You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Tanah sebagai media kehidupan berbagai organisme dewasa ini sangat dieksploitasi daya gunanya dengan menginfiltrasi senyawa-senyawa pemicu pertumbuhan dan pengendali jasad penggangu tanpa memperhatikan daya dukung tanah tersebut. Saat tanah mengalami polusi kondisi lingkungan secara fisik, kimia, maupun biologi akan mengalami perubahan yang berdampak pada kehidupan organisme yang hidup di tanah. Jika hal tersebut terjadi maka keseimbangan alam dapat terganggu. Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Kehidupan hewan tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas, dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah, dan unsurunsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewanhewan yang terdapat pada suatu habitat.Faktor lingkungan biotic bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti mikroflora, tumbuh tumbuhan, dan golongan hewan lainnya. Pada komunitas itu jenis jenis organisme saling berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi, dan penyakit (Nurdin, 1989). Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur, melakukan

pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin, merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes, 1997). Serangga pemakan bahan organik yang membusuk, membantu merubah zatzat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar (Suhardjono, 2000). Keanekaragaman fauna tanah pada musim atau tipe permukaan tanah yang berbeda memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan keanekaragaman suku yang tertangkap pada musim dan lokasi yang berbeda (Suhardjono, 1997). Pada keanekaragaman tegakan yang berbeda terdapat perbedaan mengenai

keanekaragaman jumlah suku dari serangga tanah (tegakan Dipterocarpaceae dan

Palmae, tegakan Dipterocarpaceae, serta tegakan Dipterocarpaceae dan Rosaceae) (Mercianto, 1997). Makrofauna tanah invertebrata yang terdiri dari epfauna dan infauna yang memegang peranan penting dalam proses pendegradasian seresah. Penelitian ini kami lakukan di Sadengan dan Pancur yang berlokasi di sekitar penginapan Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo Kecamatan Muncar, Purwoharjo dan Tegal Delimo, Kabupaten Banyuwangi Propinsi Dati I Jawa Timur. Kami memilih 2 vegetasi tersebut karena 2 vegetasi tersebut memiliki kondisi fisika kimia yang berbeda. Karena spesies yang ditemukan di salah satu habitat tersebut bisa saja tidak ditemukan di habitat lain. Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia memiliki keanekaragaman potensi sumber daya alam hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ordo dan struktur komunitas makrofauna tanah invertebrata yang ada di Taman Nasional Alas Purwo, dengan menghitung Indeks keanekaragaman, Indeks kemiripan, Indeks kesamaan struktur komunitas, Indeks kemerataan jenis, Indeks kekayaan jenis, Indeks dominasi dan pola distribusi. Lokasi pengambilan sampel pada dua habitat yaitu, Sadengan dan Pancur di Taman Nasional Alas Purwo. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja keanekaragaman Collembola yang ada pada jalur SadenganTrianggulasi dan Pancur-Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo? 2. Bagaimanakah distribusi Collembola pada jalur Sadengan-Trianggulasi dan Pancur-Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo? 1.3 Asumsi penelitian Kawasan Taman Nasional Alas Purwo masih alami dan belum terganggu oleh kegiatan manusia yang berlebihan serta memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi, maka makroinvertebrata tanah akan banyak ditemukan. Kami juga berasumsi bahwa di kedua tipe vegetasi mempunyai proporsi serasah yang sama. 3

1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keanekaragaman Collembola yang ada pada jalur SadenganTrianggulasi dan Pancur- Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo. 2. Mengetahui sruktur komunitas Collembola pada jalur Sadengan- Trianggulasi dan Pancur- Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo.

1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang tingkat keanekaragaman, tingkat kemiripan, pola distribusi, kesamaan komunitas, kepadatan jenis, dan dominansi makroinvertebrata tanah yang diukur di 2 habitat yaitu pada Sadengan dan Pancur di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur dan sebagai bahan informasi ilmiah tentang makrofauna tanah yang berguna untuk penelitian yang berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah. Manfaat dari penelitian yang akan kami lakukan kali ini adalah: 1. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang tingkat keanekaragaman Collembola di kedua habitat yaitu pada Sadengan dan Pancur di Taman Nasional Alas Puwo, Banyuwangi, Jawa Timur. 2. Menginventarisasi keanekaragaman Collembola yang ada di Taman Nasional Alas Purwo dan sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya. 3. Mengetahui struktur komunitas Collembola di Taman Nasional Alas Purwo.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Fauna Tanah Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beraneka ragam. Hewan tanah dapat pula dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya. Menurut (Wallwork, 1970), berdasarkan ukurannya fauna tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Mikrofauna : Ukuran tuhuh 20 m 200 m, contohnya Protozoa,

Nematoda, Rotifera, Tardigrada, dan Copepoda. 2. Mesofauna : Ukuran tubuh 200 m - 1 cm, contohnya Acarina,

Collembola, Nematoda, larva serangga, dan Isopoda. 3. Makrofauna : Ukuran tubuh lebih dari 1 cm, contohnya Lumbricida,

Mollusca, Arachnida, dan vertebrata yang hidup di dalam tanah.

Berdasarkan keberadaannya dalam tanah, fauna tanah dikelompokkan menjadi empat golongan: 1. Spesies Transien adalah hewan yang seluruh hidupnya di permukaan tanah, contohnya yaitu Ordo golongan Coleoptera spesies Coccinellidae. 2. Spesies Temporer adalah hewan yang telur dan juvenilnya ada dalam tanah, sedangkan hewan dewasa berada pada permukaan. Contohnya yaitu Ordo Diptera spesies Tipula sp. 3. Spesies Periodic adalah hewan yang seluruh daur hidupnya berada dalam tanah dan hanya pada saat tertentu saja hewan dewasanya keluar bebas ke permukaan tanah. Contohnya Dermaptera sp, Forticula sp

4. Spesies Permanent adalah hewan yang selama hidupnya berada di dalam tanah. Contohnya yaitu Coleoptera sp, Batrisades sp

Berdasarkan habitatnya, hewan tanah dikelompokkan menjadi 3 golongan: 1. Epigeon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan tumbuh tumbuhan di permukaan tanah. 2. Hemiedafon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan organic tanah. 3. Euedafon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan tanah mineral. Menurut kegiatan makannya hewan tanah dikelompokkan menjadi 4 golongan: 1. Herbivora 2. Saprovora 3. Fungivora 4. Predator 2.2. Tinjauan Tentang Mesofauna Mesofauna adalah hewan invertebrata daratan berukuran besar,

seperti arthropoda, cacing tanah, and nematoda. Mesofauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organism perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar), mengkonsumsi bahanbahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organic lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief,2001).

Dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga social (jenis-jenis semut, lebah, dan rayap), peranannya dalam siklus energy adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata (Tarumingkeng, 2000). Jumlah terbesar populasi fauna tanah terdapat di lapisan tanah permukaan yang diperkaya dengan bahan organik, sesuai dengan fungsinya sebagai konsumen. Permukaan tanah merupakan daerah peralihan antara litosfer dan atmosfer. Pada atau di dekat daerah peralihan ini kuantitas bahan hidup lebih besar dari yang berada atas atau bawah. Sebagai akibatnya, lapisan atas mengandung lebih banyak debu organik yang bertindak sebagai makanan untuk fauna tersebut dibandingkan dengan lapisan yang berada dibawahnya. 2.3. Tinjauan Tentang Collembola 2.3.1 Karakteristik Collembola Collembola berasal dari bahasa Yunani, yaitu colle (= lem) dan embolon (= piston). Penamaan ini berdasarkan adanya tabung ventral (kolofor) pada sisi ventral ruas abdomen pertama yang menghasilkan perekat (Hopkin, 1997). Kolofor memungkinkan Collembola menempel pada permukaan di tempat ia berjalan (Hopkin 1997; Triplehorn & Johnson, 2005). Fungsi lain kolofor adalah sebagai alat osmoregulasi, pengangkutan kotoran menempel di badan, berisi hemolimfe, dan pada Sminthuridae sebagai pelindung setelah meloncat (Greenslade 1996; Hopkin 1997; Triplehorn & Johnson 2005) Collembola dikenal juga dengan istilah Springtails (Ekorpegas) karena mempunyai struktur bercabang (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat. Saat istirahat furka terlipat ke depan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian ventral abdomen ketiga. Ketika otot berkonstraksi, furka kembali ke posisi tidak lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembolan ke udara (Greenslade 1996).

Collembola termasuk kelompok mesofauna (200 m sampai dengan 1 cm) karena mempunyai ukuran tubuh berkisar antara 0,25 mm dan 8,00 mm. warna tubuh bervariasi, putih, hitam, abu-abu, warna lain, dan bercorak. Tubuh dilengkapi seta tetapi tidak bersayap (Aterygota) (Wallwork, 1970). Tubuh Collembola terbagi atas tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen. Antena empat ruas dengan panjang bervariasi. Antena jantan kadang-kadang mengalami modifikasi sebagai organ penjepit. Antena mempunyai seta kemosensorik. Ujung antena bentuknya bervariasi, berfungsi sebagai olfaktori. Oseli maksimum 8+8. Bagian mulut tersembunyi di dalam kepala (entognatus), lonjong, dan menonjol. Mulut beradaptasi untuk menggigit-mengunyah atau untuk menghisap cairan. Mandibula kadang-kadang tidak ada. Labium dan palpus maksila berkembang baik, kadang-kadang ada yang tereduksi atau tidak punya (Greenslade, 1996). Toraks dibagi menjadi tiga ruas. Ruas toraks jelas terlihat pada ordo Podumora dan Entomobryomorpha dibandingkan pada ordo Sympohypleona dan Neelipleona. Ordo Symphypleona dan Neelipleona mempunyai ruas toraks yang bersatu sampai dengan abdomen. Pada toraks terdapat tiga pasang kaki. Masingmasing kaki dibagi menjadi dua subkoksa, koksa, trokanter, femur, tibiotarsus, dan pretarsus. Tibiotarsus ditunjang oleh rambut yang panjang, seringkali bagian ujung membulat (klavata), menghasilkan sekresi dari kelenjar basal epidermis yang berfungsi untuk menempel pada permukaan yang licin. Pretarsus ditunjang cakar tunggal dan imbuhan impodial (unguiculus) (Greenslade, 1996). Abdomen terdiri dari enam ruas. Pada bagian ventral ruas pertama terdapat tabung ventral (kolofor), ruas ketiga terdapat retinakulum, dan ruas keempat terdapat furka. Furka terdiri dari bagian basal, manubrium, sepasang dens, dan mukro berduri atau berlamera. Celah genital jantan atau betina teerdapat pada abdomen kelima. Celah anal berada pada abdomen keenam (Greenslade, 1996). 2.3.2 Cara hidup Collembola Collembola termasuk hewan yang tidak mengalami metamorphosis

(ametabola) tetapi hanya mengalami pergantian kulit sebanyak lima sampai dengan 8

enam kali. Bentuk pradewasa dengan dewasa mirip satu dengan lainnya. Kedua bentuk stadia tersebut dibedakan dari ukuran, jumlah seta, dan pada stadia pradewasa belum ada organ genitalia. Persamaan bentuk pradewasa dengan dewasa mempermudah pengenalan sampai dengan taraf takson tertentu (Suhardjono, 1992). Collembola secara umum berumur pendek sekitar satu sampai tiga bulan, akan tetapi beberapa Collembola dapat hidup sampai dengan dewasa lebih dari satu sampai dengan dua tahun. Pseudosinella decipiens Denis bahkan dapat mencapai umur 5 tahun 7bulan (Greenslade, 1996; Hopkin, 1997; Greensladi et al. 2000). Kebanyakan Collembola hidup dalam tanah dan serasah (Suhardjono, 1998). Akan tetapi Collembola dapat juga hidup di tepat tersembunyi seperti di dalam tanah, jamur, reruntuhan pohon, di bawah kulit kayu, kayu-kayu yang membusuk, vegetasi tanaman, kanopi, gua, guano kelelawar, laut, pesisir pantai, dan air tawar(Greenslade et al., 2000; Deharveng & Suhardjono, 2004; Triplehorn & Johnson, 2005; Rahmadi & Suhardjono, 2007). Kebanyakan Collembola penghuni tanah memakan bahan tumbuh-tumbuhan yang sedang membusuk, jamur, dan bakteri. Collembola ada juga yang memakan tinja Arthropoda atau serbuk sari ganggang (Triplehorn & Johnson, 2005). 2.3.3 Distribusi Collembola Distribusi Collembola sangat luas karena dapat ditemukan diberbagai macam habitat seperti daerah kutub, gurun, subtropics, dan daerah tropis (Greenslade, 1996). Distribusi Collembola bisa dengan bantuan partikel tanah dan bahan organik, bisa juga dengan bantuan angin atau air (Dunger et al. 2002). Family Hypogastruridae dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun subtropis. Genus chrematocephalus, spesies C. celebensis mempunyai senaran yang cosmopolitan, meliputi Jepang, China, Srilangka, Indonesia, Papua, Britania Baru, dan Australia (Suhardjono, 1992). Akan tetapi ada beberapa spesies Collembola terrestrial yang bersifat endemic, bahkan dikenal mempunyai tingkat endonisme yang tinggi (Hopkin, 1997). Contoh Xenylla orientalis Handschin yang hanya terdapat di Pulau Jawa (Handschin 1932 dalam Suhardjono 1992). Endemisme dapat terjadi salah satunya karena seleksi 9

alam, seperti adanya pembatas alam berupa laut, sifat tanah, dan cara penyebaran (Suhardjono, 1992).

Gambar. Collebola ordo Entomobrya

2.4. Tinjauan Tentang Taman Nasional Alas Purwo Salah satu suaka marga satwa yang cukup berhasil menjalankan perannya sebagai lembaga konservasi hewan adalah Taman Nasional Alas Purwo. Taman Nasional Alas Purwo yang terletak di Kecamatan Tegaldlimo, Kecamatan Muncar dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi , Jawa Timur, Indonesia. Kawasan ini terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan antara 8264584700 LS dan 11420161143600 BT (Wikipedia, 2009). Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat tumbuh tanaman endemik seperti sawo kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Taman nasional alas purwo juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yaitu lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), dan ajag (Cuon alpinus javanicus) Anonimus, (2009).

10

Taman nasional alas purwo ditunjuk sebagai taman nasional sejak tahun 1993 dengan luas wilayahnya sekitar 43.420 ha. Secara administratif pemerintahan termasuk Kecamatan Muncar, Purwoharjo dan Tegal Delimo, Kabupaten

Banyuwangi Propinsi Dati I Jawa Timur (Anonimus,2012). Keadaan topografi bergelombang sampai datar dengan puncak tertinggi G. Linggamanis ( 322 m dpl). Ketinggian tempat antara 0-322 m dpl, iklimnya termasuk tipe B dengan curah hujan antara 1.000-1.500 mm/tahun. Kunjungan terbaik pada bulan Maret s/d Oktober (Anonims,2012).

2.4.1. Gambaran Umum Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa (Anonimus,2009). Secara geografis terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan antara 8264584700 LS dan 11420161143600 BT. Secara umum kawasan TN Alas Purwo mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai barat dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis (322 mdpl) (Wikipedia, 2009).

11

2.4.2

Keadaan Fisik Taman Nasional Alas Purwo dengan luas 43.420 ha terdiri dari beberapa zonasi, yaitu:

Zona Inti (Sanctuary zone) seluas 17.200 Ha Zona Rimba (Wilderness zone) seluas 24.767 Ha Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 250 Ha Zona Penyangga (Buffer zone) seluas 1.203 Ha.

Rata rata curah hujan 1000 1500 mm per tahun dengan temperature 2231 C, dan kelembaban udara 40-85 %. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo sebelah Barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah Timur. Dalam keadaan biasa, musim di TN Alas Purwo pada bulan April sampai Oktober adalah musim kemarau dan bulan Oktober sampai April adalah musim hujan. Keadaan tanah hampir keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan sebagian kecil berupa tanah lempung. Sungai di kawasan Taman Nasional Alas Purwo umumnya dangkal dan pendek. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat TN yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kuncur, Gunung Kunci, Goa Basori, dan Sendang Srengenge (Wikipedia, 2009).

2.4.3. Keadaan Biologi Secara umum tipe hutan di kawasan Taman Nasional Alas Purwo merupakan hutan hujan dataran rendah. Hutan bambu merupakan formasi yang dominan, 40 % dari total luas hutan yang ada. Sampai saat ini telah tercatat sedikitnya 584 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana, dan pohon. Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TN Alas Purwo dapat di kelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan

12

tanaman, hutan alam, dan padang penggembalaan (Feeding Ground) (Wikipedia, 2012).

2.4.4.

Keadaan Sosial Ekonomi dan budaya Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan adalah

bertani, buruh tani, dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal di wilayah Muncar, yang merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa, dan di wilayah Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan memeluk agama Islam, namun banyak pula yang beragama Hindu terutama di Desa Kedungasri dan Desa Kalipait. Secara umum masyarakat sekitar TN Alas Purwo digolongkan sebagai masyarakat Jawa Tradisional. Bertapa, semedi, sayan (gotong-royong sewaktu mendirikan rumah), bayenan serta selamatan selamatan lain yang berkaitan dengan pencarian ketenangan bathin masih dilaksanakan. Pada hari hari tertentu seperti 1 suro, bulan purnama, bulan mati, masyarakat datang ke kawasan TN Alas Purwountuk bersemedi (Wikipedia, 2012).

2.4.5

Flora dan Fauna Tumbuhan khas dan endemik pada taman nasional ini yaitu sawo kecik

(Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), kepuh (Sterculia foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu. Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TN Alas Purwo secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 kelas yaitu Mamalia, Aves, Pisces dan Reptilia. Mamalia yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya yaitu: Banteng (Bos javanicus), Rusa (Cervus timorensis), Ajag (Cuon alpinus), Babi Hutan (Sus scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Macan Tutul (Panthera pardus), Lutung (Trachypithecus auratus), Kera Abu-abu (Macaca fascicularis), dan Biawak (Varanus salvator). Burung yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 236 jenis terdiri dari burung darat dan burung air, beberapa jenis diantaranya merupakan burung migran 13

yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 39 jenis. Jenis burung yang mudah dilihat antara lain : Ayam Hutan (Gallus gallus), Kangkareng (Antracoceros coronatus), Rangkok (Buceros undulatus), Merak (Pavo muticus) dan Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Sedangkan untuk reptil telah teridentifikasi sebanyak 20 jenis (Anonimus, 2012)

2.4.6. Tinjauan Tentang Sadengan Sadengan adalah tempat mencari makan bagi hewan liar di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Disana terdapat binatang liar seperti banteng liar, rusa, babi hutan, merak, unggas hutan dan berbagai imacam burung. Sadengan ini berada di kecamatan Tegaldlimo, kabupaten Banyuwangi. Sadengan berjarak 50km dari Genteng. Tempat ini adalah tempat wisata yang ada di alas purwo. Hewan-hewan liar dan rumput dapat dilihat pada pagi dan sore hari dari menara melihat. Padang rumput Sadengan adalah padang rumput semi alami yang terdapat di kawasan Taman Nasional Alas purwo, Semenanjung Blambangan di Kabupaten Banyuwangi. Disebut sebagai padang rumput semi alami karena pada faktanya, keberadaan padang rumput ini bukanlah secara alamiah terjadi. Padang rumput ini sebenarnya muncul karena kerusakan-kerusakan beberapa petak hutan di masa lampau yang kemudian menimbulkan spot-spot padang rumput pada hamparan hutan di Semenanjung Blambangan. Hilangnya kanopi dan tutupan tajuk dalam waktu yang lama membuka peluang bagi bermacam rumput untuk tumbuh, dan kemudian dimanfaatkan oleh berbagai satwa sebagai salah satu habitat pentingnya. Karena padang rumput ini dahulunya menyediaan pakan berlimpah bagi herbivora di Semenanjung Blambangan, pengelola memandang bahwa Sadengan adalah tempat ideal bagi konservasi satwa liar seperti Banteng, Rusa, Babi hutan dan aneka ragam satwa lainnya. Untuk merealisasikan gagasan konservasi tersebut, sebuah Tourism planning and management,aktifitas campur tangan manusia dimulai dalam tahun 1970an dengan meningkatkan kapasitas padang. Kegiatan peningkatan kapasitas habitat ini antara lain adalah dengan membersihkan kawasan dari berbagai 14

tetumbuhan yang menghalangi rumput tumbuh, menanam rumput, membuat irigasi teknis untuk mengairi padang, dan melakukan pembinaan terhadap padang. Pertama kali sejak padang ini dikelola, satwa liar tercatat sangat melimpah di padang rumput. Mungkin jumlahnya sama dengan apa yang digambarkan oleh peneliti Eropa jauh sebelumnya. Catatan oleh van Steenis, (1937), mengatakan bahwa jumlah banteng bisa mencapai angka sekitar 100 ekor dalam satu pengamatan. Padang rumput Sadengan saat ini dalam tekanan dan stress berat karena serbuan dua spesies tumbuhan utama yang menjadi kanker dan tumor ganaspadang rumput. Tumbuhan pertama adalah Cassia tora, termasuk dalam tumbuhan polong-polongan (Fabaceae) ini tumbuh hampir menutupi permuknaan padang rumput. Tumbuhan kedua, yang tak kalah ganasnya adalah Eupathorium inulifolium, kelompok tumbuhan compositae, yang tak kalah pentingnya dalam merubah wajah Sadengan. Belum lagi, ancaman serius dari berbagai tumbuhan invasive seperti Lantana camara. Data-data yang dimiliki oleh penulis menunjukkan bahwa tiga macam tumbuhan ini mempunyai indek nilai penting tertinggi diantara tetumbuhan lain di padang rumput. Sebagai contoh, rumput-rumput Cyperus yang berperan sebagai sumber pakan utama satwa herbivore malah mempunyai indek yang kecil, menunjukkan kecilnya dominansi, densitas dan frekuensi tumbuhan tersebut. Dampaknya tentu fatal. Salah satunya adalah berkurannya jumlah banteng yang mengunjungi Sadengan. 2.4.7. Tinjauan Tentang Pancur Resort Pengelolaan Pancur merupakan resort yang mempunyai wilayah pemangkuan paling luas di SPTN Wilayah I Tegaldlimo yaitu 14.012,98 ha. dan beberapa lokasi untuk dilakukan patroli membutuhkan waktu lebih dari 2 hari yang ditempuh dengan jalan kaki, terutama wilayah timur gunung. Resort Pengelolaan Pancur termasuk kawasan yang mejadi kunjungan wisatawan baik rekreasi, pendidikan maupun ritual. Kunjungan wisatawan mancanegara sebagian besar tertuju pada Blok Plengkung yang sampai saat ini dikelola oleh empat Pengusahaan Pariwisata Alam. Potensi flora uggulan dari Resort Pancur adalah Sawo Kecik yang

15

tersebar antara jalur Pancur sampai dengan Plengkung, serta memiliki beragam jenis bambu.

Batas-batas wilayah kerja Resort Pancur, yaitu :


Sebelah Utara, berbatasan dengan Resort Sembulungan SPTNW II Muncar. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia Sebelah Barat, berbatasan dengan Resort Rowobendo Sebelah Timur, berbatasan dengan Resort Tanjung Pasir SPTNW II Muncar

16

BAB III METODE PENELTIAN

3.1 Tempat dan Waktu Tempat pengumpulan (pengambilan) sampel penelitian adalah di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Identifikasi dan analisis dari

spesimen sebagai tempat pengoleksian spesimen dilakukan di Laboratorium Ekologi Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Sedangkan waktu pelaksanaan pengambilan sampel adalah 5 sampai 9 Februari 2012. 3.2 Alat dan Bahan Adapun alat yang digunakan adalah Meteran Cangkul/cetok Botol film Penjepit / pinset Buku identifikasi Tusuk sate Kertas label Soil tester Kaca pembesar / Loop Sling Psycometer GPS

Adapun bahan yang digunakan adalah

17

Tanah sampling Serasah Sampel hewan

3.3 Rancangan Penelitian Rancangan penelititan yang digunakan adalah observasi deskriptif, yaitu objek tidak diberikan perlakuan dan data ada yang diuji secara deskriptif dan analisis statistik.

3.4 Cara Kerja 3.4.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan di dua tempat (Sadengan dan Pancur). Penentuan lokasi penelitian yang dijadikan titik sampling (stasiun) berdasarkan Purposif Random Sampling yaitu dengan mempertimbangkan tipe habitat (biotop) yang terdapat pada lokasi penelitian. Berdasarkan pada kondisi yang ada terdapat dua tipe habitat (biotop) umum yaitu biotop homogen seperti Sadengan dan biotop heterogen seperti Pancur. Menggunakan 2 lokasi sampling yang berbeda yaitu dari Trianggualasi ke Sadengan sepanjang 2 km (jarak lokasi pengamatan) dan dari Trianggulasi ke Pancur sepanjang 2 km (jarak lokasi pengamatan). Pada tiap jalur dibagi menjadi 2 stasiun dengan jarak antar stasiun 500 meter, pada tiap stasiun dibuat 2 buah perangkap dengan jarak antar perangkap sejauh 10 meter.

3.4.2

Teknik pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel dan pengumpulan specimen dilakukan dengan metode mekanik. Metode mekanik yaitu pengekstraksian contoh tanah dan serasah dengan corong berlese.

18

3.4.3

Corong Berlese

Pengambilan contoh tanah dan serasah dari ketiga tipe habitat yaitu savana, hutan homogen dan hutan heterogen untuk mengetahui keanekaragaman hewan tanah infauna. Contoh tanah dan seresah diambil dari petakan atau plot pada koleksi langsung dengan sendok tanah atau cetok seluasan plot tersebut. Kedalaman pengambilan contoh tanah 10 cm. Kemudian contoh tanah sesegera mungkin diproses di dalam Corong Berlese. Selama pengangkutan harus dihindarkan dari panas terik matahari dan panas mesin mobil secara langsung, bahan kimia (seperti alkohol), kehujanan atau tertumpuk dengan barang-barang berat lainnya.

Gambar 2. Skema corong berlese Pada prinsipnya ada dua macam yaitu yang menggunakan pemanas berupa lampu listrik dan tanpa pemanas. Corong Berlese yang menggunakan pemanas

19

terbuat dari logam dilengkapi dengan tutup yang diberi lampu 15 watt, sedangkan yang tanpa pemanas corongnya terbuat dari plastik. Pemanas hanya membantu mempercepat proses turunnya binatang dari saringan ke dalam botol penampung. Contoh tanah diletakkan di atas saringan dan dibiarkan selama 4 hari sampai satu minggu sampai contoh tanah menjadi kering. Lamanya contoh tanah dalam corong Berlese tergantung pada tingkat kelembaban tanah. Corong Berlese dibuat didasarkan pada perilaku fauna tanah yang akan masuk ke bagian yang lebih dalam apabila terjadi peningkatan suhu di permukaan tanah. Arthropoda tanah masuk ke bagian dalam dan lolos dari saringan yang akhirnya jatuh dan masuk ke dalam botol penampung yang terpasang di bagian ujung corong. Botol penampung berisi alkohol 70-95%. Selama corong berisi contoh tanah hindarkan adanya goyangan atau goncangan pada corong untuk menghindari rontoknya tanah ke dalam botol penampung. Banyaknya rontokan seresah akan mempersulit pemilahan selanjutnya. Akan sangat baik apabila di atas corong diberi kain penutup agar tidak terkontaminasi serangga terbang. Usahakan penempatan corong pada tempat yang terlindungi dari hujan dan ganguan lainnya.

3.5

Pengukuran faktor fisika-kimia tanah. Pengukuran faktor fisika-kimia tanah bertujuan untuk mengetahui gambaran

umum tentang kondisi lingkungan di lokasi pengambilan sampel. Prosedur pengukuran faktor fisikakimia adalah sebagai berikut: 1. Kelembapan udara Kelembapan udara diukur dengan menggunakan sling psychrohigrometer

yang diputar selama lima menit, kemudian skala termometer indikator basah dan kering disejajarkan dan dilihat nilainya selanjutnya dicatat. 2. pH

20

Pengukuran pH tanah dilakukan dengan cara menancapkan soil tester pada tanah dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu mencatat nilai pH yang telah terukur. 3. Kelembapan tanah Pengukuran kelembapan tanah dilakukan dengan cara menancapkan soil tester pada tanah dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu mencatat nilai kelembapan yang telah terukur. 3.6 Penyortiran Spesimen yang sudah dikoleksi akan dilakukan proses selanjutnya yaitu pemilahan (sorting) terutama yang menggunakan metode perangkap sumuran. Hasil pemilahan di masukkan ke dalam botol film yang berisi alkohol dan diberi keterangan sesuai dengan informasi dimana sampel itu diambil. Pengamatan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menyiapkan sampel makroinvertebrata tanah yang telah diambil dari lokasi sampling. 2) Melakukan pemisahan pada sampel, dengan memisahkan

makroinvertebrata tanah dengan substrat, serasah atau benda lainnya yang menempel secara selektif dan hati-hati untuk memudahkan dalam mengidentifikasi. 3) Makroinvertebrata tanah yang ditemukan kemudian dibedakan

berdasarkan bentuk luarnya, dihitung, dan dicuci dengan air sampai bersih. 4) Menghitung jumlah makroinvertebrata tanah dan jenisnya yang diperoleh dari masing-masing plot.

21

5) Mengawetkan sampel makroinvertebrata tanah yang diperoleh dengan memasukkan ke dalam botol film yang berisi formalin 4% atau alkohol 70%. 6) Melakukan identifikasi sementara pada makroinvertebrata tanah yang diperoleh untuk mengetahui jenisnya

3.7

Pelabelan Pelabelan yaitu pemberian informasi berupa tempat pengambilan sampel,

koordinat lokasi, metode penangkapan, nama kolektor, dan tanggal pengkoleksian. Informasi lain yang perlu ditambahkan adalah habitat, suhu, kelembapan, pH, dan informasi lain yang dianggap penting.

3.8

Identifikasi Makroinvertebrata tanah yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan acuan

(Borror et al. 1954) dan (Suin NM, 1989). Parameter yang diamati pada penelitian ini antara lain faktor fisikokimia yang meliputi suhu tanah dengan thermometer, suhu udara dengan thermometer, kelembapan dengan sling psychrohigrometer, dan pH tanah dengan soil tester.

3.9

Pengawetan Pengawetan diperlukan untuk mengawetkan hewan sampel agar tidak cepat

rusak dan lebih tahan lama. Pengawetan sampel dengan cara memasukkan sampel ke dalam botol film yang berisi formalin 4% atau alkohol 70%. Spesimen yang sudah disortir, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya diberi label/enumerasi. Keterangan yang dicantumkan di dalam label adalah informasi lokasi (tempat hewan tanah dikoleksi), koordinat, tanggal pengumpulan, nama kolektor dan juga metode yang digunakan untuk menangkap hewan tanah tersebut

22

dimana dalam penelitian ini menggunakan corong Berselle pada label. Format label dapat dilihat pada gambar 2.

Indonesia East Java Banyuwangi, TN Alas Purwo (titi koordinat) Date : 11 II 2012 Coll : Kelompok Insekta corong Berselle Gambar 2. Format label Proses pengawetan lebih lanjut dilakukan di laboratorium Ekologi Departemen Biologi FSAINTEK UNAIR dengan menyuntikan formalin ke tubuh spesimen dan diawetkan ke dalam kotak koleksi serangga (insektarium) dan diberi kapur semut.

3.10 Analisis Data Analisa data keanekaragaman hewan tanah dilakukan secara deskriptif dengan membuat tabel dan grafik perolehan hewan tanah pada jalur TrianggulasiSadengan (biotop homogen) dan Trianggulasi-Pancur (biotop heterogen) untuk mengetahui komposisi keanekaragaman jenis hewan tanah, kemudian menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Winner dan menghitung indeks kesamaan Jaccard (Cj) untuk mengetahui nilai perbedaan komunitas hewan tanah pada jalur Trianggulasi-Sadengan heterogen). Tabel 1. Tabel jumlah spesies hari ke 1 Jalur Trianggulasi-Sadengan (biotop homogen) No Nama Spesies 1 Stasiun 1 2 3 1 Stasiun 2 2 3 (biotop homogen) dan Trianggulasi-Pancur (biotop

23

Jalur Trianggulasi-Pancur (biotop heterogen) No Nama Spesies 1 Stasiun 1 2 3 1 Stasiun 2 2 3

Tabel 2. Tabel karakteristik spesies No 1 2 Spesies Panjang Lebar Bentuk Antena Kaki Kepala Keterangan

Adapun rumus yang akan digunakan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut (Krebs, 1999 ; Hariyanto dkk., 2008) : Pencarian Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner H = - [ni/N . ln (ni/N)] Dimana H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner Ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total seluruh individu Indeks Kesamaan Jaccard Cj = Dimana Cj = indeks kesamaan Jaccard a = jumlah spesies yang sama dalam dua stasiun b = jumlah spesies yang ada di stasiun 2 dan tidak ada di stasiun 1 c = jumlah spesies yang ada di stasiun 1 dan tidak ada di stasiun 2

24

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2004. Alas Purwo, Objek Wisatanya Terlengkap. (http://portal.sabhawana.com/modules.php?op=modload&name=News&file= article&sid=67&mode=thread&order=0&thold=0 diakses tanggal 3 Januari 2012) Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo. Wikipedia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Alas_Purwo diakses tanggal 3 Januari 2012) Anonimus. 2012. Alas Purwo. Banyuwangi. (http://www.pbase.com/archiaston/alas_purwo diakses tanggal 3 Januari 2012)

Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo. (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDOENGLISH/tn_alaspurwo.htm diakses tanggal 3 Januari 2012) Anonimus. 2012. The magic of Alas Purwo National Park. (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.insideindo nesia.org/edit80/p1112mahony.html&sa=X&oi=translate&resnum=8&ct=resu lt&prev=/search%3Fq%3Dalas%2Bpurwo%26start%3D10%26hl%3Did%26s a%3DN diakses tanggal 3 Januari 2012) Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo. (http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn13alas.html diakses 3 Januari 2012) Anonimus.2012.Peran Hewan Tanah. (http://desainwebsite.net/berita/peranan-hewantanah diakses 3 januari 2012) Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta
th

Barnes, B. V., Donald R. Z., Shirley R. D. and Stephen H. S. 1997. Forest Ecology. 4 Edition. John Wiley and Sons Inc. New York Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1997. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Suhardjono, Y. R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding Seminar Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Lampung dan Universitas Lampung. Lampung

25

Suhardjono, Y. R. 2000. Collembola Tanah : Peran dan Pengelolaannya. Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Depok Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta

26

You might also like