You are on page 1of 26

Tugas!

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

FRAKTUR

Oleh kelompok III : Ery trisno Fatmayanti


Henny suryaningsih Sahriani I ketut agus juniana Asriani

STIKES AMANAH MAKASSAR KENDARI 2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya lah sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan Makalah ini, dengan judul yaitu ASKEP FRAKTUR kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini kami sajikan dengan tujuan adalah dengan mengembangkan daya nalar Mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam makalah ini dikaitkan dengan konsep yang ada. Dengan adanya makalah ini semoga Mahasiswa keperawatan dapat berinteraksi dalam memecahkan masalah ini dengan cara yang baik atau berdiskusi. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan.Oleh karena itu, kami senantiasa mengharapkan masukan dari teman-teman mahasiswa khususnya Dosen yang membimbing kami.

Kendari,

Oktober 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Judul Halaman Kata Pengantar Daftar isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan masalah C. Tujuan D. Manfaat BAB II TINJAUAN TEORI A.Definisi B. Etiologi C. Klasifikasi D. Gambaran Klinis E. Patofisiologi F. Tanda & gejala G. Pemeriksaan Penunjang H. Penatalaksaan

BAB III ASKEP FRAKTUR A. Pengkajian B. Diagnosa Keperawatan C. Intervensi D. Evaluasi BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap system terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang. Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).

Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik

(kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang.7,8

B. Rumusan Masalah Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien fraktur ?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang folikulitis serta mendapatkan gambaran teori dan Asuhan Keperawatan pada klien fraktur. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui definisi fraktur b. Untuk mengetahui etiologi fraktur c. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur d. Untuk mengetahui manifestasi klinis fraktur e. f. g. h. Untuk mengetahui komplikasi fraktur Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic fraktur Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur Untuk mengetahui asuhan keperawatan fraktur

D. Manfaat 1. Memberikan informasi pada mahasiswa tentan g frakturserta berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini. 2. Menambah pengetahuan penulis tentang fraktur.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. DEFINISI Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347). Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138). B. ETIOLOGI Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh : a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

2. Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut : a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.

b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. 3. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

C. KLASIFIKASI FRAKTUR 1. Fraktur tertutup / closed atau disebut juga fraktur simplex : - Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, atau - Patahan tulang disini tidak mempunyai hubungan dengan udara terbuka 2. Fraktur terbuka / open (compound fracture) : - Bila tedapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. - Kulit terobek : (a) dari dalam karena fragmen tulang yang menembus kulit (b) karena kekerasan yang berlangsung dari luar - Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu : Derajat I : - luka < 1 cm

- kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda lunak remuk - fraktur sederhana, transversal, oblik atau kominutif ringan - kontaminasi minimal Derajat II : - laserasi > 1 cm - kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi - fraktur kominutif sedang - kontaminasi sedang Derajat III : - Terjadi keusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat ini terbagi atas : a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi; atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besanya ukuran luka b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulangyang terpapar atau kontamnasi masif c. Luka pada pembulu arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak. 3. Fraktur komplikata : disini persendian, syaraf, pembuluh darah atau organ viscera juga ikut terkena. Fraktur seperti ini dapat berbentuk fraktur tertutup atau fraktur terbuka.

4. Fraktur patologis : karena adanya penyakit lokal pada tulang, maka kekerasan yang ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat menyebabkan fraktur. Contoh : tumor/sarcoma, osteoporosis dll. D. GAMBARAN KLINIS FRAKTUR 1. Nyeri 2. Deformitas 3. Krepitasi 4. Bengkak 5. Peningkatan temperatur lokal 6. Pergerakan abnormal 7. Echymosis 8. Kehilangan fungsi 9. Kemungkinan lain. E. PATOFIOLOGI Fraktur Periosteum, pembuluh darah di kortek dan jaringan sekitarnya rusak Perdarahan Kerusakan jaringan di ujung tulang Terbentuk hematom di canal medula Jaringan mengalami nekrosis Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai : 1. 2. 3. Vasodilatasi Pengeluaran plasma Infiltrasi sel darah putih

F. TANDA DAN GEJALA 1. Deformitas Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : a. Rotasi pemendekan tulang b. Penekanan tulang 2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur 3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous 4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur 5. Tenderness/keempukan 6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan. 7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan) 8. Pergerakan abnormal 9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah 10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Foto Rontgen Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung Mengetahui tempat dan type fraktur Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik 2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler 4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma 5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

G. PENATALAKSANAAN FRAKTUR 1. Penatalaksanaan secara umum Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. 2. Penatalaksanaan kedaruratan Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang

cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. 3. Penatalaksanaan bedah ortopedi Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation).Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :

patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah krup, plat, paku dan pin logam

untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.

memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka

penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis

dengan logam atau sintetis

ngan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah: 1) Aktivitas/istirahat: Gejala: Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.

2)

Sirkulasi: Tanda: Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap

nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan. Takikardia Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera,

pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur. Hematoma area fraktur.

3)

Neurosensori: Gejala: Hilang gerakan/sensasi Kesemutan (parestesia)

Tanda: Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,

spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi. Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena

(mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri. lain. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma

4)

Nyeri/Kenyamanan: Gejala: Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada

area fraktur, berkurang pada imobilisasi. Spasme/kram otot setelah imobilisasi.

5)

Keamanan: Tanda: Laserasi kulit, perdarahan Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba)

6) -

Penyuluhan/Pembelajaran: Imobilisasi Bantuan aktivitas perawatan diri Prosedur terapi medis dan keperawatan

b.

Pengkajian Diagnostik: Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:

1)

X-ray:

- menentukan lokasi/luasnya fraktur 2) Scan tulang:

- memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak 3) Arteriogram

- dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler. 4) Hitung Darah Lengkap

- hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan. 5) Kretinin

- trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal

6)

Profil koagulasi

- perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

B.

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan: 1. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.

Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat perubahan posisi.

2. Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.

Mencegah gerakan yang tak perlu akibat perubahan posisi.

3. Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.

Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring dengan berkurangnya edema

4. Bila terpasang traksi, pertahankan posisi traksi (Buck, Dunlop, Pearson, Russel)

Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempercepat reunifikasi fragmen tulang

5. Yakinkan semua klem, katrol dan tali berfungsi baik.

Menghindari iterupsi penyambungan fraktur.

6. Pertahankan integritas fiksasi eksternal.

Keketatan kurang atau berlebihan dari traksi eksternal (Hoffman) mengubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan posisi.

7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto.

Menilai proses penyembuhan tulang.

2.

Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera

jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

5. Ajarkan penggunaan teknik

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,

manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)

Menilai erkembangan masalah klien.

3.

Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera

vaskuler, edema, pembentukan trombus)

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.

Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.

Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.

3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya 4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah 5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal. klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.

4.

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan

membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1.

Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

2.

Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

Mencegah terjadinya pembekuan darah 3. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan

kortikosteroid sesuai indikasi.

keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan 5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral. perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

5.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,

terapi restriktif (imobilisasi)

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien. Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi. 3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. 5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari. Mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi urinarius dan 7. Berikan diet TKTP. konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan 8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu 9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi. untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah klien.

6.

Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,

kawat, sekrup) INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.

2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

3.

Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Menilai perkembangan masalah klien.

7.

Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,

taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1.

Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

Meminimalkan kontaminasi.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.

Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang) Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka. Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.

Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.

Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.

C.Evaluasi

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah : 1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan. 2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas. 3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai 4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal. 5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol 6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

Daftar Pustaka
1. Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia 2. Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta. 3. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta. 4. Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta 5. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta. 6. E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta 7. Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta. 8. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta 9. Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta. 10. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta. 11. FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta 12. http://asuhan-keperawatan-patriani.blogspot.com/

You might also like