You are on page 1of 49

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit jantung reumatik adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam reumatik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. 1,2 Bermula dari demam, batuk dan pilek yang dianggap remeh pada masa anak- anak sehingga tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat dan berlangsung berulang kali. Kemudian berakhir dengan demam rematik oleh kuman Streptokokus Beta Hemolitikus tipe A. Kuman ini mengeluarkan zat racun atau toksin yang akan bereaksi dengan katup jantung, reaksi ini disebut reaksi imunologis. Akibatnya lambat laun katup jantung menjadi rusak, biasanya terjadi setelah usia dewasa muda. Jika reaksi imunologisnya berat maka bisa saja langsung terjadi kelainan pada katup jantung pada usia sekolah. Dan ketika telah terjadi kelainan pada jantung, maka penyakit ini disebut penyakit jantung rematik.1,3 Data WHO tahun 2002 menunjukkan 12 juta orang menderita demam rematik dan penyakit jantung rematik, dua pertiganya adalah anak-anak usia 5 -15 tahun. Sekitar 300 ribu orang meninggal setiap tahunnya oleh karena penyakit ini dengan sekitar 2 juta orang memerlukan perawatan rumah sakit berulang dan 1 juta orang orang memerlukan operasi pada 5 20 tahun mendatang. Menurut laporan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) Depkes RI tahun 2004, dari 1.604 penderita PJR yang dirawat inap di seluruh rumah sakit di

Indonesia, terdapat 120 orang yang meninggal akibat PJR dengan Case Fatality Rate (CFR) 7,48%. 4,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis rematik.5 Menurut Afif. A tahun 2008, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.3

Buku Ajar Kardiologi Fakultas Kedokteran Indonesia tahun 2007 menerangkan bahwa Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil dari Demam Rematik, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran napas bagian atas.6

Menurut Australian guidline for prevention, diagnosis and management of acute rheumatic fever and rheumatic heart disease tahun 2012, penyakit jantung rematik adalah kerusakan jantung yang muncul setelah episode kambuhan dari demam rematik, dimana terjadi peradangan di jantung sehingga terjadi kekakuan ataupun timbul jaringan parut pada katup- katup jantung.7

Sedangkan Demam Rematik (DR) menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2006 adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman streptococcus beta hemolytikus grup A, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan atau eritema marginatum.8

2.2 Etiologi Infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun pada serangan ulang. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, streptococcus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Infeksi ini dapat dibedakan dari kolonisasi dengan munculnya respon antibodi sekurang kurangnya satu antigen streptococcus, misalnya anti streptolisin O. Infeksi farings tidak perlu bergejala dan mungkin dapat dideteksi hanya secara retrospektif dengan naiknya titer antibodi terhadap streptococcus. Karena pentingnya demam reumatik dalam kesehatan masyarakat negara berkembang, maka penelitian epidemiologis infeksi streptococcus di negara berkembang masih perlu dilakukan.2,3,7,9 Faktor yang penting untuk manifestasi penyakit ini meliputi sifat organisme, tempat infeksi, serta predisposisi genetik. Streptococcus grup A sp pyogenes merupakan salah satu dari 20 serogrup. Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan kemampuannya untuk

menimbulkan hemolisis pada agar plat darah kambing. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang dikelilingi oleh tiga lapisan membrane, yang disusun terutama dari lipoprotein. Di luar membrane sitoplasma adalah dinding sel, terdiri dari tiga komponen, yaitu :1,4,9 a. Komponen pertama / dalam : peptidoglikan yang memberi kekakuan dinding sel. Senyawa ini digabung dengan polisakarid dinding sel, menimbulkan arthritis, serta reaksi nodular pada kulit binatang percobaan.

b. Komponen kedua : polisakarid dinding sel, atau karbohidrat spesifik grup. Strukur imunokimia komponen tesebut menentukan spesifisitas serologis bermacam macam serogrup. Karbohidrat grup A merupakan polimer polisakarid, yaitu yang terdiri dari pendukung utama ramnose dengan rantai samping ramnose yang diakhiri ujung terminal N asetilgluktosamin. Gula amino ini merupakan determinan antigenik spesifik dari karbohidrat streptococcus grup A. karbohidrat ini terbukti memiliki determinan antigenik bersama dengan glikoprotein pada katup jantung manusia. c. Komponen ketiga : mosaic protein yang dilabel sebagai protein M, R, dan T. Dari ketiga protein ini yang paling penting adalah protein M, yakni antigen spesifik tipe dari streptococcus grup A. Adanya protein M pada permukaan streptococcus menghambat fagositosis, hambatan tersebut dinetralkan oleh antibodi terhadap protein M, yaitu antibodi spesifik tipe. Imunitas terhadap infeksi streptococcus grup A adalah spesifik tipe, bukannya spesifik grup dan dihubungkan dengan adanya antibodi spesifik tipe. Dari permukaan keluar bentuk menyerupai rambut sebagai lapisan fimbrie yang tersusun oleh asam lipoteikoat. Komponen ini penting dalam perlekatan streptococcus terhadap sel epitel.

Beberapa strain streptococcus grup A pada demam reumatik, memiliki kapsul mukoid yang terdiri dari asam hialuronat. Kapsul tersebut hanya kadang kadang ada, kemungkinan karena hidrolisis oleh hialuronidase yang dihasilkan selama masa pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu streptococcus juga menghasilkan

enzim ekstraseluler, termasuk dua hemolisin atau streptolisin. Pelepasan enzim ini pada saat terjadi infeksi merangsang pembentukan antibodi terhadap produk ekstraseluler. Kebanyakan streptococcus grup A menghasilkan toksin eritrogenik yang menyebabkan ruam kulit dan skarlatina.3,5

Hubungan etiologis antara kuman streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut :1,2,9 a. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap streptococcus, atau dapat diisolasi kuman beta streptococcus hemolyticus grup A, atau keduanya. b. Insiden demam reumatik yang tinggi bersamaan dengan insidens infeksi oleh beta streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Sebaliknya insiden demam reumatik akan menurun bila infeksi kuman tersebut pada suatu golongan penduduk diobati dengan baik. c. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika. Valvulitis merupakan tanda utama rematik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan mengenai katup mitral + katup aorta (97%).6,7

Faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit reumatik dapat dibagi menjadi faktor pada pejamu dan faktor lingkungan. Faktor pada pejamu mencakup : a. Faktor genetik : banyak demam reumatik terdapat pada satu keluarga atau pada saudara kembar. Jenis HLA tertentu juga rentan terhadap

demam reumatik, penelitian menyimpulkan bahwa kerentanan herediter terhadap demam reumatik melibatkan lebih dari satu gen

resesif.Pemeriksaan fenotip antigen limfosit manusia ( HLA ) terhadap demam reumatik menunjukkan hubungan dengan alloantigen sel B spesifik, dikenal dengan antibodi monoklonal, dengan status

reumatikus.Antigen HLA DR 4 dan HLA DR 2 sering ditemukan pada penderita demam reumatik ras kaukasoid dan kulit hitam dibanding yang sehat, hal ini mendukung konsep predisposisi genetik demam reumatik. b. Jenis kelamin : dahulu disangka anak perempuan lebih sering terkena demam reumatik daripada anak lelaki, namun ternyata tidak benar. Jenis kelamin berpengaruh terhadap kelainan katubnya dimana stenosis mitral lebih sering ditemukan pada pasien perempuan, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering terjadi pada lelaki. c. Golongan etnik dan ras : data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun serangan ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam daripada kulit putih, akan berarti penilaian ini harus dilakukan dengan hati hati karena faktor lingkungan ikut berperan atau bahkan dapat sebagai sebab sebenarnya. d. Umur : merupakan faktor terpenting pada timbulnya demam reumatik. Paling sering ditemukan pada usia 5 15 tahun dengan puncak usia 8 tahun, dan tidak biasa ditemukan pada usia 3 5 tahun, dan , sangat jarang sebelum anak usia 3 tahun atau setelah 20 tahun.

e. Status gizi : keadaan gizi serta adanya penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik. Telah diketahui bahwa pasien anemia sel sabit ( sickle cell anemia ) jarang yang menderita demam reumatik.

Faktor lingkungan mencakup : a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk : hal ini terpenting sebagai predisposisi terjadinya demam reumatik. Insiden demam reumatik di negara yang maju sudah jelas menurun sebelum era antibiotik. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk adalah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah dengan penghuni yang padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang, dan lainnya. b. Iklim dan geografi : demam reumatik adalah penyakit kosmopolit, sehingga penyakit ini dahulu dianggap terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi ternyata daerah tropis mempunyai angka kejadian yang tinggi. Di dataran tinggi angka kejadian demam reumatik lebih tinggi daripada di dataran rendah. c. Cuaca : perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan angka kejadian infeksi saluran napas bagian atas meningkat, sehingga angka kejadian demam reumatik juga meningkat

2.3 Epidemiologi Demam rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan sering mengenai anak usia antara 5 15 tahun. 2,3,5,9 Pada tahun 1944 diperkirakan diseluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara sedang berkembang berkisar antara 7,9

sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981 1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya. 5,9,10.

Statistik rumah sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 35 persen dari penderita penyakit jantung yang masuk kerumah sakit adalah

penderita DR dan PJR. Data yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan mortalitas karena DR dan PJR masih merupakan problem dan kematian karena DR akut terdapat pada anak dan dewasa muda.3,4,8

Dalam laporan WHO Expert consultation Geneva, 29 October1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000

penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk dinegara berkembang dan didaerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000 332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena penyakit tersebut. 1,4,7

2.4 Patofisiologi Hubungan antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan perkembangan penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun yang tertunda terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan manifestasi klinis pada individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik, virulensi dari kuman, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun Streptococcus dari serogrup B, C, G dan F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun host, mereka belum terkait dengan etiologi demam rematik atau penyakit jantung rematik (PJR). Geografis berpengaruh pada variasi prevalensi serogrup dari Streptococcus hemolitik. Di negara tropis sampai 60-70% isolat dari tenggorokan anak-anak tanpa gejala menunjukan serogrup C dan G. Sebaliknya, di daerah beriklim sedang, serogrup A isolat dominan (50-60. Sekule non supuratif, seperti RF dan RHD, terlihat hanya setelah Streptococcus grup A menginfeksi saluran pernapasan bagian atas. Meskipun RF telah dinyatakan sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat belum dapat dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran penting dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa Streptococcus grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut biasanya sangat bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-protein. Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan, serta untuk melawan fagositosis pada host manusia. 1,2,5,7,9

Streptococcus M-protein M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi bakteri. Mprotein terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alphahelical coiled coil dimer, dan memiliki struktur yang homolog dengan miosin jantung dan molekul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin. Disimpulkan bahwa homologi ini bertanggung jawab pada proses patologis PJR.

laminin adalah protein matriks ekstraselular yang disekresi oleh sel endotelial yang melapisi katup jantung and merupakan struktur katup. Laminin juga merupakan target untuk antibodi polireaktif yang mengenali protein M, miosin.2,6,7

10

Streptococcus superantigen Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus yang dapat menjembatani kompleks molekul histokompatibiliti mayor kelas II dan rantai b nonpolimorfik V pada reseptor sel T, menstimulasi pengikatan antigen, sehingga terjadi pelepasan sitokin atau limfosit T teraktivasi menjadi sel sititoksik. Pada kasus PJR, proses terjadi terutama pada aktivitas superantigen-like dari fragmen protein M (PeP M5).1,4,8 Aktivasi superantigen tidak terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik Streptococcus juga berperan sebagai superantigen terhadap sel B, menyebabkan produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2 macroglobulin-binding protein) yang dihasilkan oleh Streptococcus pyogenes, streptococcal fibronectin-binding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman ke sel epitel manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA), yang mengaktivasi komplemen C5a dan membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu berperan dalam patogenesis PJR.2,3,9 Peran host dalam perkembangan demam rematik dan penyakit jantung reumatik Penelitian Pedigree menyatakan bahwa respon kekebalan dikendalikan secara genetik, dengan responsivitas tinggi terhadap antigen dinding sel Streptococcus yang diwariskan melalui gen resesif tunggal, dan respon yang rendah melalui gen dominan tunggal. Data lebih lanjut menunjukkan bahwa gen pengendali respon level rendah terhadap antigen Streptococcus terkait erat dengan antigen leukosit manusia kelas II, HLA. 9

Interaksi host dan patogen Infeksi oleh Streptococcus dimulai dengan pengikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik pada sel inang, dan kemudian melibatkan kolonisasi dan invasi. Pengikatan permukaan bakteri reseptor peristiwa permukaan sel host merupakan yang paling penting dalam kolonisasi, dan peristiwa ini diperantarai oleh fibronektin dan oleh protein pengikat fibronektin kuman. asam lipoteichoic dan protein M juga memainkan peran penting dalam perlekatan bakteri. Respon host terhadap infeksi Streptococcus meliputi produksi antibodi tipe spesifik, opsonisasi dan fagositosis.4,5,10

11

Peranan faktor lingkungan dalam RF dan RH Keadaan lingkungan seperti kondisi ekonomi sosial yang buruk, kepadatan penduduk dan akses ke perawatan kesehatan sangat menentukan perkembangan dan komplikasi RF. Penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kontak antar individu. Variasi musiman kejadian RF (insiden tinggi yaitu pada awal musim gugur, akhir musim dingin dan awal musim semi) sangat menyerupai variasi infeksi Streptococcus. Variasi ini sangat signifikan di daerah beriklim sedang, tetapi tidak signifikan dalam tropis.3,4,9

Gambar. 1 Proses Infeksi oleh S.Pyogenes (http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/404/basics/pathophysiolog)

Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada jantung, otak, sendi dan kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai pankarditis, dengan miokarditis sebagai bagian yang paling utama. Saat ini, diketahui bahwa komponen katup yang mungkin sama atau lebih penting dibandingkan keterlibatan otot jantung maupun pericardium.7,8,9

Baik pericardium, miokardium, dan endokardium dapat terkena. Miokarditis dapat ringan berupa infiltrasi sel sel radang, tetapi dapat erat sehingga terjadi dilatasi

12

jantung yang dapat berakibat fatal. Pada miokarditis rematik, kontraktilitas miokard jarang mengalami kerusakan dan kadar troponin serum tidak mengalami peningkatan. Bila perdangan berlanjut, timbulah badan aschoff yang kelak dapat meninggalkan jaringan parut diantara otot jantung. Perikarditis dapat mengenai lapisan visceral maupun parietal pericardium dengan eksudasi fibrinosa. Jumlah efusi perikard dapat bervariasi tetapi biasanya tidak banyak, bisa keruh tetapi tidak pernah purulen. Bila berlangsung lama dapat berakibat terjadinya adhesi pericardium visceral dan parietal. Endokarditis, merupakan kelainan terpenting, terutama peradangan pada katub- katub jantung. Semua katup dapat terkena, tetapi katup jantung kiri (mitral dan aorta) paling sering menderita, sedangkan katup jantung tricuspid dan pulmonal jarang sekali terkena. Mula mula terjadi edema dan reaksi selular akut yang mengenai katup dan korda tendine. Kemudian terjadi vegetasi mirip veruka ditepi daun daun katup. Secara mikroskopis vegetasi berisi masa hialin. Bila menyembuh akan terjadi penebalan dan kerusakan daun katup yang dapat menetap dan mengakibatkan kebocoran katup. Perubahan perubahan pada katup ini dapat terus berlanjut meskipun stadium akut sudah berlalu. Stenosis katup hampir selalu mengenai katup mitral, dapat terjadi berbulan bulan bahkan bertahun- tahun setelah stadium akut. Pada penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan tertariknya korda tendineae).7,8

Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis. Badan Aschoff yang ditemukan pada otot jantung atrium merupakan salah satu tanda khas pada demam rematik. Badan Aschoff terdiri dari lesi-lesi peradangan yang disertai dengan pembengkakan, serat kolagen yang berfragmen, dan perubahan jaringan penyambung, yang saat ini dianggap sebagai sel miokardium yang mengalami nekrosis.7

13

2.5 Jenis-Jenis Kerusakan Katup Penyakit Jantung Rematik 2.5.1 Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral) Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anakanak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan, karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung.3,7 Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringanm tanda-tanda gagal jantung tidak ada. Pada insufisiensi berat terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat. 3,4

2.5.2 Stenosis Mitral Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat. 3

2.5.3 Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta) PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta, yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat

14

terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung. 3

2.5.4 Stenosis Aorta Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejalagejala stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat. 3

2.5.5 Kelainan Katup Trikuspid Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut. Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik yang meningkat selama inspirasi. 8,10

2.5.6 Kelainan Katup Pulmonal Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta Doppler.8

15

2.6 Dasar Diagnosa Diagnosis penyakit jantung rematik dapat ditegakkan setelah diagnosis demam rematik ditegakkan. Kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik adalah Kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus. 1,2,3,9

Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 6 Tabel. 1 kriteria Jones yang dimodifikasi Kriteria Mayor Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatum

16

Nodulus subkutan Kriteria Minor Klinik Riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya Artralgia Demam

Laboratorium Peningkatan kadar reaktan fase akut :

Protein C reaktif (CRP +), Laju endap darah meningkat Leukositosis

EKG dengan P-R Interval yang memanjang

Ditambah Tanda- tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya : kenaikan titer antistreptolisin 0 (ASTO) atau antibodi antistreptokokus
lainnya, biakan usapan(swab) tenggorokan yang positif untuk streptokokus

grup A atau baru menderita demam skarlatina.

Setelah diagnosis demam rematik ditegakkan, jika didapatkan gejala gagal jantung seperti sesak napas, intoleransi terhadap latihan, takikardia merupakan indikasi telah terjadinya carditis dan penyakit jantung rematik.3,5,7

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan demam rematik didapatkan gejala yang berhubungan dengan jantung (cardiac symptoms) dan gejala yang tidak berhubungan dengan jantung (noncardiac symptoms). Pada beberapa pasien, manifestasi klinik dari jantung baru tampak pada keadaan penyakit jantung rematik kronis.

17

2.6.1

Kriteria

Mayor

dengan

Manifestasi

Demam

Rematik

yang

Berhubungan dengan Jantung Pancarditis adalah komplikasi kedua tersering pada demam rematik (50%) dan merupakan komplikasi yang serius. Pasien mengeluh dyspnea, rasa tidak nyaman pada dada dari ringan hingga sedang, pleuritic chest pain, edema, batuk, atau orthopnea. Pada pemeriksaan fisik, carditis dapat dideteksi dengan terdengarnya murmur yang sebelumnya tidak ada dan takikardia yang tidak berhubungan dengan demam. Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur berhubungan dengan terjadinya rheumatic valvulitis.

Gejala yang berasal dari jantung meliputi gejala gagal jantung dan pericarditis. 1. Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur

Terdengarnya murmur pada demam rematik akut berhubungan dengan insufisiensi katup. Murmur yang dapat terdengar pada demam rematik akut adalah : a. Apical pansystolic murmur, dengan karakteristik bernada tinggi,

blowing-quality murmur yang disebabkan oleh regurgitasi mitral. Bunyi murmur ini tidak dipengaruhi oleh respirasi atau posisi pasien. Intensitas murmur biasanya 2/6 atau lebih besar. b. Apical diastolic murmur, juga dikenal dengan Carey-Coombs

murmur. Mekanisme dari murmur ini adalah terjadinya mitral stenosis, yang disebabkan karena volume yang sangat besar saat pengisian ventrikel dikarenakan aliran regurgitasi dari katup mitral. Murmur ini dapat terdengar lebih jelas dengan menggunakan sisi bel dari stetoskop dan pada saat pasien dengan posisi miring ke kiri dan pasien menahan napas saat ekspirasi. c. Basal diastolic murmur, adalah murmur awal diastolic dari

regurgitasi aorta, dengan karakteristik murmur bernada tinggi, decrescendo, terdengar lebih jelas pada bagian kanan atas dan midsternal pada ekspirasi dalam. 2. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung dapat terjadi sekunder karena insufisiensi katup yang berat atau myocarditis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung seperti

18

takipnoe, orthopnea, peningkatan JVP, ronchi basah karena edema paru, gallop, edema pada ekstremitas. 3. Pericarditis

Terdengarnya pericardial friction rub menandakan terdapatnya pericarditis. Meningkatnya bunyi dull pada perkusi jantung, ictus cordis yang tidak terlihat, dan terdengarnya bunyi jantung yang lebih teredam dapat menunjukkan terdapatnya pericarditis. Pada keadaan darurat, jika terdapat efusi pericardial dilakukan pericardiocentesis.

2.6.2 Kriteria Mayor Manifestasi Demam Rematik Yang Tidak Berhubungan Dengan Jantung Gejala noncardiac termasuk polyarthritis, chorea, erythema marginatum, dan nodul subkutan, selain itu nyeri abdomen, arthralgia, epistaksis, demam juga dapat didapatkan. 1. Polyarthritis

Gejala yang sering dan gejala awal yang didapatkan pada demam rematik akut (pada 70-75% pasien). Karakteristik dari arthritis adalah biasanya dimulai dari sendi-sendi besar di ekstremitas bagian bawah (lutut dan pergelangan kaki), yang kemudian menjalar ke sendi-sendi besar lainnya di ekstremitas atas (siku dan pergelangan tangan). Terdapat nyeri pada sendi yang terkena, bengkak, hangat, kemerahan pada kulit karena proses inflamasi dan didapatkan keterbatasan gerak pada sendi yang terkena. Arthritis ini mencapai nyeri maksimal pada 12-24 jam, yang menetap selama 2-6 hari (sangat jarang nyeri bertahan lebih dari 3 minggu), nyeri akan berkurang dengan pemberian aspirin. 2. Sydenham chorea terjadi pada 10-30% pasien dengan demam rematik.

secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam

19

rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.5,7 Keluhan pasien adalah kesulitan dalam menulis, gerakan-gerakan wajah, tangan dan kaki tanpa tujuan, kelemahan yang menyeluruh, dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hyperextended joints, hipotonia, fasikulasi lidah, dan gerakan tidak bertujuan. Gejala ini akan mengalami resolusi dalam 1-2 minggu dan akan sembuh sempurna dalam 2-3 bulan. 3. Erythema marginatum, merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada

demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.5 ditemukan pada kira-kira 5% pasien demam rematik, berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Lesi eritematous dengan warna pucat pada bagian tengah dan disekelilingnya, dengan tepi yang bergelombang.

Gambar 2.2 Erythema marginatum (diambil dari Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever. .http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511)

20

4.

Subcutaneous nodules terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik.

Jika terdapat nodul, maka nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan pergelangan tangan, prosesus spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran 1-2 cm, tidak melekat pada jaringan sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami resolusi dalam satu bulan. Nodul ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada pasien tidak didapatkan gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan kemungkinan lain.

Gambar 2.3 Subcutaneous nodules (di ambil dari Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever. .http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511)

2.6.3 Kriteria Minor 1) Riwayat demam rematik Sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis. 2) Artralgia Rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Biasanya melibatkan sendi-sendi besar. Kadang nyerinya sangat berat
sehingga tidak mampu bergerak. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri

pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.

21

3) Demam Pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna. Demam biasa terjadi pada serangan poliartritis reumatik, sering pada karditis
reumatik murni, namun tidak ada pada korea syndenham murni.

4) Peningkatan kadar reaktan fase akut Berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Ketiga uji ini juga
abnormal pada beberapa infeksi bakteri dan penyakit kolagen. Perlu diingat bahwa laju

endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan. 5) Interval P-R yang memanjang Biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik. Adapun keadaan- keadaan yang merupakan pengecualian pemakaian kriteria jones antara lain :

22

1. Korea yang terjadi sebagai satu- satunya manifestasi klinis demam rematik. 2. Indolent carditis yang menjadi satu- satunya manifestasi klinis pada pasien yang datang beberapa bulan setelah onset demam rematik. 3. Seringkali pasien yang mengalami kekambuhan (recurrens) tidak memenuhi kriteria jones.

2.6.4 Pemeriksaan Penunjang 2.6.4.1 Kultur tenggorok Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur Streptococcus Grup A negatif pada fase akut. Bila positif belum pasti membantu dalam menegakkan diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau infeksi Streptococcus dengan strain yang lain.

2.6.4.2 Rapid antigen test Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 60-90%, sehingga pemeriksaan kultur tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

2.6.4.3 Antistreptococcal antibodi Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman tersebut, dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas 80-85%. Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%). Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut demam rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan.

2.6.4.4 Protein fase akut

23

Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive protein positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat antirematik.

2.6.4.5 Pemeriksaan Imaging a. Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema paru yang merupakan gejala gagal jantung. b. Doppler-echocardiogram Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan. Pasien dengan

carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau aorta regurgitasi yang menetap. Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan dilakukan intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi dari commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi.

2.6.4.6 EKG Pada panyakit jantung rematik akut, sinus takikardia dapat diperoleh.

Gambar 2.5 Sinus Takikardia (www.cardionetics.com)

AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien, didapatkan gambaran PR interval memanjang. AV block derajat I tidak spesifik sehingga tidak

24

digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung rematik. Jika didapatkan AV block tidak berhubungan dengan adanya penyakit jantung rematik yang kronis.

Gambar 2.6 AV Block derajat I (www.medicalnotes.com) AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung rematik, block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik berhenti.

Gambar 2.7 AV Block derajat II Type I (www.medicalnotes.com)

25

Gambar 2.8 AV Block derajat II Type II (www.medicalnotes.com)

Gambar 2.9 AV Block derajat III (www.medicalnotes.com) Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter atau atrial fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan dilatasi atrium.

Gambar 2.10 Atrial Flutter


26

(http://library.med.utah.edu)

Gambar 2.11 Atrial Fibrilasi (http://library.med.utah.edu) 2.6.4.7 Pemeriksaan histologi Aschoff bodies (focus eosinofil yang dikelilingi oleh limfosit, sel plasma, dan makrofag) dapat ditemukan di pericardium, myocardium, dan endocardium.

Gambar 2.12Aschoff bodies (Binotto, 2002)

2.6.5 Penyakit Jantung Rematik 2.6.5.1 Mitral Stenosis Gambaran klinis stenosis mitral ditentukan oleh tekanan atrium kiri, curah jantung dan resistensi vaskular paru. Peningkatan tekanan atrium kiri dan penurunan compliance paru menyebabkan sesak napas, awalnya sesak hanya terjadi bila denyut jantung meningkat, tetapi jika derajat keparahan lesi meningkat pasien menjadi ortopnoe. Sebelum onset dispnoe paroksismal, batuk nocturnal mungkin merupakan satu-satunya gejala peningkatan tekanan atrium kiri. Tekanan arteri pulmonalis meningkat paralel dengan peningkatan tekanan atrium kiri, pada

27

pasien dengan stenosis mitral berat peningkatan tekanan arteri pulmonalis tidak proporsional disebut sebagai hipertensi paru reaktif. Gejala stenosis mitral 13 : a. Rasa lelah b. Sesak napas c. Ortopnoe d. Dispnoe nocturnal e. Palpitasi (fibrilasi atrium)

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik stenosis mitral didapatkan bunyi S1 yang mengeras. Tegangan mendadak pada katup mitral karena apparatus subvalvar daun katup mitral dan penghentian mendadak pergerakan ke bawah katup mitral menyebabkan opening snap nada tinggi pada awal diastole. Murmur rumbling diastolic nada rendah sering terlokalisasi di apeks atau aksila; durasinya pendek bila lesi katup ringan. Durasi murmur berkaitan dengan keparahan lesi. Gambaran fisik lain termasuk tanda edema paru (ronchi paru basal), retensi cairan, kongesti hepar, dan regurgitasi tricuspid.

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien stenosis mitral dapat dinilai secara noninvasive namun kadang diperlukan kateterisasi jantung. Gambaran stenosis mitral pada EKG tidak spesifik. Pada stenosis mitral murni, ukuran jantung pada foto thorax normal, kecuali terjadi hipertensi paru yang lama sehingga terjadi dilatasi pada ruang sisi kanan jantung. Pada mitral stenosis dan irama sinus, gelombang P dapat menunjukkan adanya pembesaran dari atrium kiri. Gelombang P ini dapat menjadi tinggi pada lead II, tegak pada V1 pada saat hipertensi pulmonal atau tricuspid stenosis terjadi sebagai komplikasinya dan atrium kanan membesar. Kompleks QRS normal, pada kasus hipertensi pulmonal, dapat terjadi deviasi ke kanan dan hipertofi ventrikel kanan dapat terjadi.14 Ekokardiografi dikombinasikan dengan pemeriksaan Doppler merupakan pemeriksaan yang paling berguna. Ekokardiografi dapat dengan baik menentukan

28

apakah prosedur konservatif (valvotomi atau perbaikan katup dapat dilakukan). Pemeriksaan dengan kateterisasi jantung terbatas pada pasien tertentu, misalnya untuk menggambarkan anatomi koroner dan tidak sebagai keharusan sebelum pembedahan katup mitral.13

Gambar 2.13 Stenosis Mitral

Gambar 2.14 Stenosis Mitral

(Binotto, 2002) (Keterangan gambar 2.14 stenosis mitral : menunjukkan penebalan dari katup, commisura yang saling melekat dengan kalsifikasi dan deposisi thrombus, penyatuan dan pemendekan dari chordate tendinae)

2.6.5.2 Mitral Regurgitasi Gejala klinik mitral regurgitasi a. Pasien dengan mitral regurgitasi kronik derajat ringan-sedang biasanya asimtomatik, hal ini dikarenakan adanya overload darah di ventrikel kiri ditoleransi dengan baik. b. Fatigue, dyspnoe deffort, orthopnea, dan palpitasi merupakan gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan mitral regurgitasi kronik yang berat. Palpitasi dapat merupakan gejala awal dari atrial fibrilasi.

Pemeriksaan Fisik a. b. c. Tekanan arteri biasanya normal. Pada apex jantung dapat dirasakan adanya systolic thrill. Iktus kordis mengalami lateralisasi.

Auskultasi
29

a.

S1 secara general tidak terdengar, lembut, ataupun tertutup suara murmur holosystolic.

b.

Katup aorta dapat menutup secara prematur yang menyebabkan splitting yang lebar pada S2.

c.

S3 nada rendah terdengar sekitar 0.12-0.17 detik setelah suara katup aorta menutup.

d. e.

Dapat ditemukan adanya middiastolic murmur. Murmur holosistolik sedikitnya pada derajat III/VI adalah karakteristik utama pada auskutasi mitral regurgitasi kronik yang berat. biasanya paling terdengar pada bagian axilla yang menjalar ke arah axilla

Gambar 2.17 Mitral Regurgitation (www.heart-valve-surgery.com)

2.6.5.3 Stenosis aorta Gejala klinis pada stenosis aorta biasanya asimtomatik, gejala baru muncul bila ukuran orifisium sudah mengecil secara signifikan yaitu < 1 cm2.

Anamnesis a. Riwayat kelelahan dan sesak napas yang progresif menyebabkan

keterbatasan aktivitas b. c. Trias gejala klasik : nyeri dada, sinkop eksersional, sesak napas Pada stadium lanjut timbul sianosis perifer, cachexia, kelemahan

30

d.

Tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri : ortopnu, sesak napas nokturnal

paroksismal, edema pulmonal

Pemeriksaan fisik a. Tekanan denyut kecil dengan peningkatan perlahan akibat ejeksi yang memanjang dinilai dengan palpasi A.karotis atau A.brakialis. b. Intensitas bunyi jantung kedua aorta menurunakibat rigiditas katup aorta (A2) c. Bunyi jantung ke empat (S4) akibat peningkatan tekanan atrium kiri d. Murmur ejeksi dimulai sesudah bunyi jantung satu (S1) dan berakhir sebelum bunyi jantung kedua (S2). Baik intensitas maupun panjang murmur tidak terkait dengan keparahan lesi katup. e. Thrill sistolik dapat teraba di basis, incisura suprasternal dan A.karotis

Pemeriksaan Penunjang a. EKG Bila terdapat stenosis aorta berat terdapat hipertrofi ventrikrl kiri. Terdapat depresi segmen ST dan gelombang T inversi di sadapan 1 dan aVL dan sadapan prekordial kiri. b. Ekokardiogram Kunci penemuannya adalah hipertrofi ventrikel kiri, dan pada pasien dengan kalsifikasi katup multipel, tebal, ekoik dibandingkan katup. Stenosis aorta berat dapat diperkirakan dengan doppler dengan aliran transaorta dengan luas orifisium < 1 cm2. Stenosis sedang ditentukan dengan luas orifisium 1-1,5 cm2, dan stenosis ringan luas orifosium 1,5-2 cm2. Dilatasi ventrikel kiri dan penurunan sistolik mencerminkan penurunan fungsi ventrikel kiri. c. Foto rontgen toraks Akibat stenosis aorta terjadi hipertrofi konsentrik tanpa dilatasi, sehingga radiologi menunjukan gambaran dalam batas normal. Akibat adanya stenosis aorta jangka panjang terjadi dilatasi post stenosis pada aorta ascenden. Kalsifikasi katup aorta tidak dapat diidentifikasi dengan foto polos dan biasanya diidentifikasi

31

dengan fluoroskopi. Kalsifikasi hanya dapat dilihat dengan posisi lateral atau obliq d. Kateterisasi Kateterisasi jarang dilakukan tetapi sangat berguna bila ada ketidakcocokan antara penemuan klinis dan ekokardiografi. Indikasi : 1. Pasien dengan penyakit multivalvular, untuk menentukan

deformitas katup untuk perencanaan operasi definitif 2. Pasien muda dan asimtomatik dengan stenosis aorta kongenital non

kalsifikasi untuk menentukan derajat obstruksi aliran dari ventrikel kiri, dimana operasi diindikasikan bila terdapat stenosis berat, walaupun tidak ada gejala. 3. Pasien yang dicurigai ada obstruksi bukan pada katup aorta tapi

pada regio sub atau supravalvular. e. Angiografi koroner diindikasikan untuk mendeteksi atau menyingkirkan CAD pada pasien > 45 tahun dengan stenosis berat yang dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. 2.6.5.4 Regurgitasi aorta Gejala Klinis Pada anamnesis dikeluhkan kelelahan, sesak napas, ortpnoe, sesak malam hari, keterbatasan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : a. b. c. Tekanan nadi yang lebar Denyut apeks aktif, hiperdinamik, sering bergeser ke lateral Khas : murmur awal diastolik, dimulai segera sesudah A2 terdengar pada

batas sternal kiri dan basis. Derajat keparahan lebih digambarkan oleh panjang murmur daripada keras murmur. d. Murmur mid-diastolik (murmur austin-flint) regurgitasi aorta berat

Pemeriksaan penunjang a. EKG Pada regurgitasi aorta akut : normal

32

Pada regurgutasi aorta kronis : gambaran hipertrofi ventrikel kiri, yaitu depresi segmen ST dan gelombang T terbalik di sadapan I, aVL, V5 dan V6. Left axis deviation, pelebaran kompleks QRS, biasanya berhubungan dengan fibrosis, berhubungan dengan prognosis yang buruk. b. Foto rontgen toraks : dilatasi ventrikel kiri Potongan frontal : apeks terdorong ke bawah dan ke kiri LLD dan lateral : ventrikel kiri terdorong ke belakang dan menempel ke vertebra.

c. Ekokardiografi Pergerakan dinding jantung bisa normal sampai terjadi penurunan kontraktilitas miokardium. Getaran kuspid mitral anterior yang cepat dan berfrekuensi tinggi diakibatkan oleh benturan aliran darah balik. Ekokardiogram juga dapat menentukan penebalan dan kegagalan penutupan katup. Ekokardiografi doppler sangat sensitif untuk deteksi regurgitasi aorta, termasuk membantu menentukan derajat keparahan. Pada regurgutasi aorta berat, terjadi aliran

balik saat diatol di aorta thoracica descendent bagian proksimal. d. Cardiac Catheterization and Angiography Bila diperlukan kateterisasi jantung kiri dan jantung kanan dengan aortografi kontras dapat menyediakan konfirmasi akurat dari regurgitasi dan fungsi ventrikel kiri. Angiografi koroner dilakukan secara rutin pada pasien yang memiliki kecenderungan untuk pembedahan.

2.7 Penatalaksanaan 2.7.1 Demam Reumatik Penatalaksanaan demam rematik meliputi: 1. Tirah baring di rumah sakit, 2. Eradikasi kuman streptokokus,

33

3. Pemberian obat-obat antiradang, 4. Pengobatan korea, 5. Penanganan komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri, atau trombo-emboli, serta 6. Pemberian diet bergizi tinggi mengandung cukup vitamin.

2.7.1.1Tirah Baring Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah sakit. Penderita dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat (dengan gagal jantung kongestif), penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu, yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat. 7,13,14 Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam rematik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal. 2.7.1.2 Eradikasi Kuman Streptokokus Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral 250 mg 4 kali sehari diberikan selama 10hari. Bagi yang alergi terhadap

34

penisilin, eritromisin 50 mg/kg/ hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan sebagai obat eradikasi pengganti.

2.7.1.3 Obat Antiradang Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisi1at. Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 1525 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya; dosis untuk orang dewasa dapat mencapai 0,6-0,9 g setiap 4 jam. Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini bermanfaat meredakan proses peradangan akut, meskipun tidak mempengaruhi insiden dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik. Prednison diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 1 mg/ kg/hari selama minggu ke 3 dan selanjutnya dikurangi lagi sampai habis selama 1-2 minggu berikutnya. Untuk menurunkan resiko terjadinya rebound phenomenon, pada awal minggu ke 3 ditambahkan aspirin 50-75 mg/kg/hari selama 6 minggu berikutnya. Secara ringkas, indikasi dan dosis pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indikasi dan dosis obat antiradang pada demam rematik Manifestasi Pengobatan

Artritis, dan/atau karditis tanpa Salisilat 100 mg/kg/hari selama 2 minggu, kardiomegali kemudian diturunkan menjadi 75

mg/kg/hari selama 4-6 minggu.

35

Karditis dengan kardiomegali Prednison 2 mg/kg/hari selama 2minggu, atau Gagal jantung kemudian diturunkan 1mg/kg/hari

sampai habis selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kg/hari mulain minggu ke 3 selama 6 minggu.

2.7.1.4 Pengobatan Korea Sydenham. Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering digunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg tiap 8 jam, bergantung kepada respon klinis . Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam.Korea pada umumnya akan sembuh sendiri, meskipun dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai 3 bulan. Obat-obat sedatif, seperti klorpromazin, diazepam, fenobarbital atau haloperidol dilaporkan memberikan hasil yang memuaskan. Perlu diingat, halopenidol sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun.

2.7.1.5 Penanganan Gagal Jantung Gagal jantung pada demam rematik dapat ditangani seperti kasus gagal jantung pada umumnya. Komplikasi ini biasanya dapat diatasi dengan tirah baring dan pemberian kortikosteroid, meskipun seringkali perlu diberikan digitalis, diuretik, atau vasodilator. Digitalis biasanya tidak seefektif pada gagal jantung kongestif akibat kelainan lainnya. Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati-

36

hati karena dapat menambah iritabilitas jantung sehingga dapat menyebabkan aritmia, disamping batas keamanannya yang sempit.

Tatalaksana berdasarkan Taranta dan Markowitz yang telah dimodifikasi 1. Tindakan umum dan tirah baring Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan Aktivitas Artritis Karditis minimal Tirah baring Aktivitas dalam rumah Aktivitas luar rumah Aktivitas penuh Setelah 6-10 Setelah minggu minggu 6-10 Setelah bulan 3-6 bervariatif di 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan 1-2 minggu 1-2 minggu 2-3 minggu 2-3 minggu Karditis sedang 4-6 minggu 4-6 minggu Karditis berat 2-4 bulan 2-3 bulan

2. Pemusnahan streptokok Rekomendasi yang dianjurkan untuk pengobatan faringitis streptokok adalah Benzatin penicillin G, dosis tunggal. Dosis 1,2 juta U i.m. untuk BB>30 kg, dan 600.000 U i.m. bila BB<30 kg. Jika alergi terhadap nenzatin penicillin G : Eritromisin 40mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis dalam 10 hari.. Alternatif lain : Oral penicilin V, 2x250 mg, atau oral sulfadiazin, 1 gr sekali sehari atau oral eritromisi, 2x250 mg 3. Pengobatan anti nyeri dan anti radang Cukup antiinflamasi asetosal saja diberikan pada karditis ringan sampai sedang sedangkan prednison hanya diberikan pada karditis berat. Artritis Karditis Karditis Karditis berat

37

ringan Prednison Aspirin 0 1-2minggu 0 3-4 minggu

sedang 0 6-8 minggu 2-6 minggu 2-4 bulan

Dosis : Prednison Aspirin

: 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis : 100 mg/kGBB/hari dibagi 4-6 dosis

Dosis prednison ditappering off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan aspirin. Setelah minggu ke-2 aspirin diturunkan 60mg/kgBB/hari 2.7.2 Penyakit Jantung Rematik 2.7.2.1 Mitral Stenosis Pada pasien yang bergejala, restriksi dari natrium dilakukan, juga diberikan diuretik oral. Pemberian digitalis sebenarnya tidak ada keuntungan pada pasien dengan mitral stenosis, tetapi pemberian obat ini dapat menurunkan ventricular rate pada pasien dengan atrial fibrilasi. Pemberian beta blocker dan CCB nondihydropyridine (verapamil atau diltiazem) dilakukan, dilakukan pemberian warfarin pada pasien dengan atrial fibrilasi dan riwayat tromboembolisme (Fauci, 2008). Pasien dengan stenosis mitral bermakna, terutama jika terdapat pembesaran atrium kiri yang terlihat dengan ekokardiografi membutuhkan antikoagulasi dengan warfarin, sebab pada pasien dengan fibrilasi atrium karena penyakit jantung rematik terdapat peningkatan risiko stroke akibat tromboemboli sistemik sebesar 15-20 kali

Tabel 2.2 Terapi pada kelainan katup jantung

38

Mitral valve repair

Perbaikan katup ini biasanya dilakukan pada defek kongenital katup, perbaikan katup mitral ini dapat dilakukan dengan cara : a. Commissurotomy, dilakukan pada keadaan katup mitral sangat menyempit,

dimana pembedahan dilakukan dengan memotong bagian commisurae yang mengalami perlengketan. b. Valvuloplasty, dilakukan dengan cara meletakkan cincin disekeliling katup

mitral agar katup mitral dapat menutup dengan sempurna. c. Reshaping, pembedahan dilakukan dengan memotong sebagian katup

mitral yang rusak kemudian melekatkan bagian katup mitral yang masih sehat. Mitral Valvotomy

Jika tidak ada kontraindikasi lain, pasien dengan NYHA Class II-IV yang memiliki mitral stenosis (orifice pada katup mitral < 1.0 cm2/m2 body surface area atau <1.5 cm2 pada dewasa) dapat dilakukan mitral valvotomy. Mitral valvotomy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu PMBV dan valvotomy pembedahan. Pada metode PMBV (percutaneous mitral balloon valvotomy), kateter dimasukkan ke atrium kiri setelah transseptal puncture, lalu balon dimasukkan hingga ke katup, kemudian dikembangkan pada orifice katup. Metode ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas lebih rendah dibanding pembedahan. Angka bertahan hidup pada pasien muda (<45 tahun) sangat baik (80-90%) selama 3-7 tahun (Fauci, 2008).

39

Gambar 2.15 Inoue balloon technique for mitral balloon valvotomy (Fauci, 2008)

a.

Setelah transseptal puncture, balon kateter dimasukkan menyebrangi

interatrial septum, kemudian menyebrang katup mitral menuju ventrikel kiri. b. Balon dikembangkan bertahap pada orifice katup mitral (Fauci, 2008). Pada pasien dengan keadaan PMBV tidak mungkin dilakukan atau tidak berhasil, atau pada pasien dengan restenosis, maka valvotomy dengan cardiopulmonary bypass diperlukan. Dilakukan pembukaan pada commisurae yang melekat, subvalvular fusi dari papillary muscle dan chordae tendineae dilepaskan, juga dilakukan pengangkatan pada deposit kalsium untuk

meningkatkan kembali fungsi katup. Angka mortalitas pembedahan ini mencapai 2%. Kesuksesan dari valvotomy didefinisikan jika terjadi pelebaran katup mitral dua kali dari awal, perbaikan hemodinamik, berkurangnya gejala. Pada pasien dengan sistemik embolisasi atau hipertensi pulmonal yang berat, pasien yang asimtomatik, atau stenosis derajat ringan (area katup mitral >1.5cm2) , valvotomy tidak disarankan. Mitral valve replacement (MVR) MVR ini diperlukan pada pasien dengan orifice katup 1 cm2, pasien dengan NYHA Class III. Angka ketahanan hidup untuk 10 tahun adalah 70%. Penggantian katup mitral dengan prosthesis ini diperlukan pada pasien dengan mitral stenosis dan biasanya telah terjadi juga mitral regurgitasi, atau pada pasien dengan katup mitral yang telah rusak diakibatkan karena transkateter sebelumnya atau operasi sebelumnya. Angka mortalitas MVR berhubungan dengan usia, fungsi ventrikel kiri, ada tidaknya CAD. Prognosis menjadi lebih buruk pada pasien usia tua, cardiac output menurun pada perioperatif, hipertensi pulmonal, disfungsi ventrikel kanan (Fauci, 2008). Mortalitas dini penggantian katup mitral sebesar 6-8% dengan mortalitas lanjut berkaitan dengan katup sebesar 3-5% per tahun, angka ini tidak berhubungan dengan jenis katup. Komplikasi tromboemboli dengan katup mekanik terjadi dengan laju 3-5% per pasien per tahun follow up

40

Gambar 2.16 Penggantian katup mitral mekanik (Fauci, 2008)

Bagan 2.1 Terapi stenosis mitral

Keterangan : PMBV : percutaneous mitral balloon valvotomy


41

MVA : mitral valve area MVG : mean mitral valve pressure gradient PASP : pulmonary artery systolic pressure PAWP : pulmonary artery wedge pressure

2.7.2.2 Mitral Regurgitasi

Penatalaksanaan a. Medikamentosa

Warfarin dapat diberikan bila terdapat atrial fibrilasi dengan target INR 2-3. Kardioversi dapat dilakukan dengan defibrilator ataupun obat-obatan anti aritmia. Bila terdapat tanda-tanda kegagalan jantung dapat digunakan diuretik, -blockers, ACE inhibitors ataupun digitalis. b. Terapi pembedahan

Pembedahan pada pasien dengan regurgitasi katup mitral kronik yang berat dapat dibedakan antara rekontruksi perbaikan (repair) katup dan penggantian (replacement) katup. Rekonstruksi katup menggunakan teknik valvuloplasti untuk memperbaiki katup yang bermasalah dengan menginsersikan cincin annuloplasty, rekontruksi katup memberikan efek samping jangka panjang seperti tromboemboli dan perdarahan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggantian katup.

Indikasi dilakukannya pembedahan katup mitral adalah adanya NYHA kelas III dan IV, atrial fibrilasi yang sering berulang, hipertensi pulmonal (tekanan arteri pulmonaris 50 mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat beraktivitas). Juga pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang progresif dangan LVEF kurang dari 60% dan atau end-systolic cavity dimension pada echocardiography meningkat sekitar 40mm. Umumnya valvuloplasty pada pasien berusia kurang dari 75 tahun

42

tanpa penyakit penyerta berhasil baik, dengan angka kematian saat operasi kurang dari 1% (Fauci, 2008).

Gambar 2.17 Mitral Regurgitation (www.heart-valve-surgery.com)

Bagan 2.2 Terapi regurgitasi mitral

43

(Fauci, 2008) Keterangan: MV : mitral valve HT LV : hypertension : left ventricular

MVR : mitral valve replacement EF : ejection fraction

ESD : end-systolic dimension

2.7.2.3. Stenosis aorta Terapi medikamentosa Pada pasien dengan stenosis berat, harus dilakukan pembatasan aktivitas berat, pencegahan dehidrasi dan hipovolemia untuk mencegah penurunan cardiac output (CO). Terapi farmakologis yang digunakan sama seperti untuk pengobatan hipertensi atau CAD, yaitu beta bloker, ACE inhibitor, aman untuk pasien asimtomatis dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik. Nitrogliserin membantu meredakan angina pektoris. Terapi pembedahan Pasien asimtomatis dengan stenosis dan obstruksi berat harus dimonitor perkembangan gejalanya dengan elektrokardiogram serial untuk memonitor fungsi ventrikel kiri. Operasi diindikasikan pada : pasien dengan stenosis berat (< 1 cm2) yang simtomatis, yang mengalami

disfungsi ventrikel kiri (ejeksi fraksi , 50%) aneurisma atau dilatasi aorta walaupun asimtomatis pasien dengan gagal jantung, angina, dan sinkop eksersional dengan

stenosis yang signifikan (Fauci, 2008). Penggantian katup aorta diindikasikan pada : perempuan usia reproduksi / manula (>70 tahun) dimana penggunaan

antikoagulan tidak diinginkan. Valvuloplasti aorta balon : pasien simtomatik dengan kondisi mengancam nyawa lain seperti

karsinoma.

44

Bagan 2.3 Terapi stenosis aorta Keterangan: AVA : aortic valve area BP LV : blood pressure : left ventricle

CABG : coronary artery bypass graft

Vmax : maximal velocity across aortic valve by Doppler echocardiography

2.7.2.4 Regurgitasi aorta Penatalaksanaan Pasien asimtomatik dengan regurgutasi aorta ringan : diperiksa ulang setiap 6 atau 12 bulan dengan ekokardiografi serial. Pembesaran ventrikel kiri dengan atau tanpa penurunan fungsi ventrikel perlu pembedahan. Pengobatan pada regurgitasi aorta akut dapat dilakukan dengan pemberian diuretic intravena dan vasodilator (seperti sodium nitropruside), tetapi stabilisasi dengan pengobatan seperti ini hanya sebentar saja, pembedahan diindikasikan. Tekanan darah perlu dijaga (target tekanan darah <140 mmHg) pada pasien dengan kronik regurgitasi aorta, pemberian vasodilator merupakan pilihan pertama sebagai antihipertensi. Menjaga tekanan darah tetap normal termasuk sulit, sebab pada pasien biasanya terjadi peningkatan dari stroke volume.

45

Terapi pembedahan Untuk memutuskan kapan dilakukan pembedahan pada pasien dengan aorta regurgitasi, perlu diingat 2 hal, yaitu : pasien dengan kronik AR biasanya tidak menunjukkan gejala sampai didapatkan disfungsi miokardial dan pada pasien dengan kelainan yang lama (lebih dari 1 tahun dari onset gejala atau disfungsi ventrikel kiri) dilakukannya pembedahan tidak akan mengembalikan fungsi dari ventrikel kiri ke normal.

Pembedahan pada keadaan aorta regurgitasi dilakukan pada pasien dengan aorta regurgitasi berat, LVEF <50%, LV end systolic >55mm atau end-systolic volume >55 mL/m2. Pasien dengan aorta regurgitasi berat tetapi tanpa indikasi operasi harus dilakukan follow up secara klinis dan echocardiographic setiap 3-12 bulan. Penggantian katup aorta mekanik secara umum diperlukan pada aorta regurgitasi akibat rematik. Pada keadaan kelainan katup, tindakan risiko dari tindakan operasi ini tergantung pada staging penyakitnya dan fungsi miokardium saat dilakukan operasi. Dari keseluruhan operasi, angka kematian saa AVR sekitar 3%. Pasien dengan pembesaran jantung dan disfungsi ventrikel kiri angka kematiannya mencapai 10%, sedangkan angka kematian lambat terjadi sekitar 5% per tahun akibat kegagalan ventrikel kiri walaupun operasi telah sukses dilakukan. Karena prognosis yang buruk, maka pemilihan terapi pembedahan sebenarnya hanya merupakan lifesaving.

46

Bagan 2.4 Terapi aorta regurgitasi Keterangan: RVG : radionuclide ventriculography MRI : magnetic resonance imaging AVR : aortic valve replacement EF : ejection fraction 2.8 Pencegahan Pencegahan Pencegahan demam rematik meliputi pencegahan primer (primary prevention) untuk mencegah terjadinya serangan awal demam rematik dan pencegahan sekunder (secondary prevention) nuntuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik. DD : end-diastolic dimension; SD : end-systolic dimension

47

a.

Primary prevention: eradikasi Streptococcus dari pharynx dengan

menggunakan benzathine peniciline single dose IM. b. Secondary prevention: AHA menyarankan pemberian 1,2 juta unit

benzathine peniciline setiap 4 minggu, atau setiap 3 minggu untuk pasien berisiko tinggi (pasien dengan penyakit jantung atau berisiko mengalami infeksi ulangan). c. Pemberian profilaksis secara oral dapat berupa penisilin V, namun efek

terapinya tidak sebaik benzathine penisilin. d. AHA merekomendasikan pengobatan profilaksis selama minimal 10

tahun. Penghentian pemberian obat profilaksis bila penderita berusia di sekitar dekade ke 3 dan melewati 5 tahun terakhir tanpa serangan demam rematik akut.Namun pada penderita dengan risiko kontak tinggi dengan Sterptococcus maka pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan untuk seumur hidup ( Meador, 2009; Abdulah Siregar, 2008 ).

2.9. Prognosis. Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat diagnosis ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak. Serangan ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun.

48

BAB III KESIMPULAN

Adapun kesimpulan pada referat ini adalah : 3.1 Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. 3.2 Pada penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan tertariknya korda tendineae). Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis. 3.3 Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala minor. 3.4 Penatalaksanaan pada demam rematik maupun penyakit jantung rematik antara lain tirah baring, eradikasi streptokokus, pemberian obat antiinflamasi, pencegahan primer dan sekunder serta tindakan operatif pada kelainan katup.

49

You might also like