You are on page 1of 21

PRESENTASI KASUS

ABORTUS INKOMPLETUS

Oleh: KELOMPOK 1

Amal Hayati 0606065150 Andry Giovanny 0606065195 Marinda Asiah Nuril Haya 0606028685

Narasumber: dr. Ni Made Desy S., Sp.OG, MM

MODUL PRAKTIK KLINIK KESEHATAN PEREMPUAN DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

2011

BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama Usia Suku/Bangsa Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat No. RM WIB 1.2 Anamnesis 1.2.1 Keluhan Utama Keluar darah dari kemaluan 2 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). 1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengaku hamil 2 bulan lebih. HPHT 21 Januari 2011 (usia kehamilan 10 minggu 3 hari, taksiran partus 28/10/2011). Tes kehamilan (+), pasien lupa tanggal melakukan test pack. Pasien mengaku belum pernah ANC, USG (-). Dua jam SMRS, keluar darah dari kemaluan pasien berwarna merah segar. Darah keluar mengalir, dan ada yang berbentuk gumpalan darah, berhenti sendiri. Mulas (+). Keluar jaringan berwarna keabuan (-). Riwayat trauma disangkal. Keputihan selama kehamilan disangkal. Riwayat batuk lama, penggunaan obat paru selama 6 bulan/obat yang membuat kencing merah disangkal. Riwayat abortus sebelumnya disangkal. Riwayat penggunaan kontrasepsi disangkal. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal. Menstrual Diary : 21-27 Januari 2011, akhir Desember 2010, akhir November 2010. 1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Waktu masuk : SMP : Ibu rumah tangga : Jl. Gang Subuh, Pulogadung, Jakarta : 128 17 11 : Masuk IGD kebidanan RSP tanggal 4 April 2011 jam 04.30 : Ny. I : 32 tahun : Jawa/Indonesia : Islam

Hipertensi (-), Asma (-), Diabetes Melitus (-), Alergi (-), Sakit jantung (-), sakit paru (-). Riwayat abortus (-). 1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi (-), Asma (-), Diabetes Melitus (-), Alergi (-), Sakit jantung (-). 1.2.5 Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan Riwayat Haid : Menarche usia 13 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama perdarahan 7 hari, ganti pembalut sebanyak 2-3 x/hari, nyeri saat haid disangkal. HPHT 21 Januari 2011. Riwayat menikah : Pernikahan pertama tahun 1999 (usia 20 tahun), memiliki 1 orang anak, bercerai. Pernikahan kedua tahun 2010 sekarang. Riwayat Obstetri : G2 P1 A0 anak pertama laki-laki, lahir spontan (tahun 2002) dengan berat 2800 g, dibantu oleh bidan. Riwayat Sosial : Pasien adalah ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja wiraswasta (berdagang). Riwayat Kontrasepsi : Pasien tidak menggunakan KB 1.3 Pemeriksaan Fisik (4 April 2011 pukul 04.30) Kesadaran Keadaan umum Tanda vital : Kompos Mentis : tampak sakit sedang : Tekanan darah Frekuensi nadi Suhu 1.3.1 Status Generalis Kulit Kepala Mata THT Leher Jantung : turgor cukup : deformitas (-) : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/: tidak ditemukan kelainan : KGB & tiroid tidak teraba membesar : bunyi jantung I II normal, murmur (-), gallop (-) 4 : 110/70 mmHg : 88 x/menit, isi cukup, reguler : 36,5oC

Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler

Paru Abdomen BU (+) N KGB

: vesikuler +/+, ronkhi (-), wheezing (-) : datar, lemas, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-), : KGB coli & inguinal tidak teraba

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema tungkai bawah -/-, sianosis (-) 1.3.2 Status Ginekologi Inspeksi Inspekulo : vulva/uretra tenang, perdarahan (+) : porsio licin, ostium terbuka, tampak jaringan pada ostium : kavum uteri membesar sebesar telur bebek, ostium

uteri eksternum, fluksus (+), flour (-) Vaginal touche membuka 1 cm, teraba jaringan pada ostium uteri eksternum, nyeri goyang portio (-), kavum Douglass tidak menonjol, masa adneksa (-/-), parametrium lemas. 1.4 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 1. Hasil pemeriksaan USG

USG (4/4/2011) Tampak masa hipohiperekoik berukuran 2,3 x 1,25 cm intrauterine Kedua adneksa dan ovarium dalam batas normal Cairan bebas (-) Kesan: sisa konsepsi 1.5 Diagnosa Kerja Abortus inkomplet pada G2P1 hamil 10 minggu 5

1.6 Rencana Diagnostik Darah Perifer Lengkap (DPL), Urinalisis lengkap, Gula Darah Sewaktu (GDS) Pencitraan: USG post kuretase

1.7 Rencana Penatalaksanaan Evakuasi sisa hasil konsepsi kuretase

1.8 Rencana Edukasi Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien mengalami keguguran dengan masih ada sisa hasil konsepsi di dalam rahim sehingga direncanakan tindakan kuretase. 1.9 Prognosis Ad vitam Ad functionam Ad sanactionam : bonam : bonam : dubia ad bonam

1.10 Follow Up Laporan hasi kuretase: Berlangsung kuretase dalam sedasi diazepam, sondase uterus posisi antefleksi, panjang uterus 10 cm. Didapatkan jaringan 10 cc, dikirim untuk periksa patologi anatomi. Perdarahan minimal. S O : Perdarahan (+) minimal, nyeri perut (-), demam (-) : : kompos mentis : 110/80 mmHg : 90x/menit : 36,6 oC : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/: tidak ditemukan kelainan : KGB tidak teraba membesar, tiroid tidak membesar 6

Keadaan umum: Baik Kesadaran Nadi Suhu Mata THT Leher Tekanan darah

Pernapasan : 20x/menit Status generalis

Jantung Paru Abdomen KGB (-)

: bunyi jantung I II normal, murmur (-), gallop (-) : vesikuler +/+, ronkhi (-), wheezing (-) : datar, lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+) N : KGB coli, inguinal tidak teraba : akral hangat, CRT < 2, edema tungkai bawah -/-, sianosis

Ekstremitas Status ginekologis

I: vagina, uretra tenang, perdarahan (-)

Gambar 2. Hasil USG post kuretase. Kesan: kavum uteri bersih dari sisa konsepsi

A P

: Post kuretase atas indikasi abortus inkomplet pada G2P1 hamil 10 : Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan, nyeri perut Mobilisasi aktif Diet tinggi kalori tinggi protein Motivasi KB Amoxiclav 3 x 625 mg As. Mefenamat 3 x 500 mg Metergin tab 2 x 1 Rawat ruangan

minggu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Abortus 2.1.1 Definisi Abortus merupakan berakhirnya kehamilan, baik secara spontan maupun disengaja, sebelum fetus viable (memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar kandungan). Berdasarkan konvensi, abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu atau berat lahir kurang dari 500 gram. Aborsi yang terjadi tanpa kesengajaan medis maupun mekanis untuk mengosongkan uterus disebut sebagai abortus spontan. Abortus spontan merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan (515%). 2.1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekitar 5-15% kehamilan yang terdiagnosis berakhir dengan abortus spontan. Beberapa peneliti di Eropa menyatakan bahwa angka abortus spontan sebesar 2-5%. Data di Amerika Serikat menunjukkan abortus spontan dan abortus yang diinduksi bertanggungjawab terhadap sekitar 4% kematian yang berhubungan dengan kehamilan. Dengan kematian lebih banyak terjadi pada wanita kulit hitam daripada kulit putih. Peningkatan usia dan jumlah paritas mempengaruhi risiko abortus. Pada wanita yang berusia lebih muda dari 20 tahun, keguguran terjadi pada sekitar 12% kehamilan. Pada wanita yang berusia lebih tua dari 20 tahun, keguguran terjadi pada sekitar 26% kehamilan. Usia berhubungan dengan kualitas oosit. Ketika oosit dari wanita muda digunakan untuk membuat embrio untuk dipindahkan ke resipien yang berumur lebih tua, implantasi dan angka keguguran hampir sama dengan yang terlihat pada wanita muda. Jumlah angka keguguran dan abnormalitas kromosom menurun, menunjukkan bahwa uterus tidak bertanggungjawab terhadap hasil kehamilan yang buruk pada wanita usia lanjut. 2.1.3 Etiologi Abortus dapat disebabkan oleh berbagai faktor, melibatkan faktor ibu maupun janin.
Tabel 1. Penyebab abortus

Faktor fetus Perkembangan zigot abnormal Aborsi aneuploid Aborsi euploid Infeksi Sifilis HIV-1 Streptococcus grup B Bakterial vaginosis Penyakit kronis Tuberkulosis Karsinomatosis Kelainan endokrin Hipotiroid Diabetes mellitus Defisiensi progesterone Laparotomy Trauma

Faktor Ibu Penggunaan obat & faktor lingkungan Rokok Alkohol Radiasi Kontrasepsi Toksin lingkungan Faktor imunologis Faktor autoimun Faktor alloimun Trombofilia yang diturunkan Defek uterus Defek uterus didapat Defek perkembangan uterus Nutrisi

2.1.4 Jenis Abortus 1. Abortus Iminens (Threatened Abortion) Diagnosis klinis abortus iminens ditegakkan ketika ada perdarahan per vaginam melalui ostium servikalis yang tertutup selama awal kehamilan (usia kehamilan kurang dari 20 minggu). Abortus iminens merupakan ancaman terjadinya abortus yang ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup, dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. Beberapa keluhan perdarahan yang dekat waktunya dengan waktu dugaan menstruasi mungkin fisiologis. Lesi pada serviks, misalnya setelah koitus, dapat menimbulkan perdarahan pada awal kehamilan. Polip yang berada pada ostium servikalis eksternal dan desidua juga cenderung mengalami perdarahan pada awal kehamilan. Pada abortus iminens, perdarahan biasanya muncul mendahului nyeri kram perut yang terjadi selama beberapa jam sampai beberapa hari. Nyeri abortus bisa bermanifestasi sebagai kram anterior ritmik, nyeri punggung persisten yang diasosiasikan dengan perasaan adanya tekanan pada pelvis, atau sebagai nyeri tumpul pada bagian tengah suprapubik. Kombinasi perdarahan dan nyeri menghasilkan prognosis yang buruk untuk keberlangsungan kehamilan. Cara lain untuk menentukan prognosis pada abortus iminens adalah dengan melihat kadar hormone -hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin keduanya masih positif, maka prognosisnya adalah baik, bila pada pengenceran 1/10 hasilnya negatif, maka prognosisnya dubia ad malam. Jika perdarahan berlangsung persisten atau berat, hematokrit harus diperiksa. Jika 9

kehilangan darah cukup banyak sampai menyebabkan anemia yang signifikan atau hipovolemia, evakuasi uterus harus dilakukan. Tidak ada terapi yang efektif untuk abortus iminens. Analgesia yang berbahan dasar asetaminofen bisa diberikan untuk menolong mengurangi nyeri. Spasmolitik dapat diberikan agar uterus tidak berkontraksi. Hormon progresteron atau derivatnya dapat diberikan untuk mencegah terjadinya abortus. Pasien boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan, dengan edukasi untuk tidak melakukan hubungan seksual selama 2 minggu. Sonografi vagina, pengukuran kuantitatif kadar -hCG serum, dan nilai progesteron serum dapat digunakan untuk membantu menentukan apakah fetus masih hidup. 2. Abortus Insipiens (Inevitable Abortion) Abortus insipiens ditandai dengan serviks yang telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahan bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan pembesaran uterus sesuai umur kehamilan, gerak janin dan denyut jantung janin masih jelas walaupun mungkin sudah mulai tidak normal. Dalam pengelolaan pasien harus diperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi. Segera lakukan tindakan evakuasi hasil konsepsi dan kuretase bila perdarahan banyak. Setelah tindakan, perbaiki keadaan umum, berikan uterotonika dan antibiotik profilaksis. 3. Abortus Inkompletus Diagnosis ditegakkan bila sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi, jumlahnya bisa banyak atau sedikit tergantung pada jaringan yang tersisa. Sebagian placental site yang masih terbuka mengakibatkan perdarahan terus berlangsung. Pasien dapat jatuh pada keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang menghambat 10

terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berjalan baik, dan perdarahan dapat berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan yang dianjurkan adalah dengan aspirasi vakum manual. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika dan antibiotik. 4. Abortus Kompletus Diagnosis ditegakkan bila seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri. Biasanya ostium uteri telah menutup dan uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Tidak ada tindakan atau obat khusus untuk tatalaksana pasien. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila diperlukan. 5. Missed Abortion Pada kasus ini, uterus meretensi produk konsepsi yang telah mati di belakang ostium servikalis yang tertutup selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Pada kasus yang tipikal, kehamilan awal tampak seperti normal, dengan amenorea, mual, muntah, perubahan payudara, dan pertumbuhan uterus. Setelah kematian janin, bisa terjadi perdarahan per vaginam atau keluhan abortus iminens lainnya. Selama berhari-hari atau berminggu-minggu, ukuran uterus tetap sama, tapi secara gradual menjadi semakin kecil. Perubahan payudara biasanya berkurang dan pasien seringkali kehilangan berat badan. Banyak wanita tidak memiliki gejala selama periode ini kecuali amenorea yang persisten. Jika missed abortion berakhir secara spontan, proses ekspulsi sama pada semua jenis aborus. Setelah kematian konsepsi, tatalaksana dilaksanakan tergantung pada pilihan individu. Tatalaksana bedah merupakan terapi definitif, tapi invasif dan tidak diperlukan pada semua kasus. Tatalaksana medika mentosa membutuhkan follow up lebih banyak, menyebabkan nyeri yang signifikan, dan bisa memakan waktu. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan di antara 12-20 minggu keadaan serviks yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan serviks. Setelah jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi, dilanjutkan dengan tindakan kuretase. Setelah tindakan, jika perlu diberikan cairan intravena, oksitosin, dan antibiotik. 6. Abortus Habitualis (Recurrent Abortion) Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Abortus habitualis merupakan indikasi untuk melakukan analisis

11

sitogenetik

orangtua,

pemeriksaan

antikoagulan

lupus,

dan

antibodi

antikardiolipin. Selain penyebab anatomis, penyebab abortus habitualis juga banyak dikaitkan dengan reaksi imunologik, yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Salah satu penyebab yang sering dijumpai adalah inkompetensi serviks, yaitu keadaan dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mulas/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Diagnosis inkompetensi serviks dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat. Dengan pemeriksaan inspekulo dapat dinilai diameter kanalis servikalis dan didapatkan selaput amnion yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Bila dicurigai adanya inkompetensia serviks, harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban sesuai dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14 minggu dengan cara Shirodkar atau McDonald dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang sutera/Mersilene yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan. 7. Abortus Infeksiosus dan Abortus Septik Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada sirkulasi sistemik (sepsis) atau peritoneum (peritonitis). Pada anamnesis didapatkan upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan steril, dengan gejalaanas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan pemberian antibiotik adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitifitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar per vaginam. Untuk tatalaksana awal dapat diberikan Penisilin 4x1,2 juta unit atau Ampisilin 4x1 gram ditambah Gentamisin 2x80 mg dan Metronidazol 2x1 gram. Selanjutnya pembrian antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam setelah antibiotik diberikan. Saat tindakan, berikan uterotonika. Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari

12

pemberian tidak memberikan respons baik, harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan menjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vagina/uterus dengan larutan peroksida. Kalau perlu histerektomi total secepatnya. 8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum) Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga ikut tidak terbentuk. Bila tidak dilakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun tanpa janin di dalamnya. Biasanya sampai sekitar 14-16 minggu akan terjadi abortus spontan. Diagnosis kehamilan anembrionik ditegakkan pada usia kehamilan 7-8 minggu bila pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai gambaran mudigah. Untuk itu, bila saat USG pertama didapatkan gambaran demikian, perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu kemudian. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan terminasi kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif. 2.1.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Hitung darah perifer lengkap (DPL) akan membantu menghitung jumlah kehilangan darah dan menentukan anemia. Jika hemoglobin dan hematokrit sangat rendah dan pasien simptomatik maka harus dilakukan transfusi. Hitung DPL juga menyediakan bukti adanya infeksi dengan ditemukannya leukositosis dan shift to the left. Beta-hCG penting untuk mengkonfirmasi kehamilan dan membedakannya dari perdarahan uterus fungsional atau perdarahan dari penyebab lain. Kadar hCG juga penting untuk membantu membedakan abortus kompletus dari abortus iminens atau kehamilan ektopik. Jika kadar -hCG diatas 1500-2000 mIU/mL, ultrasonografi transvaginal akan mendeteksi kehamilan intrauterine. Kadar lebih dari 3000 mIU/mL memungkinkan dokter untuk memvisualisasikan kehamilan intrauterin yang hidup dengan USG transabdominal. Jika kadar meningkat, kanalis servikalis menutup, dan riwayat pasien konsisten dengan adanya jaringan yang keluar, lalu terdapat uterus yang kosong dalam USG, maka abortus kompletus dapat dipastikan. Walaupun demikian, jika kadar -hCG meningkat, tidak ada riwayat

13

keluarnya jaringan, dan ultrasonografi menunjukkan uterus yang kosong, dokter harus mengasumsikan bahwa ada kehamilan ektopik sampai terbukti sebaliknya. Kadar -hCG yang rendah (<200 mIU/mL) membuat diagnosis menjadi lebih sulit. Observasi dan monitoring kadar -hCG setiap beberapa hari bisa menjadi pilihan jika pasien stabil dan tidak mengeluh adanya nyeri. Jika kadar hCG yang rendah bertambah turun, menetap dan progresif, pasien kemungkinan menderita abortus atau abortus tuba dengan sendirinya. Namun, jika kadar meningkat, follow-up USG dibutuhkan untuk menentukan adanya kehamilan intrauterin atau kehamilan ektopik dan apakah dibutuhkan tatalaksana selanjutnya. Kadar -hCG harus meningkat sekitar 60% setiap 2 hari selama awal trimester pertama. Golongan darah penting untuk menentukan apakah dibutuhkan tatalaksana dengan RhoGAM. Wanita dengan Rh-negatif harus menerima

RhoGAM dalam 72 jam sejak keguguran atau kehamilan ektopik untuk menghindari kemungkinan kehamilan memaparkan pasien terhadap antigen positif. Jika ayah bayi juga memiliki Rh-negatif maka pasien tidak perlu menerima terapi immunoglobulin. Hal ini juga penting pada kasus dimana transfusi dibutuhkan Pemeriksaan profil disseminated intravascular coagulation (DIC) juga penting pada kasus-kasus dengan perdarahan signifikan. Profil DIC biasanya terdiri dari hitung trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin (PT) dan waktu aktivasi parsial protrombin (aPTT). Ketika perdarahan yang signifikan terjadi dan pasien mengkonsumsi faktor koagulasi lebih cepat daripada kemampuan produksi, maka kejadian yang menginisiasi harus ditangani (contoh, D&C, histerektomi) dengan pemberian trombosit, faktor koagulasi (biasanya diberikan dalam bentuk plasma beku segar atau kriopresipitat), atau fibrinogen sebagai tambahan ketika transfusi. Transfusi whole blood merupakan alternatif lain. Urinalisis penting untuk menyingkirkan infeksi traktus urinarius. Wanita hamil rentan terhadap infeksi traktus urinarius karena efek progresteron pada otot polos dari ureter, yang menyebabkan hidroureter ringan fisiologik. Sistisis atau batu ginjal dapat terjadi dengan perdarahan yang bersumber dari urin. 2. Radiologi Ultrasonografi pelvis menggunakan probe vagina harus dilakukan untuk menyingkirkan kehamilan ektopik, retensi produk konsepsi, hematometra, atau etiologi lain.

14

Jika diagnosis tidak jelas, D&C diagnostik dapat dikerjakan. Pada keadaan ini, spesimen dikirim untuk potong beku dan jika ditemukan vili korialis, maka terdapat kehamilan intrauterin. Tidak ada tatalaksana selain suction D&C. Jika tidak ditemukan vili korialis, dokter harus mempresumsikan bahwa terdapat kehamilan ektopik dan menginisiasi tatalaksana yang tepat. 3. Penemuan Histologik Hasil patologi dari spesimen yang dikirim harus membuktikan adanya vili korialis. 2.1.6 Diagnosis Banding 1. Kehamilan ektopik terganggu ( KET ) Pada KET ditemukan amenore, perdarahan pervaginam yang jumlahnya biasanya sedikit, sedangkan pada abortus biasanya perdarahan cukup banyak, terdapat nyeri bagian bawah perut dan pembesaran di belakang uterus. Tetapi nyeri pada KET biasanya lebih hebat. Pemeriksaan seperti kuldosintesis dan USG dapat dikerjakan untuk menyingkirkan diagnosis banding ini. Sebelum timbul KET, suatu kehamilan ektopik hanya berupa kehamilan ektopik yang belum terganggu. 2. Mola Hidatidosa Pada mola hidatidosa, uterus biasanya membesar lebih cepat dibandingkan dengan masa kehamilannya, dan kadang disertai dengan adanya hiperemis gravidarum. Ini disebabkan oleh adanya kadar -hCG yang tinggi di dalam darah. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan gambaran seperti badai salju (snowform like appearance). 3. Kelainan Serviks Karsinoma serviks uteri, polip serviks dan sebagainya dapat menyebabkan perdarahan yang menyerupai abortus. Pemeriksaan dengan spekulum, pemeriksaan sitologik, dan biopsi dapat membantu dalam menegakan diagnosis. 2.1.7 Tatalaksana Abortus kompletus biasanya tidak membutuhkan tatalaksana lebih lanjut, secara medis maupun bedah. Ketika diagnosis abortus kompletus ditegakkan, pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit dan biasanya dapat dipulangkan. Ukur kadar -hCG setiap minggu sampai kurang dari 5 mIU/mL jika hasil konsepsi tidak dilihat secara langsung oleh dokter. Jika hasil konsepsi yang dikeluarkan dilihat

15

oleh dokter dan dikonfirmasi bahwa hasil tersebut intak dan benar merupakan hasil konsepsi, tidak perlu dilakukan tes lebih lanjut. Untuk abortus inkomplet, insipiens, missed abortion yang terjadi sebelum usia gestasi 13 minggu, terapi standarnya adalah suction D&C. Walaupun begitu, setidaknya 2 randomized controlled trials menunjukkan misoprostol merupakan alternatif terapi medis yang efektif. Suatu studi yang dilakukan pada pasien dengan abortus inkomplet menunjukkan tingkat keberhasilan pada terapi 600mcg misoprostol sebesar 96,3% dan suction D&C sebesar 91,5%. Tingkat komplikasi lebih rendah pada terapi misoprostol (0,9%). Terapi medis menggunakan misoprostol merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk hampir semua wanita. Pasien harus dikonseling mengenai risiko dan keuntungannya. Keuntungan terapi medikamentosa adalah tidak ada prosedur bedah yang harus dilakukan bila terapi berhasil. Keluarnya jaringan harus terjadi dalam beberapa hari setelah menerima terapi medis. Jika tidak berhasil, pendekatan bedah harus dilakukan. Risiko terapi medis meliputi perdarahan, infeksi, kemungkinan abortus inkompletus, dan kemungkinan kegagalan obat untuk bekerja. Keuntungan suction D&C adalah prosedur dapat dijadwalkan dan dilakukan pada waktu tertentu. Risikonya adalah terjadinya perdarahan, infeksi, dan kemungkinan perforasi uterus. Pada situasi dimana terdapat kehilangan jumlah darah yang cukup banyak, hidrasi agresif, terapi besi, atau transfusi diindikasikan. Jika terdapat kekhawatiran mengenai kehilangan jumlah darah yang signifikan, pasien mungkin membutuhkan observasi selama 24 jam dan menerima transfusi darah. Jika pasien memiliki tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik sebelum D&C, jika mungkin, tanpa menunda tindakan tersebut. Tidak ada diet khusus untuk pasien dengan abortus, diet seperti biasa. Anjurkan pasien untuk kembali ke IGD jika muncul gejala atau tanda seperti perdarahan yang banyak dari vagina, nyeri panggul yang berat, atau suhu tubuh >37,7oC. Pasien mungkin akan merasakan aliran darah dan kram intermiten seperti menstruasi selama satu minggu setelahnya. Periode menstruasi selanjutnya biasanya terjadi dalam 4-5 minggu. Pasien dapat melanjutkan aktivitas sehari-hari ketika sudah merasa mampu, tapi harus abstain melakukan hubungan seksual selama 2 minggu. Anjurkan perawatan ginekologi rutin dan konseling untuk kontrasepsi. Pasien harus menghindari koitus atau penggunaan kontrasepsi sampai kadar -hCG negatif. Selain itu, tawarkan konseling psikologi kepada pasien.

16

2.1.8 Komplikasi Komplikasi berbahaya yang dapat terjadi pada abortus adalah : 1. Perdarahan masif. Perdarahan masif dapat diatasi dengan membersihkan uterus dari sisa sisa hasil konsepsi dan jika perlu berikan transfusi darah. 2. Perforasi. Perforasi uterus dapat terjadi terutama pada uterus dalam hiperetrofleksi. Jika ditemukan tanda akut abdomen perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka operasi atau perlu dilakukan histerektomi. 3. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada abortus. Infeksi dapat menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Apabila terjadi peritonitis umum atau sepsis dapat disertai dengan terjadinya syok. Untuk tatalaksana, berikan antibiotik pilihan dan lakukan laparotomi. 4. Syok. Syok pada abortus biasanya bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok septik). 2.1.9 Prognosis Mayoritas wanita yang berusaha hamil setelah didiagnosis dengan abortus habitualis akan memiliki hasil yang baik, dengan atau tanpa terapi. Warburton dan Fraser (1964) melaporkan kemungkinan abortus habitualis 25-30% tanpa memandang jumlah abortus sebelumnya. Polan dkk (1977) melaporkan jika wanita dengan diagnosis abortus sebelumnya sudah melahirkan seorang anak, maka risiko abortus selanjutnya sekitar 30%. Jika wanita tersebut tidak memiliki anak sebelumnya, dan pernah menderita setidaknya satu abortus spontan, risiko abortusnya adalah sekitar 46%.

17

BAB III PEMBAHASAN Pasien, wanita usia 32 tahun mengaku hamil >2 bulan, datang dengan perdarahan pervaginam sejak 2 jam SMRS. Darah mengalir berwarna merah segar dan terdapat gumpalan-gumpalan darah. Saat datang, pasien juga merasakan mulas. Nyeri perut yang hebat disangkal. Riwayat amenore dan pemeriksaan kehamilan yang positif memastikan adanya kehamilan pada pasien ini. Pada anamnesis, didapatkan HPHT pasien 21 Januari 2011 (usia kehamilan 10 minggu 3 hari). Dengan siklus menstruasi yang 28 hari, dapat digunakan rumus Naegele untuk menentukan taksiran persalinan, yaitu sebagai berikut: Hari+7 21+7 28 Bulan-3 13-3 10 Tahun+ 1 2010+1 2011 Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Tidak terdapat konjungtiva anemis maupun tanda-tanda akut abdomen. Pada pemeriksaan ginekologis didapatkan perdarahan pada inspeksi. Pada inspekulo didapatkan ostium terbuka sebesar 1 cm, tampak jaringan pada ostium uteri eksternum, fluksus (+). Dengan VT, teraba kavum uteri membesar sebesar telur bebek, ostium membuka 1 cm, teraba jaringan pada ostium uteri eksternum, nyeri goyang portio (-), kavum Douglass tidak menonjol, masa adneksa (-/-), dan parametrium lemas. Ostium uteri eksternum yang terbuka disertai terdapatnya jaringan menunjang diagnosis untuk abortus. Tidak ada tanda akut abdomen dan nyeri goyang porsio dapat menyingkirkan diagnosis KET pada pasien. Pada pemeriksaan USG kemudian dikonfirmasi adanya sisa hasil konsepsi dalam kavum uteri. Dengan demikian, pasien didiagnosis dengan abortus inkompletus karena terdapat sisa hasil konsepsi dalam uterus. Selain itu, pemeriksaan USG ini juga menyingkirkan diagnosis mola hidatidosa yang merupakan diagnosis banding dari perdarahan pervaginam pada kehamilan. Penyebab abortus secara garis besar terbagi menjadi 2, yaitu faktor maternal dan faktor fetus. Abortus yang terjadi pada trimester pertama, kemungkinan penyebabnya berasal dari janin, seperti kelainan kromosom. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 50-60% dari abortus dini spontan berhubungan dengan anomali kromosom pada fetus. Untuk membuktikan adanya 18

kelainan kromosom, harus dilakukan pemeriksaan DNA pada jaringan fetus yang abortus, tapi pada pasien tidak dilakukan. Faktor maternal yang dapat menjadi penyebab abortus misalnya infeksi, gangguan endokrin, riwayat penyakit kronis, penggunaan obat-obatan maupun riwayat trauma. Namun, semua faktor maternal tersebut tidak ditemukan pada pasien ini. Selain itu, dalam literatur disebutkan bahwa usia berhubungan dengan kualitas oosit. Semakin tua usia pasien, maka kualitas oosit semakin menurun dan kemungkinan terjadi abortus lebih tinggi. Dalam kasus ini, pasien sudah berusia 32 tahun, yang dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya abortus. Pada Berdasarkan pasien dilakukan tatalaksana abortus berupa dilatasi dan kuretase. pemberian literatur, penangan inkompletus dengan

misoprostol memberikan hasil yang hampir sama baik dengan kuretase dan angka kematian akibat terapi lebih kecil dibandingkan dengan kuretase. Selain itu, komplikasi pada terapi dengan misoprostol juga lebih kecil dibandingkan kuretase. Namun, pada pemberian misoprostol hasilnya lebih lama dan perdarahan akan berlangsung lebih lama karena sisa konsepsi tetap tertinggal pada kavum uteri. Pada pasien ini telah terjadi perdarahan dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk itu, tidak diinginkan perdarahan lebih lama yang dapat membahayakan kondisi pasien. Dengan demikian, pada kasus ini tatalaksana dengan kuretase lebih cocok untuk pasien. Setelah dilakukan kuretase, dengan USG dibuktikan bahwa kavum uteri sudah bersih dari sisa hasil konsepsi. Pada pasien juga dilakukan observasi tanda vital, perdarahan, serta nyeri perut untuk mengevaluasi komplikasi abortus inkompletus dan tindakan kuretase yang telah dilakukan. Setelah tindakan, pasien dirawat di rumah sakit. Amoxiclav diberikan sebagai antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi pasca tindakan. Selain itu pasien juga diberikan asam mefenamat untuk manajemen nyeri pasca tindakan. Metergin diberikan untuk membantu terjadinya kontraksi uterus yang baik sehingga meminimalisasi perdarahan. Pada pasien direncanakan segera melakukan mobilisasi aktif, diet dengan kalori dan protein yang tinggi, serta motivasi untuk KB. Berdasarkan literatur, sebenarnya tidak perlu diet khusus untuk pasien dengan abortus, dapat dilakukan diet yang biasa. Untuk penggunaan kontrasepsi, bergantung pada keinginan pasien. Sampai sekarang, pasien baru memiliki 1 orang anak, masih memungkinkan pasien untuk memiliki anak yang kedua. Namun, mengingat usia pasien yang sudah mencapai 32 tahun, pasien perlu diedukasi lagi untuk

19

mempertimbangkan apakah benar-benar ingin memiliki anak lagi, dengan banyaknya faktor risiko untuk kehamilan pada usia tersebut. Jika pasien memang ingin memiliki anak lagi, maka penggunaan kontrasepsi tidak diperlukan, mengingat bahwa semakin lama penundaan kehamilan, semakin tua usia pasien, maka kehamilan akan berisiko lebih tinggi. Selain itu, jika pasien masih ingin memiliki anak lagi, maka seharusnya dilakukan pemeriksaan lanjut untuk mengidentifikasi faktor yang menyebabkan abortus pada kehamilan pasien. Keadaan umum pasien baik dan hemodinamik pasien stabil. Tidak didapatkan adanya kondisi yang mengancam nyawa baik sebelum maupun setelah tindakan. Dengan demikian, prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam. Prognosis ad functionam untuk reproduksi pasien masih baik karena pasien masih dalam usia reproduksi aktif. Selain itu tidak didapatkan komplikasi dari abortus yang dapat mengganggu fungsi reproduksi pasien. Secara keseluruhan, fungsi pasien masih baik Prognosis ad sanactionam pada pasien dubia ad bonam. Pada literatur disebutkan bahwa wanita dengan riwayat abortus memiliki kemungkinan 25-30% untuk terjadi abortus berulang.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, dkk, editor. Williams Obstetrics. Ed 23. [e-book]. New York: McGraw-Hill, 2010. 2. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Di dalam Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo, editor. Ed 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, 2010. hal.460-74. 3. Puscheck E. Early pregnancy loss. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/ 266317-overview (23 Maret 2011) 4. Saifuddin AB. Buku acuan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,2001. hal.146-7.

21

You might also like