You are on page 1of 25

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN POLA LONGITUDINAL SUNGAI

Oleh: Setiawan Lara Sari H1G010035

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN PURWOKERTO 2011

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahui faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan di suatu perairan seperti sungai. distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda dari hulu ke hilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai sepanjang sungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yang sangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan pH (Odum, 1973). Faktor fisika kimia pada sungai yang panjang terdapat perbedaan antara bagian hulu, tengah, dan hilir. Perubahan tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer terakhir (Odum, 1993). Air yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah tangkapan air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke sungai. Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika dan kimia air sungai akan terpengaruh. Zona utama sungai pada aliran air ada 2 macam yaitu zona air deras dan air tenang. Zona arus deras yaitu daerah yang dangkal dan kecepatan arus cukup tinggi untuk meyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona arus tenang yaitu bagian sungai yang dalam dengan kecepatan arus sudah berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung mengendap didasar. Sungai mengalami perubahan dari hulu ke hilir. Perubahan tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer terahir (Odum, 1993). Perairan sungai terdapat faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Faktor biotik diantaranya adalah zooplankton dan phytoplankton, sedangkan faktor abiotik adalah suhu, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut karbondioksida bebas, salinitas, arus dan pH. Faktor biotik dan abiotik merupakan

faktor pembatas yang dapat digunakan untuk dapat mengetahui keragaman organisme dan kelimpahannya (Odum, 1993). Sungai Serayu merupakan sungai yang terbesar di Karisidenan Banyumas lahan di DAS Serayu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat antar lain sebagai pemukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan kegiatan penambangan. Sungai Serayu juga dimanfaatkan untuk kepentingan sebagai sumber air, yang merupakan sumber utama bagi kebutuhan untuk konsumsi domestik, irigasi, rekreasi, pembangkit tenaga listrik, tempat pembuangan limbah baik domestik maupun industri, transportasi, penggalian tambang golongan C (batu dan pasir), dan perikanan (karamba oleh penduduk sekitar)

1.2. Tujuan Tujuan dari praktikum pola longitudinal ekosistem sungai adalah untuk mengetahui: 1. Pola longitudinal ekosistem yang mempengaruhi DAS Serayu 2. Parameter - parameter fisika kimia

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Setiap aliran memilki organisme yang berbeda pula. Pada aliran sungai terdapat dua zona utama, yaitu zona air deras dan zona air tenang. Organisme pada zona air deras diantaranya adalah Corydalus (Neuroptera), Dubiraphia, (Coelenterata), Gammarus dan Pontocorela altnis (Crustacea), Cladophora, lumut air dari marga Fontinalis dan sebagainya. Sedangkan organisme pada zona air tenang diantaranya adalah Encilosnia, Hydropsyche, Hagenius, Siphlonurus, Gyrinid (kumbang), Ephemerophetra dan sebaginya (Hawkes, 1979). Sungai memiliki tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi, daerah mempunyai kerapatan drainasi lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih tinggi (lebih besar 15%). Daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, dan merupakan daerah dengan kemiringan yang kecil (lebih kecil 8%). Daerah bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda (Asdak, 2007). Secara alami faktor fisika kimia air berbeda antara bagian hulu, tengah dan hilir. Perbedaan yang jelas adalah pada keadaan dasar sungai, yaitu berbatu, berpasir atau berlumpur, dan terkait dengan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus juga berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut di air. Perubahan pemanfaatan daerah pinggir sungai oleh penduduk juga akan berpengaruh terhadap kualitas air, yang sudah tentu akan berpengaruh terhadap kandungan fisik dan kimia sungai. Air yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah tangkapan air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke sungai. Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika dan kimia air sungai akan terpengaruh.

2.2. Parameter Fisika-Kimia Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisika-kimia perairan. Organisme yang dapat disesuaikan denagn kondisi fisika-kimia yang akan mampu hidup (Krebs, 1978). Kehidupan ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, pH, temperatur, dan konsentrasi oksigen terlarut.

2.2.1. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer. Semakin banyak jumlah DO (Dissolved Oxygen) maka kualitas air semakin baik. Oksigen terlarut dibutuhkan bagi jasad hidup untuk pernafasan dan metabolisme yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas (Odum, 1971).

2.2.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD) Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan suatu pendekatan analisis secara empiris global pada proses mikrobiologi yang terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikan (oksidasi) hampir semua zat organik terlarut dan sebagai zat-zat organik yang tersuspensi dalam air.

2.2.3. Temperatur Temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses yang terjadi di lingkungan perairan. Temperatur dalam suatu perairan di pengaruhi oleh substrat, kekeruhan, air hujan, dan pertukaran panas dengan permukaan air. Temperatur yang layak untuk kehidupan suatu organisme air tawar berkisar antara 20C 30C dengan suhu optimum berkisar antara 25 C - 28 C (Iskandar, 2002). Temperatur sangat penting bagi berlangsungnya proses metabolisma dalam perairan. Bagi komponen biotik, temperatur mempengaruhi kandungan gas terlarut. Tiap-tiap

organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang berbeda-beda dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri hingga titik tertentu, sehingga untuk meyesuaikan suhu suatu habitat yang lainya dapat beradaptasi (Odum, 1993).

2.2.4. Derajat keasaman air (pH) Nilai pH dalam suatu perairan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan. Sehingga pH dapat dijadikan sebagai indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur hara yang bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. Setiap organisme memiliki batas toleransi terhadap pH dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktifitas fotosintesis, suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya anion, jenis dan organisme. Suatu organisme dapat hidup dalam perairan yang mempunyai pH netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah (Barus, 2002).

2.2.5. Lebar sungai Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al., 1996). Keanekaragaman dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.

2.2.6. Kedalaman Kedalaman merupakan tinggi rendahnya suatu perairan dari dasar sungai sampai permukaan air. Kedalaman di dalam perairan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme air. Karena perairan yang dalam, akan ditempati suatu organisme yang jumlahnya sedikit dan miskin oksigen. Kedalaman air yang baik suatu perairan sungai yaitu 23 meter. Kedalaman suatu perairan melebihi dari 3 meter akan menggangu proses fotosintesis, karena cahaya tidak bisa menembus kedasar perairan yang terlalu dalam (Hawkes, 1979).

2.2.7. Kejernihan air Kejernihan merupakan faktor yang peting dalam suatu perairan. Kecerahan menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan oleh unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan air digunakan sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan, semakin besar kemampuan bagi vegetasi akuatik untuk melakukan fotosintesis (Asdak, 2007).

2.2.8. Substrat dasar Substrat termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil ditempati banyak organisme. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur, tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979).

2.2.9. Konduktivitas dan Salinitas Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan yaitu di bawah 400s. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400s mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990). Salinitas adalah nilai yang menunjukkan garamgaram terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil () (Barus, 2002). Slinitas memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebakan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi.

2.2.10. Skor fisik habitat Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan dalam keadaan sub optimal, optimal, atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut.

III. MATERI DAN METODE


3.1. Materi 3.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer, kertas pH, botol film, tali rafia, keping sechii, jarum altimeter, rolling meter, tongkat skala, konduktivitas. 3.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu air sungai yang akan diteliti. 3.2. Metode Metode yang diggunakan dalam praktikum ini dilakukan dengan metode pengukuran faktor fisikokimia air dari hulu sampai dengan hilir sepanjang sungai Serayu. Parameter yang akan di ukur yaitu kecerahan, pH, suhu, kecepatan arus, konduktivitas, kedalaman, substrat dasar, riparian vegetation, dan skor fisik habitat. 3.2.1. Parameter Fisika-Kimia 1. Oksigen Terlarut (DO) 2. Biological Oxygen Demand (BOD) 3. Pengukuran Suhu 4. Pengukuran Derajad Keasaman (pH) 5. Lebar Sungai 6. Pengukuran Kedalaman 7. Kejernihan Air 8. Pengamatan Substrat Dasar 9. Pengukuran Konduktifitas 10. Pengamatan Skor Fisik Habitat

3.2.1.1 Oksigen Terlarut (DO) menggunakan Metode Winkler (APHA, 1992) Air diambil menggunakan botol Winkler sebanyak 250 ml tanpa ada gelembung. Kemudian ditambahkan berturut-turut larutan MNSO4 dan KOHKI masing-masing sebanyak 1ml (digunakan pipet ukur atau jarum suntik). Dibiarkan sesaat sampai endapan terbentuk. Ditambahkan H2SO4 pekat ke dalam botol lalu dikocok sampai endapan larut. Diambil sebanyak 100 ml dan dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 (0.025 N) sampai larutan berwarna kuning muda. Ditambahkan 10 tetes indikator amilum hingga berwarna biru. Dititrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 (0.025 N) sampai warna biru hilang. Dititrasi duplo dan hasilnya dirata-rata. Setelah itu dihitung dengan rumus perhitungan:

Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8


Ket: p= volum larutan Na2S2O3 q= normalitas larutan 8= bobot setara larutan 3.2.1.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD) Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA, 1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml sampai penuh. Botol Winkler pertama segera diperiksa kandungan oksigennya (DO0 hari), sedangkan botol Winkler kedua diinkubasi selama 5 hari pada suhu 200 C. Setelah diinkubasi selama 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur kerja sama seperti pada sampel. Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus:

BOD =

)(

Keterangan: A0 : oksigen terlarut sampel pada nol hari

As : Oksigen terlarut sampel pada lima hari S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari T : Persen perbandingan antara A0 : S0 P : derajat pengenceran 3.2.1.3. Pengukuran Suhu Dicelupkan termometer pada perairan, tunggu sampai beberapa menit sampai pengukuran stabil. Lakukan di 3 titik. 3.2.1.4. pengukuran Derajat Keasaman (pH) Dicelupkan kertas pH ke dalam air, samakan perubahan warna pada kertas dengan warna skala pH yang tercantum. 3.2.1.5. Lebar Sungai Diukur dengan rolling meter dan jika tidak di dukung oleh situasi dilakukan estimasi lebar sungai. 3.2.1.6. Pengukuran Kedalaman Dilakukan pengukuran pada tiap 2 meter lebar sungai dengan tongkat penduga yang telah diberi skala panjang. 3.2.1.7. Kejernihan Air Dimasukkan Keping Secchi ke dalam air. Diukur kedalaman sampai batas antara hitam dan putih tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai masih dapat dibedakan, dicatat kedalaman sampai dasar tersebut. 3.2.1.8. Pengamatan Substrat Dasar Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan. Diestimasi secara visual persentasi bagian dasar sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, batu.

3.2.1.9. Pengukuran Konduktivitas Diukur menggunakan konduktifitimeter dengan daya hantar listrik. Konduktifitimeter konduktifitimeter dinetralkan dimasukan atau kedalam dinolkan. air dan Kemudian di tunggu ujung sampe

konduktifitimeter berhenti dan menunjukan angka. 3.2.1.10. Pengamatan Skor Fisik Habitat Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.

Faktor Fisiko Kimia Habitat parameter Substrat dasar Optimal Lebih dari 60% dasara perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas dengan porsi yang kurang lebih sama. SKOR 20 Suboptimal Marginal 10%-30% merupakan satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir 7090% mendominasi substrat dasar. SKOR 10 Poor Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan pasir dan materi yang lebih besar. SKOR 5 Habitat monoton pasir dan lumpur menyebab kan habitat tidak bervariasi. SKOR 5

Kekomple kan habitat

30%-60% dari substrat dasar penilaian berupa batuan atau cadas. Substrat mungkin didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut. SKOR 15 Berbagai Substrat cukup macam tipe bervariasi. kayu pohon, Segmen sungai cabang, cukup tumbuhan terlindungi akuatik oleh kanopi. terdapat pada SKOR 15 segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai

Habitat didominasi oleh 1 atau 2 macam komponen substrat, tumbuhan tepi yang menaungi segmen sungai sedikit. SKOR 10

Kualitas yang menggena ng

tertutup kanopi. SKOR 20 25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1 m. SKOR 20

Kestabilan tepi sungai

Tidak terdapat bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi untuk erosi. SKOR 20

<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1 m dan lebih lebih lebar dari lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1m. SKOR 15 Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah. SKOR 15

Kurang dari 1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih dari lebar sungai. Bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/dangkal .Habitat tidak bervariasi. SKOR 10 Bagian tepi ada yang mengalami erosi saat banjir. SKOR 10

Bagian yang menggena ng kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggena ng. SKOR 5 Bagian tepi sungai tidak stabil, sering terjadi erosi. SKOR 5

3.3. Waktu dan Tempat Praktikum dilaksanakan pada tanggal 15 - 16 Oktober 2011 di sepanjang Daerah Aliran Sungai Serayu. DAS Serayu yang diteliti terdiri dari daerah Kanding, Kembangan, Mandiraja, Mrican, Selokromo, Selomerto, Garung, dan Kejajar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Tabel 1. Fisiko-kimia

Sungai Perlakuan O2 (ppm) BODo Suhu (0C) pH Lebar Sungai (m) Kedalaman (cm) Kejernihan (cm) Kecepatan Arus (m/s) Konduktivitas Skor Fisik Habitat Substrat Dasar

Kanding 4,4 4,4 280C 7,5 30 7 8 0,08

Mrican 8 2 28,5oC 7 30 110 85 0,32

Kembangan 4 28,50C 7,3 30 60 60 0,31

Si Galuh 7,6 4,4 260C 7 20 82,5 50 0,31

Mandiraja 5,6 1,2 260C 7 30 60 50 0,34

Selomerto 5,2 2 250C 7 20,5 60 42,5 0,625

Kejajar 7,6 2 220C 6,5 11 38,67 38,67 0,64

Garung 6,4 0,8 230C 6,5 14 25 25 1,32

35 Berlumpur

50 berbatu

7,3 Berbatu

7 Kerikil

6,5

6,5

Berbatu Berbatu Berbatu Berbatu

Tabel 2. Elevasi, Garis Lintang, dan Garis Bujur Stasiun Kanding Mrican Kembangan Sigaluh Mandiraja Selomerto Kejajar Garung Elevasi Garis Lintang 109 20 511 109 35 48 109 26 04 109 77 99 109 46 47,63 109 52 21 109 55 272 Garis Bujur 07 30 705 07 24 3 07 27 42 07 40 35 07 24 11,69 07 25 28 07 17 716

4.2. Pembahasan

1. O2

O2 (ppm)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

O2 (ppm)

Hasil pengamatan diperoleh data DO yaitu sungai Kanding 4,4, Mrican 8, Kembangan 4, Sigaluh 7,6, Mandiraja 5,6, Selomerto 5,2, Kejajar 7,6 dan sungai Garung 6,4. Berdasarkan data, terlihat bahwa sungai Mrican mempunyai DO paling tinggi yang artinya kualitas perairan di sungai tersebut baik. Semakin banyak DO maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat dari degradasi anaerobik yang terjadi.

2. BOD0

BOD0
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

BOD0

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data BOD yaitu sungai Kanding 4,4, Mrican 2, Kembangan tidak ada hasil (gagal), Sigaluh 4,4, Mandiraja 1,2, Selomerto 2, Kejajar 2 dan sungai Garung 0,8. Data

menunjukkan bahwa sungai Kanding dan Sigaluh mempunyai kandungan BOD paling tinggi, artinya perairan disungai tersebut sudah tercemar. Kandungan BOD dalam air ditentukan berdasarkan selisih oksigen terlarut sebelum dan sesudah pengeraman 5 X 24 jam pada suhu 20C, BOD sebagai indikator pencemaran suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD suatu perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemar.

3. Suhu (0C)

Suhu (C)
30 25 20 15 10 5 0 Suhu (C)

Data pengukuran temperatur sungai didapatkan: sungai Kanding 28,5C, Mrican 28C, Kembangan 28,5C, Sigaluh 26C, Mandiraja 26C, Selomerto 25C, Kejajar 22C dan sungai Garung 23C. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa sungai yang memiliki suhu paling tinggi adalah sungai Kanding dan Kembangan dengan temperatur mencapai 285C yang terletak pada hilir sungai. Sedangkan sungai yang terletak pada hulu sungai seperti sungai Kejajar memiliki temperatur yang lebih rendah, yaitu sekitar 22oC. Hal ini mungkin disebabkan oleh lokasi sungai Kejajar yang terletak didataran tinggi dan jarang mendapatkan suplai sinar matahari. Ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa temperatur sangatlah dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang sampai pada air sungai. Temperatur yang stabil dalam perairan adalah 25C- 30C. Temperatur optimum yang layak untuk kehidupan organisme yaitu 25C-28C. Menurut Effendi (2003) temperatur dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara serta kedalaman.

4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat Keasaman (pH)


7.6 7.4 7.2 7 6.8 6.6 6.4 6.2 6

Derajad Keasaman (pH)

Hasil data yang diperoleh tingkat derajat keasaman air (pH) dari hulu ke hilir adalah sungai Kanding 7,5, Mrican 7, Kembangan 7,3, Sigaluh 7, Mandiraja 7, Selomerto 7, Kejajar 6,5 dan sungai Garung 6,5. Dari data tersebut rata-rata nilai pH nya adalah 7 yang berarti netral, tidak terlalu asam atau basa. Nilai pH pada daerah sungai Kejajar dan Garung yang terletak pada hulu memiliki nilai pH yang berbeda dengan yang lain, yaitu 6,5. Hal ini disebabkan adanya kandungan unsur belerang didalam air dibagian hulu sungai Serayu. Belerang yang mengalir ke sungai berasal dari kawah gunung yang berlokasi didataran tinggi Dieng. Nilai pH dibawah 7 berarti asam, sama dengan 7 berarti netral, nilai dibawah 7 berarti basa. Hal tersebut sesuai dengan pustaka KEPMEN LH NO.51/2004.

5. Lebar Sungai (m)

Lebar Sungai (cm)


35 30 25 20 15 10 5 0

Lebar Sungai (cm)

Percobaan pengukuran lebar sungai diperoleh data sebagai berikut, sungai Kanding 30 m, Mrican 30 m, Kembangan 30 m, Sigaluh 20 m, Mandiraja 30 m, Selomerto 20,5 m, Kejajar 11 m dan sungai Garung 14m. Dari data diatas lebar sungai pada sungai serayu dari hilir ke hulu memiliki perbedaan, semakin kehilir lebar sungainya semakin besar dibandingkan pada bagian hulu. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi, substrat dasar, riparian vegetation, erosi dan arus sungai yang membawa endapan dari dasar sungai tersebut.

6. Kedalaman (cm)

Kedalaman Sungai (cm)


120 100 80 60 40 20 0 Kedalaman Sungai (cm)

Pada pengukuran kedalaman sungai diperoleh data, sungai Kanding 7 cm, Mrican 110 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 82,5 cm, Mandiraja 60 cm, Selomerto 60 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm. Kedalaman di sungai serayu pada setiap stasiun bervariasi, disebabkan oleh adanya perbedaan suatu substrat dasar, kecepatan arus dan topografi dari sungai tersebut. Berdasarkan data yang telah diperoleh, aliran sungai yang berada pada bagian hulu memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan bagian hilir yang memiliki kedalaman rendah.

7. Kejernihan (cm)

Kejernihan (cm)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Kejernihan (cm)

Berdasarkan pengamatan tingkat kejernihan air yang dilakukan disepanjang daerah sungai Serayu (DAS) diperoleh data sebagai berikut: Kanding 8 cm, Mrican 85 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 50 cm, Mandiraja 50 cm, Selomerto 42,5 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm. Berdasarkan data tersebut sungai Mrican yang letaknya berada dihulu mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi yaitu 85 cm dibandingkan dengan sungai yang berada dihilir seperti sungai Kanding yang memiliki tingkat kecerahan air yang hanya 8 cm. Tingkat kecerahan disungai Mrican disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan dan memiliki arus yang cukup deras untuk membawa materi dan endapanendapan yang berada pada dasar sungai. Berarti tingkat kejernihannya di daerah hulu termasuk stabil, sebaliknya didaerah hilir tingkat kejernihannya rendah (Sary, 2006). Tingkat kekeruhan air yang rendah disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan arus yang rendah.

8. Skor fisik habitat

Skor Fisik Habitat


80 70 60 50 40 30 20 10 0

Skor Fisik Habitat

Kondisi fisik habitat di bagian hulu seperti Mrican, Mandiraja, Garung dan Kejajar sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat menurut Barbour and Stribling yaitu sub optimal. Artinya daerah hulu sungai Serayu tersebut memiliki organisme akuatik yang bervariasi, baik kondisi lingkungan sekitarnya bagi kehidupan organisme akuatik dan organisme-organisme lainnya. Sedangkan pada daerah hilir seperti Kembangan, Selomerto, Kanding dan Sigaluh sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat tabel Barbour dan Stribling yaitu marginal. Kriteria tersebut memiliki arti bahwa kehidupan organisme didaerah hilir sungai Serayu kurang bervariasi jika dibandingkan dengan daerah hulu. Dari data yang diperoleh sungai Mrican adalah sungai yang memiliki skor fisik habitat paling tinggi dan sungai Kembangan adalah sungai yang memiliki skor habitat paling rendah.

9. Tipe Substrat

Sungai Kanding Mrican Kembangan Sigaluh Mandiraja Selomerto Kejajar Garung

Tipe Substrat

Berlumpur Berbatu Berbatu Kerikil berbatu Berbatu Berbatu Berbatu

Sungai Serayu mempunyai keanekaragaman substrat disetiap stasiun. Substrat dasarnya yaitu sungai Kanding: berlumpur, Mrican: berbatu, Kembangan: berbatu, Sigaluh: kerikil, Mandiraja: berbatu, Selomerto: berbatu, Kejajar: berbatu dan Garung: berbatu. Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa sungai pada daerah hilir substat dasrarnya didominasi oleh lumpur dan pasir. Sedangkan pada daerah hulu substrat dasaranya didominasi oleh batu cadas, batu kerikil dan pasir.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil pengamatan tentang pola longitudinal sungai, dapat disimpulkan: 1. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hulu ke hilir, faktor yang paling mempengaruhinya adalah suhu, kecepatan arus, dan pH 2. Parameter parameter fisika-kimia antara lain, oksigen terlarut, BOD, suhu, pH, lebar sungai, kedalaman, kejernihan air, substrat dasar, konduktivitas, dan skor fisik habitat.

5.2 Saran 1. Hasil dari praktikum ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk para sainstis di bidang perikanan, bahwa keadaan pola longitudinal sungai Serayu telah mengalami perubahan secara fisiko - kimia. 2. Menghentikan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai Serayu.

DAFTAR PUSTAKA
Asdak. 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada university press: Yogyakarta. Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : fakultass MIPA Jurusan Biologi USU Effendi, H. 2003. Lahan Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya & Lingkungan Perairan. J MSP Fak. P & K IPB, Bogor. Ewuise,Y. J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB. Hawkes, H.A. 1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons, Toronto. Iskandar. 2002. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan di Situ Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB, Bogor. Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology 3rd Edition. WB. Sounders Company, Philadelphia, London Odum, E. P. 1973. dasar-dasar ekologi. diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Gadjah Mada Press: Yogyakarta. Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Sary. 2006. Bahan Kuliah Menejemen Kualitas air. Politehnik vedca. Cianjur

You might also like