You are on page 1of 50

1

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

Gagal Ginjal Kronik menurut Kidney Diseases Outcome Quality Initiative (KDOQI) sebagai kerusakan ginjal pada waktu 3 bulan atau lebih dan memiliki Glomerolus Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min per 1.73m2. Sedangkan Gagal Ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) digambarkan sebagai tahapan dari gagal ginjal kronis dimana terdapat kerusakan ginjal secara permanen dan ginjal tidak dapat berfungsi untuk mempertahankan kehidupan, sebagai konsekuensinya pasien membutuhkan dyalisis atau tranplantasi. (Critical Care Nurse, 2006). Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006). Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) merupakan keadaan dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga untuk menjaga Homeostasis tubuh, ginjal perlu menjalankan dyalisa (cuci darah) setiap jangka waktu tertentu atau dengan melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Namun terapi pada penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum adalah hemodialisa. Terapi dengan hemodialisa ini memerlukan perawatan yang intensif dan juga membutuhkan biaya yang mahal. Penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) biasanya memiliki kualitas hidup lebih rendah (Cohen et al., 2007; Scot et al., 2007; Wu et al., 2004). Pada penderita ini mengalami perkembangan penyakit yang progresif dan terjadi penurunan kualitas hidup serta dapat menyebabkan kematian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne , 1994 ;Sheridan dan Radmacher, 1992). Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry, 1993). Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga

yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien (Friedman, 2003 : 146). Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah salah satu rumah sakit rujukan di Yogyakarta untuk perawatan penderita gagal ginjal dan membuka pelayanan hemodialisis. Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal dan fungsi keluarga yang dirawat di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta belum pernah dilakukan. Berdasar penjelasan diatas maka perlu untuk dilakukan penelitian tentang hubungan antara keluarga dengan menggunakan metode APGAR score dengan kualitas hidup pada penderita Gagal Ginjal Terminal (GGKT) di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahannya yaitu: Bagaimana hubungan APGAR score keluarga dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum : Mengetahui gambaran kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik terminal. Tujuan khusus : Mengetahui fungsi keluarga pada penderita gagal ginjal kronik terminal. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan kemanfaatan berupa :
1. Dapat memberikan informasi data dan pengetahuan tentang peranan

keluarga dalam penentuan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah. 2. Dapat berguna dalam pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal, serta dapat menambah bahan kepustakaan dalam psikologi kesehatan. 3. Dapat memberikan informasi tambahan kepada praktisi kesehatan dalam menangani penderita gagal ginjal dalam bidang dukungan sosial yang dapat berpengaruh dalam kualitas hidup penderita.

E.

Keaslian Penelitian

Dari hasil pencarian didapatkan bahwa penelitian tentang peranan keluarga bagi penderita gagal ginjal terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan menggunakan pengukuran APGAR score keluarga belum pernah dilakukan. Penelitian pada rumah sakit serupa pun di Yogyakarta belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian tentang peran keluarga dan dukungan sosial pada pasien gagal ginjal terminal adalah, sebagai berikut : Arliza (2006) yang meneliti peran sosial pada penderita gagal ginjal terminal dengan terapi hemodialisis yang menunjukkan hasil dukungan yang diperoleh pada pasien hemodialisis lebih kecil dibandingkan dengan dukungan yang dibutuhkan. Pengambilan data pada penlitian ini dengan menggunakan teknik incidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang semata-mata dilakukan atas kesediaan dan ketersediaan untuk kemudahan penelitian (Guilford & Frutcher, 1991). Kuo et al. (2007) dengan metode kohort tahun 1996-2003 untuk meneliti faktor risiko kejadian CKD di Taiwan. Berdasarkan pencarian artikel-artikel diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan karena berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Penelitian ini berbeda baik dalam metode penelitian, tempat dilakukannya penelitian maupun subjek penelitiannya.

BAB II Tinjauan Pustaka A.


1.

Telaah Pustaka Definisi Gagal Ginjal Kronik Terminal (End Stage Renal Disese).

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan dimana ginjal mengalami penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal itu sendiri adalah mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur keseimbangan garam dalam darah, mengatur asambasa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dalam tubuh. Apabila ginjal itu sendiri mengalami gangguan, maka akan terjadi gangguan keseimbangan cairan dan metebolisme tubuh. Apabila terjadi gangguan dari homeostasis tubuh ini akan mengakibatkan gangguan pada organ-organ lainnya, sehingga perlu untuk segera melakukan pengobatan. Penyakit gagal ginjal dibedakan menjadi gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Penyakit gagal ginjal akut biasanya terjadi oleh karena adanya hipoksia pra renal yang berakhir pada iskemia jaringan ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada sel-sel tubulus ginjal. Kerusakan sel-sel tubulus ginjal ini dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi penyaringan oleh glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR) menurun yang bersifat sementara atau reversible (Levey et al., 2003). Sedangkan pada gagal ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif dan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) yang bersifat irreversible. Pengertian gagal ginjal kronik adalah abnormalitas struktur dan fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan dengan manifestasi sbb (1). Kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR yang dapat diketahui dari adanya gambaran kelainan histopatologis atau adanya marker kerusakan ginjal, termasuk didalamnya adalah adanya abnormalitas susunan darah atau susunan urin pada test mikroskopis dan (2). GFR <60 ml/min/1.73 m2,dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Levey et al., 2003, Stevens et al., 2006). Gangguan ginjal pada tahap akhirnya berupa gagal ginjal terminal, dimana ginjal menjalankan fungsinya secara minimal dan komplikasi yang terjadi sudah dapat dilihat lebih nyata sehingga harus sesegera mungkin mendapatkan perawatan yg intensif.
2.

Patogenesis dan Manifestasi Klinis ESRD (end stage renal disease).

Adanya penurunan fungsi ginjal secara progresif ini membuat pengeluaran sisa-sisa metabolisme tubuh terhambat dan biasanya diikuti dengan kenaikan ureum dan kreatinin didalam darah. Sehingga akibat dari gangguan ini menimbulkan gejala-gejala seperti penurunan jumlah air seni yang dikeluarkan, air seni yang berwarna lebih tua dan air seni beserta darah. Selain itu kerena tubuh mengalami penumpukan pemecahan protein, maka tubuh akan mengalami kekurangan protein. Gangguan metebolisme lemak juga terjadi, dimana LDL meningkat, trigliserid meningkat sedangkan HDL menurun. Dan juga terjadi

peningkatan karbohidrat yang akan meningkatkan kadar gula darah karena sekresi insulin yang terlambat. Kriteria diagnosis gagal ginjal terminal adalah penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang dinyatakan dengan kliren kreatinin <5 ml/menit dan kadar kreatinin serum lebih dari atau sama dengan 10 mg/dL(Mitch et al., 1990). Perjalanan alamiah penyakit gagal ginjal dan strategi penanganannya serta komplikasinya tampak pada gambar 1. Pada penyakit gagal ginjal kronis dengan GFR <60 mL/menit/1,73 m2 disamping ditemukan adanya peningkatan kreatinin dan ureum plasma, biasanya juga akan ditemukan adanya proteinuria klinis (>300 mg/hari atau 200 mg/g kreatinin).

Gambar 1. Perjalanan alamiah penyakit gagal ginjal dan strategi penanganannya serta komplikasinya (Levey et al., 2003). Sebagai kompensasi dari kerusakan ginjal yang mengakibatkan berkurangnya sejumlah nefron, maka terdapat perubahan-perubahan fungsional maupun struktural dari nefron yang tersisa. Akan terjadi peningkatan aliran darah pada glomerulus yang tersisa oleh sebab yang belum diketahui sehingga terjadi hipertensi kapiler glomerulus. Hipertensi kapiler glomerulus ini akan memperbesar jarak porus dalam membran glomerulus yang dimediasi oleh angiotensin II (AII) sehingga protein akan difiltrasi ke dalam tubulus. Protein kemudian akan direabsorbsi oleh sel-sel tubulus proksimal dan dipecah dalam lisosom. Sel-sel tubulus proksimal dapat merubah fenotipnya sebagai respon terhadap overload protein (Remuzzi & Bertani, 1998). Akibat adanya akumulasi protein dalam lisosom dan retikulum endoplasmik akan mengaktivasi transkripsi nuclear factor K (NF-K) yang selanjutnya menstimulasi pembentukan RANTES didalam sel tubulus proksimal. Akibat pelepasan zat vasoaktif dan sitokin ini menimbulkan transformasi sel-sel tubulus menjadi fibroblas dan reaksi inflamasi di daerah interstitium, sehingga terjadi proses fibrogenesis yang selanjutnya menimbulkan jaringan parut (Remuzzi & Bertani, 1998). Hipertensi primer dapat menyebabkan vasokonstriksi arteriola ginjal dan sklerosis pembuluh darah intra renal, yang menyebabkan kerusakan glomerulus dan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Kerusakan glomerulus ini

menyebabkan peninggian tekanan intraglomerular pada glomerulus yang masih berfungsi sehingga mengakibatkan hiperfiltrasi glomeruler dan akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis. Sklerosis yang progresif akan makin mempertinggi tekanan darah (Jacobson, 1991; Ravera et al., 2006). Hipertensi glomerular dapat menginduksi kerusakan glomerulus (Ravera et al.,2006), antara lain dengan melalui mekanisme (Jafar et al., 2003; Gschwend et al., 2002): a) Kerusakan sel endotel secara langsung, sama dengan yang diinduksi oleh hipertensi sistemik; b) Peningkatan tekanan dinding glomerulus dan peningkatan diameter glomerulus menyebabkan pelepasan sel epitel glomerulus dan dinding kapiler glomerulus, hal ini menyebabkan peningkatan aliran air dan cairan. Akumulasi dari deposit hialin ini secara progresif mempersempit lumen kapiler, sehingga menurunkan perfusi dan filtrasi glomerulus; c) Peningkatan sel mesangial dapat menstimulasi produksi sitokin dan matriks ekstraseluler (Jafar et al., 2003; Ravera et al., 2006).
3.

Epidemilogi Gagal Ginjal Kronik Terminal.

Kasus gagal ginjal terminal ini setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan ini juga ditambah dengan jumlah penderita gagal ginjal terminal yang sedang menjalani perawatan hingga sampai saat ini karena perawatan pada penyakit ini memerlukan perawatan yang intensif dan cenderung lama. Data GGK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Sedangkan data dari Amerika diperoleh kenaikan tajam penderita gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal, kasus baru gagal ginjal terminal pada tahun 1978 kurang lebih sebesar 14.500 sedangkan pada tahun 2002 naik menjadi 100.359 (Schoolwerth et al., 2006). Kasus baru ESDR pada tahun 2004 di Amerika serikat sebesar 104.000, naik 1,5% dari tahun 2003 sedangkan penderita yang mendapatkan dialisis sebanyak 336.000 atau naik sebesar 3-4 % dari tahun 2003. Pada tahun 2004 di Amerika serikat prevalensi penderita yang mendapatkan transplantasi ginjal sebanyak lebih dari 136.000 atau naik 5-9 % dari tahun 2003. Pada tahun 2006 jumlah penderita gagal ginjal kronik di Amerika adalah sebanyak 19,2 juta atau 11% dari populasi dewasa sedangkan yang mengalami gagal ginjal terminal adalah sebesar 0,22% populasi (Schoolwerth et al., 2006). Penelitian epidemiologi multi negara oleh The ESRD incidense Study Group menunjukkan bahwa insiden ESRD di negara-negara Asia dan negara berkembang lainnya adalah lebih tinggi dibandingkan negara di Eropa, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan insidensi ESRD di Australia dan New Zealand. Gambaran Age-and sex standardized incidense rates (ASR) ESDR di Malaysia pada berbagai kelompok yaitu kelompok umur 0 -14 tahun adalah 96 tiap 1 juta penduduk, 15-29 tahun adalah 26 tiap 1 juta penduduk, 30-44 tahun adalah 77 tiap 1 juta penduduk dan 45-64 tahun adalah 306 tiap 1 juta penduduk (The ESRD Incidense Study Group, 2006).

Tabel 1. Tahap kerusakan ginjal dan hubungannya dengan GFR dan prevalensinya di masyarakat Amerika (Levey et al,2003) Tahap Gambaran Kerusakan ginjal dengan GFR Kerusakan ginjal dengan sedikit GFR GFR moderat GFR berat Gagal ginjal GFR (ml/min/1.73 m2) 90 60-89 30-59 15-29 < 15 atau Dialysis Prevalensi* N (1000s) 5,900 5,300 7,600 400 300 % 3.3 3.0 4.3 0.2 0.1

1 2 3 4 5

Terjadinya gagal ginjal terminal ini dapat membuat penurunan pada kualitas hidup, sehingga insidensi kematian karena gagal ginjal terminal (end stage renal disease) ini juga semakin meningkat sesuai dengan peningkatan kejadiannya. Kematian yang terjadi di Amerika serikat mencapai 71.000 pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat mencapai 352.000 pada tahun 2030 (Schoolwerth et al., 2006). Di Jepang kejadian ESRD ini terjadi lebih besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Angka kejadian yang tertinggi terjadi antara rentang usia 80-84 tahun yaitu sebesar 1432 tiap 1 juta penduduk untuk laki-laki dan 711 tiap 1 juta penduduk untuk wanita (Wakai et al., 2004). Di taiwan kejadian ini meningkat dari 1,99 % pada tahun 1996 menjadi 9,83 % pada tahun 2003. Angka insidensi CKD di Taiwan tahun 2003 adalah sebesar 135 tiap 10.000 orang per tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadian CKD di taiwan yaitu umur, diabetus melitus, hipertensi dan jenis kelamin wanita (Kuo et al., 2007). Sedangkan di Indonesia belum ada data secara pasti yang menunjukkan angka kejadian ESRD ini. Baru dapat diperkirakan sebesar 100-150 orang tiap 1 juta penduduk pertahun yang terkena penyakit gagal ginjal terminal ini. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita penyakit ginjal kronik. Sedangkan dari Yogyakarta belum ada data yang menunjukkan secara pasti.

4.

Kualitas Hidup (Quality of Life).

Kualitas hidup merupakan suatu kesenjangan atau kekosongan antara pengharapan dan keinginan seseorang yang hadir didalam kehidupannya (Calman KC ,1984). Semakin renggang antara pengaharapan dan keinginan tersebut, maka semakin rendah kualitas hidupnya. Kualitas hidup meliputi beberapa faktor yaitu faktor fisik, psikologis dan sosial. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan saling mendukung satu sama lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu terapi pengobatan yang berarti fisik, dimana terjadi gangguan psikologis karena sakit tersebut maka faktor sosial lah yang dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Sehingga kualitas hidup pasien pada gagal ginjal terminal ini perlu diperhatikan oleh para profesional kesehatan karena dapat membantu dalam suatu pencapaian pengobatan yang sukses. Disamping itu, data tentang kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi/tindakan yang tepat bagi pasien. Saat ini health-related quality of life (HRQOL) atau kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan telah menjadi salah satu ukuran dari keberhasilan pelayanan kesehatan. Pengukuran HRQOL bersifat multidimensi yang meliputi antara lain fungsi fisik, sosial dan fungsi peran , mental health dan persepsi kesehatan secara umum (Albert et al., 2004, Bayliss et al., 2005). Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner kualitas hidup dari World Health Organitation (WHO). WHO sendiri mendefinisikan kualitas hidup sebagai the individuals perception of their life status concerning the context of culture and value system inwhich they live and their goals, expectations, standards,and concerns. (Nelson & Lotfy, 1999). Dari penelitian sebelumnya beberapa faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien antara lain adanya rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang diakibatkan dari sakit yang diderita atau tindakan atau prosedur pengobatan terkait sakit yang diderita, gangguan tidur, kualitas pelayanan dan perawatan, penyakit penyerta, status sosial ekonomi dan dukungan keluarga (Cohen et al., 2007, Joan et al., 2004. Scot et al., 2007). Namun dalam penelitian ini yang dititik beratkan adalah pada factor yang berhubungan dengan status sosial ekonomi dan dukungan keluarga.

5.

Peran Keluarga Dalam Kesehatan.

Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah SWT. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja,1994:49). Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry, 1993). Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial

budaya (Hurlock, 1956; dan Pelvin,1970). Keluarga juga di pandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insane (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peran keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan yang baik maka ia dapat memenuhi kebutuhan baik fisik-biologis, maupun sosiopsikologisnya. Keluarga adalah suatu unit terkecil dalam masyarakat, sebagai suatu kelompok yang berperan penting dalam masalah kesehatan dan saling terkait dengan berbagai masalah keluarga lainnya. Keluarga memiliki peran sangat penting dalam kehidupan yaitu sebagai pusat pengambil keputusan kesehatan yang terpenting dan wadah paling efektif untuk berbagai upaya penyampaian pesan-pesan kesehatan. Kesehatan dan penyakit selalu berhubungan dengan kepribadian, gaya hidup, lingkungan fisik dan hubungan antar manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne ,1994 ;Sheridan dan Radmacher, 1992). Sehingga peranan keluarga dalam pola pengembangan suatu penyakit pada pasien sangat besar adanya. Namun sebaliknya, peran kesehatan pun dapat berpengaruh terhadap keluarga ; misalnya seorang ayah sebagai kepala keluarga mengalami gangguan kesehatan (sakit) maka dapat memberikan dampak pada keluarga karena seorang kepala keluarga tidak dapat mencari nafkah seperti kewajibannya pada keluarga. Keluarga dalam masalah kesehatan memiliki 3 peran yaitu dapat sebagai motivator, edukator, dan fasilitator. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien. (Friedman, 2003 : 146). Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, proteksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja Adiwikarta, 1988; dan Melly S.S. Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar G., 1994). Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya. Kebahagiaan itu diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman dan respek.

10

Menurut penelitian yang dilakukan pada pasien hemodialisa yang diteliti oleh Arliza (2006) yang menunjukkan bahwa secara umum dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa berbeda dengan dukungan yang diterima olehnya, dimana dukungan yang diterima oleh pasien hemodialisa lebih kecil dibandingkan dengan yang mereka butuhkan. Perbedaan ini terjadi pada dukungan instrumental, dukunagn informasional, dukungan emosional dan dukungan dari kelompok sosial.

6.

APGAR Score

APGAR score merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai fungsi suatu kelurga yang direfleksikan oleh 5 dimensi pertanyaan pada questionare (Smilkstein, 1978). Penilaiain ini dilakukan pada salah seorang anggota keluarga bersangkutan untuk mengetahui apakah keluarganya itu sehat atau tidak. APGAR keluarga pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel Smilkstein pada tahun 1978 untuk menilai tingkat kepuasan sosial dengan dukungan dari keluarga. Untuk mengetahui hal ini maka sebagai seorang dokter umum perlu pendekatan sederhana dan praktis. Ada beberapa metode yang digunakan dokter umum untuk menilai fungsi keluarga. Salah satunya adalah dengan APGAR score keluarga. Pada metode ini dilakukan penilaian terhadap 5 fungsi pokok keluarga yang kemudian tergantung dari pelaksanaan kelima fungsi keluarga tersebut dapat diketahui tingkat kesehatan keluarga yang dinilai. Kelima fungsi keluarga dalam APGAR keluarga tersebut adalah : Adaptasi (Adaptation): Dapat dinilai dari tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang diperlukan dari anggota keluarga yang lain. 2.) Kemitraan (Partnership): Merupakan tingkat kepuasan keluarga dalam hal komunikasi, dalam mengambil keputusan, dan atau penyelesaian masalah dalam keluarga. 3.) Pertumbuhan (Growth): Merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan.
1.)

4.) Kasih Sayang (Affection): Merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga. 5.) Kebersamaan (Resolve): Merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi waktu, kekayaan, dan ruang antar

11

anggota keluarga sangat memuaskan dimana waktu kumpul bersama dengan keluarga setiap hari dan minimal 12 jam untuk setiap harinya.

Setiap pertanyaan dari kuesionare mempunyai nilai yang sesuai dengan jawaban dari responden itu sendiri, point nilai tertinggi adalah 2 dan point nilai terendah adalah 0. Apabila responden menjawab pertanyaan tersebut dengan kata sering/selalu/hampir selalu maka nilai untuk jawaban tersebut adalah 2. Dan apabila jawaban responden kadang-kadang untuk pertanyaan itu maka nilainya adalah 1. Sedangkan untuk jawaban hampir tidak pernah/tidak pernah maka nilai pertanyaannya adalah 0. Sesuai dengan interpretasi hasilnya bahwa APGAR score dari 7-10 menunjukkan fungsi keluarga yang baik, score 4-6 menunjukkan fungsi keluarga yang sedang/moderate dysfunctional dalam keluarga dan 0-3 merupakan tahap severelly dysfunctional dalam keluarga atau fungsi keluarga yang tidak baik. Metode APGAR ini dilakukan dengan cara wawancara salah seorang anggota keluarga bersangkutan yang akan dinilai dan waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ini cukup singkat atau kurang lebih 5 menit (Simlkstein, 1978). Questionare APGAR keluarga ini sudah banyak digunakan dalam berbagai studi (kebanyakan klinis) dalam wawancara fungsi keluarga. Sebuah pencarian menggunakan PsychInfo menghasilkan 16 artikel dalam 10 tahun terakhir yang telah menggunakan APGAR keluarga. Dalam praktek klinis, APGAR skore keluarga telah dikaitkan dengan kunjungan dokter, immune responses, emotinal distress, dan gejala depresi (Bluestein, 1993; Clover, 1989; Greenwald, 1999). Mengel (1987) mengkategorikan dan mendefinisikan gangguan fungsi keluarga sebagai skore yang dibawah 6.

7.

Hubungan APGAR Dengan Kualitas Hidup.

Tes APGAR keluarga dilakukan untuk mengukur fungsi keluarga dimana nantinya akan dapat diketahui keluarga yang sehat dan keluarga yang tidak sehat. Sebagaiman yang sudah dijelaskan bahwa peran dari keluraga itu dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien (Friedman, 2003 : 146). Dari penjelasan tersebut, keluarga mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kesehatan seseorang yang nantinya akan berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup seseorang. Apabila Keluarga itu bahagia dapat berefek pada perkembangan emosi para anggotanya. Sedangkan emosi itu sangat lah labil bagi penderita gagal ginjal terminal ini dimana terjadinya perubahan pola

12

kehidupan. Keadaan gangguan pada ginjal dan perawatan yang intensif terus menerus serta penyesuaian diri terhadap sakit, membuat penderita rentan terhadap stress, baik itu stress fisik maupun psikis. Keadaan stress ini dapat menurunkan keadaan kesehatan penderita dan kualitas hidupnya. Salah satu bentuk mengurangi stress adalah dengan dukungan social. Namun kurangnya dukungan menjadi beban tersendiri bagi penderita. Kebahagiaan itu diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman dan respek. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne , 1994 ;Sheridan dan Radmacher, 1992). Sehingga peranan keluarga dalam pola pengembangan suatu penyakit pada pasien sangat besar adanya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Arliza (2006) bahwa pada orang yang melakukan perawatan hemodialisis rentan terhadap stres. Sedangkan stres itu dapat mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres dapat secara langsung mempengaruhi fungsi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres dapat mempengaruhi perilaku individu sehingga menimbulkan suatu penyakit atau memperburuk suatu keadaan (Baum dalam Sarafino, 1998). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chao (1998), kepuasan keluarga dari keluarga yang miskin erat hubungannya dengan semangat yang rendah pada seseorang, tingkat stress yang tinggi, dan kesehatan yang rendah. Chao juga menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari perempuan lebih menunjukkan hasil yang akurat.

B. Kerangka Konsep

13

Adapun bagan dari kerangka konsep ini adalah :

Kesehatan mental dan Persepsi Kesehatan Umum Merokok Sosial dan Fungsi Peran

Fungsi Fisik

Fungsi Keluarga

Kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal


Kepuasan Pelayanan Faktor Keluarga & sosial ekonomi: Fungsi keluarga (APGAR)

Penyakit Comorbit

Perilaku Merokok

Adaptasi Kemitraa n Pertumbu han Kebersam aan

Kasih Sayang

Yang diteliti

Yang tidak diteliti Gambar 2. Kerangka konsep penelitian tentang faktor faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pada gagal ginjal kronik terminal khususnya factor keluarga dan social ekonomi.

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa faktor keluarga dan sosial ekonomi seorang penderita gagal ginjal kronik terminal yang menjalani

14

hemodialisis dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Pengukuran ini dilakukan menurut gold standart dengan menggunakan APGAR skor keluarga.

C.

Hipotesis

Terdapat hubungan nilai APGAR keluarga dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Semakin tidak sehat fungsi keluarga pasien maka semakin rendah pula kualitas hidupnya.

BAB III Metode Penelitian

15

A.

Desain

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional.

B.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. RSU PKU Muhammadiyah merupakan salah satu dari 4 rumah sakit di DIY yang mempunyai pusat hemodialisis. Sedangkan waktu diadakannya penelitian dapat dilihat pada table dibawah ini. Tabel 2. Jadwal Kegiatan penelitian hubungan APGAR score keluarga dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Tahapan Kegiatan Rencana waktu (bulan ke) 1 Persiapan 1. Pengurusan ijin, penetapan protokoler & prosedur kerja 2. Pengadaan bahan dan alat 2 3

3. Pengumpulan data sekunder Pelaksanaa 1. Pengumpulan data primer di n rumah sakit dengan wawancara 2. Pengumpulan data observasional Akhir 1. 2. 3. 4. Penulisan laporan Seminar hasil Penyerahan laporan Publikasi

C. Populasi, Sampel, dan Besar Sampel


1.

Batasan Populasi

16

Populasi adalah pasien yang terdiagnosis gagal ginjal kronis terminal, dengan kriteria diagnosis yaitu kliren kreatinin <5ml/menit atau kadar kreatinin serum darah lebih besar atau sama dengan 10 mg/dl yang dapat diketahui dari rekam medis dan memerlukan hemodialisa secara kontinyu. 2.Sampel Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis gagal ginjal kronik terminal yang sedang menjalankan perawatan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sampel yang digunakan minimal sebanyak 93 orang. 3.Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk pengujian hipotesis menurut Lemeshow at al (1997) sebagai berikut : N p = Z1-a/2 .p.q d2

= 0,02, proporsi penderita gagal ginjal kronik terminal di Indonesia (Bakri, 2005). = 0,98 tingkat kemaknaan 95%; Z1-a/2 = 1,96. d (tingkat presisi) = 0,03 atau kesalahan maksimum yang diperbolehkan Maka didapatkan nilai N = 83,66, dibulatkan = 84

dengan :

Antisipasi terhadap kesalahan dan kegagalan dalam proses penelitian, jumlah sampel ditambah dengan 10% dari sampel minimal yaitu 8,4 atau dibulatkan menjadi 9, sehingga jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 93 orang.

D.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi subyek penelitian

17

a. b. c.
d.

Penderita gagal ginjal kronik terminal Orang Indonesia (Jawa, Sunda, Melayu) Usia 15-75 tahun

Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi dan menandatangani lembar pernyataan persetujuan serta kooperatif. Kriteria eksklusi subyek penelitian Subyek penelitian yang telah terpilih melalui kriteria inklusi akan dikeluarkan dari subyek penelitian apabila : a. b.
c.

d. E.

Memiliki penyakit ginjal bawaan Riwayat transplantasi ginjal Penyakit jiwa Tidak dapat berkomunikasi Identifikasi Variable Penelitian dan Definisi Operasional

Identifikasi Variable Penelitian Variabel terpengaruh : Kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal. Variabel pengaruh Definisi operasional Definisi Operasional yaitu : 1. Gagal ginjal kronik terminal adalah gangguan fungsi ginjal menetap (lebih dari 3 bulan) dan memerlukan transplantasi ginjal atau tindakan dialisis rutin untuk menggantikan fungsi ginjal, kelainan ginjal diukur dengan penurunan kliren kreatinin yaitu kliren kreatinin<5 ml/menit atau kadar kreatinin serum lebih dari atau sama dengan 10 mg/dL (Mitch et al., 1990). YA apabila responden memenuhi kriteria laboratorium atau memerlukan transplantasi ginjal atau menjalani hemodialisa. TIDAK apabila responden tidak memenuhi kriteria laboratorium atau memerlukan transplantasi ginjal atau menjalani hemodialisa. 2. Kualitas hidup adalah suatu kesenjangan atau kekosongan antara pengharapan dan keingnan seseorang yang hadir didalam kehidupannya (Calman KC, 1984). Pengukuran kualitas hidup ini bersifat multidimensi yang meliputi antara lain fungsi fisik, sosial, dan fungsi peran, mental health dan persepsi kesehatan secara umum (Albert et al., 2004, Bayliss et al., 2005). 3. Nilai fungsi keluarga atau nilai APGAR adalah penilaian fungsi keluarga dengan skor 7 10 = fungsi keluarga sehat, 4 6 = fungsi keluarga kurang sehat, 0 3 = fungsi keluarga sakit. : Fungsi keluarga.

18

F.

Instrument Penelitian Alat dan bahan dalam penelitian ini meliputi perlengkapan untuk pengambilan data primer (kuesioner), form pengambilan data sekunder. Kuesioner, dipergunakan untuk mendapatkan data primer dari responden tentang nilai fungsi keluarga dan kualitas hidup responden. Sedangkan form pengambilan data, dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang diambil dari buku medical record atau status pasien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, data diagnosis sakit dan medikasi terdahulu, data-data laboratorium serta manifestasi klinik penderita. G. Cara Kerja Penelitian ini dilakukan dengan tahap sebagai berikut: 1. Tahap persiapan:
a. b.

Mengurus izin penelitian Mengumpulkan data sekunder meliputi gambaran umum RSU PKU Muhammadiyah, angka kunjungan, jenis penyakit prioritas, angka kejadian gagal ginjal dan gagal ginjal kronik di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dari rekam medik dan sumber-sumber lain, uji coba instrumen kuesioner.

c. Membuat protokoler cara pengisian kuesioner kepada anggota numerator

dan pelatihan cara pengisiannya. d. Menetapkan pelaksanaan dan menyiapkan alat dan atau bahan penelitian seperti alat tulis-menulis, kuisioner, form pengambilan data. 2. Tahap pelaksanaan Tahap pelaksanaan meliputi kegiatan di lapangan yaitu pengambilan data primer pada sampel dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner meliputi identitas responden, sosial ekonomi, nilai fungsi keluarga dan kualitas hidup responden.serta data lain yang terkait dengan variabel penelitian. 3. Tahap akhir Pengolahan data, analisis data, presentasi hasil serta pembuatan laporan dan publikasi laporan. H. Analisis Data

Mencari hubungan antara nilai APGAR keluarga dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dilakukan dengan uji kai kuadrat dan analisis multivariate dengan regresi logistik. Data yang diperoleh diolah menggunakan tabel 2x2 dan dianalisis dengan uji kai kuadrat untuk mengetahui relative risk dan menilai adanya hubungan antara faktor-faktor yang diteliti dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal

19

kronik. Setelah diketahui nilai relative risk masing-masing faktor kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariate dengan menggunakan regresi logistik. I. Kesulitan penelitian Kendala kesulitan yang mungkin dihadapi dalam penelitian ini adalah kurangnya kerjasama dari responden dan kejujuran dari responden dalam wawancara yang dilakukan untuk menilai fungsi keluarga maupun kualitas hidupnya. J. Etika Penelitian Karena melibatkan responden manusia maka akan dilakukan penjelasan kepada seluruh calon responden tentang maksud dan tujuan penelitian, manfaat dan kegunaan yang diharapkan dan konsekuensi-konsekuensi sebagai responden (informed consent).

BAB IV Hasil dan Pembahasan

20

A. Hasil 1. Karakteristik Naracoba Penelitian berhasil mendapatkan 100 naracoba penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Gambaran umum naracoba yang dilibatkan dalam penelitian tampak pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik naracoba


Karakteristik Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan Umur : -20 21- 40 41 60 >60 Pendidikan: Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA >SMU (PT) Alamat tempat tinggal: Kota Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Wonosari dan lainnya Status Merokok: Merokok Tidak merokok Pekerjaan : PNS-Polri-Abri Swasta-wiraswasta Petani Buruh - tukang Tidak berkerja Persentase 64 36 1 28 51 20 3 19 11 30 37 28 36 26 2 8 11 89 8 12 14 66

21

Kualitas hidup

Baik Kurang

36 64

Dari tabel 4 diketahui bahwa lebih dari 50% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan Sleman, diikuti naracoba dari Kab. Bantul dan berikutnya Wonosari dan Kulon progo. Sebagian besar responden adalah laki-laki (64 v.s. 36), berusia 41 tahun ke atas (71% v.s. 29%), berpendidikan SMA ke atas (67% v.s. 33%) dan bukan perokok (11% v.s. 89%). Sebagian besar (64%) dari naracoba memiliki status kualitas hidup rendah.

2. Faktor demografi jenis kelamin dan kualitas hidup Hubungan jenis kelamin penderita CKD yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan kualitas kualitas hidupnya tampak pada Table 5 dan 6. Dari table 5 dan 6 diketahui bahwa jenis kelamin penderita tidak berhubungan dengan kualitas hidupnya (rhitung<rtabel, dengan p>0,05).

Tabel 5. Tabulasi silang jenis kelamin penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya Kualitas hidup baik jenis kelamin laki-laki perempuan Total 22 12 34 kurang baik 42 24 66 64 36 100 Total

Tabel 6. Hasil uji chi square test hubungan jenis kelamin dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Value df Asymp. Sig. (2Exact Sig. (2Exact Sig.

22

sided) Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases .011 100 1 .916 .011(b) .000 .011 1 1 1 .916 1.000 .916

sided)

(1-sided)

1.000

.548

3. Faktor demografi Umur dan kualitas hidup penderita GGKT Hubungan umur naracoba dengan kualitas hidupnya dapat dilihat pada table 7, 8, 9 dan 10. Dengan pembagian kelompok umur sebagaimana table 7, terdapat kotak yang tidak ada nilainya (0) sehingga uji chi square tidak dapat dilakukan. Untuk mengatasi hal itu kemudian dibuat pembagian umur naracoba sebagaimana pada table 9. Table 7. Tabulasi silang kelompok umur penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya quality of live baik kelomp ok umur -20 0 21-40 41-60 >60 Total 6 20 8 34 1 22 31 12 66 1 28 51 20 100 kurang baik Total

Table 8. Hasil uji chi square test hubungan kelompok umur (<20; 21-40; 41-60; >60) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

23

Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 3.426(a) 3.880 2.522 100

df 3 3 1

Asymp. Sig. (2-sided) .330 .275 .112

Table 9. Tabulasi silang kelompok umur (lansia dan tidak lansia) penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya. Kualitas hidup baik kelom umur -65 >65 Total 30 4 34 kurang baik 62 4 66 92 8 100 Total

Table 10. Hasil uji chi square test hubungan kelompok umur (bukan lansia dan lansia) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

24

Value Pearson ChiSquare Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases .982 100 .992(b) .368 .944

df 1 1 1

Asymp. Sig. (2sided) .319 .544 .331

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1sided)

.439 1 .322

.266

. Dari uji chi square hubungan umur dengan kualitas hidup naracoba tampak pada table 10, diketahui bahwa umur tidak berhubungan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta (rhitung<rtabel; p>0,05). Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa umur penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah tidak berhubungan dengan kualitas hidup mereka.

4.

Pendidikan dan Kualitas hidup penderita GGKT Gambaran tingkat pendidikan responden tampak pada tabel 11. Hubungan tingkat pendidikan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah dengan kualitas hidupnya tampak pada tabel 11 12, 13 dan 14. Semula pembagian tingkat pendidikan menggunkan kategorisasi pembagian enam peringkat sebagaimana tampak pada tabel 8, tetapi oleh karena dengan pembagian tersebut tidak dapat diujikan hubungan antar dua variabel dengan uji chi square oleh karena ada kotak yang kosong maka dirubah menjadi sebagaimana pada tabel 14.

Tabel 11. Tabulasi silang tingkat pendidikan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya quality of live Total

25

baik Pendidikan tidak sekolah tamat SD tamat SLTP tamat SLTA Dipl./akademi S1/S2/S3 Total 0 5 5 5 5 13 33

kurang baik 1 14 6 25 3 16 65 1 19 11 30 8 29 98

Table 12. Hasil uji chi square test hubungan tingkat pendidikan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dan kualitas hidupnya Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio 9.571(a) 9.819 df 5 5 1 Asymp. Sig. (2-sided) .088 .081 .161

Linear-by-Linear Association 1.964 N of Valid Cases 100

Tabel 13. Tabulasi silang tingkat pendidikan (SMU atau >SMU) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Kualitas hidup Total

26

baik jenis pendidika n -SMU 16 >smu Total 18 34

kurang baik 47 19 66 63 37 100

Table14.

Hasil uji chi square test hubungan tingkat pendidikan (SMA dan >SMA) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Asymp. Sig. (2sided) 1 1 1 .018 .031 .019 .028 5.560 100 1 .018 .016 Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 5.616(b ) 4.628 5.543

df

Menggunakan kategorisasi tingkat pendidikan dengan menggunakan dua kategori yaitu berpendidikan hanya sampai SMU atau lebih tinggi dari SMU sebagaimana pada tabel 10 diketahui bahwa semua kotak terisi sehingga memungkinkan dilakukan uji chi square untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan (SMU atau kurang dan lebih tinggi dari SMU) dengan kualitas hidup. Hasil uji chi square hubungan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup naracoba tampak pada tabel 11. Sebagaimana tampak pada tabel 11 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan (lebih tinggi SMU dan tamat atau tidak tamat SMU) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah (rhitung>rtabel; p<0,05).

27

Penilaian kekuatan hubungan antara tingkat pendidikan (kategori hanya lulus SMA atau lebih tinggi dari SMU) dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dilakukan uji mantel hazel ods ratio sebagaimana tampak pada tabel 15.

Table15. Hasil uji mantel hazel ods ratio test hubungan tingkat pendidikan (SMA dan >SMA) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

Estimate ln(Estimate) Std. Error of ln(Estimate) Asymp. Sig. (2-sided) Asymp. 95% Confidence Interval Common Odds Ratio Lower Bound

.359 -1.023 .438 .019 .152 Upper Bound ln(Common Odds Ratio) Lower Bound Upper Bound .848 -1.882 -.165

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1.000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Dari tabel 15 diketahui bahwa penderita GGKT RSU PKU Muhamadiyah yang berpendidikan paling tinggi lulus SMU risiko memiliki kualitas hidup baik adalah 0,36 jika dibandingkan dengan penderita GGTK yang berpendidikan lebih tinggi dari SMU (RR=0,36; CI=0,152 0,848; p=0,019). Dapat disimpulkan bahwa penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan berpendidikan lebih tinggi dari SMU memiliki kemungkinan kualitas hidup yang lebih baik 3x dari yang berpendidikan hanya lulus SMU atau lebih rendah.

28

5.

Faktor geografi alamat penderita dan Kualitas Hidup penderita GGKT Gambaran alamat asal penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah tampak pada tabel 16. Dari tabel 16 diketahui bahwa 64% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, sisanya 36% berasal dari luar Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Hubungan tempat asal naracoba dengan kualitas hidupnya tampak pada tabel 16, 17, 18 dan 19. Dengan kategorisasi 6 daerah asal sebagaimana pada tabel 16 tersebut tidak dapat dilakukan uji chi square untuk menilai adanya hubungan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita GGKT oleh karena ada kotak yang kosong sehingga pembagian tempat asal akhirnya dibagi dalam dua kategori yaitu Kota Yogyakarta dan di luar kota Yogyakarta sebagaimana tampak pada tabel 18.

Table 16. Tabulasi silang alamat asal penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya quality of live baik Alamat kota sleman bantul kulon progo wonosari lainnya Total 17 10 5 0 0 2 34 kurang baik 11 26 21 2 5 1 66 28 36 26 2 5 3 100 Total

Table 17. Hasil uji chi square test hubungan alamat tempat asal dan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Value df Asymp. Sig. (2sided)

29

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

17.086(a) 18.870 5.781 100

5 5 1

.004 .002 .016

Dari tabulasi silang dengan enam kategorisasi alamat asal dengan kualitas hidup penderita GGKT sebagaimana pada tabel 16 kemudian dilanjutkan pada uji chi square untuk menentukan hubungan tempat asal (Kota Yogyakarta dan Luar Kota Yogyakarta dengan kualitas hidup naracoba dan mendapatkan hasil sebagaimana pada tabel 17 (meskipun dengan ada kotak yang bernilai 0).

Tabel 18. Tabulasi silang alamat asal (Kota dan tidak kota Yogyakarta) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta quality of live baik alamat tempat tinggal kota 17 luar kota Total 17 34 11 55 66 28 72 100 kurang baik Total

Tabel 19. Hasil uji chi square test hubungan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

30

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 12.244 100

df

Asymp. Sig. (2sided) .000 .001 .001

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1sided)

12.368(b 1 ) 10.770 11.983 1 1

.001 1 .000

.001

Dari tabel 19 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tempat asal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta (rhitung>rtabel; p<0,05). Untuk menilai kekuatan hubungan antara alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dilakukan uji mantel hazel ods ratio test dengan hasil sebagaimana tampak pada tabel 20.

Tabel 20. Hasil uji mantel hazel ods ratio test hubungan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

31

Estimate ln(Estimate) Std. Error of ln(Estimate) Asymp. Sig. (2-sided) Asymp. 95% Confidence Interval Common Odds Ratio Lower Bound

5.000 1.609 .476 .001 1.966 Upper Bound ln(Common Odds Ratio) Lower Bound Upper Bound 12.714 .676 2.543

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1.000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Dari tabel 20 diketahui bahwa penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah yang berasal dari Kota Yogyakarta risiko memiliki kualitas hidup baik adalah 5x jika dibandingkan penderita yang berasal dari luar Kota Yogyakarta (RR=5; CI=1,966 12,714;p=0,001).

6. Pekerjaan dan Kualitas hidup penderita CKD Jenis pekerjaan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta tampak pada tabel 21.

32

Tabel 21. Tabulasi silang jenis pekerjaan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta quality of live baik jenis pekerjaan pns-abri swasta-wiraswasta buruh-karyawantukang tidak bekerja Total 5 4 3 22 34 kurang baik 3 8 11 44 66 8 12 14 66 100 Total

Dari table 21 tampak bahwa sebagian besar (80%) naracoba tidak bekerja atau bekerja sebagai buruh/karyawan. Naracoba yang bekerja sebagai PNS (sipil maupun militer) dan berwiraswasta hanya 20%. Dari uji chi square untuk menilai hubungan antara jenis pekerjaan dengan kualitas hidup naracoba sebagaimana tampak pada table 22, diketahui bahwa ada hubungan yang lemah antara jenis pekerjaan (empat kategori: PNS, wiraswasta, buruh dan tidak bekerja) dengan kualitas hidup penderita GGKT (rhitung<rtabel; p>0,05). Table 22. Hasil uji chi square test hubungan jenis pekerjaan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dan kualitas hidupnya Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 3.897(a) 3.778 1.118 100 Df 3 3 1 Asymp. Sig. (2-sided) .273 .286 .290

Dengan merubah kategori jenis pekerjaan menjadi tiga kategoripun sebagaimana tampak pada tabel 23 dan 24. ternyata jenis pekerjaan dengan kategori inipun masih tetap berhubungan dengan kualitas hidup naracoba tetapi lemah. Jenis pekerjaan PNS (sipil-militer) tampaknya hubungannya dengan

33

kualitas hidup naracoba lebih kuat. Hubungan jenis pekerjaan PNS dengan peningkatan kualitas hidup naracoba tampak pada table 25 dan 26.

Tebel 23. Tabulasi silang tiga jenis golongan pekerjaan (pns; swasta; tidak bekerja) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Kualitas hidup baik tiga jenis kerjaan pns-abri-polri swasta-wiraswasta tidak kerja Total 5 4 25 34 kurang baik 3 8 55 66 8 12 80 100 Total

Tabel 24. Hasil uji chi square test hubungan tiga jenis golongan pekerjaan (pns;swasta;tidak bekerja) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 3.168(a) 2.972 2.449 100 df 2 2 1 Asymp. Sig. (2-sided) .205 .226 .118

Tebel 25. Tabulasi silang dua jenis pekerjaan (pns;swasta) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Kualitas hidup Total

34

baik tiga jenis kerjaan pns-abri-polri Swasta -tidak kerja Total 5 29 34

kurang baik 3 63 66 8 92 100

Tabel 26. Hasil uji chi square test hubungan dua jenis pekerjaan (pns;swasta) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dan kualitas hidupnya Asymp. Sig. (2sided) .076 .166 .086 .117 3.116 1 100 .078 .086 Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

df

3.148(b) 1 1.918 1 2.951 1

Dari hasil uji chi square sebagaimana tampak pada tabel 26 diketahui bahwa terdapat hubungan bermakana antara jenis pekerjaan PNS (sipil-militer) pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah dengan kualitas hidup mereka (rhitung<rtabel; p<0,10). Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara jenis pekerjaan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Yogyakarta dilakukan uji Mantel hazel ods ratio test sebagaimana hasilnya tampak pada tabel 27. Tabel 27. Hasil uji mantel hazel ods ratio test hubungan dua jenis pekerjaan (pns;swasta) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

Estimate

3.621

35

ln(Estimate) Std. Error of ln(Estimate) Asymp. Sig. (2-sided) Asymp. 95% Confidence Interval Common Odds Ratio Lower Bound

1.287 .764 .092 .810 Upper Bound ln(Common Odds Ratio) Lower Bound Upper Bound 16.185 -.211 2.784

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1.000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Dari hasil uji mantel hazel ods ratio test diketahui bahwa kekuatan hubungan jenis pekerjaan PNS dengan kualitas hidup baik adalah 3,6 x jika dibandingkan dengan hubungan jenis pekerjaan swasta (RR=3,6; CI=0,81 16,19; p=0,92). Sehingga dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa penderita GGKT di RSU PKU dengan jenis pekerjaan PNS risiko memiliki kualitas hidup baik adalah tiga kali dari penderita GGKT swasta.

7. Kondisi Keluarga dan kualitas hidup Gambaran kondisi keluarga terkait dengan fungsinya sebagai pendukung terapi penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta tampak pada table 35, 36, 37, 38, 39 dan 40. Dari table 35 diketahui bahwa terdapat 3 keluarga dari 100 keluarga yang memiliki skor fungsi psikologis keluarga kurang sehat apabila menggunakan cut of point APGAR= 6 (skor APGAR<6). Dari table 36, diketahui bahwa terdapat 6 keluarga dari 100 keluarga yang memiliki skor fungsi psikologis keluarga kurang bila menggunakan cut of point skor APGAR = 7 (skor APGAR<7). Dari table 37 diketahui bahwa terdapat 14 keluarga 100 keluarga yang memiliki skor fungsi psikologis keluarga kurang apabila nilai cut of point skor APGAR = 8 (skor APGAR <8).

36

Table 35. Tabulasi silang dua kriteria kualitas keluarga (skor APGAR keluarga<6; skor APGAR keluarga>6) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Kualitas hidup baik apgar (0-6 = kurang sehat) sehat kurang sehat Total 33 1 34 kurang baik 64 2 66 97 3 100 Total

Tabel 36. Hasil uji chi square test hubungan dua kriteria kualitas keluarga (skor APGAR keluarga<6; skor APGAR keluarga>6) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Asymp. Sig. (2sided) 1 1 1 .980 1.000 .980 1.000 .001 100 1 .980 .734 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided)

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases a Computed only for a 2x2 table .001(b) .000 .001

df

b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.02. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa semakin tinggi nilai cut off point skor APGAR untuk menentukan baik tidaknya fungsi psikologis keluarga maka semakin banyak keluarga yang memiliki status fungsi psikologis kurang.

37

Tabel 37. Tabulasi silang kualitas keluarga (skor APGAR >7; skor APGAR keluarga <7) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta quality of live baik apgar (0-7 = kurang sehat) sehat kurang sehat Total 33 1 34 kurang baik 61 5 66 94 6 100 Total

Tabel 38. Hasil uji chi square test hubungan kualitas keluarga (skor APGAR >7; skor APGAR keluarga <7) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Asymp. Sig. (2sided) .355 .631 .328 .661 .846 100 1 .358 .331 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided)

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases .855(b) .230 .957

df 1 1 1

Dengan meningkatkan cut off point skor APGAR keluarga sehat menjadi lebih dari 8 skor APGAR keluarga maka didapatkan 18 keluarga yang memiliki kualitas keluarga kurang sehat sebagaimana tampak pada table 39. Tabulasi silang antara kualitas keluarga (sehat>8 skor APGAR keluarga; kurang sehat<8skor APGAR keluarga) dapat diketahui bahwa tampak ada hubungan yang lemah antara kualitas keluarga dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil uji chi square kualitas keluarga (>8 skor APGAR kelaurga; <8 skor APGAR keluarga) dengan kualitas hidup penderita

38

GGKT tampak pada table 40, dimana kualitas keluarga memiliki hubungan yang lemah dengan kualitas hidup penderita GGKT (rhitung<rtabel; p>10). Hasil uji mantel haenszel ods ratio test untuk menilai kekuatan hubungan kualitas keluarga sehat dengan kualitas hidup baik penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta tampak pada table 41. Tabel 39. Tabulasi silang kualitas keluarga (skor APGAR >8; skor APGAR keluarga<8) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Kualitas hidup baik apgar (0-8 = kurang sehat) Sehat kurang sehat Total 30 4 34 kurang baik 52 14 66 82 18 100 Total

Tabel 40. Hasil uji chi square test hubungan kualitas keluarga (skor APGAR >8; skor APGAR keluarga<8) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Asymp. Sig. (2sided) 1 1 1 .244 .373 .231 .285 1.343 100 1 .246 .188 Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1sided)

Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 1.357(b) .792 1.437

df

a Computed only for a 2x2 table

39

b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.12.

Tabel 41. Hasil uji mantel haenszel ods ratio test hubungan kualitas keluarga (skor APGAR >8; skor APGAR keluarga<8) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Estimate ln(Estimate) Std. Error of ln(Estimate) Asymp. Sig. (2-sided) Asymp. 95% Common Odds Confidence Interval Ratio Lower Bound Upper Bound ln(Common Odds Ratio) Lower Bound Upper Bound The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1.000 assumption. So is the natural log of the estimate. 2.019 .703 .612 .251 .609 6.695 -.496 1.901

Dari tabel 41 dapat diketahui bahwa kekuatan hubungan antara kualitas keluarga sehat (>8skor APGAR keluarga) dengan kualitas hidup baik adalah 2x lebih besar dari hubungan keluarga kurang sehat dengan kualitas hidup baik pada penderita GGKT dengan kualitas keluarga kurang sehat dengan signifikansi lemah (RR=2; CI=0,609 6,70;p=0,25). Dalam ungkapan lain berarti bahwa ada hubungan yang tidak signifikan antara kualitas keluarga dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta.

B. Pembahasan

40

Raharjo (1996) mengatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik yang menjadi gagal ginjal terminal terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahunnya. Di Amerika saat ini terdapat lebih dari 400.000 lebih jumlah pasien gagal ginjal tahap akhir, dengan bantuan biaya dialisis dari pemerintah yang lebih dari $ 15 miliar per tahun (Johns Hopkins Bloomberg,2004). Di Taiwan penduduk berusia 65 tahun atau lebih mencapai > 7% dari total penduduk (World Health Organization definisi dari suatu negara penuaan) pada tahun 1993, mencapai 9,01% pada tahun 2002, dan meningkat pada tingkat 0,2% per tahun. Peningkatan penduduk lansia ini ternyata berkontribusi pada tingginya insiden dan prevalensi GGKT dalam kelompok umur 65-75 tahun dan 76 tahun dan lebih tua (Hwang et al., 2008). Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006). Keadaan pasien yang bergantung pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan perubahan pada pola hidupnya. Menurut Sarafino (1998) menyatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres, dan keadaan stres ini sendiri dapat mengakibatkan perubahan, baik fisiologis maupun psikologis yang dapat mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit, sedangkan untuk mereka yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Interaksi yang dekat, penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang diberikan kepada seseorang disebut juga dengan dukungan sosial. Pada keadaan ini, peran keluarga sangat diperlukan karena keluarga merupakan kerabat terdekat. Keluarga dalam masalah kesehatan memiliki 3 peran yaitu dapat sebagai motivator, edukator, dan fasilitator. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146). Sedangkan dari sudut

41

pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat diklasifikasikan ke dalam fungsifungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, proteksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja Adiwikarta, 1988; dan Melly S.S. Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar G., 1994). Gangguan fungsi ginjal dan perawatannya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit menyebabkan pasien hemodialisa mengalami stres. Stres ini menyebabkan kualitas kesehatan pasien tersebut menurun, sehingga menambah beban stres yang telah ada sebelumnya. Dukungan sosial yang tepat dapat membantu dalam menghadapi hal-hal yang menimbulkan stres, sementara dukungan yang tidak tepat malah dapat menimbulkan stres baru pada pasien dan terakumulasi dalam stres yang sedang dialami pasien tersebut sehingga akan memperburuk keadaan. Pada penelitian ini diketahui bahwa lebih dari 50% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan Sleman, diikuti naracoba dari Kab. Bantul dan berikutnya Wonosari dan Kulon progo. Sebagian besar responden adalah laki-laki (64 v.s. 36), berusia 41 tahun ke atas (71% v.s. 29%), berpendidikan SMA ke atas (67% v.s. 33%) dan bukan perokok (11% v.s. 89%). Sebagian besar (64%) dari naracoba memiliki status kualitas hidup rendah dan kebanyakan dari golongan bukan pegawai negeri dengan penghasilan yang relatif lebih rendah dan biasanya tanpa jamianan dana pensiun dan asuransi. Hasil penelitian tidak berbeda dengan hasil-hasil penelitian lainnya (Halan et al., 2006). Hasil penelitian epidemiologi penderita GGKT di Norwegia oleh Halan et al. (2006) tampak pada tabel 52.

Table 52. Gambaran karakteristik demografi penderita GGKT di Norwegia (1995 to 1997) (Halan et al., 2006).

42

Amerika Norwegia White Black Total Berpenghasilan rendah-kurang (%) Tanpa asuransi (%) Usia harapan hidup (yr) Umur (yr; % of total population)a,b 20 to 54 55 to 74 75 48.5 18.1 7.1 50.6 16.7 5.9 49.1 10.8 3.0 50.6 14.8 5.0 5.9 0 78.1 11.2 14.2 76.5 28.4 21.0 69.6 13.7 15.4 75.8

Namun pada hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor keluarga berhubungan kurang signifikan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah. Hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan psikososial keluarga dengan kualitas hidup penderita (Gan et al., 2004). Pengaruh dukungan psikososial keluarga terhadap kualitas hidup penderita GGKT terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Shidler at al. (1998). Pada penelitian Shidler ini dibuktikan bahwa penderita gangguan fungsi ginjal tahap awal mengalami stres psikis yang lebih besar jika dibandingkan dengan penderita GGKT. Keberadaan dukungan psikososial keluarga pada penderita gangguan fungsi ginjal tahap awal ini akan membantu mengurangi penurunan kualitas hidup penderita. Terdapat hubungan timbal balik antara status kesehatan keluarga dengan status kesehatan atau kualitas hidup anggauta keluarga (Round and Israel, 1985). Hubungan keluarga dengan kualitas kesehatan yang pertama adalah adanya penyakit keturunan yaitu adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, yang kedua perkembangan bayi dan anak yaitu jika dibesarakan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi-fungsi yang sakit, akan mengganggu perkembangan fisik dan perilaku. Pengaruh yang ketiga adalah penyebaran penyakit misalnya penyakit infeksi, yang keempat adalah pola penyakit dan kematian yaitu perceraian mempengaruhi angka kesakitan dan kematian dan pengaruh yang terakhir adalah proses penyembuhan penyakit dan kualitas hidup pasien dimana penyembuhan penyakit kronis pada keluarga dengan kondisi fungsi keluarga yang sehat lebih baik jika dibandingkan pada keluarga dengan kondisi fungsi keluarga yang sakit. Sedangkan kesehatanpun dapat berpengaruh terhadap

43

keluarga misalnya jika kesehatan kepala keluarga sebagai pencari nafkah terganggu akan mengganggu fungsi ekonomi dan fungsi pemenuhan kebutuhan fisik keluarga, infertilitas membentuk keluarga inti tanpa anak dan mengalami siklus kehidupan keluarga yang tidak lengkap (Ide and Grager, 2001). Pada kasus perawatan penderita gangguan fungsi jantung, Paavilanen et al. (2005) menunjukkan pentingnya dukungan psikososial keluarga terhadap perawatan penderita gangguan jantung. Keluarga yang sehat yang dibuktikan dengan kondisi dukungan psikososial yang bagus akan menigkatkan keberhasilan terapi dan meningkatkan kualitas hidup penderita jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak siap dengan kesakitan dari salah satu anggautanya. Smucker et al. (1995) pada penelitain sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara skor apgar keluarga (dukungan psikososial) terhadap keberhasilan terapi dan risiko untuk mendapatkan anak yang mengalami gangguan perilaku makan, dimana keluarga dengan skor apgar keluarga yang rendah memiliki risiko 2x lebih besar untuk memiliki anak dengan gangguan fungsi makan jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki skor apgar keluarga tinggi. Peran keluarga dalam mendukung terapi untuk peningkatan kualitas hidup pasien dinilai denganAPGAR Keluarga. Apgar keluarga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengukur sehat tidaknya keluarga dalam memberikan dukungan psikososial yang dikembangkan oleh Rosen,Geyman dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga yaitu (1). Adaptasi (adaption), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang diperlukannya dan anggota keluarga lainnnya. (2). Kemitraan (partnership), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunkasi, kebersamaan dalam mengambil keputusan dan atau menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainya. (3). Pertumbuhan (growth), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan setiap anggota keluarga. (4). Kasih sayang (affection), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga. (5). Kebersamaan (Resolve), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi waktu, kekayaan dan ruang antara anggota keluarga (Round and Israel, 1985). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penderita gagal ginjal kronik terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU muhammadiyah Yogyakarta sebagian besar (64%) memiliki kualitas hidup rendah (skor<60), Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya (Yang et al., 2005). Hwang et al. (2008) menunjukkan hubungan antara lamanya dialisis dengan kualitas hidup sebagaimana tampak pada gambar 7.

44

Gambar 7. Hasil analisis COX regresi hubungan antara estimasi GFR dengan probabilitas kemampuan hidup (Hwang et al., 2008).

Hemodialisis merupakan salah satu determinan kuaitas hidup dimana hemodialisis menurunkan kualitas hidup seseorang (Yang et al., 2005). Kualitas hidup adalah persepsi seseorang tentang posisinya dalam hidup dalam kaitannya dengan budaya dan sistem tata nilai di mana ia tinggal dalam hungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal menarik lainnya. WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai the individuals perception of their life status concerning the context of culture and value system inwhich they live and their goals, expectations, standards,and concerns. (Nelson & Lotfy, 1999). Penderita GGKT yang menjalani hemodialisis sering diikuti dengan penurunan kualitas hidup (Scot et al., 2007). Sejalan dengan hasil penelitian sistematik review oleh Tonelli et al. (2006), penelitian Hwang et al. (2008) juga menunjukkan bahwa penderita GGKT memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika dibandingkan bukan penderita GGKT(Hwang et al., 2008) sebagaimana tampak pada gambar 8.

45

Gambar 8. Hasil analisis hazard rasio estimasi GFR dan tingkat kemungkinan untuk mengalami kematian oleh berbagai sebab (Hwang et al., 2008)

Dari penelitian sebelumnya diketahui beberapa faktor yang merupakan determinan kualitas hidup penderita GGKT. Dari penelitian sebelumnya telah diketahui factor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien antara lain adanya (1). rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang diakibatkan dari sakit gagal ginjal yang diderita atau tindakan atau prosedur pengobatan terkait sakit yang diderita, (2). gangguan tidur, (3). depresi, (4). ketidaknyamanan karena penyakit penyerta, (5). kualitas pelayanan dan perawatan, (6). penyakit penyerta, (7). status sosial ekonomi dan (8). dukungan keluarga (Cohen et al., 2007, Scot et al., 2007; Murtagh et al., 2007; Yang et al., 2005: Davidson, 2005; Joan et al., 2004.).

46

Pasien gagal ginjal kronik juga rentan terhadap kematian, pasien yang terdiagnosis penyakit gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes memiliki kemungkinan mengalami kematian 5 sampai 10 kali lebih besar jika dibandingkan penderita penyakit kardiovaskuler (Go et al., 2004). Tingkat kematian penderita GGKT pada tahun pertama mencapai 20% dan meningkat menjadi 60% pada tahun kelima sakit. Disamping menurunnya glomerula filtration rate (GFR), faktor infeksi akut dan komorbid serta gaya hidup tak sehat merupakan faktor-faktor yang sangat berperanan dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas penderita GGKT dengan hemodialisis. Infeksi akut oleh virus, bakteri maupun jamur sering dialami oleh penderita GGKT dengan dialisis (Dalrymple and Go, 2008). Dari hasil analisis regresi linier beberapa variable yang diuji pada penelitain ini diketahui bahwa ada 2 faktor risiko yang menentukan kualitas hidup responden, yaitu tempat tinggal dan status pendidikan. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan bahwa faktor umur, jenis pekerjaan, jenis kelamin dan kebiasaan merokok merupakan penentu kualitas hidup penderita GGKT yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta sebagaimana ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya (Hwang et al., 2008; Orth and Halen, 2007; Orth, 2000). Hasil penelitian juga berbeda dengan penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa ada hubungan antara fungsi keluarga dan kualitas pelayanan terhadap kualitas hidup penderita. Alamat atau tempat tinggal penderita merupakan salah satu determinan kualitas hidup penderita GGKT yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan jarak tempuh dan waktu perjalanan serta kenyamanan dalam transportasi. Penderita GGKT minimal melakukan 1x hemodialisis dalam seminggu, itu artinya minimal dalam satu minggu seorang penderita GGKT harus melakukan perjalanan dari rumah menuju RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, boleh jadi kondisi dan situasi perjalanan merupakan stressor yang cukup berpengaruh terhadap kualitas kesehatannya. Penelitian oleh Moist et al. (2008) pada penderita GGKT di Amerika menunjukkan fenomena yang sama, bahwa penderita GGKT yang membutuhkan waktu perjalanan yang lebih lama memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih rendah. Waktu perjalanan berhubungan dengan kenaikan risiko kematian dan penurunan kualitas hidup penderita GGKT yang menjalani program dialysis (Moist et al., 2008). Disamping faktor jarak tempuh atau alamat tempat tinggal, dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa salah satu determinan kualitas hidup penderita GGKT RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta adalah tingkat pendidikan. Penderita GGKT yang memiliki pendidikan lebih tinggi dari SMU memiliki kualitas hidup yang lebih baik jika dibandingkan penderita GGKT yang berpendidikan maksimal SMU. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Wesolowski et al., 2004).Beberapa faktor demografi yang berepngaruh terhadap kualitas hidup

47

penderita GGKT antara lain umur, jenis pekerjaan, status marital, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan (Yang et al., 2008; Wesolowski et al., 2004).

48

BAB V KESIMPULAN

1. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang adalah peran keluarga. Tes APGAR keluarga dilakukan untuk mengukur fungsi keluarga dimana nantinya akan dapat diketahui keluarga yang sehat dan keluarga yang tidak sehat.
2.

Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kualitas keluarga dengan kualitas hidup penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3.

Selain faktor kurangnya jumlah responden, ketidak signifikannya hasil kemugkinan dari faktor ketidak jujuran dari pasien dalam menjawab pertanyaan quesionare APGAR yang di ajukan.
4.

49

DAFTAR PUSTAKA
Bakri, S., 2005. Deteksi dini dan upaya-upaya pencegahan progresifitas penyaki gagal ginjal kronik, Jurnal Medika Nusantara, 26(3):36-39

Baron, R.A & Byrne, D.1994. Social Psychology : Understanding Human Interaction 7th ed.). Boston : Allyn and Bacon Chao, J., Zyzanski, S., & Flocke, S. (1998). Choosing a family level indicator of family function. Families, Systems and Health, 16, 367-373. Cohen, SD., Patel, SS., Khetpal, P. Peterson, RA., Kimmel, PL., 2007. Pain, sleep disturbance, and quality of life in patients with chronic kidney disease, Clin J Am Soc nephrol 2: 919-925

Go, A.S., Chertow, G.M., Fan, D., Hsu, C.Y., 2004. Chronic kidney disease and the risk of death, cardiovascular events and hospitalization, NEJM, 351:1296-305

Kuo, H.W., Tsai, S.S., Tiao, M.M., Yang, C.Y., 2007. Epidemiological features of CKD in Taiwan, Am J Kidney Dis, 49:46-55

Lemeshow, S., Hosmer, Jr. D.W., Klar, J., Iwanga, S.K., 1997. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Terjemahan.Cetakan pertama. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press

Levey, A.S., Coresh, J., Balk, E., Kaustz, A.T., Levin, A., 2003. National Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease: evaluasi, klasifikasi and stratification; Ann Intern Med; 139:137 147

Mengel, M. (1987). The use of the family APGAR in screening for family dysfunction in a family practice center. Journal of Family Practice, 24,394-398.

50

Remuzzi, G., Bertani, T. 1998. Pathophysiology of Progressive Nephropathies. NEJM; 59:1448-1456. Schoolwerth, A.C., Engelgau, M.M., Hostetter, T.H., Rufo, K.H., McClelan, W.M., 2006. Chronic kidney disease a publik health problem that needs a public health action plan, Prevention Chronic Disease, 3(2):1-5 Smilkstein, G. (1978). The Family APGAR: A proposal for family function test and its use by physicians. Journal of Family Practice, 6(6), 12311239. Smilkstein, G., Ashworth, C., & Montano, D. (1982). Validity and reliability of the Family APGAR as a test of family function. Journal of Family Practice, 15, 303-311.

You might also like