umur 26 tahun 30 tahun, kemudian diikuti oleh umur 20 tahun 25 tahun, dan umur 31 tahun 35 tahun. Keadaan ini diduga terkait dengan faktor-faktor lain seperti faktor keturunan, stress, berat badan yang rendah pada masa kehamilan dan riwayat mengalami hiperemesis gravidarum pada

29

kehamilan sebelumnya. Pada ibu hamil yang berusia muda, stress merupakan faktor yang paling sering dikaitkan dengan hiperemesis gravidarum dimana hal ini dapat memicu terjadinya mual dan muntah (Buckwalter dan Simpson, 2002). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini, bahwa hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi pada wanita hamil yang berusia dibawah 30 tahun (Goodwin, 2008). Namun tidak disebutkan secara spesifik mengenai umur dibawah 30 tahun tersebut. 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Status Kehamilan Penderita hiperemesis gravidarum pada penelitian ini dikelompokan menjadi 2 bagian berdasarkan status kehamilan yaitu primigravida dan multigravida. Hasil penelitian menunjukan bahwa penderita hiperemesis gravidarum dengan status kehamilan primigravida sebanyak 51 orang (68%) dan multigravida sebanyak 24 orang (32%). Data lengkap terlihat pada gambar 4.3.

68%

32%

Primigravida

Multigravida

Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Status Kehamilan Primigravida adalah wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilan sedangkan multigravida adalah wanita yang sudah pernah mengalami kehamilan sebanyak 2 kali atau lebih (Prawirohardjo, 2002). Faktor resiko yang paling sering ditemukan pada penderita hiperemesis gravidarum adalah primigravida. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa 60% - 80% primigravida mengalami

30

hiperemesis gravidarum dan 40% -

60% mutigravida mengalami hiperemesis

gravidarum. Hal ini berhubungan dengan tingkat stres dan usia ibu hamil saat mengahapi kehamilan pertama. Pada Primigravida, faktor psikologik memegang peranan penting terhadap terjadinya hiperemesis gravidarum. Rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, serta takut terhadap tanggung jawab menjadi seorang ibu dapat menyebabkan terjadinya konflik mental yang akan memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian dari kesukaran hidup. Multigravida yang mengalami hiperemesis gravidarum biasanya terkait dengan riwayat kehamilan pertama, kurangnya pengalaman pada kehamilan pertama dan tingkat stres yang tinggi pada saat menghadapi kehamilan sehingga menimbulkan resiko terjadinya hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 2005). Hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi pada primigravida (68%) dari pada multigravida (32%). Karena pada primigravida belum mampu beradaptasi terhadap peningkatan hormon estrogen dan khorionik gonadotropin. Peningkatan hormon ini membuat kadar asam lambung meningkat sehingga muncul keluhan rasa mual. Keluhan ini biasanya muncul di pagi hari saat perut penderita dalam keadaan kosong dan terjadi peningkatan asam lambung (Ogunyemi dan Fong, 2009). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Buckwalter dan Simpson (2002) menunjukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini yaitu primigravida lebih sering mengalami hiperemesis gravidarum. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prawirohardjo (2005) bahwa primigravida lebih sering mengalami hiperemesis gravidarum dari pada multigravida dengan persentase sebesar 60% - 80%. 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Manifestasi Klinis Penderita hiperemesis gravidarum yang ditemukan pada penelitian ini disusun berdasarkan manifestasi klinis tingkat I yaitu muntah sebanyak 75 orang (100%), anoreksia sebanyak 71 orang (95%), kondisi lemah sebanyak 60 orang (80%), nyeri epigastrium sebanyak 15 orang (20%), dan tekanan darah sistolik menurun sebanyak 5 orang (7%). Sedangkan mata cekung, nadi meningkat 100x/menit, berat badan menurun, turgor kulit menurun, serta lidah mengering

31

tidak ditemukan pada data pasien yang diteliti. Untuk manifestasi klinis tingkat II dan tingkat III juga tidak ditemukan pada data pasien yang diteliti. Data lengkap dapat dilihat pada gambar 4.4.

100%

95%

80% 20% 7% T eka na n da ra h si sto l i k menurun

Munta h

Ano reksi a

L ema h

Ny eri epi g a stri um

Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Hiperemesis Gravidarum Berdasarkan Manifestasi Klinis Muntah merupakan salah satu tanda-tanda dugaan hamil yang sering terjadi pada bulan pertama kehamilan dan berakhir pada minggu ke-14 (Wiknjosastro, 2005). Setiap wanita hamil juga memiliki tingkat derajat mual yang berbeda beda, ada yang tidak terlalu merasakan perasaan mual dan muntah, tetapi ada juga yang merasakan sangat mual dan ingin muntah setiap saat sehingga memerlukan pengobatan (Evans, 2007). Pada hiperemesis gravidarum keadaan ini dapat berlangsung hebat selama masa kehamilan sehingga menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau gangguan elektrolit yang dapat mengganggu aktivitas sehari hari (Mochtar, 1998). Ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dapat mengalami frekuensi muntah lebih dari 4 kali dalam 24 jam (Lacroix et al., 2000). Dan ada juga yang menyatakan bahwa frekuensi muntah pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis dalam 24 jam dapat mencapai lebih dari 10 kali (Babak, 2004). Batas jelas antara mual dan muntah yang masih dalam batas wajar dengan hiperemesis gravidarum tidak ada, tetapi bila keadaan umum penderita terpengaruh sebaiknya ini dianggap sebagai hiperemesis gravidarum (Winkjosastro, 2005). Penelitian ini menunjukan bahwa muntah merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum. Terjadinya muntah pada hiperemesis gravidarum diduga karena adanya

32

peningkatan kadar hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dalam serum sehingga menyebabkan rangsangan pada pusat muntah yaitu CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) yang terletak pada area postrema batang otak yaitu medulla oblongata. Kemudian CTZ akan merangsang muntah melalui saraf trigeminus (N V), saraf fasialis (N VI), saraf glossofaring (N IX), saraf vagus (N X) dan saraf hipoglosus (N XII) pada saluran cerna bagian atas dan juga melalui saraf spinal pada otot diagfragma (Lippincott dan Wilkins, 2008). Penelitian yang dilakukan Vikanes (2010) menunjukan hasil yang sama dengan penelitian ini, bahwa muntah merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada ibu hamil yang menderita hiperemesis gravidarum dengan persentase sebesar 80% kemudian disusul oleh anoreksia dengan persentase sebesar 65% , berat badan menurun dengan persentase sebesar 47%, keadaan lemah dengan persentase 35%, turgor kulit menurun dengan persentase sebesar 12%, nyeri epigastrium dengan persentase sebesar 8%, dan tekanan darah sistolik dengan persentase sebesar 2%. Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya data pada pasien hiperemesis gravidarum mengenai penurunan berat badan dan turgor kulit menurun. Anoreksia pada penelitian ini merupakan manifestasi ke dua yang sering dijumpai pada ibu hamil yang menderita hiperemesis gravidarum dengan persentase sebesar 95%. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan sekresi leptin dalam serum yang merangsang anorexigenic center di hipotalamus sehingga menimbulkan negative feedback pada hipotalamus ventromedial untuk menurunkan produksi neuropeptida yang berakibat pada penurunan nafsu makan (Luhesi et al., 2000). Penelitian yang dilakukan Gulley et al.(1993) menunjukan bahwa anoreksia memiliki persentase sebesar 55% dari seluruh pasien yang mengalami hiperemesis gravidarum. Kondisi lemah merupakan manifestasi ke tiga yang sering dijumpai pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dengan persentase sebesar 80%. Hal ini diduga karena rendahnya kadar glukosa dalam darah (hipoglikemia) yang disebabkan karena muntah yang berkepanjangan. Selain itu, keadaan ini diperberat oleh dehidrasi yang menyebabkan terjadinya hemokosentrasi sehingga aliran darah kejaringan berkurang (Fejzo et al., 2008).

33

Nyeri epigastrium merupakan manifetasi ke empat yang sering dijumpai pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dengan persentase sebesar 20% pada penelitian ini. Hal ini terjadi karena adanya aliran refluks asam lambung ke bagian bawah dari esofagus yang sering diperparah oleh kelemahan katup dari esofagus bagian bawah. Nyeri epigastrium ini sering menimbulkan sensasi rasa seperti terbakar (Gill et al., 2009). Tekanan darah sistolik menurun merupakan manifestasi klinis ke lima yang sering dijumpai pada ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dengan persentase sebesar 7%. Tekanan darah sistolik yang menurun sering juga disebut sebagai hipotensi sistolik. Hal ini disebabkan oleh dehidrasi, sehingga cairan intravaskuler berkurang dan aliran vena balik juga ikut berkurang akibatnya terjadi penurunan cardiac output. Dehidrasi juga dapat membuat otot jantung menjadi lemah untuk mempompakan darah dari jantung keseluruh tubuh dan mengakibatkan tekanan darah menjadi turun (David et al., 2008).

You might also like