You are on page 1of 16

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

KAJIAN TELAGA DI DIENG UNTUK BUDIDAYA

Oleh : Nama NIM : Destriana Wulandari : H1H010001

JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Dieng adalah sebuah kawasan di daerah dataran tinggi di perbatasan antara

Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Desa Dieng terbagi menjadi Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Kawasan ini terletak sekitar 26 km di sebelah utara ibukota Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian mencapai 6000 kaki atau 2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin. Temperatur berkisar 15-20C di siang hari dan 10C di malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0C di pagi hari, terutama antara Juli-Agustus. Di daerah Dieng terdapat beberapa buah telaga yang terbentuk dari bekas-bekas kawah dan ada yang terbentuk akibat gerakan tektonik yang terjadi di wilayah tersebut, sehingga membuat cekungan dan terisi oleh air yang kemudian menjadi sebuah telaga. Beberapa contoh telaga yang ada di Dieng yang menjadi objek kajian adalah Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua telaga ini jaraknya berdeketan. Dinamai Telaga Warna karena memantulkan beberapa warna. Kandungan belerang di dalamnya memantulkan warna kehijauan, sedangkan ganggang merah yang ada di dalamnya mengeluarkan warna kemerahan, dan jernihnya air bewarna biru muncul akibat pantulan gradasi sinar matahari. Telaga ini tidak begitu jauh dari pertigaan tempat dimana bis yang berasal Wonosobo menurunkan penumpangnya, hanya berkisar 500 m dari pertigaan tersebut. Telaga Pengilon merupakan telaga yang memiliki air yang jernih sehingga dapat digunakan untuk bercermin, hal inilah yang menjadikan telaga tersebut diberi nama Telaga Pengilon (ngilon dalam Bahasa Jawa yaitu bercermin). Telaga dapat digunakan masyarakat sebagai media untuk membudidayakan ikan. Pemanfaatan tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat disekitar telaga. Kajian mengenai telaga untuk budidaya sangat diperlukan di sini karena untuk mengetahui apakah telaga tersebut dapat digunakan sebagai media budidaya atau tidak dilihat dari beberapa parameter yang memungkinkan untuk ikan dapat hidup di telaga

tersebut. Parameter-arameter yang digunakan antara lain: suhu, DO, pH, data lokasi seperti kemiringan tanah, dan lain-lain. 1.2. Tujuan Tujuan dari praktikum kajian telaga di Dieng untuk budidaya ini adalah: 1. 2. Mengetahui kondisi fisik dan kimia Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng Menganalisis dan mengkaji ekosistem Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng untuk budidaya perikanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Ekosistem dan Telaga Ekosistem merupakan hubungan antara satu kesatuan komunitas biologi dengan

lingkungan fisik yang melengkapinya atau secara umum merupakan interaksi antara unsur biotik dan abiotik. Dalam ekosistem air dari komunitas biotik dan permukaan bumi lalu jatuh kembali sebagai air hujan atau salju dan memasuki lingkungan daratan atau laut. Lingkungan fisik berpengaruh terhadap struktur dan karakteristik komunitas biologi, namun sebaliknya komunitas biologi juga dapat mempengaruhi karakter fisik dari ekosistem (Haslam, 1995). Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam keadaan stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis. Gangguan ekologis ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang (Odum, 1972). Telaga merupakan perairan yang timbul dari cekungan permukaan bumi yang kemudian terisi oleh massa air yang kapasitasnya sangat besar. Atau secara singkatnya Telaga adalah semacam danau yang kecil dimana sinar matahari bahkan dapat mencapai dasarnya. Telaga di Dieng merupakan telaga yang terbentuk akibat proses vulkanik (Danau Vulkanik). Danau vulkanik yaitu suatu danau yang terletak pada lubang kepundan (kawah) yang timbul akibat aktivitas vulkanik atau letusan gunung berapi (Utoyo, 2007). 2.1.1 Telaga di Dieng Dataran tinggi Dieng (DTD) adalah dataran dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, seperti Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila (1979). Tidak hanya gas beracun,

tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir (Anonim, 2009). Salah satu telaga yang terletak dikawasan Dieng adalah Telaga Warna. Telaga Warna adalah salah satu telaga dan menjadi objek wisata yang terletak di desa Dieng, sebuah kawasan di daerah dataran tinggi di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Sebuah telaga yang sering memunculkan nuansa warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung. Kawasan ini terletak sekitar 26 km di sebelah Utara ibukota Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian mencapai 6000 kaki atau 2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin. Temperatur berkisar 15-20C di siang hari dan 10C di malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0C di pagi hari, terutama antara Juli-Agustus. Penduduk setempat menyebut suhu ekstrim itu sebagai bun upas yang artinya "embun racun" karena embun ini menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian. Ekosistem yang terdapat di wilayah telaga warna di pegunungan Dieng merupakan interaksi dari faktor abiotik dan biotik di sekitar telaga, di antaranya faktor biotik yaitu tumbuhan reparian vegetasion atau tumbuhan tepi, plankton, beberapa jenis serangga, lumut, ulat, cacing, burung, namun sangat jarang di temukan adanya ikan di wilayah telaga. Selain itu faktor abiotik yang mendukung interaksi adalah faktor abiotik seperti pH air, kecerahan, dan semua faktor fisik dan kimia pada yang saling berhubungan dengan ekosistem telaga. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang mempengaruhi (Haslam, 1995). Telaga Pengilon letaknya berada di samping Telaga Warna, tepatnya di sebelah selatan. Sesuai dengan namanya, Telaga Pengilon memiliki warna air yang sangat jernih/bening. Mengenai ukurannya, Telaga Pengilon lebih kecil daripada Telaga Warna (Anonim,2011). Telaga Pengilon diambil dari Bahasa Jawa yaitu ngilo yang berarti bercermin. Nama itu diambil karena kejernihan air di Telaga Pengilon, disangkutkan dengan sebuah mitos yaitu apabila seseorang bercermin di telaga tersebut yang baik hati akan terlihat

cantik atau tampan, begitu juga sebaliknya apabila ada seseorang berhati busuk bercermin di telaga tersebut maka akan terlihat jelek (Fajar, 2010). Di Telaga Pengilon banyak sekali rerumputan yang tumbuh menjulang. Hal ini menyebabkan telaga ini tidak dapat digunakan untuk bercermin lagi. Telaga ini juga warnanya sudah mulai tidak jernih. Hal ini disebabkan banyaknya petani yang menggunakan air dari telaga ini untuk mengairi sawah mereka. 2.1.2. Kajian Ekosistem dengan Budidaya Kajian Ekosistem dapat dilakukan melaui pendekatan holistik. Pendekatan holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan budidaya yang merupakan salah satu cara untuk dapat menyeimbangkan lingkungan. Budidaya dapat dilakukan dengan melihat kelimpahan plankton di tempat yang akan dibudidayakan. Istilah plankton adalah suatu istilah umum. Kemampuan berenang organisme-organisme planktonik demikian lemah sehingga mereka sama sekali dikuasai oleh gerakan-gerakan air (Odum, 1972). Plankton merupakan makanan alami bagi organisme perairan. Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perairan. Fitoplankton merupakan produsen utama di perairan dan awal mata rantau dalam jaringan makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu ekosistim. Sedangkan organisme konsumen adalah zooplankton, larva, ikan, udang, kepiting dan sebagainya (Djarijah,1995). Plankton adalah organisme yang berukuran kecil dan hidup terombang-ambing oleh arus. Plankton terbagi menjadi 2 yaitu zooplankton (hidup sebagai hewan) dan fitoplankton (sebagai tumbuhan). Zooplankton adalah hewan microorganisme,laut yang planktonik sedangkan

fitoplankton merupakan tumbuhan laut yang melayang dan hanyut dalam laut serta dapat berfotosintesis (Nybakken,1992). Plankton yang ada di telaga yang terdapat di Dieng adalah Hyalotheen undulate, Cymbella tumida, Melosira salina, Cymbella helvetion, Nittzschia eurvula, Synedra acus.

2.2.

Parameter Fisika-Kimia Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisika-kima

perairan. Organisme yang dapat disesuaikan dengan kondisi sifat fisika-kimia yang akan mampu hidup (Krebs, 1978). 2.2.1. Derajat keasaman (pH) Nilai pH dalam suatu perairan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan. Sehingga pH dapat dijadikan sebagai indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur hara yang bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. Setiap organisme memiliki batas toleransi terhadap pH dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktifitas fotosintesis, suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya anion, jenis dan organisme. Suatu organisme dapat hidup dalam perairan yang mempunyai pH netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah (Barus, 2002). Nilai pH netral yaitu air tidak bersifat asam dan basa, nilai pH lebih besar dari 7 bersifat basa, sedangkan nilai pH lebih kecil dari 7 bersifat asam. Telaga yang bersifat asam keadaan airnya jernih. Telaga yang bersifat basa keadaan airnya keruh, dan telaga yang bersifat netral keadaan airnya keruh kecoklatan (Asdak, 2007). 2.2.2. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses yang terjadi di lingkungan perairan. Suhu dalam suatu perairan di pengaruhi oleh substrat, kekeruhan, air hujan, dan pertukaran panas dengan permukaan air. Suhu yang layak untuk kehidupan suatu organisme air tawar berkisar antara 20C 30C dengan suhu optimum berkisar antara 25 C - 28 C (Iskandar, 2002). Suhu sangat penting bagi berlangsungnya proses metabolisma dalam perairan. Bagi komponen biotik, suhu mempengaruhi kandungan gas terlarut. Tiap-tiap organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang berbeda-beda dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri hingga titik tertentu, sehingga untuk meyesuaikan suhu suatu habitat yang lainya dapat beradaptasi (Odum, 1993).

2.2.3.

Pengukuran Dissolved Oxygen (DO) Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal

dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah DO (Dissolved Oxygen) maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen yang terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerob yang mungkin saja terjadi. Oksigen terlarut dibutuhkan untuk semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energy untuk pertumbuhan dan pembiakan. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organism yang hidup dalam perairan tersebut. Kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurangnya dengan semakin tingginya salinitas (Odum, 1971).

III. MATERI DAN METODE

3.1. 3.1.1.

Materi Alat Alat yang digunakan pada praktikum Kajian Ekosistem Telaga di Dieng untuk

Budidaya adalah termometer, kertas pH, botol Winkler, label, konduktivitimeter, lup, pipet tetes, tali rafia, dan alat tulis. 3.1.2.
Bahan Bahan yang digunakan pada praktikum Kajian Ekosistem Telaga di Dieng untuk Budidaya adalah larutan MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat, Na2S2O3 dan amilum untuk mengukur DO (kadar oksigen).

3.2. 3.2.1.

Prosedur kerja Temperatur Pengukuran temperatur yaitu dengan mencelupkan sebagian dari termometer

kedalam air, dilakukan di tiga titik.


3.2.2. Potensial Hidrogen

Potensial Hidrogen dari telaga diukur dengan mencocokan warna kertas pH meter yang telah dicelupkan kedalam air. 3.2.3. Oksigen Terlarut (DO) Sampel air diambil dengan menenggelamkan botol neril secara hati-hati kedalam perairan agar tidak ada gelembung udara yang terbawa masuk. Ditambahkan larutan 1 ml MnSO4 dan larutan 1 ml KOH-KI. Lalu botol dikocok dengan membolakbalikkan botol sampai terbentuk endapan berwarna coklat. Ditambahkan 1 ml H2SO4 dan dikocok sampai endapan larut dan berwarna kuning. Larutan diambil sebanyak 100 ml dan dimasukkan kedalam tabung Erlenmeyer kemudian ditambahkan indikator amilum sebanyak 10 tetes. Larutan dititrasi dengan Na2S2O3 0.025 N. Kemudian titrasi dihentikan saat larutan berubah menjadi jernih. 3.2.4. Letak Geografis Letak geografis didiskripsikan dengan melihat kondisi sekitar. Letak berdasarkan lintang, bujur, dan kemiringan ditentukan dengan menggunakan GPS.

3.3.

Waktu dan tempat Praktikum ini dilakukan pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011 di Telaga

Warna dan Telaga Pengilon, Dieng.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Tabel 1. Faktor Fisikokimia Telaga Dieng Stasiun T.Warna T.Pengilon 4.2. 4.2.1. Pembahasan Oksigen (O2)
7 6 5 4 3 2 1 0 Telaga Warna Telaga Pengilon PP No.82, 2001

O2 (ppm) 0 6

Suhu (oC) 20 21

pH 3 7

Letak Geografis S E o o 07 1256 109 5449 07o1250 109o551

Lebih dari 3 ppm


DO (ppm)

Gambar 1. Grafik Oksigen Terlarut Telaga Warna memiliki kadar oksigen terlarut 0 ppm dan ini menunjukkan bahwa Telaga Warna tidak cocok untuk dijadikan area budidaya karena tidak mendukung untuk habitat plankton yang digunakan sebagai pakan alami ikan. Sedangkan Telaga Pengilon memiliki kadar oksigen terlarut sebesar 6 ppm. Menurut PP No. 82 (2001), kandungan oksigen terlarut yang ideal bagi habitat biota akuatik adalah > 3 mg/L. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di Telaga Pengilon mendukung untuk habitat pakan alami (plankton) dan ikan.

4.2.2. Suhu (0C)


30 25 20 15 10 5 0 Telaga Warna Telaga Pengilon Effendi, 2003 Temperatur (C)

Gambar 2. Grafik Suhu Temperatur merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat dijadikan

sebagai parameter untuk keberadaan organisme pada suatu daerah (Iskandar, 2002). Telaga Pengilon memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan Telaga Warna. Temperatur di Telaga Pengilon berkisar adalah 21o C, sedangkan Telaga Warna memiliki temperatur 20o C. Apabila ditinjau dari temperatur, Telaga Pengilon dikategorikan dapat dijadikan tempat atau daerah budidaya perikanan karena memiliki temperatur yang tidak terlalu rendah dibandingkan dengan Telaga Warna. Berdasarkan referensi, temperatur yang baik untuk budidaya adalah sekitar 27 o C (Effendi, 2003). 4.2.3. Derajat Keasaman Air (pH)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 Telaga Warna Telaga Pengilon Hawkes, 1979

Derajat Keasaman (pH)

Gambar 3. Grafik Derajad Keasaman Telaga warna memiliki kandungan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan Telaga Pengilon. Telaga Warna sangat tidak cocok apabila dijadikan sebagai tempat

budidaya perikanan karena memiliki kandungan pH berkisar 3, sedangkan Telaga Pengilon memiliki kandungan pH 7 sehingga cocok apabila dijadikan tempat budidaya. Suatu perairan memiliki kandungan pH yang tidak kurang dari 5 dapat menghambat kelangsungan hidup dari organisme yang akan dibudidayakan. Normalnya kandungan pH yang baik digunakan sebagai budidaya ataupun sebagai tempat tinggal yaitu pada nilai 7 (Hawkes, 1979). 4.2.4. Letak Geografi

Ketinggian tempat yang cocok untuk pembudidayaan ikan adalah minimal 500 dpl (Allan, 1995). Dieng terletak di daratan tinggi yaitu pada ketinggian mencapai 6000 kaki atau 2.093 m di atas permukaan laut dengan suhu siang hari antara 15C dan 10C pada malam hari. Hanya beberapa organisme tertentu yang dapat bertahan hidup pada ketinggian 6000 kaki ini. Hasil pengukuran menunjukkan letak bujur dan lintang Telaga Warna adalah 07o1256 dan 109o5449, sedangkan Telaga Pengilon adalah 07o1250 dan 109o551.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil pengamatan tentang kajian telaga sebagai budidaya, dapat disimpulkan: 1. Telaga Pengilon dapat berpotensi sebagai tempat budidaya, karena memilliki kondisi fisiko - kimia (pH, oksigen terlarut, temperatur, konduktivitas, dan salitnitas) dan keadaan alami yang lebih baik daripada Telaga Warna. 2. Telaga Warna tidak cocok untuk tempat budidaya karena mempunyai kadar belerang yang cukup tinggi dan memiliki kondisi alam yang tidak masuk kedalam kategori tempat perairan yang dapat ditempati oleh organisme dan tidak sesuai dengan syarat hidup akuatik khususnya ikan. 5.2 Saran Hasil dari praktikum ini diharapkan dapat menjadi himbauan untuk para

pengembang yang ingin melakukan usaha dibidang perikanan, bahwa keadaan fisiko kimia dan geografi wilayah Dieng tidak mendukung untuk usaha perikanan budidaya. Menghentikan konversi hutan menjadi lahan pertanian karena sangat berpengaruh pada kondisi udara, tanah dan kualitas air itu sendiri menjadi upaya untuk melestarikan kelestarian perairan di Dieng.

DAFTAR PUSTAKA
Allan, JD. 1995. Stream Ecology: Structure and Function of Running Waters. Chapman and Hall: London. Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada university press: Yogyakarta.

Barus, 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia: Jakarta. Begon, M., Harper, J., Colin and S.Town. 1990 3rd ed. Ecology Individual, Population and Comunities. Blackwell Scientific Publication: Boston, Oxford, London. Djarijah, A.S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius: Jakarta. Fajar. 2010. Telaga Warna, Pengilon, Cebong, Merdada dan Menjer. http://jayana sukma.blogspot.com/. Diakses 13 Desember 2011. Haslam, S.M. 1995. River Vollution and Ecological Perspective. John Wiley and Sons, Chichester, UK. 253 p. Hawkes, H.A.1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons, Toronto. Iskandar. 2002. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan di Situ Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB: Bogor. Kottelat, M. i T. Whitten, 1996. Freshwater biodiversity in Asia, with special reference to fish. World Bank Tech. Pap. 343:59 p. Krebs, C.J. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second Edition. Harper and Row: New York. 678 pp. Nybakken, J. W. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th. edition An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc: New York. Odum, E. P.1971. Fundamental of Ecology . WB Sounders: Philadelpia London

Odum,

E.P.1972. dasar-dasar ekologi. Yogyakarta:Gadjah Mada Press.

diterjemahkan

oleh

Thahmosamingan.

Odum, W.E. 1988. Comparative ecology of tidal freshwater and salt marshes. Annual Review of Ecology and Systematics. 19: 147-176. Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran. Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta. Utoyo, Bambang.2007. Biosfer. id.wikipedia.org. Diakses 27 November 2011.

You might also like