You are on page 1of 33

LAPORAN FARMAKOLOGI

OBAT ANTIPSIKOSIS

Disusun oleh : Kelompok II Afdhalia Khairunnisa Sy. Dewi Puspita Ayu Febrian Juventianto Fredy Setyawan Ira Karlina Lawani Meri Siti Muawanah Yunistira Sylvia Zara Pilar K.A (0708015030) (0708015019) (0708015058) (0708015057) (0708015021) (0708015003) (0708015011) (0708015037) (0708015020)

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MULAWARMAN 2010

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan praktikum farmakologi dengan judul Obat Anti Psikosis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang penjelasan mengenai obat anti Psikosis, termasuk di dalamnya definisi, klasifikasi serta mekanisme kerja dari obat ini. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.

Dosen-dosen tim farmakologi yang telah mengajarkan materi

kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan praktikum farmakologi ini.
2.

Teman-teman kelompok II yang telah mencurahkan pikiran,

tenaga dan waktunya sehingga diskusi sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan praktikum farmakologi ini.
3.

Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman

angkatan 2007 khususnya yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi yang kita bahas. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan praktikum farmakologi ini.

Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI Kata Pengantar .2 Daftar Isi Bab I .3 Pendahuluan A. Latar Belakang .4 B. Tujuan Bab II .5

Tinjauan Pustaka.. 6

Bab III

Penutup A. Kesimpulan ... 32 B. Saran ..32

Daftar Pustaka

... 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat anti psikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia; (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis. Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala positif. Antipsikosis sangat bermanfaat mengatari keadaan gaduh gelisah. Efektivitas obat ini samgat membantu orang-orang yang memelihara pasien psikosis. Indikasi lainnya adalah Tourette's syndrome dan untuk mengontrol gangguan perilaku pada pasien demensia Alzheimer. Kebanyakan antipsikosis lama, kecuali tioridazin memiliki efek antiemetik. Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (Cairan cerebrospinal) dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau antarkeseimbangannya.

Antipsikotik memiliki sejumlah kegiatan fisiologi, yakni : antipsikotik, anxiolitis, antiemesis, dan analgetik. Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikosis, seperti schizophrenia, mania, dan depresi psikosis. Disamping itu antipsikotika digunakan untuk menangani ganguan perilaku serius pada pasien dengan handicap rohani dan pasien demensia, juga untuk keadaan gelisah akut dan penyakit lata. Obat ini mampu meniadakan rasa bimbang, takut, gelisah, dan agresi yang berat. Oleh karena itu adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai minor tranquilizer pada kasus-kasus serius, dimana benzodiazepinn kurang efektif, misalnya pimozida dan thioridiazin. Berhubung efek sampingnya penggunaan antispikotika dalam dosis rendah sebagai anxiolitika tidak dianjurkan. Berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger Zone) ke pusat muntah dengan jalan blockade reseptor dopamine. Karena sifat inilah obat ini sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat. Obat dengan daya antiemesis kuat adalah proklperazin dan thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah adalah klorpromazin, perfrenazin, triflupromazin, flufenazin, dan haloperidol. Beberapa antipsikotik memiliki khasiat analgesic kuat, antara lain levomepromazin, haloperidol, dan droperidol. Tetapi obat ini jarang digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat efek analgetik dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin. Klorpromazin dan haloperidol adakalanya juga digunakan pada sedu yang tak henti-henti dan gangguan keseimbangan bila obat lain tidak ampuh.

B.

Tujuan Tujuan penyusunan laporan farmakologi ini adalah mempelajari tentang obat anti psikosis. Selain itu juga kita dapat mempelajari dari definisi, klasifikasi, mekanisme kerja, efek dan manfaat, interaksi, dll.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANTIPSIKOTIKA Bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia; (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala positif. Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis.
1. Antipsikotika klasik atau typis, terutama efektif mengatasi symptom positif,

pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut:
a. Derivat-fenotiazin : klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin

(Siquil), thioridazin dan periciazin, perfenazin dan flufenazin, perazin (Taxillan), trifluoperazin, dan prklorperazin (Stemetil)
b. Derivat-thioxanthen : klorprotixen (Tuxal) dan zuklopentixol (Cisordinol) c. Derivat-butirofenon

haloperidol,

bromperidol,

pipamperon,

dan

droperidol.
d. Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.

2. Antipsikotika

atypis (sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan

quetiapin) bekerja efektif melawan symptom negatif, yang praktis kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda. Obat atypis lainnya yang sudah tersedia di negara lain sejak 1998 adalah zotepin, dan ziprasidon. Indikasi Antipsikosis sangat bermanfaat mengatari keadaan gaduh gelisah. Efektivitas obat ini samgat membantu orang-orang yang memelihara pasien psikosis. Indikasi lainnya adalah Tourette's syndrome dan untuk mengontrol gangguan perilaku pada pasien demensia Alzheimer. Kebanyakan antipsikosis lama, kecuali tioridazin memiliki efek antiemetik. Khasiat dan penggunaan Antipsikotik memiliki sejumlah kegiatan fisiologi, yakni : a. Antipsikotis Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikosis, seperti schizophrenia, mania, dan depresi psikosis. Disamping itu antipsikotika digunakan untuk menangani ganguan perilaku serius pada pasien dengan handicap rohani dan pasien demensia, juga untuk keadaan gelisah akut dan penyakit lata. b. Anxiolitis Obat ini mampu meniadakan rasa bimbang, takut, gelisah, dan agresi yang berat. Oleh karena itu adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai minor tranquilizer pada kasus-kasus serius, dimana benzodiazepinn kurang efektif, misalnya pimozida dan thioridiazin. Berhubung efek sampingnya penggunaan antispikotika dalam dosis rendah sebagai anxiolitika tidak dianjurkan. c. Antiemesis Berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger Zone) ke pusat muntah dengan jalan blockade reseptor dopamine. Karena sifat inilah

obat ini sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat. Obat dengan daya antiemesis kuat adalah proklperazin dan thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah adalah klorpromazin, perfrenazin, triflupromazin, flufenazin, dan haloperidol. d. Analgetis Beberapa antipsikotik memiliki khasiat analgesic kuat, antara lain levomepromazin, haloperidol, dan droperidol. Tetapi obat ini jarang digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat efek analgetik dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin. Klorpromazin dan haloperidol adakalanya juga digunakan pada sedu yang tak henti-henti dan gangguan keseimbangan bila obat lain tidak ampuh. Mekanisme kerja Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (Cairan cerebrospinal) dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau antar-keseimbangannya. Antipsikotika menghambat (agak) kuat reseptor dopamine (D2) di system limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor D1/D4, 1 (dan 2)adrenerg, serotonin, muskarin, dan histamine. Akan tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blockade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa blockade D2 saja tidak selalu cukup menanggulangi schizophrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2) , glutamate, dan GABA perlu dipengaruhi. Mulai kerjanya blockade- D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebaliknya, kerjanya terhadap gejala psikosis lainnya, seperti waham, halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin efek lambat ini disebabkan system reseptor dopamine menjadi kurang peka.

Antipsikosis atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor-D1 dan D2, sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk melawan symptom negative. Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.
a. Sulpirida, terutama menghambat reseptor- D2 dan praktis tanda afinitas bagi

reseptor lain. Pada dosis rendah (dibawah 600mg/ hari) terutama bekerja antagonistis terhadap reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih tinggi (diatas 800mg/hari) juga terhadap reseptor-D2 postsinaptis, seperti obat-obat klasik. Efek antipsikosis terutama dicapai pada dosis lebih tinggi dan dosis rendah berguna pada psikosis dengan terutama symptom negatif.
b. Klozapin : ikatannya pada reseptor D2 agak ringan dibandingkan obat-obat

klasik. Namun efek antipsikosisnya kuat, yang bisa dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin, antikolinergis, dan antiadrenergis adalah relative tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blockade kuat dari reseptor D2, D4, dan 5HT2. Blockade resptor muskarin dan D4 diduga mengurangi GEP, sedangkan blockade 5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamine di otak. Hal ini meniadakan sebagai blockade D2, tetapi mengurangi resiko GEP.
c. Risperidon juga terutama menghambat reseptor D2 dan 5HT2, dengan

perbandingan afinitas 1 : 10, juga dari reseptor 1, 2 dan H1. Blokade 1 dan 2 dapat menimbulkan masing-masing hipotensi dan depresi sedangkan blockade H1 berikatan dengan sedasi.
d. Olanzapin menghambat semua reseptor dopamine (D1 s/d D4) dan reseptor H1,

5HT2, adrenergic, dan kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5HT dibandingkan D2.
e. Reboxetin yang secara selektif menghambat reuptake noradrenalin pada tahun

1997 dipasarkan di Inggris. Efek samping Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan yang paling sering terjadi adalah :

a. Gejala ekstrapiramidal (GEP), yang bertalian dengan daya antidopaminnya

dan bersifat lebih ringan pada senyawa butirofenon, butilpiperidin, dan obat atypis. GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
-

Parkinsonisme dengan gejala hipokinesia dan kekauan anggota tubuh, terkadang tremor tangan, dan keluar liur berlebihan. Gejala lainnya rabbit syndrome (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip kelinci) yang dapat muncul setelah beberapa minggu atau bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja antikolinergis. Insidensinya 210%.

Distonia akut yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan menelan, sukar bicara dan dengan kejang rahang. atau Untuk diberi menghindarkannya dosis dinaikkan perlahan

antikolinergik sebagai profilaksis.


-

Akathisia yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu diam tanpa menggerakkan kaki, tangan, atau tubuh. Ketiga GEP diatas dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan antikolinergik. Akathisia juga dapat diatasi dengan propanolol atau benzodiazepine.

Diskinesia tarda yakni gerakan abnormal tak sengaja khususnya otot-otot muka dan mulut, yang dapat menjadi permanen. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan antara lain dengan dosis kumulatif yang telah diberikan. Resiko efek samping ini meningkat pada penggunaan lama dan tidak tergantung dari dosis juga sering terjadi pada lansia. Insidennya tinggi sekitar 10-15%. Gejala ini lenyap dengan menaikkan dosis, tetapi kemudian timbul kembali secara lebih hebat. Antikolinergik juga dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.

Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (takikardi, berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensia). Gejala ini tidak tergantung pada dosis. Gejala ini terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2 minggu

dengan insiden 1%. Diagnosanya sukar, tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.
b. Galaktorrea (banyak keluar air susu). Hal ini diakibatkan blockade dopamine

yang identik denga PIF (Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkata dan produksi air susu bertambah banyak.
c. Sedasi, yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klopromazin,

thioridazin,

dan

klozapin.

Efek

sampingnya

ringan

pada

zat-zat

difenilbutilamin.
d. Hipotensi ortostatis, terjadi akibat blockade reseptor 1-adrenergis, misalnya

klopromazin, thioridazin, dan klozapin.


e. Efek antikolinergis, terjadi akibat blockade resepto muskarin, yang bercirikan

antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih, dan takikardia terutama pada lansia. Efek khusus kuat pada klopromazin, thioridazin, dan klozapin
f. Efek antiserotonin, terjadi akibat blockade reseptor-5HT, yang berupa

stimulasi nafsu makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia.
g. Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya adiktif.

Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia, dan rasa takut. Efek ini terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu penghentiannya selalu perlu secara berangsur.
h. Efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang karakteristik

bagi obat-obat tertentu, yakni : Fenotiazin : seringkali reaksi imunologis, seperti fotosensibilitas, hepatitis, kelainan darah, dan dermatitis alergi. Efek lainnya berupa kelainan mata berupa endapan pigmen di lensa dan kornea serta retinopati pada thioridazin (dosis diatas 800mg/hari). Klozapin : dapat menimbulkan agranulositosis, bradikardi, hipotensi ortostatis dan berhentinya jantung. Olanzapin dan risperidon pada lansia yang menderita Alzheimer dapat mengakibatkan kerusakan cerebrovaskuler, yang meningkatkan

mortalitasnya dengan lebih dari dua kali, tidak tergantung dari lama dan dosisnya penggunaan. Kehamilan dan laktasi. Penggunaan obat-obat ini selama kehamilan dan laktasi sedapat mungkin harus dihindari berhubungan toksisitasnya bagi janin dan bayi. Karena psikosis yang tidak ditangani dengan tepat dapat sangat merusak kesehatan ibu dan janin, maka resiko penggunaan antipsikotika perlu dipertimbangkan per pasien secara individual. Bila sangat perlu hendaknya diberikan dalam dosisserendah mungkin dalam masa yang singkat. Pecanpekan kehamilan dengan resiko tinggi adalah minggu ke-4 sampai ke-10 dan 24 minggu terakhir. Selama periode tersebut hendaknya jangan diberikan medikasi. Obat pilihan pertama untuk keadaan darurat adalah haloperidol. Interaksi. Beta bloker dan antidepresiva trisiklik dapat saling memperkuat efek antipsikotika dengan jalan menghambat masing-masing metabolisme. Levadopa dan bromokriptin dapat dikurangi kerja dopaminergiknya. Barbital menurunkan kadar darah antipsikotikanya berdasarkan induksi enzim. Klorpromazin dan garam-garam litium saling menurunkan kadar darahnya masing-masing Obat-obat tambahan Bila penggunaan antipsikotik kurang menghasilkan efek yang diinginkan adakalanya ditambahkan adjuvansia, seperti :
- Benzodiazepine dengan kerja agak panjang seperti diazepam, dapat untuk

sementara ditambahkan pada antipsikotika dengan efek sedative ringan guna menanggulangi rasa takut dan gelisah. Penggunaannya tidak boleh dihentikan dengan mendadak, melainkan harus secara berangsur untuk menghidarkan psikosis dan konvulsi reaktif.
- Litium berguna sebagai obat tambahan bila terdapat komponen mania.

Efeknya yang baik berupa berkurangnya gejala psikosis, kegelisahan dan perbaikan kontak social dapat tercapai setelah 2-4 minggu. Dosis antipsikotikum biasanya dapat dikurangi.

- Antidepresiva trisiklik, misalnya amitriptilin, adakalanya dapat ditambahkan

pada depresi yang timbul sesudah psikosis. Berhubung kombinasi saling memperkuat daya kerja dan toksisitas kedua obat, harus diwaspadai meningkatnya efek antikolinergik.
- Karbamazepin adakalanya berguna sebagai adjuvant bila terdapat kegelisahan

dan gangguan kelakuan hebat. Obat epilepsy ini menurunkan kadar darah antipsikotika.

KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN Prototip kelompok ini adalah klorpromazin (CPZ). Sampai sekarang obat ini masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya yang murah. Farmakodinamik Efek farmakologik terjadi karena antipsikosis menghambat reseptor diantaranya dopamin, reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor -adrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2. Susunan Saraf Pusat CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsamg dari lingkungan. Klorpromazin berefek antipsikosis terlepas dari efek sedasinya. CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua derivat fenotiazin mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme. CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada chemoreceptor trigger zone. Fenotiazin terutama yang. potensinya rendah menurunkan ambang bangkitan sehingga penggunaannya pada pasien epilepsi harus sangat hati-hati. Derivat piperazin dapat digunakan secara aman pada pasien epilepsi bila dosis diberikan bertahap dan bersama antikonvulsan.

Neurologik Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala sindrom neurologik yang karakteristik obat ini : distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom neuroleptic malignat, tremor perioral(jarang) dan diskinesia Tardif. Otot Rangka CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot rangka yang berada dalam keadaan spastik. Efek Endokrin CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan ginekomastia. Kardiovaskular Hipotensi ortostatik, dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering terjadi dengan derivat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Farmakokinetik Kebanyakan antipsikosis diabsorbsi sempurna, sebagian diantaranya mengalami metabolismd lintas pertama. Efek Samping Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Gejala idiosinkrasi mungkin timbul berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.

HALOPERIDOL Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin.

Farmakodinamik Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan banyak sifat fenotiazin. Pada orang normal, efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Susunan Saraf Pusat Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi. Sistem Saraf Otonom Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek antipsikotik lain; walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur. Sistem Kardiovaskular dan Respirasi Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat akibat CPZ. Farmakokinetik Haloperidol cepat diserap dalam saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Efek Samping dan Intoksikasi Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang tinggi, terutama pada pasien muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik. Indikasi Indikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Selain itu juga merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette.

DIBENZODIAZEPIN KLOZAPIN Merupakan antipsikosis atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal karena obat ini hampir tidak memiliki efek ekstrapiramidal dan kadar prolaktin serum pada manusia tidak ditingkatkan. Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofernia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif. Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif maupun negatif. Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter terhadap obat standar. Efek Samping dan Intoksikasi Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada pengobatan dengan klozapin. Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat. Pengobatan dengan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila terlihat adanya perbaikan. Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain hipertemia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Farmakokinetik Klozapin diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral; kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum disekresi lewat urin dan tinja.

RISPERIDON Farmakodinamik Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin, dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin, alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin Farmakokinetik Bioavailabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat feses.

Indikasi Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan Tourette syndrome. Efek Samping Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekrtra piramidal terutama tardiv diskinesia.

OLANZAPIN Fardmakodinamik Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin, struktur kimianya mirip dengan klozapin. Farmakokinetik Olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di hepar, dan disekresi lewat urine. Indikasi. Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun positif skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini juga menunjukkan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala psikotik. Efek Samping Meskipun strukturnya mirip dengan klozapin, olanzapin tidak menyebabkan agranulositosis seperti klozapin.

QUETIAPIN Farmakodinamik Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, serotonin, dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A.

Farmakokinetik Absorbsinya cepat setelah pemberian oral, kadar plasma maksimal tercapai setelah 1-2 jam pemberian. Indikasi Quetiapin diindikasikan untuk skizofrenia dengan gejala positif maupun negatif. Efek Samping Efek samping yang umum adalah sakit kepala, somnolen, dan dizziness.

ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL DIBENZODIAZEPIN-KLOZAPIN Merupakan antipsikosis atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal karena obat ini hampir tidak memiliki efek ekstrapiramidal dan kadar prolaktin serum pada manusia tidak ditingkatkan. Diskinesia tardif belum pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi obat ini. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, klozapin merupakan efek dopaminergik lemah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neuroendokrin). Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif maupun negatif. Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena risiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis lain, maka penggunannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau setiap minggu. Efek Samping dan Intoksikasi Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada pengobatan dengan klozapin. Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah

pemberian obat. Pengobatan dengan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila terlihat adanya perbaikan. Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain hipertemia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Farmakokinetik Klozapin diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral; kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum disekresi lewat urin dan tinja. Sediaan Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg.

RISPERIDON Farmakodinamik Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin(5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamine(D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamine. Aktivitas antipsikosis diperkirakan melaui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin. Farmakokinetik Bioavailabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di plasma risperidon terikat dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%. Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh anzim CYP 2D6 menjadi metabolitnya 9-hidroksirisperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat feses. Indikasi Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan Tourette syndrome. Efek Samping Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah,

peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekrtra piramidal terutama tardiv diskinesia. Efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding antipsikosis tipikal. Sediaan Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg dan 3 mg, sirup dan injeksi (long-lasting injection) 50 mg/mL.

OLANZAPIN Fardmakodinamik Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin, struktur kimianya mirip dengan klozapin. Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2, D3, D4 dan D5), dan reseptor serotonin (5HT2), muskarinik, histamin (H1) dan reseptor alfa 1. Farmakokinetik Olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di hepar oleh enzim CYP 2D6, dan disekresi lewat urine. Indikasi Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun positif skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini juga menunjukkan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala psikotik. Efek Samping Meskipun strukturnya mirip dengan klozapin, olanzapin tidak menyebabkan agranulositosis seperti klozapin. Olanzapin dapat ditoleransi dengan baik dengan baik dengan baik dengan efek samping ekstrapiramidal terutama tardiv diskinesia yang minimal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah peningkatan berat badan dan gangguan metabolik yaitu intoleransi glukosa, hiperglikemia, dan hiperlipidemia. Sediaan Olanzapin tersedian dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg, dan vial 10 mg.

QUETIAPIN Farmakodinamik Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine(D2), serotonin(5HT2), dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A yang diperkirakan mendasari efektivitas obat ini untuk gejala positif maupun skizofrenia. Farmakokinetik Absorbsinya cepat setelah pemberian oral, kadar plasma maksimal tercapai setelah 1-2 jam pemberian. Ikatan protein sekitar 83%. Metabolismenya lewat hati oleh enzim CYP 3A4. Ekskresi sebagian besar lewat urin dan sebagian kecil lewat feses. Indikasi Quetiapin diindikasikan untuk skizofrenia dengan gejala positif maupun negatif. Obat ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif pasien skizofrenia seperti perhatian, kemampuan berpikir, berbicara dan kemampuan mengingat membaik. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk membuktikan apakah manfaat klinisnya berarti. Di samping itu obat ini diindikasikan pula untuk gangguan depresi dan mania. Efek Samping Efek samping yang umum adalah sakit kepala, somnolen, dan dizziness. Seperti antipsikosis atipikal umumnya, quetiapin juga memiliki efek samping peningkatan berat badan, gangguan metabolik dan hiperprolaktinemia, sedangkan efek samping ekstra piramidalnya minimal.

ZIPRASIDON Farnakodinamik Obat ini dikembangkan dengan harapan memiliki sprektum skizofrenia yang luas, baik gejala positif, negatif maupun gejala afektif dengan efek samping yang minimal terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual dan efek

antikolinergik. Obat ini memperlihatkan afinitas terhadap reseptor serotonin (5HT2A) dan dopamin (D2). Farmakokinetik Absorbsinya cepat setelah pemberian oral. Metabolismenya di hati dan diekskresi sebagian kecil lewat urin dan sebagian besar lewat feses. Ikatan protein plasmanya kuat berkisar lebih dari 99%. Obat ini juga tersedia dalam sediaan injeksi IM yang digunakan untuk mendapatkan efek yang cepat pada keadaan akut (agitasi). Indikasi Indikasi adalah untuk mengatasi keadaan akut (agitasi) dari skizofrenia dan gangguan skizoafektif, terapi pemeliharaan pada skizofrenia kronik, serta gangguan bipolar. Efek Samping Efek sampingnya mirip dengan antipsikosis atipikal lainnya. Yang perlu menjadi perhatian adalah studi yang menunjukkan ziprasidon memiliki gangguan kardiovaskular yakni perpanjangan interval QT yang lebih besar dibanding antipsikosis lainnya. Pasien dengan gangguan elektrolit, sedang minum obat yang memiliki efek perpanjangan interval QT, atau gangguan kardiovaskular perlu berhati-hati dalam penggunaan obat ini. Sediaan Tablet 20 mg, ampul 10 mg.

SULPIRIDA Indikasi

Penyakit psikosomatis, ulkus peptikum, kolitis ulserativa, penyakit Crohn, gangguan fungsi kolik, migren perut. Skizofrenia, neurosis, kondisi psikopatologikal umum, gangguan pola hidup, sindroma setelah gegar otak, vertigo; migren.

Kontra indikasi Feokromositoma

Efek Samping Galaktore, ginekomastia (pembesaran payudara pria), impotensi atau frigiditas, amenore (tidak haid), reaksi ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik, diskinesia tardive, sedasi, somnolen (kelenaan tidur, mengantuk terus)

FENOTIAZINE Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka. Absorpsi dan Distribusi Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35%. Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92% - 99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya > 7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obatobat antipsikosis. Metabolisme Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih

poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsur terpisah. Eksresi Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam. Efek Farmakologis Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian. Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat -1adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Efek Psikologis Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.

Efek Neurofisiologis Obat-obat antipsikosis biasanya mengakibatkan menurunkan pergeseran frekuensi dan pola frekuensi elektroensefalografi, meningkatkan

sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya. Efek Endokrin Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Efek Kardiovaskuler Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine (potensi rendah) kemudian dosis tinggi. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.

Cara Penggunaan Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll. Sedangkan trifluoperazine dan fluphenazine yang memiliki efek sedatif lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dan lain-lain. Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg. Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5 - 20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8 - 12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1 - 2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2 - 4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari. Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit. Lama Pemberian Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian

baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis. Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul kolinergik rebound: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian antikolinergic agent (injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM), tablet trihexylphenidil (3 x 2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson. Pemakaian Khusus Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20 - 200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine di sistem limbik daripada di sistem ekstrapiramidal pada SSP. Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar. Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.

CHLORPROMAZINE Chlorpromazine adalah neuroleptik derivat fenotiazine yang digunakan untuk mengontrol psikosis. Chlorpromazine juga digunakan pada kasus mualmuntah dan memiliki efek sedasi yang sering muncul pada terapi awal. Chlorpromazine bekerja pada sistem saraf pusat dan beberapa organ tubuh. Berperan kuat sebagai anti adrenergic dan berefek lemah sebagai anti kolinergik perifer. Memiliki potensi yang lemah, dan merupakan obat pembanding bagi obat lainnya. Tersedia dalam bentuk tablet untuk oral dan larutan suntik. Dosis yang digunakan untuk kasus skizofrenia dan psikosis lainnya adalah: dosis dewasa dengan permerian I.M. untuk mengurangi gejala akut dengan 25 50 mg setiap 6 8 jam; dosis anak-anak 1 5 tahun I.M. 0,5 mg/KgBB setiap 6 8 jam; anak usia 6 12 tahun 0,5 mg/KgBB setiap 6 8 jam dan jangan melebihi 75 mg/hari; sedangkan pada lansia dosis yang digunakan adalah 25 mg setiap 8 jam. Endapan yang terjadi pada bagian depan mata (kornea dan lensa mata) merupakan komplikasi yang umum terjadi pada terapi chlorpromazine. Endapan tersebut dapat menonjolkan proses normal penuaan lensa mata. Selain itu, hipertensi ortostatik atau gangguan ejakulasi juga merupakan komplikasi yang sering terjadi sehingga sebaiknya dikelola dengan beralih ke obat-obat yang mempunyai sedikit efek penyakatan-adenoreseptor. Fluphenazine Fluphenazine memiliki efek samping yang lebih ringan dari Chlorpromazine dalam hal sedasi dan efek muskariniknya, tetapi efek samping kejang otot dan sulit istirahat lebih berat. Hal ini dapat menyebabkan depresi. Tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg dan 5 mg. Kontraindikasi penggunaan fluphenazine adalah kerusakan subkortikal otak, pasien yg mendapat hipnotis, koma atau penurunan kesadaran berat, diskrasia darah, kerusakan hati & ginjal, insufisiensi jantung berat; aterosklerosis serebral. Efek samping penggunaan fluphenazine adalah reaksi SSP, sistem saraf otonom, metabolik, endokrin, hematologi, hati dan alergi; diskinesia tardive persisten, dan sindrom neuroleptik maligna.

Levomepromazine/methotrimeprazine Merupakan senyawa dimetilaminopropil yang mempunyai potensi rendah dengan efek samping sedasi lebih besar dibanding Chlorpromazine. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun harus diperhatikan tekanan darahnya. Prochlorperazine Prochlorperazine merupakan derivat Fenotiazin yang bekerja dengan cara memblok reseptor Dopamin di otak. Penyakit kejiwaan terutama Skizoprenia menurut penelitian disebabkan oleh overaktivitas dari Dopamin di otak. Prochlorperazine digunakan untuk jangka panjang pada gangguan jiwa seperti Skizoprenia. Obat ini juga dapat untuk jangka pendek untuk mengatasi rasa cemas dan mania yang akut. Dosis yang digunakan adalah 25 mg oral atau suppositoria dengan dosis maksimal 3 dosis per 24 jam. Kontraindikasi penggunaan prochlorperazine adalah depresi sistem saraf pusat. Efek samping penggunaan adalah hipotensi, aritmia, pseudo-parkinsonism, distonia, pusing, retensi urin, dan kongesti nasal. Thioridazine Thioridazine merupakan turunan dari Fenotiazin yang dapat menyebabkan detak jantung tak menentu sehingga perlu pengawasan dokter dalam pemakainnya. Penderita harus menjalankan ECG dan tes darah sebelum menggunakan obat ini. Obat ini digunakan bila penderita Skizoprenia tidak merespon dengan obat lainnya. Ikuti cara pemakaian seperti yang diresepkan dokter, tanyakan ke dokter atau farmasis segala hala yang anda perlu tahu. Minum obat sesuai dengan resep tidak lebih tidak kurang. Thioridazine adalah satu-satunya obat antipsikosis yang menyebabkan endapan di retina, yang dapat berlanjut sehingga menyerupai retinitis pigmentosa. Endapan tersebut erat kaitannya dengan perubahan pandangan menjadi kecoklatan. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi ini, pemberian dosis thioridazine telah dibatasi menjadi 800 mg/hari. Pemberian thioridazine dengan dosis melebihi 300 mg/hari hampir dapat dipastikan akan menyebabkan ketidaknormalan minor gelombang T yang reversibel dengan mudah. Overdosis thioridazine dapat menyebabkan aritmia

ventrikuler, penyakatan konduksi jantung, dan kematian tiba-tiba; masih belum dipastikan apakah thioridazine dapat menyebabkan gangguan yang sama apabila digunakan dengan dosis terapi yang tepat. Trifluoperazine (Stelazine) Trifluoperazine (Eskazinyl, Eskazine, Jatroneural, Modalina, Stelazine, Terfluzine, Trifluoperaz) adalah antipsikosis tipikal yang merupakan derivat Fenotiazine. Trifluoperazine tersedia dalam bentuk tablet 1 mg dan 5 mg.

GOLONGAN BUTIROFENON BROMPERIDOL ( Impromen ) Adalah turunan brom sebagai ganti klor (1981) dengan khasiat khusus terhadap halusinasi dan pikiran khayal. Bromperidon kurang efektif terhadap kegelisahan dan mania. Plasma-t1/2-nya panjang, kira-kira 24 jam. Dosis : oral,i.m,iv. 1 dd 1,5 mg, bila perlu berangsur dinaikkan sampai maks. 15 mg sehari, pemeliharaan 5-10 mg/hari. Diatas 8 mg sehari selalu timbul GEP! DROPERIDOL (dehidrobenzperidol,*Thalamonal) Adalah derivate dengan khasial analgetic kuat (1963). Digunakan sebagai antipsikotum pada keadaan gelisah akut, sebagai pramedikasi pada induksi anastesia dan sebagai adjuvans pada nyeri infark jantung (bersama zat narkotik Fentanyl) Dosis : kelisahan akut im/iv 5-10 mg, pada infark iv perlahan 2,5 mg (bersama fentanyl 0,05 mg ).

PIMOZIDA Derivate butilpiperidin yang dikenal dengan nama Orep ini diturunkan dari droperidol (1969)dan memiliki khasiat antipsikosis kuat dan panjang. Efek terapi baru nyata sesudah beberapa waktu, tetapi bertahan lama (1-2 hari). Obat ini tidak layak diberikan pada keadaa eksitasi dan kegelisahan akut atau keadaan dimana dibutuhkan efek sedasi langsung. Lagipula efek sedasinya lebih ringan

daripada obat lain. Pimozida ini digunakan pada kasus psikosis jangka panjang. Resorpsinya diusus halus lambat da variabel. Waktu paruhnya panjang yaitu sekitar 55-150 jam. Pada pasien skizofrenia rata-rata 55 jam. Sifatnya sangat lipofilik dan hanya sedikit dirombak didalam hati. Ekskresinya sangat lambat karena selalu diresorbsi di tubulus. Akhirnya k.l nya 40% dikeluarkan lewat urin.terutama berbentuk metabolit dan 15% dikeluarkan lewat tinja secara utuh. Efek sampingnya berupa umum. GEP sering terjadi, adakalanya tampak perubahan di EKG dan aritmia. Dosis oral 1 dd 1-2 minggu, dinaikkan secara berangsur setiap 2 minggu sampai maksimal 6 mg perhari.

PENFLURIDOL Derivate butilpiperidin yang dikenal dengan nama Semap ini adalah derivat piperidin pula dengan kerja sangat panjang (k.l 7 hari) dan terutama berkhasiat sebagai antidopaminergik yang kurang. Efek dimulai relatif cepat, dimulai 1-2 hari. GEP sering terjadi. Dosisnya 1 kali seminggu 20-30 mg berangsur dinaikkan sampai maksimal 60 mg perminggu. FLUSPIRILEN Derivate butilpiperidin yang dikenal dengan nama Imap ini bersifat long acting juga. Obat ini harus diberikan secara parenteral i.m 1 kali seminggu 1-10 mg

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Obat anti psikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia; (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis. Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala positif. Antipsikosis sangat bermanfaat mengatari keadaan gaduh gelisah. Efektivitas obat ini samgat membantu orang-orang yang memelihara pasien psikosis. Indikasi lainnya adalah Tourette's syndrome dan untuk mengontrol gangguan perilaku pada pasien demensia Alzheimer. Kebanyakan antipsikosis lama, kecuali tioridazin memiliki efek antiemetik. B. Saran Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2007, dan dari berbagai pihak termasuk kakak tingkat di FK UNMUL ini.

DAFTAR PUSTAKA Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354-356 Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta, hal. 90; 149 Tjay, HT., Rahardja, K. 2003. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo : Jakarta.

You might also like