You are on page 1of 50

BAB I PENDAHULUAN TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu TOxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil, dimana pada infeksi maternal biasanya asimptomatik dan berlalu tanpa diketahui. Tapi, akibatnya pada janin bervariasi mulai, dari tanpa gejala sampai gejala yang berat atau bahkan menyebabkan kematian, atau ditemui anak yang bertahan hidup dengan gejala-gejala yang terkait dengan otak, paruparu, mata, dan telinga Kini, diagnosis untuk penyakit infeksi telah berkembang antar lain ke arah pemeriksaan secara imunologis. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik terhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman). Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG)A. Saat ini, tindakan pencegahan terhadap infeksi ini dimulai dengan perhatian pada kekebalan ibu. Program-program pencegahan ini meliputi strategi imunisasi, pemeriksaan laboratorium untuk uji saring ibu atau bayi, dan pengobatan yang dini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. INFEKSI TOXOPLASMA GONDII PADA KEHAMILAN 1. Definisi Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan biasa menyerang binatang menyusui, burung, dan manusia. 2. Epidemiologi Data yang ada menunjukkan toksoplasmosis merupakan infeksi parasit yang djumpai di seluruh dunia, namun dengan angka sero-positif yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan angka seropositif ini menjadikan perbedaan pendekatan perlu tidak-nya dilakukan skrining serologi terhadap ibu hamil. Jika suatu daerah mempunyai angka seropositif tinggi maka dapat dikategorikan daerah tesebut relatif transmisi infeksinya tinggi dengan "kekebalan" yang telah terbentuk juga tinggi, serta jumlah orang yang kemungkinan untuk mendapat infeksi primer baru relatif lebih sedikit. Dan sebaliknya jika angka seropositif suatu daerah rendah maka kemungkinannya adalah daerah tersebut tidak endemis, sehingga masih banyak orang yang belum terpapar oleh toksoplasma. Maka pada daerah yang seropositifnya tinggi, jika ingin melakukan program skrining, dibutuhkan upaya yang sangat besar untuk mendapatkan populasi yang mengalami infeksi primer apalagi pada ibu hamil. Jika dilakukan juga skrining pada daerah ini maka tujuan utamanya adalah terapi. Sedangkan pada daerah yang seropositifnya rendah maka jika dilakukan skrining tujuan utamanya adalah pencegahan, baik dengan kampanye higiene maupun vaksinasi jika vaksinnya sudah ada pada populasi seronegatif. Masalahnya sampai saat ini di Jakarta saja belum ada data resmi tentang epidemiologi serologi toksoplasmosis, apalagi untuk Indonesia.

Ditambah lagi belum adanya data mengenai angka serokonversi pada ibu hamil dan dampaknya pada bayi yang dilahirkan di Indonesia. Sebagai ilustrasi pada tabel 1 disajikan beberapa angka kejadian toksoplasmosis pada kehamilan: Table 1. Frekuensi toksoplasmosis dalam kehamilan Lokasi Frekuensi toksoplasmosis pada kehamilan per 1000 kelahiran Birmingham, Alabama Melbourne, Australia Belgia Brussels, Geneva, Switzerland Karvina, Czechoslovakia Paris, Perancis London, UK 3. Transmisi Yang dimaksud dengan transmisi adalah penularan toksoplasma. Toksoplasmosis terjadi akibat salah satu atau ketiga stadia toksoplasma masuk kedalam tubuh manusia : yaitu kista dalam jaringan, takizoit, maupun bradizoit. Sebagian besar penularan toksoplasma pada manusia terjadi akibat makan makanan yang dimasak kurang matang atau mentah atau akibat tercemarnya air minum oleh kotoran hewan yang mengandung oosit toksoplasma, seperti yang terjadi pada saat banjir di Canada. Dari penelitian yang ada; daging sapi, domba dan sebagian kecil daging babi; demikian juga sayuran yang tercemar kotoran hewan dapat menjadi media penularan toksoplasma. Penularan manusia ke manusia hanya terjadi pada kehamilan (ibu ke janin). Hingga saat ini belum ada laporan mengenai penularan melalui air susu ibu. Sedangkan dari air 0.6 5 14.3 9 3.2 16 Data(-) Perkiraan prevalensi toksoplasmosis kongenital per 1000 kelahiran 0.12 2 2 3.5 1.6 Data (-) 0.07-0.25

susu domba maupun sapi yang tidak dipasteurisasi dapat menularkan toksoplasma. Donor darah juga pernah dilaporkan dapat menularkan toksoplasma, karena sporozoit toksoplasma dapat bertahan hingga 50 hari dalam darah sitrat pada suhu 4 C. Jika seorang wanita hamil mengalami toksoplasmosis dalam kehamilannya maka kemungkinan untuk terjadinya transmisi toksoplasmosis pada janinnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Insidens toksoplasmosis kongenital sesuai dengan usia kehamilan saat infeksi . Usia kehamilan (minggu) 0-2 3-6 7-10 11-14 15-18 19-22 23-26 27-30 31-34 Tidak diketahui Total 8/351 194/2632 (7.4) Jumlah janin terinfeksi/ Total Janin (%) 0/100 (0) 6/384 (1.60) 9/503 (1.8) 37/511 (7.2) 49/392 (13) 44/237 (19) 30/116 (26) 7/32 (22) 4/6 (67)

Sedangkan bila ibu menderita infeksi baru (primer) toksoplasmosis dalam kehamilan maka kemungkinan janinnya mengalami defek dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Luaran toksoplasmosis pada kehamilan Kejadian toksoplasmosis % L uaran Toksoplasmosis kongenital Subklinis . Klinis tampak Kematian perinatal atau IUFD Dari penelitian yang dikerjakan di Eropa; terapi pada ibu harmil yang mengalami serokonversi ternyata tidak menurunkan angka transmisinya namun hanya menurunkan kejadian cacat yang di timbulkan pada masa neonatus. 4. Manifestasi Klinis Wanita hamil yang mengalami infeksi toksoplasma pada umumnya tidak menunjukan gejala yang khas; sebagian kecil menunjukkan gejala menyerupai infeksi mononukleosis, flu like syndrome ataupun pembesaran kelenjar getah bening leher unilateral. Sedangkan janin yang terinfeksi dapat tanpa gejala sama sekali, atau dijumpai tanda-tanda hydrocephalus, hyperechoic bowel, pertumbuhan janin terhambat, Pada neonatus dapat tanpa gejala dan tanda atau dengan tandatanda, ikterus, juling, tuli, anemia, kalsifikasi di otak, hidrosefalus, ensephalitis, pneumonitis, epilepsi, retardasi mental, trombositopenia hipotermia, dan diare maupun beberapa kondisi non spesifik. Kondisikondisi di atas sebenarnya sulit dibedakan dengan keadaan yang ditimbulkan oleh sifilis, rubella, cytomegalovirus maupun herpes simpleks. 5. USG Prenatal Temuan pemeriksaan USG prenatal pada daerah intrakranial adalah kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, atrofi otak dan hidranencefali. Trimester 1 9.0 22.2 77.8 5.0 Trimester 2 Trimester 3 27.0 59.0 74.4 89.8

15.6 10.2 2.0 0

Kelainan yang terbanyak ditemukan adalah hidrosefalus (74%), diikuti oleh kalsifikasi intrakranial (18%). Hidrosefali bersifat bilateral dan simetris, kelainan ini terbentuk sangat cepat dan sering tidak menyebabkan perubahan BPD. Kalsifikasi intrakranial dapat ditemukan multifokal seperti di basal ganglia, periventrikuler, white matter dan korteks serebri. Tidak seperti pada CMV dimana kalsifikasi periventrikuler merupakan gambaran khas pada CMV. Pada pemeriksaan USG prenatal juga dapat ditemukan penebalan plasenta dengan area hiperekhoik, hepatomegali dengan peningkatan ekhogenitas, asites, efusi perikardial atau pleural. 6. Diagnosis Diagnosis toksoplasmosis pada umumnya menggunakan pemeriksaan serologi dengan ELISA, jarang sekali menggunakan inokulasi mencit, deteksi toksoplasma pada cairan tubuh maupun jaringan. Pemeriksaan serologi ELISA dipilih karena mudah, dapat dikerjakan dimanapun, tersedia kit komersial dan waktu pengerjaan yang relatif singkat (4 sampai 6 jam). Kelemahan pemeriksaan serologi ELISA adalah: a. Satu kali pemeriksaan tidak dapat menyatakan infeksi kecuali dengan tambahan pemeriksaan aviditas IgG. b. Untuk IgM toksoplasma, spesifisitasnya masih rendah. Dari penelitian di Amerika Serikat terhadap 6 kit komersial yang tersedia didapatkan spesifisitasnya berkisar antara 77,5% hingga 99,1% dan sensitivitasnya 93,3 % hingga 100%. c. Anti toksoplasma IgM dapat bertahan hingga bertahuntahun sehingga bila anti toksoplasma IgM positif tidak selalu menunjukkan infeksi akut. d. Anti toksoplasma IgG tidak menandakan adanya

kekebalan, karena pada kadar anti toksoplasma IgG tinggi masih dapat terjadi reinfeksi, maupun reaktivasi. Adanya anti toksoplasma IgG yang positif tidak menjamin tidak adanya atau adanya kista toksoplasma. lgG(+) dan IgM(-) menunjukkan infeksi lama atau dolent (kista yang non aktif). Hal itu menunjukkan tidak memerlukan terapi. Reaktivasi dapat terjadi bila IgG meningkat kadarnya lebih dari 2 kali. e. Sampai hari ini belum ada satu kit komersial-pun yang mengandung antibodi komponen protein SAG (Surface Antigen), ROP (Rhoptry), GRA (Dense Granule), sehingga f. Pada saat tidak dapat mendeteksi toksoplasma keberadaan membentuk toksoplasma pada masing-masing fase siklus hidupnya. replikasi paravakuola yang lapisan luarnya merupakan protein inang dan menggunakan sumber energi (mitokhondria) sebagian besar dari inang; sehingga sulit terdeteksi oleh antibodi kecuali pada saat kotoran toksoplasma baik akibat replikasi maupun nanti saat bradizoit hendak menjadi sporozoit dikeluarkan dari paravakuola. Saat ini mulai dikenal pemeriksaan PCR untuk mendeteksi Toksoplasma. Namun pemeriksaan PCR ini juga mempunyai kelemahan yaitu: a. Belum ada primer yang komersial b. Regio mana yang akan diamplifikasi masih menjadi perdebatan c. Tidak dapat membedakan apakah toksoplasmanya hidup atau mati, dan jika hidup pada fase mana (taki, bradi atau sporozoit). Untuk hidup matinya dapat digunakan lightcycler namun jumlah parasitnya tidak dapat ditentukan (parasit load)

d. Pemeriksaan ini sangat mahal (untuk ukuran Indonesia) dan tidak semua laboratorium dapat mengerjakan rutin. Deteksi toksoplasmosis kongenital dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan cairan amnion, yang kemudian dilakukan inokulasi pada mencit atau dideteksi dengan pemeriksaan PCR. Apabila toksoplasma terdeteksi pada cairan amnion namun tidak terdeteksi kelainan struktur janin pada pemeriksaan ultrasonografi maka tindakan yang harus dikerjakan selanjutnya menjadi dilema. Perlu diketahui bahwa kemampuan ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan akibat toksoplasmosis hanya sekitar 5%. Karena ada bayi dengan toksoplasmosis yang hingga dewasa tidak mengalami kelainan. Sedangkan pengobatan pada janin relatif sulit karena adanya obat-obatan yang relatif aman dan telah digunakan selama puluhan tahun tanpa dampak teratogenik namun tidak dapat menembus sawar plasenta (yaitu Spiramisin). Inokulasi pada mencit masih merupakan baku emas pemastian toksoplasmosis namun karena sulit dan hanya dapat dikerjakan di laboratorium tertentu serta butuh waktu lama (kurang lebih tiga minggu); maka pemeriksaan ini relatif hanya dikerjakan untuk penelitian saja. 7. Pencegahan a. Pencegahan primer Mungkinkah toksoplasmosis pada ibu hamil dicegah ? Dari penelitian yang dikerjakan Foulon di Belgia ternyata kampanye pendidikan masyarakat yang intensif dapat mengurangi 63% angka serokonversi. Adapun pendidikan pada masyarakat ini adalah: 1) Tidak makan daging kecuali matang. Tidak minum susu kecuali telah dipasteurisasi. 2) Hindari menyentuh mata dan mulut pada saat mengolah

daging mentah. Setelah mengolah daging mentah maka wajib melakukan cuci tangan dengan sabun. 3) Hindari kontak dengan kotoran kucing atau kontaminannya (misalnya saat berkebun). b. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan skrining serologi pada ibu hamil di awal kehamilannya. Namun upaya ini sangat mahal dan interpertasi yang relatif sulit (seperti dijelaskan di atas), Perlu dilakukannya skrining atau tidak pada kehamilan muda memang menjadi perdebatan. Sampai saat ini baru Austria dan Perancis yang melakukan kebijakan skrining nasional untuk mendeteksi adanya infeksi toksoplasma pada ibu hamil. Pakar yang menganjurkan skrining pada ibu hamil memberi argumentasi bahwa angka kejadian toksoplasmosis kongenital relatif sama dengan angka kejadian sindroma Down, PKU (Phenyl ketonuria) ataupun hipo-tiroidisme kongenital, padahal pada toksoplasma kongenital tersedia pengobatan dan tidak memerlukan pengobatan seumur hidup. Sedangkan permasalahan yang dihadapi bila terjadi toksoplasmosis kongenital relatif cukup berarti yaitu hidrosefalus, retinis khoroidalis, hepatitis dsb. Sedangkan pakar yang tidak menyetujui skrining toksoplasma pada ibu hamil berpendapat bahwa biaya skrining mahal, kejadian serokonversi kecil, dampak yang terlihat tidak pasti (variasi klinis toksoplasmosis kongenital yang beragam) dan yang terpenting adalah pemastian diagnosisnya yang masih menjadi perdebatan.

8. Pengobatan Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan toksoplasmosis dapat dibagi dajam 2 golongan menurut mekanisme kerjanya :

a. Penghambat sintesis protein mikroba, yaitu: spiramisin, klindamisin, roksitromisin, klaritromisin dan azitromisin. b. Penghambat enzim dihidrofolat reduktase, yaitu: pirimetamin dan trimetoprim. Pada umumnya pengobatan toksoplasmosis pada kehamilan bermanfaat untuk mengurangi cacat pada janin. Penggunaan obat harus dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan terutama pada awal kehamilan (Foulon dkk, 1999). Obat yang digunakan pada toksoplasmosis pada masa kehamilan ialah: a. Spiramisin: Ini merupakan obat yang tersering digunakan pada toksoplamosis pada kehamilan karena: Mencapai kadar yang tinggi di plasenta Termasuk antibiotika yang relatif aman untuk wanita hamil dan janin. Hanya sedikit obat yang menembus plasenta dan masuk ke janin. Efek samping lainnya relatif ringan Berbagai uji klinik menunjukkan bahwa obat ini efektif untuk mencegah kelainan pada janin bila diberikan dalam 20 minggu pertama kehamilan. Infeksi akut pada masa kehamilan diobati dengan spiramisin 3 kali 1 g sehari. Bila janin tidak terkena infeksi, dianjurkan memberikan obat ini sepanjang kehamilan dengan dosis 3 g sehari sepanjang kehamilan. Pemberian spiramisin terus menerus ini diperlukan untuk, membunuh toksoplasma di plasenta sepanjang kehamilan. Pengobatan dengan spiramisin ini dilaporkan mengurangi transmisi toksoplasma melalui plasenta sebanyak 70%. Spiramisin kurang toksik namun juga kurang efektif terhadap toksoplasmosis dibandingkan dengan kombinasi pirimetamin-sulfonarfiid. Obat ini bekerja dengan menghambat

sintesis protein protozoa atau kuman. dihubungkan dengan penggunaan

Efek samping yang ialah keluhan

spiramisin

gangguan saluran cerna dan erupsi kulit yang bersifat sementara. Beberapa obat lain yang dapat digunakan untuk toksoplasmosis ialah klindamisin, roksitromisin, klaritromisin, azitromisin, dan atovakuon. Di Eropa (2003) saat ini sedang ada penelitian pemberian azitromisin 500 mg atau klindamisin 3 X 300 mg per hari selama 5 hari per minggu, empat minggu per bulan hingga kehamilan 16 minggu; jika amniosintesis negatif maka pengobat- an dihentikan. Sedangkan bila amniosintesis positif toksoplasma maka pengobatan diteruskan atau diganti dengan pirimetamin dan sulfonamida. Idealnya dilakukan pemantauan PCR ulang setelah pengobatan selama 1 bulan. Permasalahan penggunaan klindamisin, azithromisin dan pirimetamin yang menembus sawar plasenta dan menembus sawar otak ibu dan janin adalah: akibat lamanya pemberian maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi obat di cairan amnion. Dampak akumulasi ini sampai sekarang belum ada penelitian yang mengevaluasinya. b. Kombinasi pirimetamin dan sulfonamida. Kombinasi obat ini dianggap memberikan hash yang memuaskan, namun baru dapat diberikan pada minggu ke 16 kehamilan karena pirimetamin menimbulkan efek teratogenik pada hewan coba. Ada 2 rejimen pemberian kombinasi yaitu: Pirimetamine (2x50 mg) + sulfadiazine (4 g/hari) + kalsium folinat (50 mg/minggu) dalam 2 hari I, dilanjutkan 50 mg pirimetamine perhari + 1 g sulfadiazine perhari + kalsium folinat 50 mg/minggu 2 tab Fansidar perhari + 50 mg kalsium folinat/minggu. Ada penulis yang menganjurkan pemberian spiramisin

11

sebelum kehamilan mencapai umur 20 minggu dan setelah itu baru dilanjutkan dengan kombinasi perimetamin + sulfadiazine + kalsium folimat selama 4 minggu. Sulfonamida bersaing dengan PABA dalam proses sintesis folat. Efek samping yang dihubungkan dengan sulfonamida ialah sindroma Stevens Johnson, sindroma Lyell (toxic epidermal necrolysis), eritema multiforme, berbagai manifestasi reaksi alergi, dan kristaluria pada ibu. Pada bayi dapat terjadi ikterus akibat sulfonamida yang diberikan pada akhir masa kehamilan. Sulfonamida tidak boleh diberikan pada penderita dengan defisiensi enzim G6PD, dan hams diberikan dengan hati-hati pada penderita dengan gangguan faal ginjal dan/ atau hati. Pirimetamin sebagai obat tunggal tidak tersedia di Indonesia (yang ada hanya dalam bentuk kombinasi tetap pirimetaminsulfadoksin) sehingga rejimen ini tidak dapat digunakan pada saat ini. Pirimetamin bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase pada protozoa. Mielotoksisitas pada ibu dipantau dengan memeriksa darah tepi (kadar hemoglobin, hitung leukosit dan hitung trombosit) untuk mengetahui apakah timbul anemia megaloblastik, agranulositosis dan trombositopenia. Pemeriksaan ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Kelainan hematologik ini juga harus dicurigai bila selama pengobatan timbul gejala klinik berupa kemerahan kulit, sakit tenggorok, purpura, dan glositis. Pirimetamin bersifat teratogenik pada hewan coba, sehingga manfaat-risiko penggunaannya pada wanita hamil harus dipertimbangkan dengan baik. Obat ini tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan. US FDA menggolongkan pirimetamin dalam kategori C dari segi keamanan untuk wanita hamil. 9. Toksoplasmosis kongenital Remington et al berpendapat bahwa pemberian obat akan ber-

manfaat mencegah sekuele pada neonatus dengan infeksi kongenital baik yang memperlihatkan kelainan maupun yang lahir asimtomatik. Menurut McCabe pengobatan oral untuk neonatus dengan toksoplasmosis kongenital adalah : Pirimetamin 1 mg/kg sekali setiap 2 hari + sulfadiazine atau trisulfapirimidin 100 mg/kgBB/hari (dibagi dalam 2 dosis) + asam folinat 5. mg selang sehari. Dua kali seminggu harus dilakukan pemantauan hitung eritrosit, leukosit, dan trombosit. Spiramisin 100 mg/kgBB/hari (dibagi dalam 2-3 dosis). Rejimen ini dapat diberikan terus menerus atau diberikan selama 6 minggu lalu diselang-seling dengan pemberian pirimetamin + sulfadiazine selama 3 minggu. Kortikosteroid (misalnya prednison 1-2 mg/kgBB/hari) dapat ditambahkan untuk bayi yang memperlihatkan gejala korioretinitis akut pada makula. Neonatus yang tampak sehat waktu lahir namun dicurigai terjangkit toksoplasmosis kongenital harus segera diberikan pirimetamin + sulfadiazine selama 21 hari, dilanjutkan dengan spiramisin saja atau sulfadiazine saja sampai diagnosis dapat dipastikan. Bila pemeriksaan serologik menunjukkan adanya infeksi namun tidak ada gejala klinik, terapi diteruskan selama minimal 6 bulan. Bila ada gejala klinik, terapi diteruskan hingga 1 tahun. Bila tidak ada gejala klinik, dapat juga dipertimbangkan rejimen profilaksis lain berupa spiramisin 100-125 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 2-3 dosis dan diberikan sampai dengan umur 2 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pirimetamin kgBB sehari + sulfadoksin 500 mg/20 kgBB + kalsium berumur 3-15 bulan, atau Spiramisin 50 mg/kg BB dua kali yang diberikan pada bayi berumur 1-5 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan pirimetamin 0.525 mg/20 folinat (= bayi

kalsium leukovorin) 50 mg/ minggu yang diberikan pada

13

1 mg/kgBB dua kali seminggu + sulfadiazine 50-100 mg/kgBB dua kali sehari + kalsium folinat 5 mg parenteral dua kali seminggu yang diberikan pada umur 6-8 minggu. Pemberian profilaksis diteruskan sampai terjadi penurunan hasil uji serologi (sebanyak 8-80 ILJ/ml). 10. Rekomendasi dan Konsensus a. Perlu dilakukan pencegahan primer toksoplasmosis kongenital dengan penyuluhan masyarakat berupa: Tidak makan daging kecuali matang. Tidak minum susu kecuali telah dipasteurisasi. Hindari menyentuh mata, mulut pada saat mengolah daging mentah. Setelah mengolah daging mentah maka wajib melakukan cuci tangan dengan sabun. Hindari kontak dengan kotoran kucing atau kontaminannya (misalnya saat berkebun). Sayuran harus dicuci atau dimasak. b. Skrining rutin pada ibu hamil tidak dianjurkan, pemeriksaan dilakukan pada mereka yang berisiko tinggi. Bila ditemukan serokonversi anti toksoplasma (IgG dan IgM) untuk pertimbangan pemberian antimikroba. Antimikroba (spiramisin atau azitromisin) hanya diberikan bila terbukti ada serokonversi pada kehamilan. B. INFEKSI VIRUS RUBELLA PADA KEHAMILAN 1. Definisi Rubella merupakan togavirus dengan untaian tunggal RNA pada intinya. Vaksin rubella berasal dari virus hidup yang dilemahkan dan disahkan pada tahun 1969. Bahaya terbesar virus rubella adalah infeksi

saat kehamilan, yang dapat mengakibatkan sindroma rubella kongenital (congenital rubella syndrome/CRS) pada bayi baru lahir. Sebelum adanya vaksin, ribuan kasus CRS dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat. dilaporkan Vaksin hanya yang 2 diberikan kasus CRS sangat pada bermanfaat, setiap sehingga CRS tahunnya.

merupakan bentuk kegagalan dalam melakukan imunisasi pada wanita yang merencanakan hamil. 2. Epidemiologi Manusia diketahui sebagai satu-satunya tuan rumah alamiah dari virus rubella. Penularan virus melalui inhalasi droplet yang berasal dari saluran nafas penderita. Paparan sekali-sekali terhadap penderita relatif kurang efektif untuk menularkan penyakit, dan secara umum dibutuhkan kontakjangka panjang. Masa inkubasi dalam tubuh 14-21 hari (rerata 16 hari). Virus dapat ditemukan pada sekret nasofaringeal sejak 13 hari sebelum sampai dengan 21 hari setelah timbulnya ruam. Dalam masa ini penyakit dapat ditularkan penderita kepada orang lain. Pasien dengan infeksi atipikal atau subklinik dapat menyebarkan virus. Walaupun secara umum dianggap sebagai penyakit anak, rubella tidak terlalu menular, dan sering kali anak-anak terhindar dari penyakit. Di Amerika Serikat, usaha imunisasi secara intensif telah mengurangi remaja yang rentan. Letupan kejadian rubella pada umumnya bersifat lokal di kampus, rumah sakit, penjara dan instalasi militer. Rubella cenderung endemik pada negara-negara industri. Epidemi yang luas dapat terjadi pada siklus 6-9 tahun, namun imunisasi masal dapat mengurangi siklus tersebut pada banyak negara. Tidak tersedia data tentang karakteristik penyakit ini di daerah tropis dan daerah dengan penduduk yang jarang. 3. Patofisiologi

15

Rubella adalah suatu penyakit penafasan yang berkembang 2 sampai 3 minggu setelah terinfeksi oleh virus toga dengan untaian tunggal RNA. Infeksi virus umumnya ditemukan pada nasofaringeal dan saluran atas pernafasan 1 minggu sebelum berkembangnya gejala penyakit. Timbulnya penyakit ditandai oleh munculnya ruam makulopapular merah jambu pada muka, leher, kepala, dada, dan ekstremitas dalam waktu 3 hari. Beberapa gejala lain yang dapat ditemukan adalah limfadenopati postaurikular dan suboksipital, demam, dan sakit pada persendian. Dua puluh lima sampai 50% dari seluruh infeksi rubella umumnya adalah infeksi subklinik. Sebaliknya, ruam pada kulit yang dijumpai pada penderita rubella dapat juga disebabkan oleh adenovirus, enterovirus, dan infeksi oleh virus pernafasan lainnya. Tes laboratorium dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis. Pada tahun 1944, Gregg seorang oftalmologis berkebangsaan Australia mengasosiasikan penyakit katarak pada anak-anak dengan epidemi infeksi maternal rubella. Penelitian jangka panjang pada anakanak yang dilahirkan di Amerika Serikat ketika epidemi rubella berlangsung menunjukkan adanya sindroma kongenital rubella. Mata, jantung, dan sistim syaraf mudah terpengaruh pada saat kelahiran. Masalah oftalmologi yang paling sering diderita adalah katarak, glaukoma, mikroptalmia, dan korioretinitis. Manifestasi penyakit jantung termasuk stenosis pada saluran nafas perifer, patent duktus arteriosus (PDA), dan kerusakan pada sekat (septal). Keterbeiakangan mental, mikrosefali, dan yang jarang terjadi ensefalitis adalah efek penyakit rubella pada sistim syaraf. Gangguan pendengaran (tuli) merupakan konsekuensi penyakit rubella yang paling sering terjadi. Efek langsung rubella adalah menurunnya replikasi sel yang berakibat terhambatnya pertumbuhan sel dan terganggunya proses diferensiasi sel pada waktu embriogenesis. Reaksi inflamasi terhadap infeksi atau reaksi autoimunitas mengakibatkan kerusakan jaringan dan

proses ini dapat menyebabkan miokarditis, pneumonitis, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali), dan stenosis vaskuler. Manifestasi infeksi akhir yang dialami oleh sekitar 20% pen-derita, seperti endokrinopati (insulin dependent diabetes, tiroid abnormal, hipoadrenalisme), gangguan pendengaran atau kerusakan okular dan panensefalitis rubella progresif yang jarang terjadi, ber-kembang pada usia 10-20 tahun. Penelitian membuktikan bahwa infeksi fetus pada trimester pertama dapat mengakibatkan kerusakan kongenital pada 50-80% kasus. Infeksi pada trimester II pada 25% kasus dapat berakibat hilangnya pendengaran (tuli) dan keterbelakangan mental sedangkan infeksi pada trimester ketiga umumnya tidak mengakibatkan kerusakan struktural. Tidak adanya manifestasi klinis rubella pada waktu lahir tidak meniada-kan kemungkinan adanya kerusakan subklinis atau kerusakan lanjutan. Sehingga anak dari wanita yang terinfeksi rubella pada masa hamil perlu dipantau dalam jangka panjang untuk melihat adanya sekuele. 4. Diagnosis Klinis Rubella secara umum dikenal dengan nama Campak Jerman (German Measles) atau campak 3 hari (3-day measles). Gambaran klinis rubella sulit untuk dibedakan dari penyakit virus lainnya seperti mononukleosis infeksiosa, infeksi echovirus, dan infeksi coxsackie-virus, walaupun artritis lebih dominan pada rubella. Diagnosis defintif hanya melalui isolasi virus atau secara serologi. Gejala berupa demam dan kelemahan ringan, sakit kepala, mialgia, pilek, poliartritis (25% dari kasus dewasa), limfadenopati (posterior cervical, postauricular), eritema palatum dan tenggorok terjadi pada kasus yang disebut Forchheimers sign, ruam makulopapular merah jambu dengan diameter 1- 4 mm pada muka, leher, kepala, dada, ekstremitas yang timbul dengan cepat (2-3 hari untuk setiap area). Komplikasi jarang terjadi pada rubella. Bila didapatkan hanya

17

gejala artritis! dan yang lebih jarang lagi gejala trombositopenia dan encephalitis. Komplikasi yang sering terjadi yaitu pada kehamilan yang disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS). 5. USG prenatal Temuan biasanya berupa mikrosefali, kista subependimal di nukleus kaudatus, Daerah striotalamik dan fokus ekhogenik di basal ganglia. 6. Diagnosis Pemeriksaan laboratorium penting untuk konfirmasi pada kasus-kasus infeksi subklinik dan klinik. Meskipun isolasi virus dapat dilakukan lewat sekresi nasofaring, hanya sedikit saja laboratorium yang menyediakan pelayanan ini dan isolasi rubella biasanya memakan waktu 4-6 minggu. Test serologi hanya membuktikan. adanya infeksi baru atau respons imunitas. Pada kebanyakan kasus, antibodi rubella membuktikan adanya reaksi imunitas dari infeksi sistemik meskipun ditemukan re-infeksi pada masa kehamilan. Sebaliknya konversi serologi yang menggunakan pasangan spesimen penderita pada fase akuf dan penyembuhan menunjukkan adanya infeksi baru. Tes inhibisi hemaglutinasi rubella yang menjadi standar tes immunoassay komersial yang lebih murah dan mudah. Pada kebanyakan kasus, IgG spesifik rubella baik yang disebabkan oleh infeksi alami atau imunisasi akan menetap pada tubuh penderita selama hidupnya. Hampir seluruhnya dari 95% penderita setelah diimunisasikan oleh vaksin RA27/3 memperlihatkan adanya antibodi oleh enzim immunoassay setelah serokonversi selama 18 tahun. Pada infeksi baru rubella, konfirmasi menunjukkan adanya antibodi IgM spesifik rubella yang muncul dengan cepat dan memuncak 1-1.5 minggu setelah dimulai. IgM dapat dideteksi selama sebulan atau lebih tergantung dari sensitifitas assay. serologi oleh laboratorium klinik telah digantikan oleh tes aglutinasi dan enzim

Tinjauan terbaru di Amerika Utara pada tahun 2002 melaporkan adanya 19 kasus rubella kongenital di antara 1300 kasus wanita yang mempunyai antibodi rubella tetapi diduga berat terinfeksi kembali pada saat hamil. Penyebab kasus-kasus tersebut tidak jelas tetapi kesalahan laboratorium pada tes antibodi, tidak adanya antibodi IgG yang melindungi, timbulnya antigen dari virus yang berbeda, dan rendahnya imunitas maternal subklinik dapat menjadi penjelasan yang potensial bagi penyebab kasus rubella kongenital di atas. IgM spesifik rubella pada darah fetus yg diperoleh lewat kordosentesis mengindikasikan adanya infeksi intrauterina pada trimester kedua. Seroreaktifitas fetus dapat dilihat sedini mungkin pada minggu ke-19 gestasi. Penelitian pada 93 kasus yang dilaporkan memperlihatkan 95% kesesuaian antara hasil serologi fetus dan neonatal pada funipunktur yang dilakukan lebih dari 2 minggu setelah infeksi klinik dan 22 minggu setelah gestasi dengan menggunakan deteksi IgM spesifik rubella. Namun, waktu yang optimal untuk mendeteksi infeksi intrauterina dengan menggunakan sistem ini tidak menentu. Meskipun reaksi imunitas fetus berkembang selama minggu ke-20 sampai minggu ke-24 masa gestasi, sedikitnya satu negatif palsu ditemukan sehubungan dengan infeksi subsekuen kongenital ketika tes serologi dilakukan pada minggu ke-20. RT-PCR (reverse transcriptase-nested polymerase chain reaction amplification) yang mendeteksi RNA virus telah menggantikan "sampling" vilus korion yang biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi intrauterina rubella pada trimester pertama. Meskipun penelitian retrospektif melaporkan adanya 85% kesesuaian antara biakan virus dan RT-PCR, kedua metode di atas dapat mendeteksi kasus-kasus yang tidak terdeteksi oleh metode alternatif lainnya. Hibridisasi dengan klon, prob DNA komplemen rubella dengan label radioaktif lebih sensitif dalam mendeteksi infeksi pada trimester pertama dibandingkan dengan "sampling" vilus korion meskipun false negatif dapat terjadi pada kedua metode yang digunakan.

19

7. Pengobatan Tidak ada yang spesifik, umumnya pengobatan simtomatik. 8. Pencegahan Vaksin rubella telah tersedia di Amerika Serikat sejak tahun 1969. Vaksinasi memberikan serokonversi dengan imunitas jangka panjang pada 95% kasus infeksi. Ruam-ruam, artropati, dan limfadenopati merupakan komplikasi terbatas yang jarang pada vaksinasi. Keluhan saraf periferal transien umumnya juga jarang terjadi. Pada tahun 1994, Komite Praktek Imunisasi (the Committee on Immunization Practices) merevisi rekomendasi umumnya dan menganjurkan agar semua anak-anak mendapat vaksin MMR (measlesmumps-rubella) pada usia 12-15 bulan dan ulangan vaksinasi pada usia 12-15 tahun. Wanita usia subur yang tidak mempunyai antibodi IgG rubella juga dianjurkan untuk menerima imunisasi, dengan syarat mereka tidak hamil pada saat menerima vaksin dan tidak akan hamil sekurangnya selama 3 bulan setelah menerima imunisasi. Kegagalan vaksin primer merupakan sebab yang jarang terjadi pada kasus rubella dan sindroma rubella kongenital (CRSIcongenital rubella syndrome). Imunokompromisasi subklinik vaksin dan gangguan pada imunisasi aktif yang disebabkan oleh transfusi darah atau terapi imunoglobulin (tidak termasuk RhoGAM) yang baru dilakukan menggambarkan sebab-sebab klinik kegagalan vaksin. Vaksinasi rubella tidak dianjurkan pada saat hamil berdasarkan teori kerusakan fetus. Risiko sindroma rubella kongenital yang disebabkan oleh vaksinasi 3 bulan setelah konsepsi biasanya sangat kecil. Oleh sebab itu, vaksinasi rubella yang kurang teliti tidak men-jadi indikasi terminasi kehamilan. CDC menyatakan bahwa pasien dan doktemya bersama-sama membuat penentuan akhir mengenai kelanjutan kehamilan. Penyaringan laboratorium yang rutin untuk kehamilan dan

antibodi rubella tidak penting dilakukan sebelum memberi vaksin. Dokter harus dengan rutin menawarkan vaksin rubella setiap kali berhadapan dengan wanita yang mempunyai potensial mudah terkena rubella dan tidak mempunyai kontraindikasi terhadap vaksinasi. Kontra indikasi vaksinasi rubella yaitu pada pen-derita hamil, immunodefisiensi atau immunocompromise kecuali pada penderita HIV, penderita dengan riwayat pemberian immunoglobulin kurang dari 3 bulan. Seperti yang telah diuraikan di atas, pada kebanyakan kasus, kegagalan vaksinasi dibandingkan dengan kegagalan vaksin merupa-kan sebab menetapnya penyakit rubella dan sindroma rubella kongenital di Amerika Serikat. Daerah padat penduduk dan daerah-daerah yang sempit dan tertutup mempercepat penularan pada individu yang mudah terjangkit penyakit rubella. Faktor-faktor epidemiologi penting lainnya seperti faktor sdsial, politik, ekonomi, etika, dan agama mempengaruhi kesuksesan nasional dalam mem-berantas rubella. CDC menganjurkan beberapa strategi berikut dalam membantu pencegahan dan pengawasan rubella: Peningkatan vaksinasi pada anak-anak. Pelaksanaan hukum yang meminta agar murid-murid sekolah mendapat dua dosis vaksin MMR. Mendorong dokter untuk menggunakan kesempatan untuk memberi vaksinasi pada individu yang mudah terkena rubella termasuk wanita usia melahirkan yang menghadiri keluarga berencana dan klinik aborsi. Mengadopsi persyaratan vaksinasi pada penerimaan masuk mahasiswa di universitas. Memulai program pencegahan dan pengawasan rubella di semua fasilitas lembaga pemasyarakatan. Mendorong orang-orang yang terlibat dalam kelompok agama untuk menerima vaksinasi. Menargetkan program vaksinasi khusus dengan sasaran remaja

21

yang mempunyai kemungkinan besar tidak divaksinasi dan mereka yang berhubungan kontak dengan penderita yang terinfeksi rubella yang berasal dari negara-negara yang tidak rutin memberikan vaksin terhadap rubella. 9. Komplikasi Trombositopenia Otitis media Ensefalitis pasca infeksi Pada 1 : 6000 kasus terjadi ensefalitis 1-6 hari setelah timbul ruam. Angka kematian sekitar 20%, Paparan selama kehamilan Pada awal kehamilan perlu dicari data antibodi terhadap rubella. Infeksi fetus selama trimester pertama mengakibatkan rubella kongenital pada 80% kasus. Bila wanita hamil dicurigai mengalami infeksi rubella, segera diperiksa kadar antibodi rubella. Bila hasil positif, maka tidak perlu khawatir. Namun bila hasil pemeriksaan negatif, maka perlu pemantauan klinis dan serologi lebih lanjut. Konfirmasi rubella pada seorang ibu pemikiran ke arah aborsi terapetik. Alternatif ini dipertimbangkan dengan hati-hati sesuai dengan pribadi, agama / kepercayaan seseorang, hukum serta faktor lainnya. Sindroma rubella kongenital (congenital rubella syndrome/CRS) Komplikasi yang paling berat adalah sindroma rubella kongenital (CRS). Frekuensi CRS adalah 50% bila infeksi rubella terjadi selama 12 minggu pertama kehamilart dan 25% bila infeksi terjadi antara 13-24 minggu kehamilan. Karakteristik sindroma ini secara umum adalah: tuli, katarak kongenital dan patent ductus arteriosus. Ada 4 mekanisme yang mengakibatkan malformasi setelah terjadinya infeksi intrauterin : namun sekuele jarang terjadi. Mekanisme komplikasi belum diketahui dengan pasti.

a. Infeksi

persisten

pada

jaringan

fetus

mengakibatkan proses mitosis dan menghambat multiplikasi sel, sehingga pertumbuhan organ terganggu. b. Vaskulopati pembuluh darah fetus mengakibatkan proliferasi fibromuskular dinding arteri dan menghalangi aliran darah kejaringan yang sedang bertumbuh. c. Nekrosis jaringan d. Peningkatan terjadinya kerusakan kromosom 10. Rekomendasi dan Konsensus a. Sebaiknya ada data bahwa sebelum hamil, perempuan yang bersangkutan telah memiliki kekebalan (IgG) atau jelas pernah mendapat vaksinasi; bila negative harap diberikan vaksinasi 6 bulan sebelum menikah. b. Bila terdapat serokonversi atau jelas terdapat infeksi pada trimester pertama, maka pada konseling dijelaskan manfaat untuk terminasi kehamilan. c. Pada trimester ke 2 dan 3, pemantauan dengan USG akan memberikan gambaran adanya kelainan pada janin, yang pada konseling diberikan kesempatan keluarga untuk memilih. Bila pada permeriksaan USG tidak ditemukan kelainan mayor pada janin diharapkan kehamilan dilanjutkan dan pada bayi baru lahir dilakukan pemantauan khusus untuk melihat kelainan lain. C. INFEKSI HUMAN CYTOMEGALOVIRUS PADA KEHAMILAN

23

1. Definisi Cytomegalovirus (CMV) adalah penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus dapat terjadi secara kongenital saat bayi atau infeksi pada usia anak. Kadang-kadang, CMV juga dapat menyebabkan infeksi primer pada dewasa, tetapi sebagian besar infeksi pada usia dewasa disebabkan reaktivasi virus yang telah didapat sebelumnya. Infeksi kongenital biasanya disebabkan oleh reaktivasi CMV selama kehamilan. 2. Epidemiologi Human Cytomegalovirus (KCMV/CMV) atau Human Herpesvirus 5 ditularkan melalui kontak intim dan atau berulang dengan pengidap virus, melalui transmisi vertikal dari ibu ke janin, transfusi produk darah dan transplantasi organ atau sumsum tulang dari donor seropositif CMV. Virus dapat ditemukan dalam urin, sekresi orofaring, sekresi serviks dan vagina, semen, air susu ibu, air mata dan darah. CMV dapat menyebabkan infeksi primer dan sekunder atau rekuren. Infeksi CMV maternal primer atau rekuren dapat menyebabkan infeksi kongenital. Infeksi CMV kongenital dapat terjadi pada bayi seorang ibu yang imun terhadap CMV sehingga penularan tranpla-sental dapat saja terjadi meskipun terdapat antibodi dalam serum ibu. Di samping itu seorang ibu dapat melahirkan lebih dari seorang bayi dengan infeksi kongenital yang disebabkan reaktivitasi infeksi laten. Diduga infeksi CMV kongenital simptomatik terjadi dalam trimester pertama atau kedua, terutama bila mengakibatkan kerusakan susunan saraf pusat. Frekwensi infeksi intrauterin pada infeksi maternal primer jauh lebih tinggi dari pada infeksi maternal rekuren, yaitu 40% berbanding 1%. Demikian juga gejala dan sekuelenya jauh lebih sering pada bayi terinfeksi kongenital dari ibu dengan infeksi primer sewaktu atau beberapa waktu sebelum kehamilannya. Kurang lebih 1% (antara 0,4%2,3%) bayi baru lahir terinfeksi CMV kongenital, sehingga CMV

merupakan infeksi kongenital yang paling sering terjadi pada manusia. Diperkirakan setiap tahun lahir 30.000 - 40.000 bayi-bayi dengan infeksi CMV kongenital di USA. Sebanyak 5%-10% bayi-bayi tersebut akan menunjukkan gejala-gejala (simptomatik) pada masa bayi dan akan mengalami sekuele neurologik. Sisanya, sebanyak 90%-95% bayi tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) sewaktu dilahirkan. Sebanyak 13%-24% bayi-bayi asimptomatik tersebut dapat mengalami cacat bermakna di kemudian hari seperti tuli saraf dan gangguan perkembangan. Infeksi CMV perinatal diakibatkan terpaparnya bayi baru lahir sewaktu proses kelahiran pada sekret genital yang terinfeksi. Bila ibu mengekskresi virus pada saat kelahiran, 40% bayi yang dilahirkan akan terinfeksi. Tingkat antibodi maternal tidak mempengaruhi frekuensi dan onset infeksi pada bayinya. Air susu ibu, urih, saliva dan transfusi produk darah juga penting sebagai sumber infeksi pascanatal. Pada negara sedang berkembang hampir seluruh anak telah mendapat infeksi HCMV pada awal dari masa hidupnya dan seroprevalensi hampir mendekati 100% pada kelompok remaja. Sebaliknya pada negara maju seroprevalensi infeksi CMV kurang lebih 50% pada kelompok dewasa muda dengan status ekonomi menengah keatas. Implikasi data tersebut pada epidemiologi infeksi kongenital CMV, menggambarkan bahwa wanita seronegatif CMV pada usia muda mempunyai risiko utama memberikan kelahiran bayi dengan infeksi kongenital simptomatik jika selama kehamilan terjadi infeksi primer. Risiko infeksi kongenital CMV pada negara sedang berkembang sulit diprediksi karena pada populasi tersebut studi epidemiologi memperlihatkan bahwa seroprevalensi hampir 100% telah terinfeksi pada awal masa anak-anak. Data seroprevalensi infeksi CMV di Indonesia masih belum ada. Berdasarkan data yang didapat dari hasil pemeriksaan serologi laboratorium Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi FKUI periode tahun 1999 adalah 2929 (84,6%) seropositif dan 534 (15,4%) seronegatif.

25

Data dari Hungaria berdasarkan penelitian pade 990 wanita hamil didapatkan 76,6% mempunyai IgG terhadap CMV dan hanya 1,9% IgM positif. Pada reaksi neutralisasi, diperlihatkan bahwa antibodi neutralisasi dapat dideteksi pada 69,7% populasi yang diteliti. 3. Manifestasi Klinik Pada wanita sehat dengan kehamilan atau imunokompeten penyakit infeksi CMV seringkali asimptomatik. Gejala yang kadang dapat timbul berupa gejala mirip mononukleosis tanpa disertai faringitis, tonsilitis atau limfadenopati. Penularan secara vertikal pada infeksi primer ataupun sekunder/rekuren belum dapat diprediksi. Janin dalam kandungan tidak atau dapat terinfeksi baik pada infeksi primer maupun sekunder/rekuren.

Pada infeksi CMV kongenital simptomatik, diagnosisnya dapat diperkirakan secara klinis. Manifestasi klinisnya antara lain berupa retardasi pertumbuhan intrauterin, kuning, hepatosplenomegali, asites, petekie atau purpura, pneumonitis, trombositopenia, hepatitis, hiperbilirubinemia direk dan anemia hemolitik. Gejala hepatomegali, splenomegali dan petekie merupakan trias yang paling sering dijumpai. Bayi-bayi ini juga sering mengalami gangguan susunan saraf pusat sejak lahir seperti hiper atau hipotonia, mikrosefali, ventrikulomegali, hidrosefalus progresif, leukomalasi periventrikular, kalsifikasi intrakranial yang biasanya tersebar di daerah periventrikular, korioretinis dan tuli saraf. Lebih dari 90% bayi-bayi ini akan mengalami sekuele neurologik seperti retardasi mental (sedang sampai berat), palsi serebral, gangguan penglihatan dan tuli. Infeksi .CMV kongenital asimptomatik hanya dapat dipastikan melalui program uji saring neonatal rutin. Walaupun bayi-bayi ini tampaknya normal sewaktu lahir, 13-24% di antaranya akan mengalami gangguan perkembangan, gangguan bahasa dan belajar atau tuli saraf. Pada bayi-bayi dengan infeksi CMV kongenital asimptomatik dapat juga dijumpai kelainan dini pada CT scan seperti leukomalasi periventrikular atau bercak-bercak kalsifikasi yang mungkin ber-hubungan dengan gangguan pendengaran dan perkembangannya. Infeksi perinatal pada bayi sehat umumnya asimptomatik. Manifestasi tersering ialah limfadenopatia yang sembuh sendiri, hepatosplenomegali atau pneumonitis yang muncul pada usia 4-16 minggu. Infeksi ini tidak mengakibatkan sekuele perkembangan saraf dan tuli. Sekuele utama infeksi CMV neonatal ialah retardasi mental, tuli dan mikrosefali. Prognosis terburuk terjadi pada: a. bayi yang dilahirkan ibu dengan infeksi CMV primer sewaktu kehamilan; b. bayi dengan gejala sejak lahir, terutama yang mengenai susunan saraf pusat;

27

c.

bayi dengan mikrosefali atau kalsifikasi intrakranial atau keduanya;

d. dan bayi dengan anti-CMV IgM positif. 4. Diagnosis a. Diagnosis pada ibu hamil Infeksi CMV pada ibu hamil dapat memberikan gejala asimpto-matik atau gejala tidak khas dan mempunyai spektrum yang luas sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium infeksi CMV pada wanita hamil belum merupakan pemeriksaan rutin. Beberapa negara meskipun masih kontroversial telah melakukan skrining serologik infeksi CMV pada wanita hamil. Status serologik wanita hamil perlu diketahui untuk pengawasan masa kehamilan. Bila pemeriksaan serologi memberikan hasil negatif ataupun positif maka perlu dilakukan konseling untuk mencegah infeksi CMV baik primer maupun sekunder/rekuren. Pada skrining ibu hamil dengan pemeriksaan serologi, digunakan kombinasi anti-CMV IgG dan anti-CMV IgM pada ibu hamil kurang dari 12 minggu. Pada ibu serqnegatif dilakukan pemeriksaan ulangan pada kehamilan 16-18 minggu. Pada ibu dengan serokonversi atau anti-CMV IgM positif dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan beberapa penelitian dianjurkan untuk melakukan penilaian aviditas antibodi, untuk menentukan apakah infeksi tensebut primer atau rekuren. Aviditas IgG rendah pada minggu pertama infeksi primer dan meningkat 4-5 bulan kemudian. Pemeriksaan ini diketahui 100% spesifik dan 94,3 % sensitif. Penentuan infeksi CMV aktif dapat juga ditentukan oleh pemeriksaan antigenemia, deteksi dan pengukuran antigen pp65 pada leukosit darah tepi. Hasil pemeriksaan antigenemia mempunyai sensitivitas 60-70% pada infeksi asimptomatik sampai 100% pada

penyakit yang bermanifestasi klinis. Pemeriksaan lain adalah deteksi adanya viremia dengan cara biakan sel shell vial assay dengan sensitivitas 70-95% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan lain untuk mendeteksi aktifitas infeksi CMV adalah deteksi ekspresi mRNA virus dengan NucliSens CMV pp67 atau mRNA protein immediate early yang menggambarkan aktivitas biologik virus. Data penelitian yang ada memperlihatkan bahwa hasil positif pemeriksaan infeksi CMV aktif pada ibu hamil belum dapat memasti-kan apakah janin yang dikandungnya akan terinfeksi. b. Diagnosis pada Janin Penentuan apakah janin dari ibu yang terinfeksi aktif CMV terinfeksi atau tidak dapat ditakukan dengan pemeriksaan yang bersifat invasif seperti amniosintesis atau yang tidak invasif seperti USG pada minggu 21-22 dan 29-32 kehamilan. Amniosintesis dilakukan pada kehamilan 21-23 minggu, karena umumnya infeksi kongenital berat terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan dan diperlukan waktu 6-9 minggu untuk dapat mendeteksi virus dalam cairan amnion. Deteksi virus dengan pemeriksaan DNA kualitatif menggunakan metode PCR. Bila hasil positif maka dilanjutkan pemeriksaan PCR kuantitatif, "untuk menentukan viral load yang berhubungan dengan beratnya gejala pada bayi. Berdasarkan penelitian, adanya genom >103 genom/ml cairan amnion menunjukkan bahwa 100% janin tersebut terinfeksi sedangkan bila >105 genom/ml menunjukkan bahwa bayi tersebut simptomatik. 5. USG Prenatal Temuan pemeriksaan USG prenatal pada daerah intrakranial antara lain kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefali, hipoplasi serebelum, pelebaran sisterna magna, lisensefali, kista paraventrikuler, dan lesi iskemik destruktif seperti porensefali, hidranensefali dan

29

polimikrogyria. Umumnya gambaran yang banyak ditemukan pada fetus adalah kalsifikasi periventrikuler bilateral. Kalsifikasi periventrikuler tersebut merupakan akibat inflamasi nekrotik di daerah periventrikuler di ventrikel lateralis. Gambaran ini khas untuk CMV dan dapat ditemukan setelah trimester kedua. Kalsifikasi ini juga dapat ditemukan di parenkhim otak, thalamus dan basal ganglia. Temuan lain yang sering dihubungkan dengan CMV adalah kista paraventrikuler dan sinekhia intraventrikuler yang menunjukkan adanya ventrikulitis. Pada pemeriksaan USG prenatal juga dapat ditem'ukan asites dan IUGR pada fetus. Diagnosis pada Neonatus ; Metode pemeriksaan penunjang yang cepat dan dapat memastikan diagnosis infeksi CMV kongenital simptomatik semakin penting untuk mengimbangi kemajuan pengobatan antivirus. Tersedianya uji yang cepat, sederhana dan murah diperlukan untuk skrining rutin bayi baru lahir sehingga bayi-bayi dengan infeksi CMV kongenital asimptomatik akan terjaring. Dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk memantau dan mendeteksi ketulian dan gangguan perkem-bangan saraf secara terarah. Diagnosis infeksi CMV kongenital dipastikan dengan isolasi virus dari urin, saliva atau jaringan yang dilakukan dalam 3 minggu per-tama kehidupan. Terdeteksinya virus dari cairan atau jaringan tubuh yang diperoleh sesudah usia 3 minggu mungkin menunjukkan infeksi kongenital, perinatal atau pascanatal sehingga tidak dapat memasti-kan diagnosis infeksi kongenital. Tidak terdeteksinya anti-CMV IgG darah tali pusat menyingkirkan infeksi kongenital. Sebaliknya, terdeteksinya anti-CMV IgG tidak memastikan infeksi kongenital karena 50%-80% wanita usia subur mempunyai anti-CMV IgG dan antibodi ini akan ditransfer kepada janinnya melalui plasenta. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-CMV IgG pada usia 1,3 dan 6 bulan. Infeksi kongenital dapat disingkirkan bila titer anti-CMV IgG menurun atau menghilang sesudah bulan pertama. Bila anti-CMV IgG menetap maka

bayi tersebut mungkin terinfeksi kongenital atau didapat (infeksi perinatal). Terdeteksinya anti-CMV IgM pada bayi baru lahir merupakan petunjuk diagnostik infeksi CMV kongenital walaupun harus dipertimbangkan metoda yang dipakai untuk memeriksanya. Diagnosis CMV perinatal dipastikan dengan negatifnya biakan virus sewaktu lahir tetapi positif pada usia 8-16 minggu serta menetapnya antiCMV IgG. Diagnosis infeksi CMV primer pascanatal ditegakkan berdasarkan serokonversi anti-CMV IgG, terdapatnya anti-CMV IgM dan terdapatnya virus dalam saliva, urin serta cairan tubuh lain. Berbagai pemeriksaan penunjang lain digunakan untuk mendeteksi kelainan kongenital infeksi CMV. Foto ronsen kepala dapat menunjukkan kalsifikasi periventrikular, tetapi CT scan kepala lebih sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan lebih banyak memberikan informasi Ultrasonografi ventrikulomegali, mengenai kranial berat dan luasnya kista kerusakan otak. dapat mendeteksi periventrikular,

kalsifikasi dan leukomalasi periventrikular. MRI

(Magnetic Resonance Imaging) bermanfaat mendeteksi kelainan migrasi neuronal, kerusak an parenkimal otak, kelambatan mielinisasi dan hipoplasia serebelar. Pemeriksaan potensial cetusan batang otak (brain stem auditory evoked responses) menunjukkan perkembangan tuli saraf pascanatal. 6. Penatalaksanaaan Saat ini ada 3 obat anti virus yang telah diakui oleh FDA untuk profilaksis dan atau terapi infeksi CMV yaitu ganciclovir (GCV), cidofovir (HPMPC) dan foscarnet (PFA). Keamanan penggunaan obat CMV tersebut pada kehamilan belum diketahui. Saat ini sedang anti dilakukan

ujl klinis penggunaan ganciclovir untuk pengobatan bayi-bayi dengan infeksi CMV kongenital simptomatik dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat. Ganciclovir yang diberikan dengan dosis 6 mg/kg BB intravena setiap 12 jam selama 6 minggu dapat ditoleransi bayi baru lahir, menurunkan ekskresi

31

virus dan mempercepat resolusi keaktifan penyakit. Pemberian GCV intravena diketahui meningkatkan atau menstabilkan pendengaran pada usia 6 bulan bayi yang diterapi dengan Pemantauan jangka panjang diperlukan pengobatan terhadap tumbuh-kembang, penglihatan serta kemampuan intelektual jumlah yang bermakna. untuk menentukan manfaat gangguan pendengaran dan bayi-bayi yang terinfeksi

kongenital. Karena potensi terjadinya supresi sumsum tulang dan atrofi testis, ganciclovir tidak direkomendasikan secara rutin untuk mengobati bayi-bayi dengan CMV kongenital sampai terbukti aman dan pernah diujicobakan pada bermanfaat. Foscarnet dan cidofovir belum

bayi dan anak. Karena efek samping obat antivirus yang tersedia, pengobatan bayi dengan CMV kongenital asimptomatik sampai saat ini tidak merupakan indikasi walaupun bayi gangguan pendengaran. Masih ini berisiko mengalami penelitian untuk dibutuhkan

mengembangkan obat antivirus yang kurang toksik dan dapat diberikan secara oral untuk pengobatan jangka panjang, serta obat antivirus yang dapat melalui plasenta. Globulin hiperimun CMV dan intravena globulin imun (IVIG) pemberian tunggal maupun kombinasi dengan GCV telah diperlihatkan dapat menurunkan insiden penyakit CMV pada penderita transplantasi ginjal dengan risiko tinggi, tetapi penggunaannya dalam pengobatan bayi baru lahir dengan CMV kongenital atau pada wanita hamil belum dievaluasi. Di samping itu juga sedang dikembangkan human anti-CMV monoclonal antibody untuk bayi dengan infeksi CMV kongenital simptomatik. 7. Pencegahan Sehubungan dengan pengobatan penyakit CMV masih sulit, bersifat eksperimen dan mungkin tidak berpengaruh besar pada outcome-nya, maka pencegahan infeksi pada janin, bayi baru lahir dan wanita hamil harus diusahakan sedapat mungkin. Ganciclovir umumnya diguna-kan untuk

terapi profilaksis obat anti virus pada pasien transplantasi. Penggunaan acyclovir oral atau intravena juga telah digunakan sebagai terapi profilaksis dengan hasil yang baik meskipun obat ini tidak pernah digunakan untuk terapi penyakit infeksi CMV aktif. Imunisasi merupakan salah satu cara untuk dapat mengendalikan infeksi CMV. Wanita hamil dan janinnya serta resipien transplantasi akan sangat beruntung bila vaksin CMV yang aman dan efektif sudah tersedia. Tetapi hingga saat ini belum tersedia vaksin yang telah diakui untuk pemakaian secara umum. Implementasi imunisasi vaksin CMV belum memungkinkan dalam waktu dekat ini, altematif pencegahan infeksi primer pada wanita hamil perlu dipertimbangkan. Semua wanita usia subur harus diketahui status serologik CMVnya. Wanita seronegatif harus waspada terhadap sumber penularan infeksi CMV. Perilaku yang berhubungan dengan penularan infeksi terutama mencium/ciuman dan tukar pakai peralatan makan sebaiknya dihindari, dan pencucian tangan dengan benar setiap kali mengganti popok lebih ditekankan. 8. Rekomendasi dan Konsensus a. Skrining pada ibu hamil tidak dianjurkan mengingat kasus yang jarang dan terapi pada infeksi tidak memberikan hasil nyata. b. Terapi harus diberikan segera pada bayi baru lahir D. INFEKSI VIRUS HERPES SIMPLEKS PADA KEHAMILAN 1. Definisi Infeksi Herpes simpleks adalah infeksi pada daerah mulut dan sekitarnya atau genitalia dan sekitarnya yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok, di atas dasar eritematosa dan bersifat rekurens. Penyakit ini menjadi masalah karena insidens yang makin meningkat, prosedur diagnostik yang rumit, transmisi virus dari penderita yang asimtomatik,

33

pengaruhnya terhadap kehamilan dan janin dalam kandungan, terdapat interaksi dengan infeksi HIV, menimbulkan dampak psikologik pada penderita, kemungkinan terjadinya resistensi virus, dan kemungkinan ditemukannya vaksin untuk pencegahan. Herpes labialis disebabkan oleh HSV tipe 1 dan herpes genitalis sebagian besar disebabkan oleh HSV tipe 2, walaupun pada beberapa negara ternyata HSV-1 merupakan penyebab utama. 2. Epidemiologi Secara umum risiko mendapat infeksi HSV-2 dihubungkan dengan beberapa hal: keaktifan seksual yang bertambah hubungan seksual pada usia muda jumlah pasangan yang bertambah status imun yang rendah sering bepergian Prevalensinya bervariasi tergantung pada keadaan sosial ekonomi. Dilihat dari perbedaan ras, ternyata penderita kulit hitam lebih banyak dahpada kulit putih, selain itu wanita lebih banyak dari pria. Sampai saat ini belum ada angka yang pasti untuk Indonesia, akan tetapi dari 13 rumah sakit pendidikan herpes genitalis merupa-kan infeksi menular seksual dengan gejala ulkus genital yang paling sering dijumpai. 4. Klasifikasi Bila seseorang terinfeksi HSV maka manifestasinya dapat berupa: Episode I / lesi inisial infeksi primer Episode I / lesi inisial infeksi non-primer Lesi rekurens Asimtomatik Lesi atipik Pada episode I / lesi inisial infeksi primer tubuh belum memiliki

antibodi spesifik sehingga dapat mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Pada episode I / lesi inisial infeksi non-primer, infeksi sudah terjadi namun sebelum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu timbul episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Pada episode I ini viral shedding berlangsung kira-kira 12 hari. Masa ini sangat menentukan potensi penularan dan pengambilan bahan sediaan untuk pemeriksaan biakan. Pada keadaan rekurens gejala yang timbul biasanya lebih ringan karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan akan lebih cepat, sedangkan viral shedding berangsung kira-kira 5 hari. Dalam keadaan asimtomatik tidak ditemukan *gejala atau terdapat gejala namun sukar diketahui lokasinya ( misatnya di serviks), akan tetapi pada pemeriksaan serologi didapatkan antibodi HSV dan keadaan ini ditemukan pada kurang lebih 20% kasus. Keadaan atipik ditemukan pada kurang lebih 60% kasus dengan gambaran yang tidak khas sehingga tidak diduga sebagai herpes genitalis, tetapi pemeriksaan serologi menunjukkan antibodi HSV. Keadaan asimtomatik dan atipik ini mempunyai potensi tinggi untuk transmisi virus karena tetap terjadi viral shedding. 5. Herpes Genitalis pada Kehamilan dan Neonatus Terjadinya transmisi virus dari ibu ke janin / bayi dapat terjadi pada masa dalam kandungan {intrauterin), menjelang kelahiran (perinatal) atau sesudah lahir (postnatal). Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata. Pada saat intrauteri transmisi terjadi melalui plasenta atau secara asenden dari serviks dan ini ditemukan pada 5-8% kasus. Risiko paling tinggi terjadinya transmisi perinatal ditemukan bila terjadi infeksi primer HSV-1 atau HSV-2 dekat masa menjelang kelahiran. Infeksi primer berarti belum terdapat antibodi maternal. Sebagian besar infeksi maternal ini bersifat

35

RISIKO TINGGI TRANSMISITERJADI PADA IBU DENGAN INFEKSI PRIMER TRANSMISI PADA BAYI PADA KEHAMILAN DENGAN INFEKSI PRIMER RISIKO TRANSMISI RENDAH PADA INFEKSI REKURENS

asimtomatik atau atipikal sehingga sulit untuk membedakan secara klinis antara infeksi HSV genital primer atau rekurens.

Satu penelitian menunjukkan peningkatan sampai 10 kali lipat kejadian transmisi vertikai selama episode infeksi primer dbanding-kan dengan transmisi pada wanita dengan episode rekurensi. Transmisi perinatal terjadi terutama pada waktu melahirkan dan melalui jalan lahir (85% kasus). Viral shedding terjadi di beberapa tempat jalan lahir, dengan daerah serviks dan vagina lebih besar risikonya daripada vulva oleh karena kontak di daerah serviks lebih lama. Viral shedding ini tidak terbatas hanya pada lesi simtomatis tetapi juga dapat terjadi pada keadaan asimtomatis atau lesi atipik, dan hal ini menjadi masalah oleh karena terjadinya viral shedding hanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan biakan. Prosedur invasif, misalnya fetal scalp electrode monitoring, pengambilan sampel darah janin, dan kelahiran dengan pertolongan alat dapat pula menularkan HSV kepada neonatus. Penularan postnatal terjadi pada sekitar 8-10% kasus setelah bayi lahir, dan transmisi bisa melalui air susu ibu, lesi mulut atau tangan, atau alat dari orang yang menderita herpes simpleks. Herpes neonatus bias terjadi akibat infeksi nosokomial atau yang didapat dari lingkungan sekitarnya. Para ibu, anggota keluarga, dan petugas kesehatan harus senantiasa berhati-hati terhadap kemungkinan risiko transmisi neonatal dari lesi aktif.

Prevalensi herpes neonatus bervariasi pada tiap negara, misalnya di Inggris 1 per 60.000 kelahiran, Amerika 1 per 1800/5000 kelahiran,

Jepang 1 per 14.000/20.000 kelahiran, Belanda 1 per 35.000 kelahiran. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, mikrosefali, hidrosefali, koroidoretinitis, keratokonjungtivitis atau hepatitis; di samping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Bila transmisi terjadi pada trimester pertama cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester kedua terjadi prematuritas. 6. Pemeriksaan Laboratorium Penanganan kasus herpes genitalis di mulai dengan menegak-kan diagnosis yang bila memungkinkan ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan melihat gejala khas berupa vesikel berkelompok di atas dasar eritematosa dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah tes Tzank yang di warnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, namun sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ini rendah. Pemeriksaan langsung dengan mikroskop elektron, hasilnya dapat dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik. Cara yang paling baik adalah dengan melakukan biakan jaringan, hasil positif dapat dilihat dalam jangka waktu 24 - 48 jam, akan tetapi memerlukan biaya yang mahal. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluorensensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Pemeriksaan imunofluorensens memerlukan tenaga terlatih dan mikroskop khusus. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menentukan antibodi HSV, pemeriksaan ini sensitifitasnya tinggi tetapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera di periksa. Tes ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping biakan. Tes serologi IgM dan IgG tidak dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan saat terjadinya viral shedding, karena IgM baru dapat dideteksi setelah 4-7 hari infeksi, mencapai puncak setelah 2-4 minggu,

37

dan menetap selama 2-3 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan IgG baru dapat dideteksi setelah 2-3 minggu infeksi, mencapai puncak setelah 4-6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemeriksaan IgM dan IgG hanya memberi gam-baran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit herpes genitalis. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan oleh karena dapat mendeteksi DNA virus, sehingga pada kasus lanjut pun dapat terdeteksi. Ke-kurangan pemeriksaan ini tidak dapat membedakan virus hidup atau mati. TES SEROLOGI IgG DAN Ig'M TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI PEDOMAN UNTUK MENENTUKAN SAAT TERJADINYA VIRAL SHEDDING 7. Penatalaksanaan Secara umum pengobatan herpes genital dapat di bagi menjadi 3 kategori yaitu: a. Profilaksis b. Pengobatan non-spesifik c. Pengobatan spesifik Pengobatan profiklasis termasuk memberi penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya, psikoterapi, dan proteksi individual. Pengobatan non-spesifik bersifat simtomatis, sedangkan pengobatan spesifik adalah pemberian obat terhadap virus herpes. Obat anti virus yang kini telah banyak dipakai ialah asiklovir, disamping itu ada dua macam lagi obat anti virus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir. Obat anti virus tersebut belum ada yang dapat mengeradikasi virus, namun hanya mengurangi waktu viral shedding, memperpendek hari sakit, dan menjarangkan rekurensi.

Infeksi primer: Asiklovir 5X 200 mg/hari selama 7 hari Bila berat i.v. 3-5 mg/kg.BB / hari selama 7-10 hari atau Valasiklovir 2 X 500 mg/hari selama 7 hari Rekuren: Asiklovir atau Valasiklovir 2 X 500 mg/hari selama 5 hari Supresif: diberikan bila ada riwayat rekurensi > 6 kali pertahun Asiklovir 3 - 4 X 200 mg/hari atau Valasiklovir 1 X 500 mg/hari Pengobatan supresif dapat diberikan selama 1 tahun untuk wanita yang tidak hamil, setelah itu dilihat frekuensi rekurensi. Asiklovir oral dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan selama kehamilan atau dekat akhir kehamilan. Penatalaksanaan hamil dengan herpes genital pada kehamilan dapat dibedakan antara wanita hamil dengan episode pertama dan wanita episode rekurens. Berdasarkan pertemuan Internasional Herpes Management Forum di San Fransisco pada tahun 1994 yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia - lihat bagan 1 dan 2. 7.1. Penatalaksanaan pada wanita dengan episode primer herpes genital dalam masa kehamilan Pengobatan dengan asiklovir harus diberikan kepada semua wanita yang menderita herpes genital episode pertama 5 X 200 mg/hari selama 5 hari

39

dalam kehamilan. Asiklovir dapat diberikan pada kehamilan lanjut dan telah terbukti tidak terdapat efek buruk pada ibu secara klinis atau pun laboratoris atau toksisitas terhadap janin. Terapi supresif dengan asiklovir ataupun derivatnya pada 4 minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi herpes genital pada saat partus. Pada saat terdapat lesi herpes genital primer waktu menjelang kelahiran dan si bayi dilahirkan per vaginam, risiko herpes neonatus sebesar41% (dengan interval kepercayaan 95% antara 25-56). Tidak terdapat bayi yang terinfeksi yang dilahirkan oleh ibu yang telah memiliki antibodi HSV2 sebelum kehamilannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan seksio sesaria terhadap semua wanita hamil yang datang dengan lesi herpes genital primer pada saat menjelang kelahirannya, namun tidak dianjurkan untuk wanita yang terserang lesi herpes primer pada trimester pertama atau pun kedua. Pada wanita yang terserang herpes genital lesi primer dalam kurun waktu 6 minggu menjelang partus dan akan melahirkan per vaginam, harus menghindari partus dengan tindakan atau alat, pada wanita tersebut dianjurkan untuk diberi asiklovir intrapartum untuk mencegah risiko herpes neonatus. 7.2. Penatalaksanaan pada wanita hamil dengan herpes genital rekurens Herpes genital rekurens dihubungkan dengan risiko yang lebih kecil mendapat herpes neonatusl. Dari satu penelitian kecil tanpa kontrol pada wanita hamil dengan riwayat herpes genital rekurens dalam kehamilan menunjukkan bahwa mendapat asiklovir dosis supresi pada minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi pada saat partus.

Satu penelitian terhadap wanita hamil dengan lesi HSV genital rekurens yang mengalami partus per vaginam melaporkan angka transmisi HSV perinatal sebesar 3%, sedangkan penelitian lain melaporkannya sebesar 0%. Pada keadaan wanita hamil menjelang partus dan terdapat lesi herpes genital rekurens bukan merupakan indikasi mutlak untuk dilakukan seksio sesaria. ;i Infeksi herpes simpleks pada neonatus prognosisnya buruk bila tidak diobati. Penelitian pengobatan dengan asiklovir 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21 hari akan menurunkan angka kematian bila dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan. 8. Rekomendasi dan Konsensus Penanganan ibu hamil dengan infeksi HSV: Anamnesis pada ibu hamil amat penting; bila ibu menderita infeksi primer dan akan melahirkan maka dianjurkan dilakukan tindakan seksio. Bila ibu telah mengalami infeksi rekuren, maka diharapkan kelahiran pervaginam karena risiko infeksi kecil. (Lihat lampiran) E. PERANAN PENCITRAAN PADA PENATALAKSANAAN INFEKSI TORCH PRENATAL USG mempunyai peran dalam diagnosis non invasive dan dalam tindakan invasive. Dengan pencitraan yang cermat diharapkan dapat ditentukan kelainan mayor. Ibu dan keluarga dapat menentukan sikap apakah akan menerus-kan kehamilannya dengan kemungkinan janin cacat. Sebaliknya bila tak ditemukan kelainan, keluarga harus sadar bahwa infeksi dan beratnya penyakit amat bergantung pada usia kehamilan. Bila mungkin melakukan diagnosis prenatal dan dinyatakan tak ditemukan indikator infeksi (misalnya dengan PCR) maka tak layak memberikan terapi.

41

1. Tujuan Pada telaah ini pembaca akan mampu: infeksi TORCH menjelaskan kelainan janin akibat infeksi yang parah menjelaskan keterbatasan (sensitifitas dan spesifisitas) pencitraan Pemeriksaan pencitraan dengan USG bagi congenital toxoplasmosis syndrome tidaklah mudah; pada laporan dari 176 kasus (mengalami serokonversi) yang dikonfirmasi dengan tes pada darah tali pusat, hanya 15% dinyatakan infeksi- separuh baru timbul gejala kemudian seperti Korioretinitis.. 2. Kelainan Janin Gejala sakitnya janin dapat diduga secara klinik bila ditemukan oligohidramnion dan pertumbuhan janin terhambat (PJT). Mungkin juga ditemukan plasenta yang tebal. Dalam hal itu sebaiknya dilakukan infusi amnion agar pencitraan lebih jelas. USG hanya dapat menentukan kelainan mayor. Kelainan fungsi seperti ketulian dan kebutaan tak mungkin ditentukan. 2.1. Mikrosefali Mikrosefali adalah kondisi dimana besar kepala 3 standar deviasi dibawah normal. Apabila kita mencurigai citra seperti itu pastikan dengan nomogram, pastikan perbedaan dengan besar abdomen (rasio 1: 1). Mungkin saja abdomen membengkak akibat asites. Sebaiknya konsultasi kepada pusat rujukan. Janin dengan infeksi dan mikrosefali mempunyai prognosis buruk. 2.2. Kelainan jantung ASD dan VSD yang nyata dapat ditentukan pada kehamilan 18 minggu. Kelainan jantung mungkin ditemukan pada / menjelaskan beberapa kelainan janin secara USG berkaitan dengan

infeksi Rubella. Dengan teknik Doppler berwarna VSD yang kecil mungkin dapat dikenal. Kepastian infeksi rubella dengan IgM janin hanya dapat ditentu kan setelah 23 minggu mengingat pembentukannya baru setelah waktu itu. Kelainan jantung sebagai kardiomegali dan asites pernah dilaporkan, yang kemudian mengalami regresi. Ternyata bayi yang mengalami infeksi cytomegalovirus itu hanya mengalami defisit pendengaran unilateral dan normal. 2.3. Hepatosplenomegali Akibat infeksi mungkin terjadi bendungan pada system biliar dan terjadi hepatosplenomegali dan asites. Panjang hepar diukur dari ujung ke pangkalnya. Asites dapat dikenali dengan banyaknya daerah sonolusen di abdomen janin. Cytomegalovirus sering dilaporkan sebagai penyebab asites.

Gambar 1. Asites pada abdomen janin. 2.4. Hidrosefalus Hidrosefalus ialah peningkatan abnormal cairan pada ronggal ventrikel otak. Kejadian penyakit ini relatif jarang: 1 dari 10.000 kelahiran. Pada infeksi primer toxoplasma perlu ditentukan secara dini. Kelainan dini dapat ditentukan dengan gejala pleksus khoroid yang agak vertical (tear drop sign). Akibat

43

infeksi pada toxoplasma, terjadi sumbatan dan terjadi noncommunicating. Kalsifikasi pada jaringan otak telah dilaporkan pada infeksi toxoplasma meskipun amat jarang.

Gambar2. Pencitraan 2.5. Ensefalokel

hidrosefalus janin.

Ensefalokel ialah herniasi dari jaringan otak pada defek kranium. Kejadian tersebut karena kegagalan penutupan lubang atau ganggu-an pada proses tersebut. Kelainan dapat terjadi di median anterior atau posterior. Rubella disebut dapat menimbulkan kelainan ini. 2.6. Lain lain Agenesis corpus callosum yaitu kelainan yang tampak sebagai struktur tengah tanpa jaringan normal, bahkan mungkin seperti kista; pernah diduga sebagai di komplikasi curigai pada rubella. kasus Microphtalmia mungkin dapat

toxoplasma dan rubella. Diameter okuler perlu dicocokkan dengan diameter biparietel pada nomogram. 3. Intervensi Intervensi atau tindakan invasive diagnostik yang dilakukan pada kasus terinfeksi mungkin perlu. Tidak semua infeksi maternal akan mengakibatkan infeksi janin. Bila pada amniosentesis atau kordo-sentesis - disini peran USG dalam panduan pencitraan-, ditemukan IgM atau DNA secara PCR maka diagnosis infeksi janin lebih pasti. Namun pernah dilaporkan bahwa pemeriksaan PCR negatif, ternyata janin kemudian

mengalami hidrosefalus pada trimester ketiga dan lesi otak yang luas. Kepastian infeksi rubella pada janin secara kordosentesis dilaporkan oleh beberapa peneliti. Patut diingat bahwa infeksi toxoplasmosis janin hanya terjadi 1 dari 4 infeksi maternal. Pemeriksaan tambahan dari darah kordosentesis untuk toxoplasmosis ialah: lekosit, eosinofil, hemoglobin, SGOT dan LDH, dengan ketepatan 92%. Pertimbangan untuk terapi dengan spiramycin, sulphonamide dan pyrimethamin dianjurkan oleh peneliti tersebut. 4. Bayi baru lahir Pencitraan pada bayi baru lahir perlu dilakukan pada kasus yang dicurigai terinfeksi. Pemeriksaan USG transfontanel mungkin dapat mengungkapkan kelainan otak, dan bila perlu dilakukan MRI. 5. Kesimpulan Pencitraan pada kasus dengan infeksi TORCH haruslah cermat, karena mungkin secara USG belum tervisualisasi, namun infeksi mungkin ringan atau baru manifest kemudian. Sebaliknya bila ditemukan kelainan nyata, itu berarti prognosis buruk.

45

Ibu Hamil Seropositif

ALGORITME (IgG -, IgM-)

Seropositif Seropositif PEMERIKSAAN TOXOPLASMA DAN INFEKSI CMV PADA KEHAMILAN (IgG +, IgM-) (IgG +, IgM-)

Pasien non imun

Pasien imun

Infeksi primer baru ? Infeksi Lama dengan IgM residu IgG aviditas

Pemantauan dilakukan Sampai akhir kehamilan

IgMIgGPasien non Imun*

IgM+ IgG+ Infeksi primer baru

IgM+** IgG-

Aviditas tinggi

Aviditas rendah

Infeksi > 4 bulan Jika tes dilakukan setelah 18 minggu kehamilan, lihat titer IgG

Pemantauan dilakukan Sampai akhir kehamilan

IgG tinggi

IgG rendah

Infeksi < 4 bulan

Kemungkinan infeksi baru

Infeksi lama

47

DIAGNOSIS Trimester I & II

Usia kehamilan ? - TERAPI 30-34 minggu

Diperlukan konfirmasi tes IgM, IgG - PEMANTAUAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR Mulai 3-4 minggu

an : Spesimen pertama harus diambil pada awal kehamilan dan sebaiknya diperiksa IgG & IgM; Jika IgG-/IgM- : pasien non imun, pemantauan dilakukan sampai akhir kehamilan M+ tanpa IgG, mungkin awal infeksi, uji ulang 2-3 minggu kemudian, jika hasil tidak berubah : IgM non spesifik

Lihat berat penyakit obati dengan acyclovir iv/oral selama 10-14 hari Bila mungkin, lakukan pemeriksaan serologi Rekurens pada term YA

Apakah benar episode Infeksi primer YA TIDAK

Tergantung beratnya penyakit obati ibu dengan acyclovir iv/oral

Tangani sebagai Aciclovir Obati ibu dengan HG rekurens supresif Acyclovir/oral lihat beratnya penyakit sampai partus & gejala

Seksio caesar

Partus pervaginam

Bagan 1. PENAGANAN WANITA HAMIL TIDAK WANITA HAMIL DENGAN HERPES


YA

DENGAN HERPES saat partus

Apakah lesi timbul

Pertimbangkan acyclovir antisipasi pada bayi/ Pertimbangkan mulai acyclovir observasi dan mulai Antisipasi pada bayi aciclovir empiris bila timbul gejala

GENETALIS
TIDAK

PRIMER DAN

BAYINYA

GENETALIS PRIMER

Obati sebagai Partus pervaginam HG rekurens hindari partus Usia dengan alat Cantumkan Riwayat HSV pada Status. Didik orang tua tentang herpes neonatal

Didik orang tua tentang herpes neonatal

Adakah gejala ?

Seksio Caesar + aciclovir supresif ATAU Aciclovir

Partus pervaginam + acyclovir supresif untuk ibu

YA

TIDAK

Observasi bayi

Rujuk

Stop aciclovir

Bila timbul gejala, segera rujuk

Bagan 2. PENANGANAN WANITA HAMIL DENGAN HERPES GENITALIS REKUREN DAN BAYINYA

49

TANDAI RIWAYAT PENYAKIT HSV PADA STATUS IBU DAN BAYI

BERI PENDIDIKAN PADA ORANG TUA TENTANG PENYAKIT HSV NEONATUS TIDAK

YA

ADAKAH LESI HERPES PADA SAAT PARTUS

PARTUS PERVAGINAM + ASIKLOVIR SUPRESIF HINDARI PENGGUNAAN INSTRUMEN

PARTUS PERVAGINAM HINDARI PENGGUNAAN INSTRUMEN

OBSERVASI BAYI BILA TIMBUL GEJALA HERPES NEONATUS

You might also like