You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

Hipotiroid merupakan kelainan endokrin kedua yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat setelah diabetes mellitus (Hueston, 2001). Hipotiroid lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan insidensinya meningkat dengan dengan pertambahan umur. Hipotiroid primer lebih sering dijumpai dibanding hipotiroid sekunder dengan perbandingan 1000 : 1 (Roberts & Ladenson, 2004 ). Pada suatu survei komunitas di Inggris yang dikenal sebagai the Whickham study, tercatat peningkatan kadar hormon tirotropin (TSH) pada 7,5 % wanita dan 2,8 % pria (Tunbridge et al, 1977). Pada survey NHANES III (National Health and Nutritional Examination Survey III ) di Amerika Serikat, terdapat peningkatan kadar tirotropin pada 4,6% responden, 0,3 % diantaranya menderita hipotiroid klinis. Pada mereka yang berumur di atas 65 tahun hipotiroid klinis dijumpai pada 1,7 % populasi, sedangkan hipotiroid subklinis dijumpai pada 13,7 % populasi (Hollowell et al, 2002). Pada penelitian terhadap wanita berusia 60 tahun keatas di Birmingham, hipotiroid klinis ditemukan pada 2,0% kasus sedangkan hipotiroid subklinis ditemukan pada 9,6% kasus. (Parle et al, 1991). Hipotiroid dapat diklasifikasikan berdasar waktu kejadian (kongenital atau akuisital), disfungsi organ yang terjadi (primer atau sekunder/sentral), jangka waktu (transient atau permanent ) atau gejala yang terjadi (bergejala/klinis atau tanpa gejala / subklinis) (Roberts & Ladenson, 2004) Hipotiroid kongenital biasanya dijumpai di daerah dengan defisiensi yodium endemis. Pada daerah dengan asupan yodium yang mencukupi, hipotiroid kongenital

terjadi pada 1 dari 4000 kelahiran hidup, dan lebih banyak dijumpai pada bayi perempuan. Pada anak-anak ini hipotiroid kongenital disebabkan oleh agenesis atau disgenesis kelenjar tiroid atau gangguan sintesis hormone tiroid. Disgenesis kelenjar tiroid berhubungan dengan mutasi pada gen PAX 8 dan thyroid transcription factor 1 dan 2. (Gillam & Kopp, 2001). Hipotiroid akuisital disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah tiroiditis autoimun yang sering disebut tiroiditas Hashimoto. Peran autoimun pada penyakit ini didukung adanya gambaran infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan adanya antibodi tiroid dalam sirkulasi darah. Hipotiroid akuisital juga dapat disebabkan oleh jejas tiroid sebelumnya oleh karena operasi atau radiasi (mis : radioterapi eksternal pada penderita head and neck cancer, terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis, paparan yodium radioaktif yang tidak disengaja, infiltrasi besi di kelenjar tiroid pada hemokromatosis. Beberapa bahan kimia maupun obat (mis : amiodarone, lithium, interferon) juga dapat menyebabkan hipotiroid dengan cara mempengaruhi produksi hormon tiroid atau mempengaruhi autoimunitas kelenjar tiroid (Roberts & Ladenson, 2004). Berdasar disfungsi organ yang terkena, hipotiroid dibagi dua yaitu hipotiroid primer dan hipotiroid sentral.. Hipotiroid primer berhubungan dengan defek pada kelenjar tiroid itu sendiri yang berakibat penurunan sintesis dan sekresi hormon tiroid, sedangkan hipotiroid sentral berhubungan dengan penyakit penyakit yang mempengaruhi produksi hormon thyrotropin releasing hormone (TRH) oleh hipothalamus atau produksi tirotropin (TSH) oleh hipofisis (Roberts & Ladenson, 2004)

Hipotiroid transient dapat terjadi penggunaan obat obatan yang mempengaruhi produksi hormon tiroid (mis : amiodaron, lithium, interferon). Hipotiroid transient juga ditemukan pada dua kondisi peradangan yaitu tiroiditis subakut (de Quervains thyroiditis) dan tiroiditis limfositik (tiroiditis post partum) (Roberts & Ladenson, 2004) Hipotiroid juga dapat dibagi dua yaitu hipotiroid klinis dan hipotiroid subklinis. Hipotiroid subklinis merupakan istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di mana kadar serum T4 dan T3 dalam batas normal, tetapi ada kegagalan tiroid ringan yang ditandai dengan peningkatan kadar TSH (Devdar et al, 2007). Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan menggabungkan gejala klinis hipotiroid dan hasil pemeriksaan fungsi tiroid. Pada hipotiroid primer akan dijumpai peningkatan kadar TSH dan penurunan kadar kadar FT4 dan T3. Pada hipotiroid sentral akan dijumpai penurunan kadar FT4 dan T3, sedangkan kadar TSH dapat rendah, normal atau meningkat ringan. Pada kecurigaan kasus hipotiroid sentral, fungsi aksis hipothalamushipofisis harus dievaluasi lebih lanjut dengan pemeriksaan pencitraan otak dan kelenjar hipofisis. Pada kesempatan ini kami laporkan kasus hipotiroid primer et causa post

tiroidektomi superimposed tiroiditis Hashimoto pada seorang wanita berumur 30 tahun. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita.

BAB II KASUS Kami laporkan seorang wanita bernama Ny MS, umur 30 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, beralamat di Pacitan Jawa Timur, dengan nomer rekam medis 33 29 61. Masuk RS dr Sardjito pada tanggal 5 Februari 2008 dengan keluhan utama lemas. Riwayat penyakit sekarang orang sakit adalah penderita gondok sejak lebih

kurang 8 tahun yang lalu, dengan riwayat operasi tiroidektomi bilateral pada tahun 2005 di rumah sakit Margohusodo dengan alasan kosmetik. Hasil pemeriksaan post operasi dikatakan bukan tumor ganas. Orang sakit kontrol dua kali setelah operasi dan tidak mendapatkan terapi. Dua bulan SMRS orang sakit mengeluhkan menstruasi yang banyak selama 15 hari setelah selama 6 bulan tidak menstruasi. Orang sakit periksa ke bidan, diagnosis dan terapi tidak diketahui. Sejak SMP, orang sakit sering menstruasi tidak teratur 3 sampai 6 bulan sekali, dalam jumlah banyak. Enam bulan SMRS orang sakit mulai mengeluh lemas, pusing, dan mudah lelah jika berjalan agak jauh. Orang sakit juga mengeluh rambut rontok, berat badan meningkat dari 78 kg menjadi 91 kg, tidak tahan hawa dingin, dan susah berkeringat. BAB dan BAK tidak ada kelainan, nafsu makan baik. Dua puluh hari SMRS orang sakit periksa ke poliklinik RS Sardjito, disarankan mondok karena kadar hemoglobin 6,8 gr/dl tetapi tempat penuh. Orang sakit pulang dengan terapi meloxicam 1 x 1 tablet dan euthyrox 1 x 50 mcg. Sepuluh hari SMRS orang sakit kembali kontrol, mendapat terapi Euthyrox 1 x 100 mcg dan simvastatin 1 x 10 mg. HMRS orang sakit mengeluh lemas, pusing dan mudah capek, orang sakit periksa

di poliklinik endokrin RS Sardjito dan disarankan mondok untuk tranfusi dan penanganan lebih lanjut. Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat menstruasi yang tidak teratur, 3-6 bulan sekali, dalam jumlah banyak. serupa pada anggota keluarga yang lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, gizi lebih, compos mentis. Tinggi badan 160 cm, berat badan 89 kg, RBW 148%. Tanda vital, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu afebris. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis,sklera tidak ikterik, didapatkan edema palpebra dan muka bengkak. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan Tidak didapatkan riwayat penyakit

peningkatan tekanan vena jugularis, tidak teraba limfonodi, teraba massa tiroid dengan diameter 2 cm, konsistensi lunak, tidak nyeri tekan. Pada pemeriksaan thoraks, kedua rongga dada simetris, tidak didapatkan retraksi dan ketinggalan gerak. Pada pemeriksaan jantung didapatkan kardiomegali, suara S1-2 murni,reguler, tidak ada bising. Pada pemeriksaan paru, didapatkan sonor, vesikuler normal dan tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan abdomen, teraba supel, peristaltik dalam batas normal dan tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan ekstremis tidak didapatkan edema, kulit terasa kering dan bersisik. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 5 -2 -2008 didapatkan hasil Hb 6,4 g/dl, lekosit 8,3 ribu/l, trombosit 408 ribu/ l, eritrosit 2,88 juta /l, hematokrit 21,5%, MCV 74,7 fl, MCH 22,2 pg, MCHC 29,8 g/dl. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan hasil ALT 14 IU/l, AST 25,6 IU/dl, total protein 7,5 g/dl, albumin 4,57 g/dl, globulin 2,9 mg/dl, total bilirubin 0,55 mg/dl, direk bilirubin 0,02 mg/dl, indirek bilirubin 0,5 mg/dl, BUN 12,8 mg/dl, creatinin 1,21 mg/dl. asam urat 6,1 mg/dl, natrium 138 mg/dl, kalium

4,04 mg/dl, chlorida 108 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus, heart rate 89 kali/menit, RBBB inkomplet. Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kardiomegali kompensata, pulmo dalam batas normal. Orang sakit juga membawa hasil pemeriksaan laboratorium sebelumnya (29 januari 2008) yaitu pemeriksaan status besi : kadar besi serum 24 g/l (37-170 g/dl), saturasi besi 3,82%, TIBC 628 g/dl (250-450 g/dl), ferritin 2,17 ng/dl (9,3 159 ng/ml), pemeriksaan tiroid : kadar T3 0,88 ng/ml (0,79-1,49 ng/ml), kadar T4 33,6 ng/ml (45-120 ng/ml), Free T4 0,13 ng/dl (0,7-1,55 ng/dl), TSH 75,0721 IU/ml (0,35-4,94 IU/ml), Coombs test direk dan indirek negatif, anti dsDNA positif moderat. Hasil pemeriksaan patologi anatomi dari sentra diagnostik patologi Darma Usada pada tanggal 19 januari 2005 dengan kesimpulan tiroiditas Hashimoto. Diagnosis kerja pada saat masuk adalah hipotiroidisme primer et causa suspek post tiroidektomi, superimposed tiroiditis Hashimoto, anemia defisiensi besi dengan problem anemia mikrositik hipokromik, trombositosis, dislipidemia. Terapi yang diberikan adalah diet TKTP, infus D5 lini, oksigen 3 L/menit, euthyrox 1 x 100 mcg, simvastatin 1 x 10 mg, tranfusi PRC s/d Hb 10 gr%. Direncanakan untuk konsul ke stage endokrinologi, hematologi dan bagian obstetri ginekologi. Follow up hari kedua (6/02/2008), keluhan lemas, keadaan umum stabil. Hasil konsultasi dengan stage endokrin, diagnosis hipotiroidisme primer et causa post tiroidektomi, superimposed tiroiditis Hashimoto, anemia defisiensi besi, terapi dilanjutkan. Hasil konsultasi dengan stage hematologi, diagnosis hipotiroidisme primer et causa suspek post tiroidektomi, superimposed tiroiditis hashimoto, anemia defisiensi besi terapi yang disarankan diet TKTP, infus NaCl 0,9% 30 tetes/menit, euthyrox 1 x 100

mcg, simvastatin 1 x 10 mg, sulfas ferosus 3 x 1 tablet, vitamin C 3 x 1 tablet dengan target pemberian Fe, ferritin > 20, saturasi transferin > 100. Hasil laboratorium yang didapatkan adalah morfologi darah tepi dengan kesimpulan gambaran anemia defisiensi besi disertai proses infeksi, kadar T3 1,89 ng/ml (0,51 1,65 ng/dl), TSH 7,125 IU/ml (0,47 5,01 IU/ml), free T4 10,6 pq/dl (7,1-18,5 pq/dl), kadar ferritin 3,61 ng/ml (9,3 159 ng/ml). Follow up hari ketiga (7/10/2008) keluhan lemas berkurang, kondisi umum stabil, terapi dilanjutkan.. Orang sakit dirawat selama 6 hari. Selama perawatan telah dilakukan tranfusi PRC sebanyak 4 kantong, pemeriksaan ulangan menunjukkan kadar Hb telah meningkat menjadi 10,2 gr/dl. Diagnosis akhir pada pasien ini adalah hipotiroidisme primer et causa post tiroidektomi superimposed tiroiditis Hashimoto dan anemia defisiensi besi.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Aspek Diagnosis 3.1 .1 Klasifikasi dan etiologi Hipotiroid dapat diklasifikasikan berdasar waktu kejadian (kongenital atau akuisital), disfungsi organ yang terjadi (primer atau sentral), jangka waktu (transient atau permanent) atau gejala yang terjadi (bergejala/klinis atau tanpa gejala / subklinis). (Roberts & Ladenson, 2004). Hipotiroid kongenital biasanya dijumpai di daerah dengan defisiensi yodium endemis. Pada daerah dengan asupan yodium yang mencukupi, hipotiroid kongenital terjadi pada 1 dari 4000 kelahiran hidup, dan lebih banyak dijumpai pada bayi perempuan. Pada anak-anak ini hipotiroid kongenital disebabkan oleh agenesis atau disgenesis kelenjar tiroid atau gangguan sintesis hormon tiroid. Disgenesis kelenjar tiroid berhubungan dengan mutasi pada gen PAX 8 dan thyroid transcription factor 1 dan 2. (Gillam & Kopp, 2001). Hipotiroid akuisital disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah tiroiditis autoimun yang sering disebut tiroiditas Hashimoto. Peran autoimun pada penyakit ini didukung adanya gambaran infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan adanya antibodi tiroid dalam sirkulasi darah. Hipotiroid akuisital juga dapat disebabkan oleh jejas pada kelenjar tiroid sebelumnya oleh karena operasi atau radiasi (mis : radioterapi eksternal pada penderita head and neck cancer, terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis, paparan yodium radioaktif yang tidak disengaja, infiltrasi

besi di kelenjar tiroid pada hemokromatosis ). Beberapa bahan kimia maupun obat (mis : amiodarone, lithium, interferon) juga dapat menyebabkan hipotiroid dengan cara mempengaruhi produksi hormon tiroid atau mempengaruhi autoimunitas kelenjar tiroid. Senyawa yodium yang terkandung pada beberapa obat seperti amiodaron dapat menghambat produksi hormon tiroid, terutama jika bersama sama dengan tiroiditis autoimun yang telah ada sebelumnya. Dalam suatu penelitian prospektif, 22% pasien yang mendapat terapi amiodaron, mengalami hipotiroid klinis atau subklinis . Hal yang sama juga terjadi pada preparat lithium, dimana sepertiga pasien yang mendapat lithium karbonat mengalami peningkatan kadar hormon tirotropin, 10% mengalami hipotiroid persisten. Pengobatan dengan interferon juga dapat memicu autoimunitas kelenjar tiroid yang berakibat hipo maupun hipertiroid (Roberts & Ladenson, 2004). Berdasar disfungsi organ yang terkena, hipotiroid dibagi dua yaitu hipotiroid primer dan hipotiroid sentral.. Hipotiroid primer berhubungan dengan defek pada kelenjar tiroid itu sendiri yang berakibat penurunan sintesis dan sekresi hormon tiroid, sedangkan hipotiroid sentral berhubungan dengan penyakit penyakit yang mempengaruhi produksi hormon thyrotropin releasing hormone (TRH) oleh hipothalamus atau produksi tirotropin (TSH) oleh hipofisis (Roberts & Ladenson, 2004). Sehingga hipotiroid sentral dapat dibagi dua yaitu hipotiroid sekunder jika kelainannya pada hipofisis dan hipotiroid tertier jika kelainannya pada hipotalamus (Devdar et al, 2007). Penyebab yang paling sering adalah adenoma hipofisis dan terapi pembedahan atau radiasi pada adenoma tersebut. Penyebab lain adalah tumor pada hipotalamus (germinoma, glioma atau meningioma ) atau tumor pada regio suprastellar hipofisis seperti craniopharingioma atau chordoma.

Sarkoidosis, hemokromatosis dan histiositosis juga dapat mengganggu produksi hormon TRH. Hipotiroid transient dapat terjadi akibat penggunaan obat obatan yang

mempengaruhi produksi hormon tiroid (mis : amiodaron, lithium, interferon). Hipotiroid transient juga ditemukan pada dua kondisi peradangan yaitu tiroiditis subakut (de Quervains thyroiditis) dan tiroiditis limfositik (tiroiditis post partum). Pada kedua keadaan tersebut, hipotiroid berlangsung antara 2-8 minggu setelah sebelumnya didahului tirotoksikosis transient. Hal ini kemungkinan karena kebocoran simpanan hormon tiroid yang diikuti oleh gangguan hormogenesis. Tiroiditis subakut diperkirakan disebabkan oleh infeksi virus, menimbulkan keluhan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba keras, nyeri, nyeri tekan, disertai gejala konstitusional seperti demam dan malaise. Tiroiditis limfositik merupakan gangguan idiopatik yang terjadi pada 6% wanita, 2-12 bulan paska melahirkan. Tiroditis limfositik menimbulkan keluhan pembesaran tiroid ringan yang tidak disertai rasa nyeri maupun nyeri tekan. Keluhan pada kedua penyakit ini akan membaik dalam beberapa minggu sehingga pengobatan yang diberikan hanya bersifat sementara (Amino et al, 1982; Fatourechi et al, 2003). Hipotiroid juga dapat dibagi dua yaitu hipotiroid klinis dan hipotiroid subklinis. Hipotiroid subklinis merupakan istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di mana kadar serum T4 dan T3 dalam batas normal, tetapi ada kegagalan tiroid ringan yang ditandai dengan peningkatan kadar TSH. Kondisi ini sering juga disebut sebagai hipotiroid kompensata, hipotiroid tahap awal, hipotiroid laten, hipotiroid ringan, hipotiroid simptomatik minimal, atau hipotiroid preklinik (Devdar et al, 2007).

10

Secara ringkas, penyebab hipotiroid disajikan dalam tabel 1 di bawah ini Tabel 1 penyebab hipotiroid Hipotiroid primer Tiroiditis autoimun kronik Iatrogenik Tiroidektomi Yodium radioaktif, radiasi eksternal Defisiensi atau kelebihan yodium Obat obatan : thionamid, lithium, amiodaron, interferon Penyakit infiltratif : tiroiditis fibrosa, hemokromatosis, sarkoidosis Hipotiroid transient Painless thyroiditis Tiroiditis granulomatosa subakut Tiroiditis postpartum Tiroidektomi subtotal Akibat terapi yodium radioaktif pada penderita penyakit Graves Akibat penghentian hormon tiroid pada pasien eutiroid Hipotiroid sentral Defisiensi TSH Defisiensi TRH Resistensi hormon tiroid generalisata Diambil dari Ross, 2008 Pada kasus ini diagnosis kerja pada saat masuk adalah hipotiroidisme primer et causa post tiroidektomi superimposed tiroiditis hashimoto dan anemia defisiensi besi. Diagnosis hipotiroidisme primer et causa post tiroidektomi ditegakkan dari anamnesis adanya riwayat operasi tiroidektomi pada tahun 2005, sedangkan superimposed tiroiditis Hashimoto berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.. Tiroiditis Hashimoto atau tiroiditis autoimun kronik merupakan kelainan hipotiroid yang paling banyak dijumpai di daerah dengan kadar yodium yang cukup.

11

Penyakit ini merupakan kelainan autoimun yang dimediasi oleh faktor seluler dan antibodi yang mengakibatkan destruksi jaringan tiroid. Kelainan ini mempunyai 2 tipe yaitu tipe goiter dan tipe atropik. Keduanya dibedakan berdasarkan adanya infiltrasi limfositik, fibrosis dan hiperplasi sel folikuler tiroid pada kelenjar tiroid. Lebih dari 90% penderita tiroiditis Hashimoto mempunyai kadar antibodi terhadap tiroglobulin, antibodi terhadap tiroid peroksidase atau antibodi terhadap tiroid Na/l transporter yang tinggi dalam tubuhnya. Antibodiantibodi tersebut tidak memiliki aktivitas fungsional. Antibodi antitiroid tidak perlu diperiksa secara rutin pada penderita hipotiroid primer yang bergejala, karena hampir semuanya menderita tiroiditis Hashimoto. Meskipun demikian pemeriksaan tersebut diperlukan untuk meramalkan kemungkinan hipotiroid permanen di masa depan pada penderita hipotiroid subklinis atau hipotiroid post partum. Tiroiditis Hashimoto biasanya bersifat permanen. Hasil biopsi ulangan hanya menunjukkan sedikit perubahan histologis, demikian juga kadar antibodi antitiroid juga menunjukkan sedikit perubahan pada sebagian besar penderita. Meskipun demikian, sebagian kecil penderita dapat mengalami remisi dan tidak memerlukan terapi pengganti hormon tiroid. (Ross, 2008). Pada kasus ini, operasi tiroidektomi menjadi pencetus timbulnya gejala hipotiroid pada pasien ini disamping adanya penyakit tiroiditis Hashimoto yang mendasari. Tiroidektomi merupakan salah satu kelainan iatrogenik yang mengakibatkan hipotiroid. Kelainan iatrogenik lain yang menimbulkan hipotiroid adalah terapi yodium radioaktif dan radiasi eksternal pada daerah leher (Ross, 2008). Hipotiroid post tiroidektomi dapat muncul dalam waktu dua sampai empat minggu setelah tiroidektomi total. Perjalanan waktu kejadian hipotiroid pada tiroidektomi subtotal pada penderita penyakit Graves

12

lebih bervariasi. Pada sebagian besar kasus terjadi dalam satu tahun pertama setelah operasi. Pada pasien yang masih eutiroid pada tahun pertama, insidensi hipotiroid meningkat 0,5 sampai 1% pada tahun tahun berikutnya (Sridama et al, 1984; Franklyn et al, 1991). Kejadian hipotiroid dalam jangka yang lebih lama biasanya berhubungan dengan tiroiditis Hashimoto yang mendasari (McHendry & Sluzarzyk, 2000). Insidensi hipotiroid posttiroidektomi pada berbagai penelitian bervariasi. Pada penelitian De Carlucci et al (2008) hipotiroid terjadi pada 33,8% pasien yang menjalani hemitiroidektomi selama periode 29 bulan follow up. Hipotiroid lebih sering dijumpai pada pasien dengan kadar TSH preoperatif yang tinggi, pasien dengan kadar antibodi peroksidase tiroid yang tinggi, pasien yang menjalani hemitiroidektomi pada sisi kanan dan pasien dengan sisa kelenjar tiroid yang ditinggal dalam ukuran lebih kecil. Penelitian Shu et al (2009) pada 294 pasien yang menjalani tiroidektomi parsial menunjukkan kejadian hipotiroid pada 10,3% kasus, sebagian besar (78,1%) merupakan hipotiroid subklinis. Hipotiroid lebih sering dijumpai pada penderita dengan kadar TSH preoperatif lebih tinggi, gambaran tiroiditis pada pemeriksaan patologi anatomi dan terdapat antibodi antitiroid pada pemeriksaan darahnya. Kombinasi ketiganya menyumbang 80% kejadian hipotiroid. Selain hipotiroidisme primer, pasien ini juga dididiagnosis anemia defisiensi besi. Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan dari hasil pemeriksaan laboratorium di mana dijumpai Hb 6,4 g/dl, MCV 74,7 fl, MCH 22,2 pg, hasil MDT menunjukkan anemia defisiensi besi, status besi 24 g/l, TIBC 628 g/dl dan ferritin 2,17 ng/dl. Hasil ini sesuai dengan definisi anemia defisiensi besi yaitu anemia yang ditandai gambaran mikrositik hipokromik, penurunan kadar besi serum dan ferritin serta peningkatan kadar TIBC.

13

Kemungkinan penyebab anemia defisiensi besi pada kasus ini adalah riwayat menoragi. Anemia pada penderita hipotiroid dapat terjadi karena berbagai sebab. Pada 10% penderita tiroiditis autoimun kronis terjadi anemia pernisiosa yang ditandai dengan anemia makrositik dan gambaran megaloblastosis pada pemeriksaan sumsum tulang. Pada pasien wanita usia subur dapat terjadi anemia defisiensi besi oleh karena menoragi (Surks, 2008).

3.1.2 Manifestasi klinis Manifestasi klinis hipotiroid tergantung pada dua hal yaitu beratnya defisiensi hormon tiroid yang terjadi dan tingkat keakutan kelainan tersebut terjadi. Pada hipotiroid primer di mana fungsi tiroid menurun perlahan, gejala yang timbul lebih ringan dibandingkan pada kondisi post tiroidektomi (Surks, 2008). Pada sistem metabolisme terjadi penurunan laju metabolisme yang berakibat penurunan BMR (basal metabolism rate) dan konsumsi oksigen. Penurunan termogenesis akan menimbulkan intoleransi terhadap udara dingin. Asupan makan dan nafsu makan berkurang tetapi berat badan akan meningkat akibat retensi cairan dan garam serta akumulasi lemak. Terjadi penurunan sintesis protein, asam lemak dan lipolisis. Kadar kolesterol total dan LDL kolesterol meningkat akibat penurunan klirens HDL kolesterol. Kadar trigliserid bisa normal atau meningkat. Kadar homosistein juga mengalami peningkatan. (OBrien et al, 1993; Hussein et al, 1999). Pada sistem kardiovaskuler terjadi penurunan kontraktilitas myokard dan denyut jantung yang mengakibatkan penurunan cardiac output dan penurunan kapasitas latihan. Resistensi vaskuler perifer akan meningkat yang mengakibatkan peningkatan tekanan

14

diastolik. Penderita hipotiroid juga sering disertai efusi pleura dan perikard (Klein et al, 1994). Pada sistem integumentum, dijumpai gambaran kulit kering dan pucat. Dapat dijumpai non pitting edema oleh karena akumulasi glikosaminoglikan. Rambut tampak kasar dan mudah rontok. Kuku mudah pecah dan terjadi penurunan pengeluaran keringat. (Heymann, 1992). Pada sistem saraf dijumpai gejala mudah mengantuk, proses berpikir yang menurun dan perubahan memori (Burmeister et al, 2001). Pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan aliran darah otak dan metabolisme yang kemungkinan mendasari kelainan di atas. Penurunan refleks tendon dalam merupakan salah satu tanda hipotiroid yang perlu diperiksa. Pada sistem respirasi terjadi hipoventilasi dan hiperkapnia. Hal ini disebabkan kelemahan otot pernafasan dan respon terhadap hipoksemia dan hiperkapnia yang tidak memadai. Hipotiroid dapat menyebabkan atau memperberat sleep apneu (Siafakas et al, 1992 ; Ladenson et al, 1988). Pada sistem gastrointestinal dapat dijumpai konstipasi akibat penurunan motilitas usus. Sebagaimana penyakit autoimun yang lain, terjadi peningkatan risiko anemia pernisiosa dan atrofi gaster pada penderita hipotiroid. (Shafer et al, 1984). Pada sistem reproduksi dapat dijumpai oligo-amenorea atau hiper-menoragi. Pada hipotiroid primer dapat dijumpai peningkatan serum prolaktin akibat stimulasi TRH. Hiperprolaktinemia mengakibatkan hipogonadisme yang akan menyebabkan penurunan fertilitas dan peningkatan risiko keguguran. Pada penderita hipotiroid pria, dapat terjadi penurunan kadar testosteron. (Krassas et al, 1999).

15

Tabel 2 Gejala dan Tanda hipotiroid Gejala dan tanda Kelemahan Perubahan kulit Letargi Pembicaraan lambat Edema palpebra Sensasi dingin Berkurangnya keringat Lidah tebal Edema fasial Rambut kasar Kulit pucat Mudah lupa Konstipasi Diambil dari Hueston, 2001 Pada kasus ini manifestasi klinis yang dijumpai adalah kelelahan, peningkatan berat badan, edema fasial, berkurangnya keringat, tidak tahan udara dingin, kulit kering dan bersisik, serta riwayat oligomenore dan menometroragi. Dalam sebuah studi pada 171 wanita premenopause dengan hipotiroid, 77 % mengalami siklus menstruasi normal, 16 % mengalami oligo atau amenorea dan 7 % mengalami hipermenorea dan menoragi. Hal ini berbeda dengan kelompok kontrol (wanita premenopause sehat) di mana frekuensi oligomenorea terjadi pada 7 % dan hipermenorea hanya dijumpai pada 1 % populasi (Krassass, 1999). Persentase 99 97 91 90 90 89 89 82 79 76 67 66 61

16

3.1.3 Diagnosis Pemeriksaan kadar tirotropin (TSH) merupakan uji diagnostik lini pertama untuk hipotiroid. Kenaikan kadar TSH memastikan seseorang menderita hipotiroid primer. Kadar TSH normal adalah 0,4 mU/L sampai 4,0 mU/L yang terdistribusi secara logaritmik, sehingga konsentrasi rata-rata berada di batas bawah dari kisaran normal. Akibatnya, kadar TSH pada batas atas normal (> 3,0 mU/L) kemungkinan menunjukkan disfungsi tiroid yang masih ringan, yang berisiko berkembang menjadi hipotiroid, terutama jika ditemukan adanya autoantibodi tiroid (Roberts & Ladenson, 2004). Pemeriksaan tirotropin (TSH) mempunyai keterbatasan dalam mendiagnosis hipotirois sentral. Pada penderita hipotiroid sentral, kadar TSH dapat rendah oleh karena penurunan produksi TSH, atau normal atau sedikit meningkat sebagai hasil sintesis TSH dengan aktivitas biologis yang rendah. Hipotiroid sentral dapat dicurigai pada beberapa kondisi, (1) jika didapatkan gambaran klinis hipotiroid tanpa kenaikan kadar tirotropin, (2) gambaran klinis defisiensi hormon hipofisis anterior lain, (3) adanya massa pada regio sellar atau (4) pada pasien dengan hipopituitarisme (mis : sarkoidosis, radioterapi atau perlukaan kranial, kanker dengan metastasis hipofisis). Pada kondisi-kondisi tersebut, pemeriksaan kadar tirotropin dilakukan bersama sama dengan pemeriksaan kadar tiroksin bebas. Kadar tiroksin bebas yang rendah memastikan diagnosis hipotiroid sentral. Ditemukan kadar tiroksin bebas yang rendah ini, tanpa memperhitungkan berapa kadar TSH, harus diikuti dengan pemeriksaan lanjutan, seperti pemeriksaan pencitraan hipofisis, tes stimulasi TRH dan tes fungsi hipofisis yang lain. Pada kecurigaan klinis hipotiroid, kadar tiroksin bebas yang berada pada batas bawah nilai normal pun harus dicurigai sebagai hipotiroid sentral tahap awal, yang perlu dievaluasi lebih lanjut dengan

17

pemeriksaan yang lain. Sebaliknya ada kondisi lain di mana peningkatan TSH tidak berhubungan dengan hipotiroid misalnya pada insufisiensi adrenal, gagal ginjal atau paparan suhu yang sangat dingin. Obat-obat yang digunakan pada kondisi darurat seperti glukokortikoid, dopamin, dobutamin dapat menekan kadar TSH sehingga menutupi gejala hipotiroid. Sebaliknya, pasien yang baru saja pulih dari kondisi sakit parah akan menunjukkan kenaikan sementara kadar TSH, sehingga pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien yang sakit parah dapat memberikan hasil yang membingungkan. Penggunaan obat-obat anti kejang seperti fenitoin dan karbamazepin dapat memberikan hasil pemeriksaan TSH dan tiroksin bebas yang rendah yang mungkin dikira sebagai hipotiroid sentral (Roberts & Ladenson, 2004) Tabel 3 Nilai Laboratorium pada hipotiroid Kadar TSH Tinggi Tinggi (> 10 mU/L) Tinggi (5-10 mU/L) Tinggi Tinggi Rendah Kadar FT4 Rendah Normal Normal Tinggi Tinggi Rendah Kadar FT3 Rendah Normal Normal Rendah Tinggi Rendah Kemungkinan diagnosis Hipotiroid primer Hipotiroid subklinis yg cenderung berkembang mjd Hipotiroid klinis Hipotiroid subklinis yg tdk cenderung berkembang mjd Hipotiroid klinis Hilangnya enzim pengubah T4-T3, efek amiodaron resistensi hormon tiroid Perifer Hipotiroid sentral (defisiensi Tiroid hipofisis) Penghentian tiba-tiba tiroksin Stl tx pengganti yg berlebih

Diambil dari Hueston, 2001

18

Pada kasus ini diagnosis pasti hipotiroidisme primer ditegakkan dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa peningkatan kadar TSH dan penurunan kadar free T4. Hasil pemeriksaan tanggal 29 Januari 2008 menunjukkan kadar TSH 75,0721 IU/mL (nilai normal 0,35 4,94 IU/mL) dan kadar free T4 0,13 ng/dl ( nilai normal 0,7-1,55 ng/dl). 3.2 Aspek Terapi Terapi pilihan hipotiroid adalah sodium levotiroksin. Obat tersebut, jika diberikan dalam dosis yang tepat, mempunyai efektivitas yang tinggi dan efek samping minimal. Tiroksin diabsorbsi di usus halus bagian proksimal, mempunyai waktu paruh 7 hari, dan dimetabolisme di organ target (kelenjar tiroid) menjadi tri-iodo-tironin. Dosis optimal tiroksin berhubungan dengan berat badan (1,8 g / kg BB) dan umur. Dosis yang lebih besar diperlukan pada bayi dan anak-anak, sementara pada usia lanjut diperlukan dosis yang lebih kecil (0,5 g /kg BB/ hari). Dosis lebih besar dapat diberikan pada penderita post tiroidektomi, atau lebih rendah pada penderita hipotiroid ringan (0,5 g / kg BB/ hari). Absorpsi tiroksin menurun pada penderita malabsorpsi atau pasien dengan riwayat operasi pemotongan usus. Beberapa obat seperti antasida, sukralfat, suplemen kalsium dan besi, kolestiramin serta serat dapat mempengaruhi absorpsi tiroksin (Roberts & ladenson, 2004). Dosis awal yang diberikan adalah batas bawah dari dosis yang diperlukan (mis : 125 g / hari pada orang dewasa dengan berat 70 kg). Titrasi dari dosis awal 25-50 g / kg BB pada pasien yang relatif sehat tidak diperlukan dan akan memperlama masa pemulihan. Monitoring laboratorium dilakukan setiap 4-6 minggu setelah penyesuaian dosis, dan setiap tahun jika kondisi telah stabil. Pada hipotiroid primer, kadar TSH

19

diusahakan pada batas bawah nilai normal (mis 1,0 mU/L). Pada hipotiroid sentral, kadar tiroksin bebas diusahakan pada batas atas nilai normal (Roberts & Ladenson, 2004). Terapi tiroksin pada penderita penyakit jantung koroner dapat menimbulkan kekambuhan iskemia miokard yang diderita. Memulai terapi dengan dosis yang lebih rendah (25 g / hari) dapat dibenarkan. Titrasi gradual dapat dilakukan dengan peningkatan 12,5-25 g dalam waktu 4-6 minggu. Pemberian tambahan penghambat beta mungkin dapat membantu. Penderita hipotiroid dapat menjalani prosedur angiografi koroner bahkan operasi bypass jantung dengan risiko perioperatif yang sedikit lebih tinggi dibandingkan orang sehat (Roberts & Ladenson, 2004) Pada sebuah penelitian yang melibatkan 33 penderita hipotiroid stabil yang telah mendapat levotiroksin, terjadi perbaikan dalam mood, memori, dan toleransi dingin setelah penambahan tri-iodo-tironin 0,025 mg/hari dan penurunan 0,025 mg dosis levotiroksin. Meskipun objek penelitian ini sedikit, hal di atas menunjukkan bahwa triiodo-tironin memberikan manfaat pada penderita hipotiroid stabil dengan gangguan neuropsikiatris (Bunevicius et al, 1999). Monitoring kadar TSH dan FT4 dilakukan setahun sekali jika kondisi telah stabil. Seiring peningkatan umur, ikatan hormon tiroid akan menurun dan kadar albumin juga menurun. Pada kondisi ini dosis levotiroksin dapat diturunkan 20%. Monitoring yang lebih jarang dapat dilakukan pada pasien muda, tetapi pada kelompok lanjut usia, monitoring tahunan diperlukan untuk mencegah kelebihan dosis terapi (Hueston, 2001). Pada kasus ini terapi yang diberikan adalah euthyrox dengan dosis 100 mcg. Hasil evaluasi klinis selama pengobatan menunjukkan berkurangnya keluhan dan hasil evaluasi laboratorium menunjukkan penurunan TSH (dari 75,0721 menjadi 7, 125 IU/mL) dan

20

kenaikan free T4 dari 1,3 pg/ml menjadi 10,6 pg/ml dalam waktu 12 hari. Jika mengacu pada dosis optimal 1,8 mcg /kg BB, dosis yang seharusnya diberikan adalah 1,8 x 90 kg atau 162 mcg, tetapi dengan dosis 100 mcg ternyata mencukupi untuk memperbaiki keluhan dan menormalkan fungsi tiroid.

21

BAB IV KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus hipotiroidisme primer et causa post tiroidektomi superimposed tiroiditis Hashimoto pada seorang wanita berumur 30 tahun. Manifestasi klinik yang dijumpai pada kasus ini antara lain adalah menometroragi yang mengakibatkan anemia defisiensi besi. Insidensi hipotiroid post tiroidektomi bervariasi berkisar 10 sampai 30 %. Faktor yang mempengaruhi kejadian hipotiroid post

tiroidektomi adalah kadar TSH yang lebih tinggi, gambaran tiroiditis pada pemeriksaan PA dan adanya antibodi antitiroid. Diagnosis hipotiroid primer ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil laboratorium dimana dijumpai peningkatan TSH dan penurunan free T4. Diagnosis tiroiditis Hashimoto ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi. Terapi hipotiroid adalah dengan pemberian preparat levotiroksin. Pemberian levotiroksin memerlukan kehati-hatian pada penderita usia lanjut dan adanya penyakit jantung yang mendasari. Pemberian levotiroksin akan memperbaiki keluhan dan menormalkan kembali fungsi tiroid. Prognosis penderita hipotiroid relatif baik.

22

DAFTAR PUSTAKA Amino N, Mori H, Iwatani Y, et al. 1982 High prevalence of transient postpartum thyrotoxicosis and hypothyroidism. N Engl J Med; 306:84952. Bunevicius R, Kazanavicius G, Zalinkevicius R, Prange AJ Jr. 1999 Effects of thyroxine as compared with thyroxine plus triiodothyronine in patients with hypothyroidism. N Engl J Med 340:424-9. Burmeister LA, Ganguli M, Dodge HH, et al. 2001 Hypothyroidism and cognition: preliminary evidence for a specific defect in memory. Thyroid 11:117785. De Carlucci D, Tavares MR, Obara MT, Martins LAL, Hojaij FC, Cernea CR. 2008. Thyroid function after unilateral total lobectomy. Risk Factors for post operative hypothyroidism. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 134 (10) : 1076-79 Devdar, M., Ousman, YH, Burman, KD. 2007. Hypothyroidism. Endocrinol Metab Clin N Am 36 : 595-615 Fatourechi V, Aniszewski JP, Eghbeli Fatourechi GZ, Atkinson EJ, Jacobsen SJ. 2003 Clinical features and outcome of subacute thyroiditis in an incidence cohort: Olmsted County, Minnesota Study. J Clin Endocrinol Metab 88: 210005 Franklyn JA, Daykin J, Drolc Z, Farmer M, Shepperd MC. 1991. Long term follow up of treatment of thyrotoxicosis by three different methods. Clin Endocrinol 34 (1) : 71-76. Gillam M, Kopp P. 2001 Genetic regulation of thyroid development.Curr Opin Pediatr; 13: 35863. Heymann WR. 1992 Cutaneous manifestations of thyroid disease. J Am Acad Dermatol 26: 885902 Hollowell, JG, Staehling NW, Flanders WD, et al. 2002 Serum TSH, T4, and thyroid antibodies in the United States Population (19881994): National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III).J Clin Endocrinol Metab; 87: 489 99. Hueston, WJ. 2001. Treatment of hypothyroidism. Am Fam Fhysician 64 : 1717-24. Hussein WI, Green R, Jacobsen DW, et al.1999 Normalization of hyperhomocysteinemia with L-thyroxine in hypothyroidism. Ann Intern Med;131:34851. Klein I, Ojamaa K. 1994 Thyroid hormone and the cardiovascular system: from theory to practice.J Clin Endocrinol Metab 78:10267. Krassas GE, Pontikides N, Kaltsas T, et al. 1999 Disturbances of menstruation in hypothyroidism. Clin Endocrinol (Oxf) 50:6559. McHendry CR, Slisarczyk SJ. 2000. Hypothyroidism following hemithyroidectomy : Incidence, risk factors, and management. Surgery 128 (6) 994-8. OBrien T, Dineen SF, OBrien PC, et al. 1993 Hyperlipidemia in patients with primary and secondary hypothyroidism. Mayo Clin Proc;68:8606. Parle JV, Franklyn JA, Cross KW, Jones SC, Sheppard MC. 1991 Prevalence and followup of abnormal thyrotrophin (TSH) concentrations in the elderly in the United Kingdom. Clin Endocrinol; 34: 7783. Roberts, CGP., Ladenson, PW. 2004. Hypothyroidism. Lancet 363 : 793-803. Ross, D.S. 2008. Disorders that cause hypothyroidism dalam Rose, B.D (ed) UpToDate 16.1. Welleslay, MA.

23

Shafer RB, Prentiss RA, Bond JH. 1984 Gastrointestinal transit in thyroid disease. Gastroenterology 86:8525. Siafakas NM, Salesiotou V, Filaditaki V.1992 Respiratory muscle strength in hypothyroidism. Chest 102:18994. Sridama, V., McCormick M., Kaplan EL, Fauchet, R, DeGroot LJ. 1984. Long term follow up study of compensated low dose 131I therapy for Graves disease. N Engl J Med 311 (7) : 426-32. Su SY, Grodsky S, Serpell JW. 2009. Hypothyroidism following hemithyroidectomy : A Retrospective review. Ann Surg 250 : 991-994. Surks MI, 2008. Clinical manifestation of hypothyroidism dalam Rose, B.D. (ed) UpToDate 16.1. Wellesley, MA. Tunbridge WMG, Evered DC, Hall R, et al. 1977 The spectrum of thyroid disease in a community: the Whickham survey. Clin Endocrinol (Oxf) 7: 11525.

24

25

You might also like