Professional Documents
Culture Documents
KATAPENGANTARPENERBIT.................v
KATAPENGANTAR
BIOGRAHPENULIS.......................................................................xvii
________JILID I________
pelakunya..........................................................................78
1. Kelompok pertama:............................................................158
3. Delik-delik Tasawuf........................................................237
G. Syi'ah Imamiyah....................................................................306
A. Mengada-adakan Rahbaniyyah..............................................343
B. Jika Seseorang Mewajibkan Suatu Amalan atas Dirinya..........360
C. Akibat-Akibat Pewajiban atas Sesuatu yang Tidak Wajib...........364
1. Masalah Pertama..................................................................403
2. Masalah Kedua.....................................................................405
3. Masalah Ketiga....................................................................408
4. Masalah Keempat.................................................................409
Beragama).....................................................................................418
K. Saddudz-Dzari'ah..........................................................................424
MACAM ........................................................................................497
Sisi Pertama..........................................................................515
Sisi Kedua.............................................................................515
Sisi Ketiga.............................................................................521
Perbuatan Mukallaf.......................................................................554
Contoh Pertama....................................................................602
Contoh Kedua.......................................................................605
Contoh Ketiga.......................................................................606
Contoh Keempat...................................................................607
Contoh Kelima......................................................................609
Contoh Keenam............................................................................611
Contoh Ketujuh.............................................................................613
Contoh Kedelapan.........................................................................614
Contoh Kesembilan.......................................................................615
Contoh Kesepuluh........................................................................615
B. Al Istihsan.....................................................................................625
2. Permasalahan-permasalahan.................................................696
Permasalahan Keempat.........................................................709
Permasalahan Kelima.....................................................712
Pemasalahan Keenam....................................................715
Permasalahan Ketujuh: Penentuan Kelompok-Kelompok 721
Permasalahan Kedelapan..............................................740
Permasalahan Kesembilan..............................................752
Permasalahan Kesepuluh...............................................753
Permasalahan Kesebelas................................................759
Bagian Pertama............................................................................821
Bagian Kedua..............................................................................833
Masalah pertama...................................................................839
Masalah kedua......................................................................840
Bagian Ketiga..............................................................................848
Bagian Keempat...........................................................................870
Jika dikatakan, "Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah)." Maka
berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang
sebelumnya. Atau kalimat, "Ini adalah perkara yang mengagumkan." Sebuah
ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada
yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang
sepertinya atau yang serupa dengannya.
Inilah yang disebut perbuatan bid'ah dan inilah arti bid'ah itu sendiri.
Jadi, orang yang mengerjakannya disebut mubtadi'(orang yang melakukan
bid'ah).
Oleh karena itu, bid'ah adalah sebuah istilah tentang tata cara dalam
agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat, dengan tujuan
mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar
padanya secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Allah.
Pendapat
ini berdasarkan pendapat orang yang tidak memasukkan adat kebiasaan ke
dalam kategori bid'ah dan hanya membatasinya pada permasalahan ibadah.
Adapun pendapat orang yang memasukkan adat kebiasaan sebagai bid'ah,
adalah, "Bid'ah adalah tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan
menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk
tingkah
laku (perbuatan) yang bersandar padanya, seperti yang dijalankan pada tata
cara syariat."
Jika demikian yang menjadi hasil dari pemaparan tersebut, maka kitab
suci Al Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengan pengumpulan Al Qur'an
adalah buruk, sedangkan mengutarakan pendapat seperti ini adalah batil
secara ijma'. Sedangkan jika yang menjadi hasil akhir tidak demikian, maka
hal-hal tersebut tidak dinamakan bid'ah.
Jadi, yang demikian itu menuntut adanya dalil syar'i —walaupun yang
dimaksud bukan hanya satu dalil—, yang diambil dari syariat secara
keseluruhan. Apabila sebagian telah ditetapkan dalam almashalih
almursalah,
maka secara mutlak almashalih almursalah dapat dijadikan sebagai patokan.
Atas dasar hal tersebut, maka tidak layak jika ilmu-ilmu tersebut (yang
menunjang dipahaminya syariat) dinamakan bid'ah.
Orang yang menyebutnya bid'ah, baik secara majas (seperti Umar bin
Khaththab RA yang menamakan shalat pada malam bulan Ramadhan
sebagai bid'ah), maupun atau karena ketidaktahuannya tentang kedudukan
As-Sunnah dan bid'ah, maka pendapat orang yang mengatakan demikian
tidak berdasar dan tidak dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan.
2. Melazimkan pada tata cara dan kondisi ibadah tertentu, seperti berdzikir
dengan kondisi satu suara bersamaan dan menjadikan hari kelahiran
Nabi SAW sebagai hari raya.
3. Berpegang teguh pada ibadah tertentu dan pada waktu tertentu, yang
tidak ada ketetapannya dalam syariat, seperti berpegang teguh pada
puasa Sya'ban dan menghidupkan malam harinya.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa bid'ah tidak masuk dalam hal-
hal yang bersifat adat kebiasaan. Setiap perkara yang baru, yang diciptakan
dalam tata cara agama yang menyerupai tata cara yang telah disyariatkan
namun bukan bertujuan ibadah, maka perkara tersebut tidak termasuk bid'ah.
Hal ini seperti seseorang yang berutang dalam diharuskan menanggung
harta atau yang lainnya dengan jumlah tertentu dan hitungan tertentu yang
menyerupai kewajiban zakat, namun tidak ada kepentingan terhadap hal
itu.
Dengan demikian, arti bid'ah menjadi jelas dan jelas pula segala
permasalahannya di dalam syariat. Segala puji bagi Allah SWT.
Dalam pembatasan arti bid'ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat
lebih saksama, yaitu: bid'ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan
padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yang baru diciptakan
(dibuat-buat) —dan seterusnya—. Termasuk dalam keumuman lafazhnya
adalah
bid'ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan
bid'ah yang bukan tarkiyyah. Hal-hal yang dianggap bid'ah terkadang
ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum
asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan.
Suatu perbuatan — misalnya— menjadi halal karena ketentuan syar'i,
namun
ada juga manusia yang mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan
tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.
4 Ujung kalimat pada hadits itu adalah, "Puasa, karena ia adalah sebagai
perisai baginya."
Sedangkan perkataannya, "Yang dapat menahan syahwat para pemuda."
-sampai ungkapan
terakhir- adalah perkataan pengarang kitab yang menjelaskan tentang alasan
anjuran berpuasa,
yaitu sebagai perisai. Maksudnya adalah melemahkan syahwat, sebagaimana
pendapat jumhur
ulama, bahwa hal tersebut tidak akan nampak pada puasa yang banyak
dengan membatasi dan
cukup dengan makan sedikit ketika berbuka dan bukan sebaliknya, karena
sesungguhnya puasa
adalah sumber kesehatan dan penambah kekuatan, sehingga tebentuk
kehidupan yang seimbang.
Pada saat itu, sisi-sisi kesamaan antara menahan rekanan urat kekuatan
kejantanan (yang dapat
melemahkan atau menghilangkan syahwat) dengan puasa yaitu, puasa
sebagai sarana untuk
menuju takwa, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala ketika
mewajibkannya, "Agar kamu
bertakwa." Orang yang banyak berpuasa dan meninggalkan keinginan
terhadap makanan dan
minuman yang disukainya karena Allah Ta’ala akan mendapatkan dua
keuntungan, yaitu:
Oleh karena itu, redaksi pembatasan adalah: tata cara yang dibuat-
buat, yang menyerupai syariat; ia mencakup bid'ah tarkiyyah dan yang
lainnya,
karena tata cara yang telah disyariatkan juga dibagi menjadi tarkiyyah dan
yang selainnya.
Seperti ini juga yang telah ditulis Umar bin Abdul Aziz RA (tatkala
Addi bin Arthah menulis surat kepadanya, yang berisi pertanyaan
tentang pengikut Qadariyyah):
"Amma ba'du, sesungguhnya saya berpesan kepadamu agar
bertakwa kepada Allah dan berhati-hati dalam melaksanakan perintah-
Nya dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya. Tinggalkanlah sesuatu yang
dibuat-buat (bid'ah) dalam agama tatkala semua berjalan sesuai dengan
Sunnah Nabi-Nya dan telah cukup pertolongan-Nya.
Jadi, semua hukum hanya dibatasi oleh dua perkara, yaitu kebenaran
dan hawa nafsu. Dalam hal ini, akal tidak memiliki bagian, kecuali
pada kedua hal tersebut terdapat masalah. Allah berfirman, "Dan
janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta mengikuti hawa nafsunya." (Qs.
Al Kahfi [18]: 28). Dengan demikian, satu perkara dibatasi oleh dua
perkara, yaitu mengikuti dzikir atau mengikuti hawa nafsu. Dia
berfirman, "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah?' (Qs. Al Qashash [28]: 50)
Sesungguhnya semua hal yang telah diterangkan oleh syariat dan ayat
Al Qur’an, tentang mengikuti hawa nafsu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Hawa nafsu mengikuti perintah dan larangan. Hal itu akan membuat
pelakunya tidak tersesat dan tercela, sebab ia lebih mengedepankan
petunjuk yang menerangi jalan bagi hawa nafsunya. Seperti inilah
kondisi seorang mukmin yang bertakwa.
1. Syariat
2. Hawa nafsu
Jika yang seperti ini telah menjadi ketetapan dan suatu perkara berada
di antara syariat dengan hawa nafsu, maka kaidah hukum akal yang berdiri
sendiri akan goncang, sebab dalam hal ini akal sepenuhnya berada di bawah
pengawasan hawa nafsu. Dengan demikian, ia hanya mengikuti hawa nafsu
dalam menentukan hukum.
Ayat ini adalah dalil paling utama dalam kesaksian tentang bid'ah, yang
penafsirannya dijelaskan dalam hadits berikut ini: Diriwayatkan dari Aisyah
RA, ia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
firman-Nya, 'Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya'.
Beliau menjawab, ‘Jika kamu melihat mereka, maka kenalilah diri mereka'."
Oleh karena itu, celaan hanya menimpa orang yang menentang isi Al
Qur’an dengan meninggalkan ayat-ayat muhkamat dan berpegang teguh
pada
ayat-ayat mutasyabihat, namun hal tersebut lebih jelas jika telah ditafsirkan
maksudnya.
Tidakkah Anda lihat bahwa surah ini diturunkan bagi kaum Nasrani
Najran dan perdebatan mereka dengan Rasulullah SAW tentang keyakinan
mereka terhadap Isa AS. Mereka menyatakan bahwa Isa adalah tuhan atau
anak tuhan, atau termasuk trinitas dengan sudut pandang yang meragukan,
dan mereka justru meninggalkan sesuatu yang jelas dalam peribadatan
terhadapnya, sebagaimana yang telah disebutkan oleh ahli sejarah.
Para ulama dari kalangan ulama salaf lalu mengambil kesimpulan atas
perkara-perkara yang para pelakunya masuk dalam kategori hukum simbolis
lafazhnya (sebutannya), seperti Khawarij yang nampak secara umum.
Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar Malik berkata, 'Tidak ada ayat
dalam Al Qur'an yang lebih tegas pernyataannya atas orang-orang yang
berselisih (dari kelompok yang mengikuti hawa nafsu), kecuali ayat ini,
"Pada
hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri... karena itu rasakanlah
adzab disebabkan kekafiranmu itu'." Malik berkata, 'Perkataan apa yang
lebih
jelas dari ini? Aku melihat bahwa penakwilannya adalah bagi golongan yang
mengikuti hawa nafsu'."
Jadi, arti dari jalan yang lurus adalah jalan kebenaran. Adapun jalan
lainnya adalah jalan bid'ah dan kesesatan. Semoga Allah melindungi kita
dari
mengikutinya dengan kckuasaan-Nya, dan cukuplah golongan yang
cenderung menuju ke neraka menjadi peringatan darinya. Golongan yang
dimaksud menunjukkan peringatan dan larangan dalam syariat.
Diriwayatkan dari Ali RA, bahwa beliau pernah membaca kata minha
pada ayat tersebut dengan kata minkum, yang berarti, "Antara kalian ada
yang mengikuti jalan yang bengkok." Mereka (para ulama) berkata, "Yang
dimaksud adalah umat ini. Seakan-akan ayat ini dan ayat sebelumnya
menunjukkan pada satu arti."
Ayat ini telah ditafsirkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, " Wahai Aisyah, 'Orang-
orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan.' siapakah mereka? "'Aku menjawab, "Hanya Allah dan
Rasul-Nya yang mengetahui." Beliau lalu bersabda, "Mereka adalah orang-
orang yang mengikuti nafsu dan ahli bid'ah serta pembuat kesesatan dari
umat ini. Wahai Aisyah, sesungguhnya setiap dosa memiliki pengampunan,
kecuali bagi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan ahli bid'ah.
Sesungguhnya tidak ada ampunan bagi mereka dan aku terbebas dari mereka
dan mereka bebas dari diriku."
Perawi (Al Hasan) lalu berkata, "Lalu kami mendengar suara dari salah
satu bilik istri Rasulullah SAW dan dikatakan bahwa ini adalah suara
Ummul
Mukminin." —Perawi melanjutkan—, "Aku mendengar teriakannya, ia
berkata,
'Sesungguhnya Nabi kalian telah membebaskan diri dari orang yang telah
memecah-belah agamanya dan membuat kelompok. Allah berfirman,
'Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung
jawabmu terhadap mereka'." (Qs. Al An'aam [6]: 159)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ayat tersebut turun untuk umat
ini, sedangkan menurut Abu Umamah, mereka itu adalah kelompok
Khawarij.
Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para pengikut hawa nafeu
dan ahli bid'ah. Mereka berdalil dari hadits dari Aisyah RA, dari Rasulullah
SAW secara marfu'. Hal tersebut adalah bentuk dari pelaku bid'ah,
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Qadhi serta ayat-ayat
sebelumnya.
Diriwayatkan dan, dari Ikrimah, bahwa ayat, " Tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat maksudnya adalah berselisih pendapat dalam masalah
yang batil. Adapun ayat, "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu" maksudnya adalah Ahlus-Sunnah.
Dinukil dari Abu Bakar Tsabit Al Khathib, dari Manshur bin Abdullah,
namun Abdurrahman9 berkata: Ketika aku sedang duduk di dekat Al Hasan,
seorang laki-laki yang duduk di sampingku menyuruhku untuk bertanya
kepada
Al Hasan tentang firman Allah, " Tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat,
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." la menjawab,
"Kalimat, 'Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat 'maksudnya adalah
agama-agama yang bermacam-macam. Sedangkan kalimat, 'Kecuali orang-
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu,' artinya adalah tidak adanya
perselisihan pada orang-orang yang diberi rahmat.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Umar bin Abdul Aziz dan Malik
' Mungkin maksudnya adalah Manshur bin Abdurrahman Al Ghadani Al
Asyal An-
Nadhri.
bin Anas, bahwa orang-orang yang mendapatkan rahmat tidak akan
berselisih.
Dalam tafsir Sa'id bin Manshur, dari Mush'ab bin Sa'ad, ia berkata: Aku
pernah bertanya kepada bapakku tentang ayat, " Yaitu orang-orang yang
telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat kebaikan?" (Qs. Al Kahfi [18]: 104),
Apakah mereka adalah Al Haruriyah? Bapakku menjawab, "Bukan, mereka
adalah kaum Yahudi, sedangkan Al Haruriyah adalah golongan yang telah
disebutkan Allah dalam firman-Nya, 'Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah memalingkan hati mereka'." (Qs. Ash-Shaff [61]: 5)
Abd bin Humaid dalam tafsimya meriwayatkan arti hadits ini dengan
lafazh yang lain, dari Mush'ab bin Sa'ad, dengan menyebutkan ayat ini,
uKatakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?.." Mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya." (Qs. Al Kahfi [18]: 103-104) Saya berkata, "Apakah
mereka
adalah Al Haruriyah?" Ia menjawab, "Bukan, mereka adalah kaum Yahudi
dan Nasrani, orang-orang Yahudi telah mengingkari Nabi Muhammad SAW,
sedangkan orang-orang Nasrani tidak percaya dengan surga dan berkata, 'Di
dalamnya tidak terdapat makanan dan minuman.' Sedangkan Al Haruriyah
'(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi'."
(Qs. Al Baqarah [2]: 27)
Golongan pertama: Karena mereka telah keluar dari jalan yang benar;
yaitu kesaksian atas Rasulullah SAW, juga karena mereka menakwilkannya
dengan takwil yang keliru. Demikianlah yang diperbuat oleh ahli bid'ah
yang
menjadikannya sebagai pintu masuk bid'ah mereka.
Begitulah perbuatan ahli bid'ah, dan insya Allah akan dijelaskan kepada
Anda.
Sa'ad bin Abu Waqqash lalu menafsirkan ayat tersebut seperti yang
terdapat dalam riwayat Sa'id bin Manshur: Sesungguhnya hal itu merupakan
akibat dari kesesatan yang mereka timbulkan, sebagaimana dalam firman-
Nya, "Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan
hati mereka." (Qs. Ash-Shaff [61]: 5). Hal itu mengacu pada ayat yang ada
dalam surah Aali 'Imraan, "Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat." (Qs. Aali 'Imraan [3]: 7) Sesungguhnya Sa'ad
memasukkannya
ke dalam kelompok Al Haruriyah, seperti yang terdapat dalam dua ayat
tersebut secara makna; yaitu pengertian az-zaigh {berpaling dari kebenaran)
pada salah satu ayat tersebut dan sifat-sifat yang telah disebutkan pada ayat
yang lain, karena sifat-sifat tersebut ada pada diri mereka.
Diriwayatkan juga oleh Abd bin Humaid, dari Muhammad bin Jubair
bin Muth'im, ia berkata: Seorang laki-laki dari bani Ud memberitahuku
bahwa
Ali sedang berkhutbah di Irak. Tiba-tiba Ibnu Kawwa' berseru dari bagian
masjid paling belakang, "Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang paling
merugi perbuatannya?" Ali menjawab, "Kamu." Ibnu Kawwa' kemudian
terbunuh pada perang Khawarij.
Telah dinukil oleh sebagian ahli tafsir bahwa Ibnu Kawwa' bertanya
kepada Ali, lalu Ali menjawab, "Kamu adalah kelompok Al Haruriyah,
kelompok yang sombong, yang amal perbuatannya sia-sia karena
keangkuhan
mereka sendiri.
Abdul Hamid dan yang lain juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas
RA tentang firman Allah Ta 'ala, "Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa
yang telah dikerjakan dan yang dilakukannya." (Qs. Al Infithaar [82]: 5) Ia
berkata, "Maksudnya adalah perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan dan
hal-hal Sunnah yang tidak dikerjakan namun dikerjakan oleh orang-orang
setelahnya." Walaupun hal ini adalah bentuk penafsiran, namun kalimat
tersebut masih membutuhkan penafsiran lain.
Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Aun dari Muhammad bin Sirin, ia
berkata, "Aku telah melihat manusia yang paling cepat keluar dari Islam,
yaitu pengikut hawa nafsu, 'Dan apabila kamu melihat orang-orang yang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga
mereka membicarakan pembicaran yang lain'." (Qs. Al An'aam [6]: 68)
11. At-Tlrmidzi meriwayatkan dan menjadikan hadits (no. 11) sebagai hadits
shahih.
12. Abu Daud dan selain dari keduanya juga meriwayatkan dari Al Irbadh
"Kota Madinah adalah tanah haram antara 'Ir dan Tsaur11, barangsiapa
Dalil untuk arti yang pertama (diperuntukkan bagi ahli bid'ah) adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Khaitsamah bin Sulaiman, dari Yazid
Ar-Raqasyi, ia berkata: Saya bertanya kepada Anas bin Malik,
"Sesungguhnya di negeri ini terdapat kaum yang bersaksi di hadapan
kita dengan kekafiran dan kemusyrikan serta mengingkari telaga dan
pemberian syafaat. Apakah kamu telah mendengar sesuatu dari
Rasulullah SAW tentang hal tersebut?" Ia menjawab, "Ya. Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda,
16. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW berdiri di
hadapan kami sambil memberikan nasihat, beliau bersabda,
22. Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dan yang lain dari Ibnu Wahhab,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
24. Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dan yang lain dari Aisyah, ia berkata,
"Barangsiapa mendatangi pembuat bid'ah guna mengukuhkannya,
maka ia telah membantu menghancurkan Islam."
" Enam golongan yang kulaknat dan Allah juga melaknat mereka
serta para nabi yang doanya dikabulkan (adalah): orang yang
menambah-nambahkan ajaran Allah, orang yang mendustakan
(mengingkari) takdir Allah, orang yang diberi kekuasaan namun
menghinakan orang yang diagungkan Allah serta mengagungkan
orang yang dihinakan Allah, orang yang meninggalkan Sunnahku,
orang yang menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah, dan
orang yang menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dari
keturunanku."
‘Akan tetapi aku tidur lalu shalat, dan aku berpuasa juga berbuka.
Barangsiapa mengikutiku maka ia termasuk golonganku dan,
barangsiapa membenci Sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.
Sesungguhnya setiap pelaku kebaikan mempunyai ketamakan.
kemudian kecenderungan. Barangsiapa kecenderungannya kepada
bid'ah maka ia sesat, sedangkan barangsiapa kecenderungannya kepada
Sunnah maka ia mendapat petunjuk'."
31. Diriwayatkan dari Wa'il, dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
15. Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, ia berkata, "Aku tidak
meninggalkan sesuatu yang telah dikerjakan Rasulullah SAW melainkan
aku mengerjakannya, karena aku takut apabila aku meninggalkan suatu
perintah dari Rasulullah maka aku akan tersesat."
16. Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab, bahwa
Yazid bin Abu Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka
Umar berkata kepada maulanya —bernama Yarfa'—, "Jika kamu
mengetahui waktu makan malamnya telah tiba, beritahu aku." Ketika
ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar dan
Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya,
kemudian meminta izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan
malamnya lalu dihidangkan, yang terdiri dari bubur dan dagjng, maka
Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian dihidangkan daging
tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk mengambil),
namun Umar menahannya sambil berkata, "Demi Allah, wahai YazkJ
bin Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat
yang jiwa Umar ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah
mereka maka kamu akan dipalingkan dari jalan mereka."
17. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, "Shalat Safar adalah dua
rakaat, dan orang yang melanggar Sunnah berarti telah kafir."
18. Diriwayatkan oleh Al Ajiri dari As-Sa'ib bin Yazid, ia berkata, "Umar
bin Khaththab datang dan para sahabat berkata, 'Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya kami berjumpa dengan seorang lakt-laki yang
meminta penakwilan Al Qur'an.' Umar lalu berdoa, 'Ya Allah,
pertemukanlah aku dengannya'."
Perawi bercerita, "Pada suatu hari Umar mengundang orang-
orang untuk sarapan pagi, lalu tiba-tiba laki-laki tersebut datang dengan
memakai baju dan imamah serta ikut sarapan hingga selesai makan.
la kemudian berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, demi (angin) yang
menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya dan awan yang
mengandung hujan.' Umar lalu berkata, 'Kamukah orangnya?' Umar
kemudian menghampirinya dengan menggulung lengan bajunya lalu
mencambuknya, sampai-sampai imamah yang dipakainya terjatuh.
Umar kemudian berkata, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-
Nya, jika aku mendapatkanmu tanpa tutup kepala, maka aku akan
memukuli kepalamu. Pakaikanlah bajunya dan naikkanlah ia ke atas
hewan tunggangan, kemudian antarkan ia hingga ke negerinya. Setelah
itu, seseorang sebaliknya berkhutbah dan berkata, "Sesungguhnya
seorang tukang cat menuntut ilmu dan berbuat kesalahan.".' Akhimya
ia terus terhina hingga meninggal dunia, padahal ia adalah pemimpin
dari suatu kaum."
19. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dan yang lain dari Ubai bin Ka'ab, ia
berkata, "Hendaklah kalian mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah,
karena tidak ada seorang hamba yang mengikuti jalan yang lurus dan
Sunnah di atas bumi ini kemudian disebutkan nama Allah dan kedua
matanya menangis karena takut kepada Allah, lalu Allah mengadzabnya
selama-lamanya. Tidaklah ada seorang hamba yang mengikuti jalan
yang lurus dan Sunnah di atas bumi serta mengingat Allah pada dirinya,
lalu kulitnya tergetar karena takut kepada Allah kecuali
perumpamaannya bagaikan pohon yang telah mengering daun-
daunnya. Kemudian tetap demikian kondisinya tatkala angin berhembus
dengan kencang sehingga berguguran daun-daun dari pohon tersebut,
melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya seperti
bergugurannya daun-daun dari pohon tersebut. Sesungguhnya
mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah lebih baik daripada bersungguh-
sungguh beramal dalam perkara yang bertentangan dengan jalan
Allah dan Sunnah. Perhatikanlah hal itu dengan baik! Hendaknya amal,
usaha yang sungguh-sungguh, dan tujuan dari perbuatanmu, berada
di atas ajaran dan Sunnah para nabi."
20. Diriwayatkan dari Ibnu Wadhdhah, dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Akan
datang suatu masa yang orang-orangnya mengamalkan bid'ah dan
meninggalkan Sunnah, sehingga tersebarlah bid'ah dan matilah
Sunnah."
23. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dari Mu'adz bin Jabal RA, ia
berkata, "Sesungguhnya setelah kalian akan ada fitnah. Fitnah yang
paling besar adalah harta dan terbukanya Al Qur" an, sehingga dapat
diambil oleh orang mukmin dan munafik, laki-laki, perempuan, anak
kecil, orang dewasa, serta hamba sahaya dan orang yang merdeka,
hingga ada yang berkata, 'Mengapa manusia tidak mengikutiku,
padahal aku telah membacakan Al Qur'an? Sesungguhnya mereka
enggan mengikutiku hingga aku membuat perkara yang baru (bid'ah)
selain Al Qur'an.' Jadi, berhati-hatilah kalian dengan perkara yang
baru, karena sesuatu yang baru adalah sesat. Aku juga memperingatkan
kalian mengenai tipu daya seseorang yang bijak, karena syetan
terkadang berbicara melalui kalimat yang menyesatkan dari mulut
orang bijak. Terkadang orang munafik juga berbicara tentang
kebenaran."
24. Ar-Rawi berkata: Aku pernah bertanya kepada Mu'adz, "Apakah aku
dapat mengetahui bahwa orang bijak telah mengatakan perkataan yang
sesat dan orang munafik telah berbicara tentang kebenaran?" Ia
menjawab, "Tentu. Tinggalkanlah perkataan orang bijak selain perkara
yang musytaharat, yang dikatakan pada perkara tersebut, 'Apa ini?'
dan janganlah teperdaya dengan hal tersebut darinya, karena mungkin
saja ia menarik pembicaraannya dan mengutarakan yang hak jika kamu
memperhatikannya, sebab pada sesuatu yang hak terdapat cahaya."
Dalam riwayat lain, kalimat musytaharat diganti dengan
mutasyabihat, yaitu sesuatu yang samar yang berupa perkataan,
sehingga dikatakan, "Apa yang diinginkan dari kalimat ini?" Maksudnya
—wallahu a 'lam— yang zhahimya tidak mencakup keterangan Sunnah
sehingga hati mengingkarinya dan manusia berkata, "Apa ini?" Hal
ini kembali pada perkara tentang peringatan terhadap kesalahan or-
ang alim, yang insya Allah akan dijelaskan nanti.
12. Diriwayatkan dari Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, "Seorang ahli
fikih berkata, 'Aku tidak ingin menunjukkan (mengajarkan ilmu) kepada
semua manusia sementara aku menyesatkan satu orang'."
13. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, "Perkataan
tidak akan terwujud kecuali dengan perbuatan, sedangkan perkataan
dan perbuatan tidak akan terwujud kecuali dengan niat. Jadi, perkataan,
perbuatan, serta niat tidak akan terwujud kecuali dengan mengikuti
Sunnah."
14. Diriwayatkan dari Al Ajiri bahwa Ibnu Sirin berkata, "Orang yang
paling cepat keluar dari Islam adalah orang yang mengikuti hawa
nafsu."
16. Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, "Allah tidak akan
menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal
yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid'ah. —Ibnu
Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman
yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil.
Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa
orang yang tenggelam."
17. Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata, "Jika kamu bertemu
dengan pelaku bid'ah di jalanan, maka kamu sebaiknya melewati jalan
yang lain."
18. Sebagian ulama salaf berkata, "Orang yang menggauli seorang pelaku
bid'ah, maka terlepas darinya penjagaan, dan diserahkan semuanya
kepada dirinya."
20. Beberapa orang berkata kepada Abu Bakar bin Ayyasy,"Wahai Abu
Bakar, siapakah orang yang mulia?" la menjawab, "Orang yang apabila
disebutkan tentang kesesatannya ia tidak marah sedikit pun."
21. Yunus bin Ubaid berkata, "Sesungguhnya orang yang terfitnah dengan
perkara Sunnah, kemudian diterima oleh orang yang asing, maka
pelakunya lebih asing darinya."
27. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, bahwa ia menulis
surat yang isi, "Sesungguhnya aku memperingatkan kalian untuk tidak
condong kepada para pengikut kesesatan dan penyimpangan yang
menyesatkan."
sebagai tambahan
Perkataan Umar bin Abdul Azis yang sangat diperhatikan dan dihafal
oleh para ulama, bahkan sangat disukai oleh Imam Malik, yaitu:
Demikian pula yang telah dijalankan oleh para pemimpin setelah Nabi
SAW yang menjadi Sunnah dan bukan sama sekali bid'ah, meski tidak
tertera
dalam kitab Allah atau Sunnah Nabi secara khusus, akan tetapi diterangkan
secara umum, sebagaimana yang tertera dalam Hadits Al Irbadh bin Sariyah
RA, tatkala beliau bersabda,
Dari dasar-dasar yang terkandung dalam atsar Umar bin Abdul Aziz
tersebut dapat diketahui bahwa sunnah para pemimpin dan perbuatan para
pemimpin merupakan hasil penafsiran terhadap kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya SAW sesuai dengan perkataannya, "Untuk digunakan sebagai
pembenaran terhadap kitab Allah, sebagai benteng atas agama Allah...."
Inilah dasar-dasar yang telah ditetapkan selain pada pembahasan ini dan
perkataan Umar bin Abdul Aziz itu mencakup dasar-dasar agama yang baik
serta faidah yang banyak.
Yang sangat mulia dari perkataan Abu Ilyas Al Albani, adalah "Tiga
hal yang jika ditulis pada secarik kertas akan mencukupi karena di dalamnya
mencakup kebaikan dunia serta akhirat, yaitu: Ikuti (Sunnah) dan jangan
berbuat bid'ah, rendah diri, dan tidak angkuh. Orang yang bersikap wara*
pasti tidak berbuat semaunya."
6. Basyar Al Haft berkata, "Aku melihat Nabi SAW dalam mimpi, beliau
bersabda, ' Wahai Basyar, tahukah kamu alasan Allah mengangkat
derajatmu diantara sahabat sahabatmu? Aku menjawab, Tidak, wahai
Rasulullah!' Beliau bersabda, 'Karena kamu mengikuti Sunnahku,
menghormati orang shalih, menasihati saudara-saudaramu, serta
mencintai sahabat-sahabatku dan keluargaku. Semua itulah yang
menjadikanmu sampai ke derajat orang-orang yang mulia."
7. Yahya bin Mu'adz Ar-Razi berkata, "Perselisihan manusia semuanya
kembali kepada tiga dasar dan setiap dasar mempunyai lawannya,
sehingga orang yang terjatuh akan terjerat dalam lingkaran lawannya.
Tauhid lawannya kemusyrikan, Sunnah lawannya bid'ah, dan ketaatan
lawannya kemaksiatan."
8. Abu Bakar Ad-Daqqaq —sahabat Al Junaidi— berkata, "Ketika aku
berjalan di daerah tempat terjadinya fitnah bani Isra" il, tiba-tiba terbetik
dalam hatiku bahwa ilmu hakikat berfungsi sebagai penjelas bagi ilmu
syariat, sehingga suara penyeru berseru kepadaku, 'Setiap hakikat
tanpa dibarengi dengan syariat maka kufur'."
9. Abu Ali Al Hasan bin Ali Al Jurjani berkata, "Dari tanda-tanda
kebahagiaan seorang hamba yaitu dimudahkan baginya ketaatan,
perbuatannya sesuai dengan Sunnah, bergaul dengan orang shalih,
akhlaknya mulia di sisi temannya, berbuat kebaikan untuk makhluk,
memperhatikan kaum muslim, dan sangat menjaga (menggunakan)
waktu dengan sebaik-baiknya."
10. Abu Ali Al Hasan bin Ali Al Jurjani berkata (ketika ditanya tentang
jalan menuju Allah), " Jalan menuju Allah sangat banyak, namun jalan
yang paling jelas serta jauh dari keraguan adalah jalan (mengikuti)
Sunnah, baik perkataan maupun perbuatan, kemauan (kewajiban)
maupun niat, karena Allah berfirman, 'Dan jika kamu taat kepadanya,
niscaya kamu mendapat petunjuk'." (Qs. An-Nuur [24]: 54)
11. Abu Ali Al Hasan bin Ali Al Jurjani berkata (ketika ditanya tentang
jalan menuju Sunnah), "Menjauhi bid'ah dan mengikuti hal-hal yang
telah disepakati oleh ulama pada awal masa Islam, menjauhkan majelis
ilmu kalam dan pengikutnya, serta selalu pada jalan yang diikutinya,
yang dalam hal tersebut Nabi Muhammad SAW diperintahkan di dalam
firman-Nya, 'Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),
12. Abu Bakar At-Tirmidzi berkata, "Seseorang tidak akan mencapai niat
yang sempurna dengan seluruh bagian-bagiannya kecuali orang yang
mempunyai kecintaan, yang hanya dapat diraih dengan mengikuti
Sunnah dan menjauhi bid'ah, karena Muhammad SAW adalah manusia
yang paling tinggi niatnya dan paling dekat kecintaannya."
13. Abu Al Hasan Al Warraq berkata, "Seorang hamba tidak akan sampai
kepada Allah kecuali dengan Allah dan mengikuti kekasih-Nya
(Muhammad SAW) terhadap syariat yang dibawanya. Orang yang
mengambil jalan untuk dapat sampai, selain dengan mengikuti Sunnah,
pasti akan tersesat, padahal sebelumnya ia mendapatkan petunjuk."
la juga berkata, "Kebenaran adalah berjalan lurus dalam perkara agama
dan mengikuti Sunnah dalam syariat."
Ia menambahkan, "Tanda-tanda kecintaan terhadap Allah adalah
mengikuti kekasih-Nya."
14. Ibrahim bin Al Qammar berkata, "Tanda-tanda kecintaan kepada
Allah adalah membangkitkan ketaatan kepada-Nya dan kepada Sunnah
Nabi-Nya."
16. Abu Bakar bin Sa'dan — salah seorang murid Al Junaidi dan lainnya—
berkata, "Berpegang teguh dengan Allah adalah mencegah diri dari
kelengahan, kemaksiatan, bid'ah, dan kesesatan."
17. Abu Umar Az-Zujaji —murid Al Junaidi, Ats-Tsauri, dan yang lain—
berkata, "Manusia pada masa Jahiliyyah mengikuti hal-hal yang
dianggap baik oleh akal dan kebiasaan mereka, kemudian Nabi SAW
datang dan mengembalikan mereka kepada syariat dan perintah untuk
mengikuti. Jadi, akal yang sehat adalah yang menganggap baik hal
yang baik menurut syariat dan menganggap buruk hal yang dianggap
buruk oleh syari'at."
20. Abu Yazid Al Busthami berkata, "Aku telah menjalani waktu mujahadah
selama tiga puluh tahun untuk berpikir, merenung, dan meneliti, namun
tidak aku dapatkan hal yang lebih berharga daripada ilmu dan
mengikutinya. Kalau bukan karena perselisihan ulama, maka aku sudah
menderita. Perselisihan ulama adalah rahmat, kecuali dalam masalah
tauhid, sedangkan mengikuti ilmu adalah mengikuti Sunnah bukan
mengikuti selainnya."
22. Abu Yazid Al Busthami juga berkata, "Aku hampir-hampir ingin dalam
hal meminta kepada Allah agar Dia mencukupkanku pemberian makan
dan perempuan. Tetapi aku lalu berkata, 'Bagaimana boleh meminta
kepada Allah hal ini, sedangkan Rasulullah SAW tidak pernah
memintanya? Jadi, bagaimana mungkin aku meminta (hal tersebut)
kepada-Nya?' Allah SWT lalu mencukupkan diriku dari perempuan,
sehingga aku tidak peduli apakah aku berhadapan dengan perempuan
atau tembok."
23. Abu Yazid Al Busthami la berkata, "Apabila kamu melihat seseorang
diberikan karamah, hingga dirinya dapat terbang di udara —jika
pernah—, maka janganlah terperdaya oleh hal tersebut hingga kamu
melihat cara dirinya melaksanakan perintah dan larangan serta
menjaga hukum-hukum Allah dan aturan-aturan syariat."
24. Sahl At-Tastari berkata, "Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang
hamba dengan cara tidak mengikuti, baik dalam masalah ketaatan
maupun kemaksiatan, adalah panjang angan dalam jiwa —maksudnya
mengikuti hawa nafsu—. Sedangkan setiap perbuatan yang dilakukan
seorang hamba dengan cara mengikuti adalah mendidik jiwa —karena
didalamnya tidak terdapat hawa nafsu —. Mengikuti hawa nafsu adalah
(perbuatan yang) tercela, dan yang diharapkan oleh suatu kaum adalah
meninggalkan (hawa nafsu) secara keseluruhan."
25. Sahl At-Tastari la berkata, "Dasar-dasar agama kita ada tujuh perkara,
yaitu: (1) Berpegang teguh kepada kitab Allah, (2) mengikuti Sunnah
Rasulullah, (3) memakan yang halal, (4) mencegah kerusakan, (5)
menjauhkan diri dari perbuatan dosa, (6) bertobat, dan (7)
melaksanakan kewajiban."
26. Sahl At-Tastari berkata, "Manusia sering berputus putus asa dalam
melakukan tiga perkara yaitu: (1) terus menerus bertobat, (2) mengikuti
Sunnah, dan (3) mencegah kerusakan terhadap makhluk.
27. Sahl At-Tastari berkata (ketika ditanya tentang perbuatan yang paling
banyak ditinggalkannya), "Mengikuti Sunnah."
29. Ahmad bin Abu Al Hawaii berkata, "Orang yang melakukan suatu
perbuatan tanpa mengikuti Sunnah, maka perbuatannya tergolong
batil."
30. Abu Hafsh Al Haddad berkata, "Orang yang tidak setiap saat
menimbang amal perbuatannya dengan Al Qur’an dan Sunnah, serta
tidak menekan kemauannya, maka ia tidak dimasukkan dalam daftar
orang-orang bijak."
32. Abu Hafsh Al Haddad berkata (kepada pemikir dan aliran sesat), "Tidak
akan nampak kondisi jiwa yang berderajat tinggi melainkan dengan
berpegang teguh pada perkara yang benar."
37. Abu Al Qasim Al Junaidi berkata, "Seandainya aku hidup seribu tahun,
maka aku tidak akan mengurangi amal baikku sedikit pun, meskipun
sebesar biji sawi, kecuali ada sesuatu yang menghalangiku untuk
melakukannya."
38. Abu Al Qasim Al Junaidi berkata, "Semua jalan telah tertutup bagi
manusia, kecuali bagi orang yang mengikuti peninggalan-peninggalan
Nabi SAW."
42. Tatkala kondisi Abu Utsman sedang sekarat, sedangkan anaknya, Abu
Bakar, merobek baju sebagai bentuk penyesalan, atas dirinya, Abu
Utsman membuka kedua matanya dan berkata, "Wahai anakku,
menyelisihi Sunnah secara terang-terangan adalah tanda kesombongan
batin."
46. Abu Muhammad bin Fadhl Al Balkha berkata, "Orang yang paling
tahu tentang Allah di antara mereka adalah orang yang paling berusaha
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang paling mengikuti
Sunnah Nabi-Nya."
48. Abu Sa'id Al Kharraz berkata, "Setiap amalan batin yang bertentangan
dengan amalan zhahir pasti batil."
49. Abu Al Abbas bin Atha' —sahabat Al Junaidi—, berkata, "Orang yang
membiasakan diri dengan adab-adab Allah pasti akan diterangi hatinya
oleh Allah dengan cahaya ma'rifah. Tidak ada maqam yang paling
tinggi selain maqam mengikuti kekasih Allah (Rasulullah) dalam
perintah-perintahnya, tingkah lakunya, serta akhlaknya."
50. Abu Al Abbas bin 'Atha' berkata, "Kelengahan yang paling buruk
adalah lengahnya seorang hamba kepada Tuhannya, kepada perintah-
perintah-Nya, serta kepada adab-adab dalam berhubungan dengan-
Nya."
54. Bannan Al Hammal berkata (ketika ditanya tentang asal usul dunia
tasawuf), "Yakin dengan ajaran Islam dan melaksanakan perintah, tidak
suka menampakkan diri serta menyendiri dari dua alam."
58. Abu Ali Ar-Rauzabari berkata (ketika ditanya tentang orang yang
mendengarkan hiburan), "Bagiku itu halal, karena aku telah sampai
pada tingkatan tidak terpengaruh oleh penyimpangan tingkah laku."
Orang yang bertanya itu lalu berkata, "Betul, kamu telah sampai, tetapi
sampai ke neraka Saqar."
61. Abu Amr bin Najid berkata, "Setiap tingkah laku bukan dihasilkan
oleh ilmu, karena bahayanya lebih besar daripada faidahnya bagi
pemiliknya."
62. Bandar bin Husain berkata, "Menggauli ahli bid'ah akan mewariskan
penolakan terhadap kebenaran."
63. Abu Bakar Ath-Thamastani berkata, "Jalan itu sangat jelas dan Al
Qurx an serta hadits di hadapan kita, sedangkan keutamaan para
sahabat telah diketahui, sebab mereka lebih dahulu berhijrah dan pernah
menemani Rasululah. Barangsiapa di antara kita bergelut dengan Al
Qur' an dan Sunnah, merasa aneh dengan dirinya dan manusia serta
berhijrah (dengan hatinya) kepada Allah, maka dialah orang yang
benar-benar beruntung."
Oleh karena itu, di antara mereka tidak ada yang dinisbatkan kepada
kelompok sesat. Kebanyakan yang disebutkan adalah para ulama, ahli fikih,
dan para muhaddits, yang diambil dari mereka pokok-pokok ajaran Islam
dan cabang-cabangnya. Namun orang yang tidak demikian kondisinya
hendaknya memiliki pengetahuan yang dalam tentang agama.
Jika ahli tasawuf dalam tharikat mereka dinisbatkan kepada ijma' atas
suatu perkara oleh para ulama yang piawai dalam bidangnya, maka aku akan
mengikuti perkataan mereka dengan cara meminta bukti pengakuan mereka
terhadap Sunnah dan keyakinan mereka tentang tercelanya bid'ah, hingga
benar-benar menjadi bukti bagi kamu dan ahli bid'ah pada umumnya.
Semoga Allah memberikan taufik-Nya. Amin
Yang dimaksud dalam tema ini adalah pendapat yang dibangun tanpa
dasar dan bersandar pada selain Al Kitab dan As-Sunnah, akan tetapi ia
merupakan ketentuan yang disyariatkan. Pendapat seperti itu menjadi bagian
dari bid'ah, bahkan merupakan salah satu jenisnya, karena semua bentuk
bid'ah adalah pendapat yang dibangun tanpa dasar yang jelas, sehingga ia
digolongkan dalam kesesatan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dan lainnya dari Auf bin Malik Al
Asyja'i, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
" Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan lebih, dan
golongan yang paling berbahaya adalah kaum yang membandingkan
agama dengan pendapat mereka, yang dengannya mereka
mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah serta dengan
mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah."
Ibnu Abdul Barr berkata, "Ini adalah perbandingan tanpa dasar dan
pendapat —dalam masalah agama— dengan pendustaan dan peridraan akal.
Coba perhatikan sabda beliau berikut ini,
Telah disepakati bahwa perkara yang halal adalah semua perkara yang
penghalalannya terdapat dalam kitab Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan
perkara
yang haram adalah semua perkara yang pengharamannya terdapat dalam
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui namun ia
menjawab pertanyaan tentang perkara tersebut tanpa ilmu serta memutuskan
dengan pendapatnya yang bertentangan dengan Sunnah, berarti orang ini
telah membandingkan suatu perkara dengan pendapat akalnya sehingga sesat
dan menyesatkan, dengan seseorang yang mengembalikan cabang-cabang
ajaran syariat yang diketahuinya kepada pokok-pokoknya dan tidak
mengambil
keputusan dengan pendapatnya.
Abu Bakar bin Abu Daud berkata, "Pengikut pendapat akal adalah
pengikut bid'ah."
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya,
ia berkata, "Perkara-perkara bani Isra’il tetap berjalan lurus hingga lahir dari
mereka anak-anak dari tawanan umat lain, kemudian mereka memakai
pendapat akal, sehingga mereka menyesatkan bani Isra' il."
Pendapat tersebut adalah yang paling benar, sebab dalil-dalil yang telah
disebutkan —secara tersurat— mencakup seluruh bentuk bid'ah yang umum,
yang terjadi hingga Hari Kiamat, baik dalam perkara yang berkenaan dengan
dasar-dasar agama maupun cabang-cabangnya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Al Qadhi Isma'il tentang firman Allah, ' S'esungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap
mereka" (Qs. Al An'aam [6]: 159) Setelah dijelaskan bahwa ayat ini
diturunkan
untuk kelompok Khawarij.
Kelompok lain (Ibnu Abdul Al Barr dari jumhur ahli ilmu) berkata,
"Pendapat akal yang disebutkan dalam hadits tersebut maksudnya adalah
pernyataan dalam hukum-hukum syariat agama yang hanya berlandaskan
pada istihsan dan prasangka, bersungguh-sungguh mempertahankan
kekeliruan dan kesalahan-kesalahan, serta mengembalikan cabang-cabang
serta bagian-bagiannya hanya berlandaskan pada pendapat akal atau qiyas
tanpa merujuk pada dasar-dasarnya dan sebab-sebab pengambilan
hukumnya,
sehingga pendapat akal digunakan sebelum adanya perintah, kemudian hal
itu
terbagi-bagi menjadi beberapa bagian sebelum dikukuhkan, dan
diperbincangkan sebelum disahkan, sekali lagi bahwa mereka menggunakan
pendapat akal yang serupa dengan prasangka."
Rasulullah SAW,
" Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, sedangkan di
antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar."
Oleh karena itu, para ulama menjauhkan pendapat mereka dari qiyas,
meski sejalan dengan hal tersebut. Sebagian kelompok pemberi fatwa
melarang penggunaan qiyas sebelum diturunkan permasalahannya. Mereka
meriwayatkan hadits —tentang hal tersebut— dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda,
"Janganlah terburu-buru memutuskan perkara sebelum kejadiannya,
karena jika kamu melakukannya maka akan terpecah bagimu jalan-
jalan disana dan disini."
Dalam masalah ini Ibnu Abdul Barr banyak berkomentar namun kami
enggan untuk menuangkannya dalam bab ini.
Kita akan membahas semua hal yang dapat dijelaskan dengan seluas
mungkin sesuai waktu dan kondisi.
Dinukil deh Asad bin Musa, "Jangan sampai kamu mempunyai saudara,
teman, atau sahabat dari pelaku bid'ah, karena ulama salaf berkata, 'Orang
yang bergaul dengan pelaku bid'ah akan dicabut darinya penjagaan atas
kesalahan dan akan ditimpakan amalnya kepada dirinya. Orang yang
mendatangi pelaku bid'ah berarti telah berjalan untuk menghancurkan
Islam.' Dikatakan pula, 'Tidak ada tuhan yang disembah selain Allah, tidak
ada sesuatu yang sangat Dia murkai kecuali penyembah hawa nafsu'."
Rasulullah SAW telah melaknat ahli bid'ah dan Allah tidak akan
menerima semua kewajiban dan amalan (wajib dan sunah). Setiap kali
mereka
bersungguh-sungguh —baik dalam shalat maupun puasa— tetap tidak akan
bertambah bagi mereka sesuatu pun melainkan semakin jauh dari Allah.
Apabila perkara ini ada pada diri mereka karena perbuatan bid'ah,
maka semua orang yang berbuat bid'ah ditakutkan akan menjadi seperti
yang disebutkan dalam permisalan tadi.
2. Amal orang yang melakukan bid'ah tidak diterima, baik yang dimaksud
adalah tidak diterima secara mutlak; dari setiap segi yang dilakukannya
sesuai dengan Sunnah atau hanya yang menyelisihi sunnah saja,
maupun yang dimaksud adalah tidak diterima secara khusus (hanya
amalan yang ada bid'ahnya).
Pendapat yang pertama mungkin memiliki satu sisi dari tiga sisi
berikut ini;
Sisi pertama: Menurut arti yang tersurat adalah semua orang yang
berbuat bid'ah, apa pun bentuk bid'ahnya, yang mengakibatkan semua
amal tidak diterima, baik dalam amal tersebut terdapat bid'ah ataupun
tidak.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Rafi', dari Nabi SAW, beliau
bersabda,
Oleh karena itu, tidak sah menyatakan baik atau buruk hanya
didasarkan pada akal, sebab menurut ulama ilmu kalam hal itu termasuk
perbuatan bid'ah yang masyhur, dan setiap bid'ah adalah sesat.
" Setiap perkara yang tidak terdapat perkara kami di dalamnya, maka
tertolak."
Laknat tersebut juga berlaku untuk para pelaku bid'ah dan orang
yang kufur setelah ia beriman, padahal diutusnya Nabi SAW adalah
kebenaran yang tidak diragukan lagi, serta telah didatangkan kepadanya
petunjuk dari Allah dan keterangan yang menenteramkan, sebagaimana
dalam firman Allah, "Bagaimana Allah akan menunjuki satu kaum
yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui
bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul... mereka itu
balasannya ialah, bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada
mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya."
(Qs. Aali 'Imraan [3]: 86-87)
Makna dari kalimat "Pelaku bid'ah semakin jauh dari Allah" yaitu
sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al Hasan, ia berkata, "Seorang
pelaku bid'ah tidak bertambah ijtihadnya, puasanya, dan shalatnya,
melainkan
semakin bertambah jauh dari Allah."
Dari sisi lain hadits ini juga telah menjelaskan tentang tidak diterimanya
amalan wajib dan sunah yang mereka kerjakan. Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan disertai bid'ah sama saja seperti tidak melakukannya,
semakin keras penentangannya terhadap orang yang meninggalkan
perbuatan yang di dalamnya terkandung perbuatan bid'ah yang dibuatnya
serta adanya kerusakan dalam jiwanya juga akan merusak prinsip-prinsip
dasar syariat; masalah furu’amal perbuatan dan keyakinan, ia menyangka
bahwa semua itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah dan dapat
mengantarkannya ke surga.
Telah ditetapkan dalam hadits shahih bahwa tidak ada yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah kecuali amal perbuatan yang telah
disyariatkan.
Adapun seruan untuk meninggalkannya karena bid'ah, akan membuat amal
terkatung-katung dan tidak diterima, namun justru diikuti.
Sebagai bukti nyata pertama dalam sejarah atas perkara tersebut adalah
kisah tentang Khawarij, mereka memusuhi kaum muslim, hingga banyak
membunuh mereka, dan justru membiarkan kaum kafir, sebagaimana telah
dijelaskan dalam hadits shahih. Setelah itu, mereka memiliki hubungan
dekat
dengan para raja atau yang menamakan diri sebagai ahli Sunnah, mereka
menimpakan fitnah dan siksaan, bahkan pembunuhan. Yang demikian ini
telah dijelaskan oleh para ahli sejarah.
Akan tetapi semoga Allah memburukkan muka Amr bin Ubaid, karena
suatu hari ia pernah ditanya tentang sesuatu, lalu ia menjawabnya dengan
akalnya.
Para ulama dalam hal ini telah memberi peringatan untuk tidak duduk-
duduk atau bergaul dengan mereka, karena dikhawatirkan akan menebarkan
permusuhan dan perselisihan dalam suatu golongan.
*****
" Orang yang pertama kali diberi pakaian adalah Ibrahim, dan akan
diberikan beberapa orang dari umatku, maka ia membawa mereka ke
arah kiri... maka dikatakan, 'Mereka tents berbuat kemurtadan selama
hidup mereka'." Hadits shahih.
Jika mereka murtad dari Islam, maka tentu tidak ada kepentingan untuk
menisbatkannya kepada umat Nabi SAW. Yang demikian itu juga karena
Nabi
SAW membaca ayat, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (Qs. An-Nisaa' [4]: 48).
Redaksi hadits seperti itu juga terdapat dalam riwayat Mua'ththa', yaitu
sabda beliau,
*****
Yang demikian itu telah dijelaskan sebelumnya atau yang akan dijelaskan
kemudian, seperti pada sabda beliau,
Adapun bagi pelaku bid'ah, tidak ada tobat baginya, sesuai dengan
sabda Rsaulullah SAW,
"Sesungguhnya Allah menjauhkan tobat dari setiap pelaku bid'ah."
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, dari Umar bin Abdul Aziz, ia berkata,
"Dua golongan yang kami tidak berbaik hati kepadanya adalah pengikut
ketamakan dan pengikut nafsu, karena keduanya tidak dapat dilepaskan."
"Akan datang suatu kaum dari umatku yang membaca AJ Qur 'an
namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari
agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya kemudian ia
tidak kembali kepadanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk."
" Sesungguhnya akan keluar dari umatku suatu kaum yang dilindungi
oleh hawa nafsu, sebagaimana berlindungnya seekor anjing kepada
tuannya. Tidak ada urat atau sambungan tulang melainkan dirasukinya."
Al I'tisham 127
seperti yang dinukil dari Abdullah bin Al Hasan Al Anbari, dan
perdebatannya
terhadap Ibnu Abbas Al Haruriyah yang keluar dari kelompok Ali bin Abu
Thalib RA, dan dari perdebatan Umar bin Abdul Aziz terhadap sebagian
dari mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka terus-menerus berbuat
bid'ah.
Dari semua pendapat ini, kita dapat berkata, "Mereka dijauhkan dari
pintu tobat, karena hadits tersebut mencakup pengertian umum secara
makna, seperti yang tersurat. Akan dijelaskan permasalahan tersebut dengan
lebih detail.