You are on page 1of 14

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2. 1 KONSEP MEDIS 2.1.

1 Pengertian Skizofrenia Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkrit dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal serta memecahkan masalah. (Stuart, 2007). Suatu deskripsi syndrome dengan variasi penyebab(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronik/deteriorating yang luas), serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (in appropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kignitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Rusdi Maslim, 2001) 2.1.2 Etiologi Skizofrenia Karena belum ada definisi yang pasti tentang skizofrenia , maka sampai saat ini etiologi skizofrenia masih belum jelas dan masih dan penelitian para sarjana. Kemungkinan besar skizofrenia adalah suatu gangguan yang heterogen. Yang menonjol pada gangguan skizofrenia adalah adanya stressor psikososial yang mendahuluinya. Seseorang yang mempunyai kepekaan spesifik bila mendapat tekanan tertentu dari lingkungan akan timbul gejala skizofrenia . Etiologi skizofrenia diuraikan menjadi dua kelompok teori yaitu : 1. Teori Somatogenetik Teori yang menganggap bahwa penyebab skizofrenia karena factor kelainan organik atau badaniyah .

2. Teori Psikogenik Teori yang menganggap skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan fungsional. Dan penyebab utamanya adalah konflik, stres psikologik dan hubungan antar manusia yang mengecewakan . Selain itu banyak teori yang diajukan sebagai teori etiologi skizofrenia. antara lain teori yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu interaksi beberapa gen penyebab skizofrenia . Dan ada pula teori yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh metabolisme yang disebut dengan inborn error of metabolissm (Rusdi Maslim, 2001) 2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia Pada skizofrenia, terdapat gejala positif dan negatif. Gejala positif yaitu: a. Halusinasi: persepsi sensorik yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas. b. Waham: keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar dalam realita. c. Ekopraksia: peniruan gerakan dan gestur orang lain yang diamati klien d. Flight of idea: aliran verbalisasi yang terus-menerus saat individu melompat dari satu topik ke topik lain dengan cepat e. Perseverasi: terus-menerus membicarakan satu topik atau gagasan; pengulangan kalimat, kata, atau rasa secara verbal dan menolak untuk mengubah topik tersebut f. Asosiaso longgar: pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah atau buruk g. Gagasan rujukan: kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal memiliki makna khusus bagi individu. h. Ambivalensi: mempertahankan keyakinan atau perasaan yang tampak kontadiktif tentang individu tentang peristiwa, atau situasi yang sama Kemudian ada gejala negatif, seperti dibawah ini: 1) Apatis: perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas, peristiwa

2) Alogia: kecenderungan berbicara sangat sedikit atau menyampaikan sedikit substansi makna atau miskin isi 3) Afek datar: tidak adanya ekspresi yang menunjukkan adanya emosi atau mood 4) Afek tumpul: rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang terbatasan 5) Anhedonia: merasa tidak senang atau tidak gembira dalam menjalani hidup, aktivitas, atau hubungan 6) Katatonia: imobilitas karena faktor psikologis, kadang-kadang ditandai oleh periode agitasi atau gembira; klien tampak tidak bergerak, seolaholah dalam keadaan setengah sadar 7) Tidak memiliki kemauan; tidak adanya keinginan, ambisi atau dorongan untuk bertindak atu melakukan tugas-tugas 2.1.4 Klasifikasi Skizofrenia a. Skizofrenia tipe paranoid: ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimata-matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang-kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan permusuhan. b. Skizofrenia tipe tidak terorganisasi: ditandai dengan afek datar dan afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstern. c. Skizofrenia tipe katatonik: ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktivitas motorik yang berlebihan, ngativisme yang ekstrim, mutisme, gerakan volunter yang aneh, ekolaria, atau ekotraksia. imobilitas motorik dapat berupa katalepsi. d. Skizofrenia tipe tidak dapat dibedakan: ditandai dengan gejala-gejala skizofrenia campuran atau tipe lain disertai gangguan pikiran afek dan perilaku.

e.

Skizofrenia tipe residual: ditandai dengan setidaknya 1 episode skizofrenia sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar serta asosiasi longgar.

2.1.5

Pengobatan a. Obat-obat psikotik konvensional (seperti klorpromazine, flufenazine, aloperidol, loxapin, perfenazin, trifluoperazin, tiotixen, dan tioridazin) terbukti mengurangi gejala positif skizofrenia dan secara signifikan menurunkan resiko relaps simptomatik dan dirawat inap pulang. Namun efek samping neurologis yang serius menyebabkan obat ini sulit ditoleransi oleh banyak pasien skizofrenia. b. Kelompok obat-obat anti psikotik atipikal (seperti klozapin, risperidon, olanzapin, quetiatin, ziprasidon) telah menunjukkan efektifitas yang dapat dibandingkan untuk mengatasi gejala skizofrenia dan dapat menurunkan gangguan neurologis yang merugikan c. Terapi kognitif-perilaku dan program pembelajaran social membantu struktur, dukungan dan mendorong perilaku prososial dalam mengobati pendertita skizo yang sulit disembuhkan. Int6ervensi yang berupa penyuluhan keluarga yang terstruktur membantu mempertahankan

pencapaian tujuan melalui pengoibatan dan manajemen kasus biasa. (Rusdi Maslim, 2001)

2.2 KONSEP KEPERAWATAN 2.2.1 Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 2007). Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun, 7

orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, dkk, 2008). Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000). Sedangkan menurut Carpenito 2000, perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan. 2.2.2 Etiologi Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai

tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan PK A. Faktor Predisposisi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah: 1. Teori Biologik Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku: a. Neurobiologik Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif. b. Biokimia Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,

asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress. c. Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.

d. Gangguan Otak Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2. Teori Psikologik a. Teori Psikoanalitik Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri. b. Teori Pembelajaran Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa. 3. Teori Sosiokultural Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat 10

juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu. B. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009): 1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya. 2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. 3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. 4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa. 5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. 6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga. 2.2.4 Tanda dan Gejala Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Fisik a. Muka merah dan tegang b. Mata melotot/ pandangan tajam c. Tangan mengepal 11

d. Rahang mengatup e. Postur tubuh kaku f. Jalan mondar-mandir 2. Verbal a. Bicara kasar b. Suara tinggi, membentak atau berteriak c. Mengancam secara verbal atau fisik d. Mengumpat dengan kata-kata kotor e. Suara keras f. Ketus 3. Perilaku a. Melempar atau memukul benda/orang lain b. Menyerang orang lain c. Melukai diri sendiri/orang lain d. Merusak lingkungan e. Amuk/agresif 4. Emosi a. Tidak adekuat b. Tidak aman dan nyaman

c. Rasa terganggu, dendam dan jengkel d. Tidak berdaya e. Bermusuhan f. Mengamuk, ingin berkelahi

g. Menyalahkan dan menuntut 5. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme. 6. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar. 12

7.

Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.

8. Perhatian Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

2.2.5 Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi 5 tahapan yaitu: Pengkajian,perumusan diagnose keperawatn, yang perencanaan/intervensi, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, berkesinambungan serta memerlukan kecakapan

masing-masing

keterampilan professional tenaga keperawatan. Proses keperawatan adalah cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam pelaksanaan fungsi keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik sistimatis, bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah. A. Pengkajian 1) Aspek biologis Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah. 2) Aspek emosional Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut. 3) Aspek intelektual Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan 13

yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan. 4) Aspek sosial Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan. 5) Aspek spiritual Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. B. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan a. Data subjektif: Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya. b. Data objektif: Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya. 2. Perilaku kekerasan / amuk a. Data Subjektif : Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang, klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah, riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya. b. Data Objektif: Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai, ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam, merusak dan melempar barang barang.

14

3. Gangguan harga diri : harga diri rendah a. Data Subyektif: Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri. b. Data obyektif: Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup C. Intervensi Keperawatan Rencana tindakan keperawatan Tujuan Umum: Klien tidak mencederai dengan melakukan manajemen kekerasan 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya. Tindakan: Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang. 2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

Tindakan: Beri kesempatan mengungkapkan perasaan. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang. 3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Tindakan : Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal. Observasi tanda perilaku kekerasan. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami klien. 4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Tindakan: Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. 15

Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Tanyakan "Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai ?" 5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Tindakan: Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat. 6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon thd kemarahan. Tindakan : Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal/kasur. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/tersinggung. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran. 7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan. Tindakan: Bantu memilih cara yang paling tepat. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel/marah. 8. Klien mendapat dukungan dari keluarga. Tindakan : Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melaluit pertemuan keluarga. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

16

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program). Tindakan: Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping). Bantu klien mengpnakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu). Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

17

You might also like