You are on page 1of 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tuberkulosis Peritoneal

2.1.1. Definisi Tuberkulosis Peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis peritoneal dapat mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium dan organ genitalia interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari tuberkulosis paru. Namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.1

2.1.2. Epidemiologi Di negara yang sedang berkembang, tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada, kecenderungan meningkat seiring meningkatnya jumlah penderita AIDS dan laju imigrasi yang tinggi. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2% dari seluruh TB paru dan 59,8% dari tuberkulosis abdominal.1 Di Amerika Serikat penyakit ini adalah penyakit keenam terbanyak diantara penyakit ekstra paru, sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif. Kasus TB peritoneal merupakan tantangan dalam hal diagnostik pada perempuan diakibatkan gejala klinisnya yang tidak spesifik dan mirip dengan tanda-tanda kanker ovarium.2

Insidensi tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering pada dekade ke-3 dan ke-4. Insidensi yang lebih tinggi pada wanita berhubungan dengan meningkatnya faktor resiko pada wanita, yaitu kemungkinan penyebaran bakteri dari organ tuba fallopii pada wanita ke organ yang ada di abdomen, salah satunya peritoneum.1

2.1.3.

Etiologi dan Patogenesis Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberkulosis. Basil ini tidak

berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini.3 M. tuberkulosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang teraerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius per batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal ketika terinhalasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke penjamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara. Risiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet.4 Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya. Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi.3

Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya mengalami dormansi.3 Fase dengan kuman yang tidur/dorman ini yang disebut fase laten, fase ketiga. Basil yang dorman ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindakan bedah besar, atau pada infeksi HIV.3 Fase keempat, dapat terjadi didalam atau luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus.3 Bakteri penyebab TB merupakan bakteri yang bersifat aerob obligat.5 Hal ini menjadi penyebab kecenderungan bakteri ini untuk berkembang pada organorgan tubuh yang sangat vaskular dengan tekanan oksigen yang tinggi. Contoh organ tersebut antara lain tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Hal ini menjadi salah satu faktor risiko mengapa insidensi TB peritoneal pada wanita cenderung lebih tinggi. Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).3 Sementara itu, kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan
3

makrofag

untuk

menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) .

Peritoneum dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara, yaitu: a. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru; b. Melalui dinding usus yang terinfeksi; c. Dari kelenjar limfe mesenterium; d. Melalui tuba falopi yang terinfeksi. Pada kebanyakan kasus, tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum melainkan sering karena reaktivasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen dari proses primer terdahulu. Lesi tuberkulosis dapat mengalami supresi dan menyembuh. Namun, infeksi masih dalam fase laten dan dapat menetap laten selama hidup penderita. Infeksi laten tersebut dapat berkembang menjadi tuberkulosis pada setiap saat jika organisme intraseluler tersebut mulai bermutiplikasi secara cepat.1

2.1.4. Faktor Risiko Secara umum, TB peritoneal merupakan klasifikasi dari tuberkulosis abdominal. Faktor risiko terjadinya TB peritoneal mirip dengan faktor resiko terjadinya tuberkulosis abdominal secara umum, yaitu penyakit hati alkoholik, infeksi HIV/AIDS, usia lanjut, dan status sosioekonomi yang rendah.6 Tuberkulosis Peritoneal terjadi lebih kurang 42% dari seluruh tuberkulosis abdominal. TB abdominal yang lain yaitu TB Intestinal (49%), TB Nodal (4%), dan TB solid visceral (5%)7. TB Intestinal (TB Usus) biasanya mengenai dapat mengenai usus halus, usus besar, dan region ileocaecal. TB intestinal terdiri dari 2 bentuk yaitu, bentuk ulseratif dan bentuk hiperplastik. Bentuk ulseratif ditandai dengan pembentukan ulkus pada mukosa usus dan dapat ditemui adanya

perdarahan, perforasi, fistula, dan striktur. Bentuk hiperlpastik ditandai dengan adanya perubahan lesi inflamasi yang ekstensif sehingga terjadi pembentukan obstruksi dan massa. Bentuk ini menimbulkan munculnya keluhan yang berhubungan dengan fisiologi sistem
8

gastrointestinal

sehingga

dapat

membedakannya dengan TB peritoneal. TB Nodal/ Glandular lebih jarang terjadi. TB ini umumnya mengenai mesenteric lymph node dan retroperitoneal lymph

node. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pembentukan abses. TB solid visceral mengenai organ-organ padat yang terdapat ginjal misalnya ginjal, hati, limpa dan pankreas. TB peritoneal sendiri dapat diklasifikasikan menjadi bentuk yang akut dan kronik. Pada kasus akut, TB peritoneal dapat menyebabkan peritonitis tuberkulosis dengan gejala-gejala akut abdomen dan bila dilakukan eksplorasi laparotomi dapat ditemukan adanya cairan asites, penebalan omentum, dan tuberkel yang tersebar. Sedangkan pada kasus kronik, pasien lebih menunjukkan gejala-gejala klinis antara lain; nyeri abdomen kronis, asites, penurunan berat badan, muntah, diare, demam, dan dapat ditemukan massa.9

2.1.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan dan berlangsung progresif sampai berbulan-bulan dengan gejala yang tidak khas sehingga sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling umum dan sering disertai dengan distensi abdomen. Lokalisasi nyeri abdomen tidak jelas. Nyeri umumnya disebabkan oleh inflamasi tuberkulosis di peritoneum dan mesenterium. Lebih jarang lagi, nyeri dapat merupakan manifestasi dari obstruksi intestinal subakut, sebagai hasil dari usus yang susunannya tidak anatomis disebabkan oleh adhesi dari mesenterium dan omentum. Susunan usus yang tidak teratur dapat dirasakan sebagai massa yang teraba pada pemeriksaan abdomen. Gejala-gejala abdominal seperti muntah, diare, dan konstipasi jarang dikeluhkan pasien.10 Nyeri tekan pada saat palpasi sering ditemui pada TB peritoneal dan terjadi hampir pada 48% kasus dan hal ini dapat membantu membedakannya dari spontaneous bacterial peritonitis. Rebound tenderness jarang ditemui pada pasien karena adanya cairan asites mencegah perlekatan peritoneum parietal dan visceral.10 Asites merupakan gejala predominan dan manifestasinya tampak pada 73% pasien. Cairan asites biasanya berwarna kekuningan. Pada TB peritoneal, cairan asites merupakan eksudat, cairan yang secara efektif disekresikan oleh jaringan yang inflamasi maupun akibat malignansi10. Reaksi awal peritoneum

terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ di dalam kavum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dalam kavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernafasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Tabel 2.1 menunjukkan suatu hasil studi systematic review yang berasal dari 35 studi yang berbeda.11

Tabel 2.1 Data Kumulatif Manifestasi Klinis TB Peritoneal dari 35 Studi

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu.Keluhan terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam.Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Jasmani pada 30 orang Penderita Tuberkulosis Peritoneal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 1975-19791
Gejala Pembengkakan perut dan nyeri Asites Hepatomegali Ronchi pada paru (kanan) Pleura effusi Splenomegali Tumor Intra abdomen Limfadenopati Terlibatnya paru & Pleura Persentase

51% 43% 43% 33% 27% 20% 13% 13% 63% (atas dasar foto torax)

2.1.5. Pemeriksaan dan Diagnosis 2.1.5.1. Pemeriksaan Laborarium Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit

kronis,leukositosis ringan ataupun leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif.1 Pada pemeriksaan analisa cairan asites, umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein >3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000 sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit. LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang purulen dapat ditemukan, begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengankultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif. Beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTA-nya yang positif

dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disentrifugasi dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.1 Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada Tuberkulosis Peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik, penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan ikat.12 Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada Tuberkulosis Peritoneal <0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rasionya >0,96. Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada Tuberkulosis Peritoneal dan dijumpai perbedaan yang signifikan dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.1 Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat, dan noninvasif adalah pemeriksaan ADA (Adenosin Deminase Actifity), Interferon Gamma (IFN-) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cctt off > 33 u/l mengurangi false positive dari sirosis hati atau malignansi. Pada sirosis hati konsentrasi ADA lebih rendah secara signifikan dari Tuberkulosis Peritoneal (14 10,6 u/l). Pemeriksaan INF- lebih baik walaupun nilainya adalah sama dengan pemeriksaan ADA. Sedangkan pada pemeriksaan PCR, hasilnya lebih rendah lagi dibanding kedua pemeriksaan tersebut.12 Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer Antigen 125) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama

10

kehamilan, menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endoserviks, pankreas, ginjal, kolon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pankreas, sirosis hati, peradangan peritoneum, perikardium dan pleura.1

2.1.5.2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto toraks dapat membantu, dengan pemeriksaan sinar

tembus pada sistem pencernaan sehingga dapat diketahui jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar. Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberkulosis yang sering dijumpaiantara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat bantu biopsi secara tertutup dalam menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritoneal. Pemeriksaan CT Scan untuk Tuberkulosis Peritoneal tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari Tuberkulosis Peritoneal. Peritonoskopi/laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis Peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya, dan cara ini dapat mendiagnosa tuberkulosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsi yang terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%.

11

Gambaran yang dapat dilihat pada Tuberkulosis Peritoneal , yaitu: a. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul. b. Perlengketan yang dapat bervariasi dari yang sederhana sampai hebat (luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif. c. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul. d. Cairan asites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.

Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus, sekaligus dapat mengeluarkan cairan. Pemeriksaan yang dahulu pernah dikerjakan adalah laparotomi.

Laparotomi merupakan tindakan diagnosis yang sering dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana jika diagnose tidak dapat ditegakkan atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, dan atau adanya cairan asites yang bernanah.

2.1.6. Terapi Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan tuberkulosis paru. Obat-obat seperti streptomisin, INH, etambutol, rifampicin dan pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai 9-18 bulan atau lebih.

12

Kortikosteroid

dapat

mengurangi

perlengketan

peradangan

dan

mengurangi terjadinya asites, dan juga terbukti dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian. Namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mycobacterium tuberculosis. Peneliti yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien dengan Tuberkulosis Peritoneal mendapatkan bahwa pemberian

kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit perut dan sumbatan pada usus.

You might also like