You are on page 1of 33

Page 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ASFIKSIA 2.1.1.

Defenisi Asfiksia Asfiksiaadalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008). 2.1.2. Etiologi Asfiksia Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. 2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. 3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan narkotika. Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ). 2.1.3. Fisiologi Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu: 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Universitas Sumatera Utara

Page 2 - Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi. - Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik. 2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. 3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)

Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya. 4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: - Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. - Intraselular Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara

Page 3 - Metabolik Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia. - Substrat Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia. 2.1.4. Patologi Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008), yaitu: 1. Primer (akibat langsung dari asfiksia) Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas. 2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:

Universitas Sumatera Utara

Page 4 - Penutupan mulut dan hidung (pembekapan). - Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru. - Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia). - Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan. 2.1.5. Stadium Pada Asfiksia Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu: 1. Stadium Dispnea Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang. 2. Stadium Kejang Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe. 3. Stadium Apnea Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
Universitas Sumatera Utara

Page 5 lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit. 2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu: a. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit

dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum. b. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). c. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
Universitas Sumatera Utara

Page 6 tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. d. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksiaadalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia 2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu: a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda kekerasan. b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut.

Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat,
Universitas Sumatera Utara

Page 7 karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan. Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tandatanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada leher. Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik

Asfiksia Neonatorum
Martono Tri Utomo

BATASAN Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.

PATOFISIOLOGI Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.

GEJALA KLINIK Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.

DIAGNOSIS Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis. Pemeriksaan fisik : Nilai Apgar
Klinis Detak jantung Pernafasan Refleks saat jalan nafas dibersihkan Tonus otot Warna kulit 0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Lunglai Biru pucat 1 < 100 x/menit Tak teratur Menyeringai Fleksi ekstrimitas (lemah) Tubuh merah ekstrimitas biru 2 >100x/menit Tangis kuat Batuk/bersin Fleksi kuat gerak aktif Merah seluruh tubuh

Nilai 0-3 : Asfiksia berat Nilai 4-6 : Asfiksia sedang Nilai 7-10 : Normal

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7.Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar) Pemeriksaan penunjang : Foto polos dada USG kepala Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit

Penyulit Meliputi berbagai organ yaitu :

Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH Hematologi : DIC

PENATALAKSANAAN Resusitasi Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan) Terapi medikamentosa :

Epinefrin : Indikasi : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. Asistolik.

Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.

Volume ekspander : Indikasi : Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi.

Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.

Jenis cairan : Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.

Dosis : Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.

Bikarbonat : Indikasi : Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.

Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%) Cara : Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.

Efek samping : Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

Nalokson :

Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.

Indikasi : Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.

Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml) Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c

Suportif Jaga kehangatan. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

Bagan Resusistasi neonatus

Uji kembali efektifitas : Ventilasi Kompresi dada Intubasi Endotrakeal - Pemberian epinefrin Pertimbangkan kemungkinan :

Resusitasi dinilai tidak berhasil jika :

apnea dan denyut jantung 0 setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 15 menit.

Asuhan Keperawatan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir ira septia sari,Sabtu, 03 Juli 2010

Oleh: Ira Septia Sari Poltekkes Depkes RI Palembang

TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan. (Noname: Online) Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Prawirohardjo: 1991). Asfiksia ini dapat terjadi karena hipoksia kronik dalam uetrus menyebabkan tersedianya sedikit energi untuk dapat memenuhi kebutuhan pada saat persalinan dan kelahiran. Sehingga, asiksia intra uterin dapat terjadi, denan masalah sitemik yang mungkin terjadi. (Ladewig dkk: 2006) Asfiksia neonatarum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera stelah lahir keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia neonatarum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera setelah lahir, banyak fakto yang menyebabkannnya diantaranya adanya penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan konstraksi uterus pada ibu resiko tinggi kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga faktor janin itu sendiri. ( Hidayat, 2005). B.Etiologi Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah

uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini: 1. Faktor ibu Preeklampsia dan eklampsia Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta) Partus lama atau partus macet Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan) 2. Faktor Tali Pusat Lilitan tali pusat Tali pusat pendek Simpul tali pusat Prolapsus tali pusat 3. Faktor Bayi Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep) (Anonim: Online) Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatarum terjadi karena pertukaran gas serta transfer O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita oleh ibu dalam persalinan. Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada keadaan terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenasi serta kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal yang sempurna, sehingga perbaikan sedini-dininya dapat diusahakan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hamoir selalu mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan ini perlu dikenal, agar dapat dilakukan persiapan yang sempurna pada saat bayi lahir. Faktor-faktor yang mendadak ini terdiri atas: a.Faktor dari pihak janin seperti: 1.Gangguan aliran darah pada tali pusat karena tekanan tali pusat 2.Depresi pernafasan karena obat-obat anastesia atau analgetik yang diberikan kepada ibu, perdarahan intrakranial, dan kelainan bawaan. b.Faktor dari pihak ibu seperti: 1.Gangguan his, misalnya hipertoni dan tetani 2.Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, misalnya pada plasenta previa 3.Hipertensi pada eklampsia 4.Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta. (Prawirohardjo: 1991) Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah : 1. Asfiksia dalam kehamilan

a. Penyakit infeksi akut b. Penyakit infeksi kronik c. Keracunan oleh obat-obat bius d. Uraemia dan toksemia gravidarum e. Anemia berat f. Cacat bawaan g. Trauma 2.Asfiksia dalam persalinan a. Kekurangan O2. Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uri. Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta. Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul. Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya. Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta. Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri. b. Paralisis pusat pernafasan Trauma dari luar seperti oleh tindakan forseps Trauma dari dalam : akibat obet bius. C.Patofisiologi Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia. (Anonim: Online) Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera. (Anonim: Online) D. Klasifikasi Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR: a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3 b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6

c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9 d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 Nilai Apgar Nilai 0-3 : Asfiksia berat Nilai 4-6 : Asfiksia sedang Nilai 7-10 : Normal Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar) D.Manifestasi Klinis 1. Pada Kehamilan Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat 2. Pada bayi setelah lahir a. Bayi pucat dan kebiru-biruan b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada c. Hipoksia d. Asidosis metabolik atau respiratori e. Perubahan fungsi jantung f. Kegagalan sistem multiorgan g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan. (Anonim : online) E.Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tandatanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu : 1. Denyut jantung janin Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 debyutan semenit, selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah 100 kali permenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk terus-menerus menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan. 2. Mekonium dalam air ketuban Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala

mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah. 3. Pemeriksaan pH darah janin Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. (Prawirohardjo: 1991) F.Penilaian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu : Penafasan Denyut jantung Warna kulit Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP). G.Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu : 1. Memastikan saluran terbuka - Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm. - Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea. - Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka. 2. Memulai pernafasan - Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan - Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi). 3. Mempertahankan sirkulasi - Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara - Kompresi dada. - Pengobatan H. Tindakan Resusitasi a. Detail Cara Resusitasi Langkah-Langkah Resusitasi 1.Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi. 2.Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar. 3.Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).

4.Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung. 5.Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi. 6.Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif. 1.Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif. 2.Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 60 x / menit. 3.Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. 1.100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan. 2.60 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV. 3.60 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi jantung. 4.< 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung. 5.Kompresi jantung Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi jantung : a Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi. b Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi. 7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada. 8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan. 9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 0,3 mL / kg BB secara IV. 10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat. 11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 5 menit. 12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007) b. Persiapan resusitasi Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah : 1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum. 2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum antara lain : - Alat pemanas siap pakai Oksigen - Alat pengisap - Alat sungkup dan balon resusitasi - Alat intubasi - Obat-obatan c. Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :

1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan. 2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien 3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim yang terkoordinasi. 4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien. 5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap pakai. I. Penatalaksanaan 1. Resusitasi a Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan) b Terapi medikamentosa : 2. Epinefrin Indikasi : - Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. - Asistolik. Dosis : - 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. 3. Volume ekspander Indikasi : - Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi. - Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat. Jenis cairan : - Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) - Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak. Dosis : - Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. 4. Bikarbonat Indikasi : - Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. - Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%) Cara : - Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit. Efek samping : - Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi

miokardium dan otak. 5. Nalokson - Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil. Indikasi : - Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan. - Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi. Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml) Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c 6. Suportif a. Jaga kehangatan. b. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka. c. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit) J. Pemeriksaan Penunjang - Foto polos dada - USG kepala - Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit K. Penyulit Meliputi berbagai organ yaitu : - Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis - Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru - Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans - Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH - Hematologi : DIC L. Komplikasi Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain : 1. Edema otak & Perdarahan otak Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak. 2. Anuria atau oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit. 3.Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif. 4. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR A. Pengkajian 1. Sirkulasi Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik). Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena. 2. Eliminasi Dapat berkemih saat lahir. 3. Makanan/ cairan Berat badan : 2500-4000 gram Panjang badan : 44-45 cm Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi) 4. Neurosensori Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma). Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang) 5. Pernafasan Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi. 6.Keamanan Suhu rentang dari 36,5 C sampai 37,5 C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi). Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal) B. Diagnosa Keperawatan I. Penurunan cardiac out put berhubungan dengan edema paru II. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak. III. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi IV. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi. V. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya hipovolemia

VI. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan respon imun yang terganggu VII.Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius. VIII. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah. IX. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya gangguan pada sistem syaraf pusat X. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga. C. Intervensi DP 1: Penurunan cardiac out put berhubungan dengan edema paru Tujuan: Menunjukan curah jantung dalam batas normal Kriteria hasil: 1.Menunjukan warna kulit yang normal 2.Edema perifer tidak ada 3.Bunyi nafas tambahan tidak ada 4.Distensi vena leher tidak ada Intervensi: 1.Monitoring jantung paru 2.Menkaji tanda vital 3.Memonitor perfusi jaringan tiap 2-4 jam 4.Memonitor denyut nadi 5.Memonitor intake dan out put 6.Kolaborasi dalam pemberian vasodilator DP 2: Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar. NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas Kriteria Hasil : 1. Tidak menunjukkan demam. 2. Tidak menunjukkan cemas. 3. Rata-rata repirasi dalam batas normal. 4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas. 5. Tidak ada suara nafas tambahan. NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas Kriteria Hasil : 1. Mudah dalam bernafas. 2. Tidak menunjukkan kegelisahan. 3. Tidak adanya sianosis. 4. PaCO2 dalam batas normal. 5. PaO2 dalam batas normal. 6. Keseimbangan perfusi ventilasi Keterangan skala : 1 : Selalu Menunjukkan 2 : Sering Menunjukkan 3 : Kadang Menunjukkan 4 : Jarang Menunjukkan 5 : Tidak Menunjukkan NIC I : Suction jalan nafas

Intevensi : 1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal. 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction . 3. Beritahu keluarga tentang suction. 4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan. 5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction. NIC II : Resusitasi : Neonatus 1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan. 2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik. 3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi. 4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap mekonium. 5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah. 6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi. 7. Monitor respirasi. 8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat. DP 3: Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif. NOC : Status respirasi : Ventilasi Kriteria hasil : 1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif. 2. Ekspansi dada simetris. 3. Tidak ada bunyi nafas tambahan. 4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal. Keterangan skala : 1 : Selalu Menunjukkan 2 : Sering Menunjukkan 3 : Kadang Menunjukkan 4 : Jarang Menunjukkan 5 : Tidak Menunjukkan NIC : Manajemen jalan nafas Intervensi : 1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender. 2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan. 3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi. 4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu Nafas 5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu. 6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan. DP 4: Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan

pertukaran gas teratasi. NOC : Status respiratorius : Pertukaran gas Kriteria hasil : 1. Tidak sesak nafas 2. Fungsi paru dalam batas normal Keterangan skala : 1 : Selalu Menunjukkan 2 : Sering Menunjukkan 3 : Kadang Menunjukkan 4 : Jarang Menunjukkan 5 : Tidak Menunjukkan NIC : Manajemen asam basa Intervensi: : 1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum. 2) Pantau saturasi O2 dengan oksimetri 3) Pantau hasil Analisa Gas Darah DP 5: Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya hipovolemia Tujuan: Menunjukan peningkatan perfusi sesuai secara individual Kriteri hasil: 1.Status mental dalam keadaan normal 2.Irama jantung dan nadi perifer dalam batas normal 3.Tidak ada sianosis sentral atau perifer 4.Kulit hangat 5.Keluaran urine dan berat jenis dalam batas normal Intervensi: 1.Mempertahankan output yang normal dengan cara mempertahankan intake dan output 2.Kolaborasi dalam pemberian diuretik sesuai indikasi 3.Memonitor laboratorium urine lengkap 4.Memonitor pemeriksaan darah DP 6: Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan respon imun yang terganggu Tujuan: Mengidentifikasi/ intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi Kriteria hasil: 1.Terbebas dari tanda atau gejala infeksi 2.Menunjuka hygiene pribadi yang adekuat 3.Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan, genitourinaria, dan imun dalam batas normal 4.Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi Intervensi: 1.Mengurangi tindakan yang menyebabkanterjedinya infeksi nosokomial 2.Mengkaji dan menyediakan intervensi keperawatan dengan memperhatikan teknik aseptik DP 7: Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah

NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak Kriteria hasil : 1. Bebas dari cidera/ komplikasi. 2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak. 3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama. Keterangan Skala : 1 : Tidak sama sekali 2 : Sedikit 3 : Agak 4 : Kadang 5 : Selalu NIC : Kontrol Infeksi Intervensi : 1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi. 2. Pakai sarung tangan steril. 3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir, perhatikan pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali. 4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada pemberi pelayanan kesehatan. 5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag). DP 8 : Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal. NOC I : Termoregulasi : Neonatus Kriteria Hasil : 1. Temperatur badan dalam batas normal. 2. Tidak terjadi distress pernafasan. 3. Tidak gelisah. 4. Perubahan warna kulit. 5. Bilirubin dalam batas normal. Keterangan skala : 1 : Selalu Menunjukkan 2 : Sering Menunjukkan 3 : Kadang Menunjukkan 4 : Jarang Menunjukkan 5 : Tidak Menunjukkan NIC I : Perawatan Hipotermi Intervensi : 1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat. 2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll. 3. Monitor temperatur dan warna kulit. 4. Monitor TTV. 5. Monitor adanya bradikardi.

6. Monitor status pernafasan. NIC II : Temperatur Regulasi Intervensi : 1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil. 2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat. 3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu. DP 9: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya gangguan pada sistem syaraf pusat. Tujuan: Menunjukan atau melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan, tanda vital dalam rentang normal. Kriteria hasil: 1.Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang dapat menyebabkan kecemasan yang dapat berkontribusi terhadap intoleransi aktivitas 2.Melaporkan bebasnya dispnea, kesulitan bernafas, keletihan dalam melakukan aktivitas seharihari Intervensi: 1.Menyediakan stimulasi lingkungan yang menimal 2.Menyediakan monitoring jantung paru 3.Mengurangi sentuhan 4.Memonitor tanda vital 5.Melakukan kolaborasi analgetik sesuai dengan kondisi 6.Memberikan posisi yang nyaman dengan menyediakan bantal dan tempat tidur yang nyaman DP 10: Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan koping keluarga adekuat. NOC I : Koping keluarga Kriteria Hasil : 1. Percaya dapat mengatasi masalah. 2. Kestabilan prioritas. 3. Mempunyai rencana darurat. 4. Mengatur ulang cara perawatan. Keterangan skala : 1 : Tidak pernah dilakukan 2 : Jarang dilakukan 3 : Kadang dilakukan 4 : Sering dilakukan 5 : Selalu dilakukan NOC II : Status Kesehatan Keluarga Kriteria Hasil : 1. Status kekebalan anggota keluarga. 2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. 3. Akses perawatan kesehatan. 4. Kesehatan fisik anggota keluarga. Keterangan Skala : 1 : Selalu Menunjukkan 2 : Sering Menunjukkan 3 : Kadang Menunjukkan

4 : Jarang Menunjukkan 5 : Tidak Menunjukkan NIC I : Pemeliharaan proses keluarga Intervensi : 1. Tentukan tipe proses keluarga. 2. Identifikasi efek pertukaran peran dalam proses keluarga. 3. Bantu anggota keluarga untuk menggunakan mekanisme support yang ada. 4. Bantu anggota keluarga untuk merencanakan strategi normal dalam segala situasi. NIC II : Dukungan Keluarga Intervensi : 1. Pastikan anggota keluarga bahwa pasien memperoleh perawat yang terbaik. 2. Tentukan prognosis beban psikologi dari keluarga. 3. Beri harapan realistik. 4. Identifikasi alam spiritual yang diberikan keluarga. D. Evaluasi 1. Menunjukan curah jantung dalam batas normal 2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar. 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif. 4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi. 5. Menunjukan peningkatan perfusi sesuai secara individual 6. Mengidentifikasi/ intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi 7. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah 8. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal. 9. Menunjukan atau melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan, tanda vital dalam rentang normal. 10. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan koping keluarga adekuat.

DAFTAR PUSTAKA Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC Hidayat, Alimul AA. 2005. Pengantar Ilmu Keperawtan Anak. Jakarta: Salemba Medika http://ummukausar.wordpress.com/2010/01/16pengertian-dan-penanganan-asfiksia-pada-bayibaru-lahir http://www.pediatrik.com Ladewig, Patrecia W. 2006. Asuhan Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC Prawiroharjo, Sarwono1991. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Biru Pustaka

N Diagnosa Tujuan o. 1. Bersihan jalan nafas Tupan : Setelah tidak efektif dilakukan berhubungan tindakan dengan produksi keperawatan mukus banyak. selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar. Tupen : 1. Tidak menunjukk an demam. 2. Tidak menunjukk an cemas. 3. Rata-rata repirasi dalam batas normal. 4. Pengeluara n sputum melalui jalan nafas. 5. Tidak ada suara nafas tambahan. 6. Tidak adanya sianosis.

Intervensi Mandiri : 1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal. 1. Bersihkan jalan nafas dengan suction delee. 1. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction. 1. Beritahu keluarga tentang suction. 1. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan. 1. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction. 2. Resusitasi : Neonatus 1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan. 2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik. 3. Tempatkan BBL di bawah lampu

Rasional 1. Mengidentifika si intervensi yang diperlukan. 1. Membersihkan mucus dari jalan nafas dan mencegah obstruksi. 1. Mengetahui adanya sumbatan jalan nafas dan mengetahui kefektifan suction yang dilakukan. 1. Meningkatkan kerjasama dan menurunkan ansietas. 1. Mencegah obstruksi. 1. Mengetahui perkembangan oksigenasi pasien dan menentukan intervensi selanjutnya. 1. Meningkatkan perbaikan kondisi pasien.

4.

5.

6.

7.

pemanas radiasi. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisas i trachea untuk menghisap mekonium. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi. Monitor respirasi. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat. 1. Mengetahui perkembangan status pernafasan dan mengidentifikas i adanya komplikasi. 1. Untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.

2. Pola nafas tidak Tupan : : Setelah Mandiri : efektif berhubungan dilakukan dengan tindakan 1. Pantau status hipoventilasi/ keperawatan pernafasan dan hiperventilasi. selama proses oksigenasi sesuai keperawatan dengan kebutuhan. diharapkan pola nafas menjadi 1. Auskultasi jalan efektif. nafas, Tupen : 1. Pasien menunjukk Kolaborasi : 1. Pemeriksaan AGD.

an pola nafas yang efektif. 2. Ekspansi dada simetris. 3. Tidak ada bunyi nafas tambahan. 4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.

1. Pemakaian alan bantu nafas. 1. Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu. 2. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.

1. Peningkatan pada kadar PCO2 menunjukkan hypoventilasi. 1. Menjamin oksigenasi jaringan yang adekuat terutama untuk jantung dan otak.. 2. Memberikan oksigenasi adekuat. 1. Untuk mempertahanka n kadar O2 dalam jaringan.

3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi.

Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi. Tupen : 1. Tidak sesak nafas. 2. Fungsi paru dalam batas normal.

Mandiri : 1. Letakkan bayi terlentang dengan alas yang datar, kepala lurus, dan leher sedikit tengadah/ekstensi dengan meletakkan bantal atau selimut diatas bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm. 1. Pantau saturasi O2 dengan oksimetri. 1. Pantau hasil Analisa Gas Darah

1. Memberi rasa nyaman dan mengantisipasi flexi leher yang dapat mengurangi kelancaran jalan nafas. 1. Untuk mengetahui kadar O2 dalam jaringan apakah dalam batas normal atau terjadi gangguan. 1. Mengidentifika si adanya perubahan yang dapat menunjukkan adanya

peningkatkan/p enurunkan status kesehatan. 4. Risiko cedera Setelah dilakukan berhubungan tindakan dengan anomali keperawatan kongenital tidak selama proses terdeteksi atau tidak keperawatan teratasi pemajanan diharapkan risiko pada agen-agen cedera dapat infeksius dicegah 1. Lakukan pengkajian fisik 1. Mendeteksi tanda secara rutin terhadap bayi awal dari cedera. baru lahir, perhatikan pembuluh darah tali pusat dan 2. Infeksi merupakan adanya anomali. salah satu hal yang dapat menimbulkan 2. Ajarkan keluarga tentang cedera. tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada pemberi 3. Imunisasi dapat pelayanan kesehatan. mencegah terjadinya risiko cedera. 3. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag). 5. Risiko gangguan Setelah dilakukan 1. Hindarkan bayi dari 1. Bayi sulit termoregulasi:hipot tindakan kedinginan dan tempatkan mempertahankan suhu ermia berhubungan keperawatan dan pada lingkungan yang hangat. tubuhnya sehingga dengan selama proses perawat perlu kemungkinan keperawatan mencegah kehilangan 2. Monitor gejala yang kehilangan panas diharapkan suhu berhubungan dengan panas dari tubuh bayi. tubuh BBL melalui tubuh normal hipotermi, misal fatigue, radiasi, konveksi, apatis, perubahan warna kulit 2. Mendeteksi tanda konduksi dan dll. dan gejala hipotermia. evaporasi 3. Monitor temperatur dan 3. Mendeteksi tanda warna kulit. dan gejala hipotermia. 4. Monitor TTV. 5. Monitor adanya bradikardi. 6. Monitor status pernafasan. 6. Mendeteksi tanda 7. Monitor temperatur BBL 4. Mendeteksi tanda dan gejala hipotermia. 5. Mendeteksi tanda dan gejala hipotermi.

setiap 2 jam sampai suhu stabil.

dan gejala hipotermia.

7. Mendeteksi tanda 8. Jaga temperatur suhu dan gejala hipotermia. tubuh bayi agar tetap hangat. 8. Bayi sulit 9. Tempatkan BBL pada mempertahankan suhu inkubator bila perlu. tubuhnya sehingga perawat perlu mencegah kehilangan panas dari tubuh bayi. 9. Bayi sulit mempertahankan suhu tubuhnya sehingga perawat perlu mencegah kehilangan panas dari tubuh bayi 6. Risiko infeksi Setelah dilakukan 1. Cuci tangan setiap sebelum 1. Mencegah berhubungan tindakan dan sesudah merawat bayi. terjadinya dengan kurangnya keperawatan, tidak penularan daya tahan tubuh terdapat tandainfeksi. 2.Pakai sarung tangan steril. BBL tanda infeksi 2. Mencegah masuknya 3. Pantau suhu bayi. mikroorganism e ke tubuh bayi. 3. Mendeteksi tanda infeks

PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA A. PENGKAJIAN 1. Sirkulasi Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik). Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena. 2. Eliminasi Dapat berkemih saat lahir. 3. Makanan/ cairan Berat badan : 2500-4000 gram Panjang badan : 44-45 cm Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi) 4. Neurosensori

Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma). Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang) 5. Pernafasan Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi. 6. Keamanan Suhu rentang dari 36,5 C sampai 37,5 C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi). Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal) B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna. Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Kattwinkel J, Short J, Niermeyer S, Denson SE, Zaichkin J, Simon W. Neonatal resuscitation textbook; edisi ke-4. AAP & AHA, 2000; 1-1 2-25. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 69-79. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 53-71. Aurora S, Snyder EY. Perinatal asphyxia. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 536-54. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 12-20. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 512-21. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4. London : Arnold, 2002; 62-88.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

You might also like