You are on page 1of 20

BAB II TINJAUN TEORI

I.

HEMODIALISA

A. PENGERTIAN HEMODIALISA 1. Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialisi yang berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Terapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisa dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian. Tujuan dari hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan kedalam mesin dialisis. (Muttaqin & Sari, 2011).

2. Hemodialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. ( Price dan Wilson, 2005)

3. Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006) 4. Unit hemodialisa adalah merupakan ruangan khusus yang tidak terpisah dari satu rumah sakit untuk melaksanakan tindakan hemodialisis baik akut maupun kronik / terminal.

B. TUJUAN HEMODIALISA Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisasisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain. b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

C. INDIKASI PELAKSANAAN HEMODIALISA Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan

biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi. Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik. Kemudian Thiser dan Wilcox (2003) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 810 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (2003) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

D. KONTRA INDIKASI PELAKSANAAN HEMODIALISA Menurut Thiser dan Wilcox (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

E. PRINSIP HEMODIALISA Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, kecairan dialisat

dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan, Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan). Sistem dapar (buffer sisite) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Smeltzer & Bare, 2002).

F. PROSES HEMODIALISA Suatu mesin hemodialisa

yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi

mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah

korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah

dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk

memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 2003). Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh

tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006). Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow

fiber atau capillarydializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 2005).

Menurut Corwin (2004) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Selanjutnya Price dan Wilson (2005) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membransemipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan

kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran denganquick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 2005). Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanyahemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 15 jam/minggu dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2004) hemodialisa memerlukan waktu 3 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.

G. KOMPLIKASI PELAKSANAAN HEMODIALISA

Menurut Tisher dan Wilcox (2003) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain : 1. Kram otot Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi. 2. Hipotensi Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan. 3. Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa. 4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat. 5. Hipoksemia Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar. 6. Perdarahan Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan factor risiko terjadinya perdarahan. 7. Ganguan pencernaan Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler. 8. Pembekuan darah Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

H. PENATALAKSANAAN HD PADA PASIEN GGK

Pada klien GGK, tindakan hemodialisa dapat menurunkan risiko kerusakan organorgan vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisa tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Klien GGK biasanya harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Muttaqin & Sari, 2011).

Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare, 2002). Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan.Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan anti hipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Smeltzer & Bare, 2002).

I. FREKUENSI HEMODIALISA

Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika : 1. Penderita kembali menjalani hidup normal. 2. Penderita kembali menjalani diet yang normal. 3. Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi. 4. Tekanan darah normal. 5. Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

J. PROSEDUR HEMODIALISA national kidney foundation

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.

Jika

akses

vaskuler

telah

ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran arterial, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum arterial diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan. Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port

obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan. Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui venosa atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser. Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis

I. Teknik dan prosedur Hemodialisis dengan meggunakan Punksi dan kanulasi Pengertian :

Suatu tindakan memasukkan jarum AV Fistula ke dalam pembuluh darah untuk sarana hubungan sirkulasi yang akan digunakan selama proses hemodialisis. Tujuan : Agar proses hemodialisis dapat berjalan lancar sesuai dengan hasil yang diharapkan Punksi dan kanulasi terdiri dari : 1. Punksi Cimino 2. Punksi Femoral

Punksi Cimino a. Persiapan Alat-alat 1. 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari : 2. 3 buah mangkok kecil a. 1 untuk tempat NaCL b. 1 untuk tempat Betadine c. 1 untuk Alkohol 20% 3. Arteri klem 4. 1 spuit 20 cc 5. 1 spuit 10 cc

6. 1 spuit 1 cc 7. Kassa 5 lembar (secukupnya) 8. IPS sarung tangan 9. Lidocain 0,5 cc (bila perlu) 10. Plester 11. Masker 12. 1 buah gelas ukur / math can 13. 2 buah AV Fistula 14. Duk steril 15. Perlak untuk alas tangan 16. Plastik untuk kotoran b. Persiapan Pasien 1. Timbang berat badan 2. Observasi tanda-tanda vital dan anamnesis 3. Raba desiran pada cimino apakah lancar 4. Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin 5. Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh pasien 6. Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai 7. Letakkan perlak di bawah tangan pasien 8. Dekatkan alat-alat yang akan digunakan c. Persiapan Perawat 1. Perawat mencuci tangan 2. Perawat memakai masker 3. Buka bak instrumen steril 4. Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%, dan Betadine 5. Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrumen 6. Perawat memakai sarung tangan 7. Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan) 8. Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV Fistula d. Memulai Desinfektan

1. Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu masukkan kassa bekas ke kantong plastik 2. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan vena lain dengan cara seperti no.1 3. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering, masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di gelas ukur 4. Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di tangan e. Memulai Punksi Cimino 1. Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain. 2. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 10 cm dari anastomose 3. Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm 4. Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain 5. Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril f. Memasukkan Jarum AV Fistula 1. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat pada saat pemberian anestesi lokal 2. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester 3. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm 4. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang sensor monitor 5. Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien 6. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan penusukan pada daerah femoral 7. Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat dipakai kembali di bawa ke ruang disposal 8. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan

II.

PERITONEUM DIALISIS

A. Pengertian Peritoneum Dialisis

Dialisis perotoneum adalah dialisis yang menggunakan membran peritoneum sebagai sarana petukaran cairan dialisis; berbeda dengan hemodialisis yang melalui pembuluh darah. Tujuan dialisis ialah mengeluarkan zat-zat toksik dari tubuh seperti ureum yang tinggi pada GGA atau GGK, atau racun didalam tubuh dan lain sebagainya. Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Peritoneal dialysis atau CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) merupakan metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). B. Indikasi Dibedakan indikasi klinik dan biokimis : 1. Indikasi Klinik : a. Gagal ginjal : Akut, ditandai dengan oliguriamendadak dan gejala uremia. Kronik, gunanya untuk menopang kehidupan selama pasien dalam pengawasan atau untuk rencana transplantasi ginjal. b. Gagal jantung atau edema paru yang sukar diatasi. c. Keracunan yang menimbulkan gagal ginjal atau gagngguan keseimbangan cairan dan elektrolit. d. Keracunan obat mendadak dan perlu mengeluarkan obat tersebut. e. Gejala uremia mayor. Yang menunjukan adanya gagal ginjal akut/kronik yang telah terminal dengan gejala: Muntah sering, kejang, disorientasi, somnolen sampai koma.

Tanda hidrasi berlebihan: edema paru, gagal jantung, hipertensi yang tidak terkendali. Perdarahan.

2. Indikasi Biokemis a. Ureum darah lebi dari 250 mg%. Ureum sendiri tidak sangat toksik, tetapi diperlukan pemeriksaan ureum secara teratur selama dialisis. b. Kalium darah lebih dari 8 mEq/L. Peninggian kadar kalium darah lebih dari 8 mEq/L dapat menimbulkan atetmia jantung yang fatal. c. Bikarbonat darah kurang dari 12 mEq/L. Kadar bikarbonat darah yang rendah akan merupakan peluang terjadinya asidosis metabolik. Kadar bikarbonat plasma yang rendah secara klinik ditunjukan adanya pernafasan yang cepat dan dalam. Kontraindikasi mutlak pada hakekatnya tidak ada, tetapi harus hati-hati terhadap kemungkinan adanya peritonitis lokal, fistel atau kolostomi, penyakit abdomen, anastomosis pembuluh darah besar abdomen, perdarahan yang sukar diatasi. d. Dialisis dilakukan dokter di kamar yang aseptik.

C. Persiapan yang diperlukan : 1. Persiapan cairan dialisis Cairan untuk dialisis ada tersendiri adalah dexterose yang berkadar 1,5%, 4,25% dan 7%. Selain itu harus tersedia larutan KCL, larutan Natrium-Bikarbonat, Albumisol dan heparin 10 mg/ml. Untuk infus biasa diperlukan glukosa 5%-10%. Alat-alat untuk tindakan dialisis. 2. Set untuk dialisis (terdiri dari: Selang/kateter khusus yang telah dilengkapi denga klem. Kateter tersebut dimasukan kedalam rongga peritoneum dan bagian sebelah luar salah satu cabangnya dihubungkan dengan penampung urine (urine bag) atau kantong plastyikkhusus yang ada skalanya dan cabang yang lain ke botol cairan. 3. Stylet atau bisturi kecil, trokar yang ssuai dengan ukuran kateter, pinset. 4. Sarung tangan steril. 5. Kasa dan kapas lidi steril. 6. Arteri klem 2. 7. Spuit 2 cc, 5 cc, 10 cc dan 20 cc. 8. Desinfektan: yodium/betadin 10% alkohol 70%. 9. Novocain 2%. 10. Gunting, plester, pembalut.

11. Pengukat tanan atau kaki. 12. Bengkok. 13. Kertas untuk catatan. 14. Tempat pemanas cairan yang harus selalu terisi air panas (khusus bila ada untuk pemanas cairan yang elektrik).

D. Persiapan pasien : 1. Bila pasien masih sadar diberitahukan dan diberikan dorongan moril agar pasien tidak takut. Satu jam sebelum dialisis dilaksanakan kulit pada permukaan perut sampai di daerah simpisis dibersihkan dengan air dan sabun kemudian sesudahnya dikompres dengan alkohol 70% sampai dialisis akan di mulai. Beritahukan pasien agar kompres tetap di tempatnya. 2. Pasien dipasang infus. Kandung kemih dikosongkan. Pasien disuruh berkemih atau dipasang kateter. Pasang pengikat pada tangan dan kaki (sambil dibujuk dan ikatan jangan terlalu kencang).

E. Pelaksanaan Dialisis 1. Setelah dokter berhasil melakukan pemasangan kateter dialisis, pangkal kateter dihubungkan dengan selang pada kantong penampung cairan dialisis yang digantungkan pada sisi tempat tudur (satu pipa dihubungkan dengan selang cairan dialisis). Pasang klem pada selang pembuangan ini. 2. Setelah persiapan selesai buka klem yang dari botol cairan dialisis; memasukan cairan ini berlangsung selama 15 menit untuk 1 botol cairan. Setelah cairan habis klem ditutup biarkan cairan berada didalam rongga peritoneum selama 30 menit. Banyaknya cairan yang dimasukan dimulai dari 30-40 ml/kg sampai maksimum 2 leter. 3. Sesudah 30 menit Buka klem yang ke pembuangan; cairan akan keluar dalam waktu 15 menit. Jika tidak ancar berarti ada gangguan, dan banyaknya cairan yang keluar harus sebanding dengan yang dimasukan.Pada uumnya kurang sedikit; tetapi jika trlalu banyak perbdaannya harus memberitahukan dokter. 4. Bila cairan tidak kelur lagi,selangdi klem; masukn cairan dialisis dan selanjutnya dilakukan seperti siklus pertam. Siklus ini dapat sampai 24-36 kali sesuai dengan hasil pemeriksaan ureum. Ureum dikontrol setiap 3 jam selama dialisis berlangsung.

Tesimeter dipasang menetap dan diukur secara periodik (sesuai petunjuk dokter dan melihat perkembangan pasiennya). 5. Selama dialisis biasanya pasin boleh minum; kadang-kadang juga makan. Untuk mencegan sumbatan fibrin pada selang dialisis pada setip botol cairan dialisis ditambahkan 1.000 Unit Heparin. Biasanya dilakukan terutama pada permulaan dialisis.

F. Komplikasi dialisis Komplikasi dialisis dapat terjadi disebabkan karena drainase, infeksi, syndrom di sekuilibrium dialisis dan masalah yang timbul akibat komposisi cairan. Komplikasi tersebut adalah :

1. Nyeri abdomen berat. Biula terjadi saat pengisian abdomen. Tindakannya selang segera di jepit (diklem), pasien diubah posisinya misalnya didudukan. Jika tidak ada perbaikan kateter harus diperbaiki (oleh dokter). Nyeri hebat mendadak mungkin disebabkan ruptur peritoneum. 2. Bila mengikuti drainase, isi kembali ke ruang abdomen dengan sebagian dialisat. 3. Penyumbatan drain. 4. Urut perut pasien dan ubah posisi pasien. 5. Manipulasi kateter atau suntikan 20 ml dialisat dengan kuat untuk membebaskan sumbatan. Bila gagal, pindahkan kateter pada posisi lain. 6. Berikan heparin pada dialisat untuk mengurangi pembekuan darah dan merendahkan fibrin. 7. Kontrol dengan pemeriksaan sinar x. Bila ada perdarahan intraperitoneum yang masuk ke dalam kateter, kontrol kadar hematokit dialisat untuk menilai lama dan beratnya pendarahan. 8. Hipokalsemia; dicegah dengan menambahkan 3,5-4 mEq/L kalsium per liter dialisat. Hidrasi berlebihan dapat diketahui dengan mengukur berat badan tiap 8 jam. Berat badan pasien akan turun 0,5-1% setiap hari. Jika meninggi berikan dialisat dextrose 27 % atau ke dalam cairan dialisat ditambahkan cairan dextrose 1,5% dan 7% bergantiganti atau bersama-sama dengan perbandingan 1:1.

9. Hipovolemia dapat diketahui denga mengukur tekanan darah dan mengawasi tandatanda renjatan. Jika ada berikan albumin 5% secara intravena atau infus dengan NaCl 0,9%. 10. Hipokalemia ditentukan dengan cara mengukur kadar kalium darah dan mengawasi perubahan EKG yang terjadi (gejalanya: perut kembung, nadi lemah).

Infeksi dicurigai bila cairan dialisat yang dikeluarkan keruh atau berwarna. Peritonitis terjadi biasanya karena kuman gram negatif atau streptococus aures. Berikan antibiotik. 11. Hiperglikemi terjadi karena absorbsi glukosa dari dialisat. Bila kadar glukosa darah meningkat, koreksi dengan memberikan insulin dengan dosis yang sesuai. Hipoproteinemia timbul karena keluarnya protein dalam dialisat. Bila terjadi, tindakannya diberikan albumin atau plasma. 12. Pneumoni dan atelektasis diberikan pengobatan baku. 13. Sindrom disekuilibrium dialisis lebih sering terjadi pada hemodialisis. Dapat terjadi selama dialisis atau setelah 24 jam pertama yang ditandai oleh gejala kelemahan umum, mengantuk, bingung. Lebih berat terdapat gejala tegang, hipertensi, berhentinya pernafasan dan denyut jantung. Diduga patogenesisnyan karena meningginya osmolalitas cairan serebrospinal dibandingkan dengan cairan

eksrtaseluler. Perbedaan osmolalitas menyebabkan masuknya cairan kedalam otak. Sindrom ini diatasi dengan pemberian glukosa hpertoik secara intravena dan diharap dapat mengubah perbedaan osmolalitas hingga kembali normal. 14. Dapat terjadi, hiperglikemih nonketon sebagai akibat pengaruh osmosis glukosa yang memasuki ruang ekstraseluler selama dialisis yang tidak dimetabolisme secara sempurna pada saat uremia. Kadar glukosa dapat melampaui 500mg%. Untuk menurunkan kadar tersebut diperlukan insulin. Jika menggunakan cairan yang 7% dapat terjadi dehidrasi ekstraseluyler dan deplesi volume pembuluh darah yang menimbulkan renjatan.

G. Penatalaksanaan Keperawatan

Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi dan gangguan rasa aman dan nyaman. Pasien yang dilakukan dialisis adalah pasien yang sakit payah sedangkan dialisis merupakan tindakan yang penuh resiko dengan berbagai komplikasi. Oleh karena itu pasien yang dilakukan tindakan dialisis memerlukan pengawasan

yang cermat. Untuk ini biasanya diperlukan 1-2 tenaga khusus yang selalu ada di tempat dialisis. Adanya berbagai komplikasi dari sakit perut, perut kembung, kejang, renjatan sampai dengan koma, maka pasien memerlukan pengawasan tanda-tanda pital setiap saat. Tekanan darah diukur stiap jam, bila perlu lebih sering, oleh karena itu tensi meter dipasang tetap. Juga menghitung nadi pernapasan serta suhu dilakukan lebih sering sesuai dengan keadaan pasien. Jika terjadi hal-hal yang tidak semestinya pada pelaksanaan dialisis (yang memasukan dan mengeluarkan cairan dialisa perawat) setelah dilakukan tindakan sesuai petunjuk dokter pada daftar dialisis supaya segera menghubungi dokter. Pengawasan tanda-tanda vital dan gangguan yang terjadi selama dialisis (bila ada) selalu dicatat dalam catatan khusus. Jumlah urine yang sebelum dibuang juga dicatat. Perhatikan sesuai atau tidak. Obat-obatan diberikan sesuai petunjuk. Dan harus selslu disediakan obat yang diperlukan sewaktu-waktu. Juga alat untuk EKG. Ureum dikontrol setiap 3 jam/6 jam sesuai petunjuk dokter atau melihat keadaan pasien. Berat badan ditimbang setiap 8 jam. Setelah dialisis selesai, luka ditutup denan kasa steril yang diolesi dengan salep antibiotik, diplester kemudian pasien dipasang gurita.Selama 24 jam berikutnya, pasien diobservasi terus karena komplikasi masih mungkin terjadi. Gangguan rasa aman dan nyaman. Tindakan dialisis tentu merupakan hal yang menakutkan pasien, selain timbul rasa sakit juga takut melihat alat-alatnya. Biasanya dialisis dilakukan diruangan khusus jika tidak di ICU. Oleh karena itu jika pasien tidak payah atau koma perlu pendekatan yang baik. Berikan dorongan agar tidak takut dan jelaskan mengapa perlu dilakukan dialisis. Untuk memberikan rasa aman biasanya orang tua di izinkan menunggu. Selama dialisis pasien boleh makan dan minum, dan keluarga boleh membantu memberikannya. Dengan adanya keluarga disisinya dan perhatian dari perawatnya gangguan rasa aman dan nyaman dapat dikurangi

III.

CIMINO

Suatu tindakan pembedahan dengan cara menghubungkan arteri radialis dengan vena cephalica sehingga terjadi fistula arteriovena sebagai akses dialisis.

DAFTAR PUSTAKA

You might also like