You are on page 1of 7

II. 2.

3 Farmakokinetik
a. Cara Penggunaan Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit. Pemberian cepat IV tidak memeiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05g/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam. Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan <0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi plasma. Penyebab lambatnya penetrasi morfin ke CNS antara lain: a. b. c. d. Kelarutan lemak yang rendah. Tingginya derajat ionisasi pada pH fisiologis. Ikatan protein. Konjugasi cepat dengan asam glukoronat. Induksi dengan karbon dioksida akan meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengiriman morfin ke otak Berbeda dengan CNS, morfin akan terakumulasi dengan cepat pada ginjal, hati dan otot skeletal. Morfin, tidak mengalami jalur pengambilan pertama ke paru secara berarti seperti pada fentanyl.

b. Metabolisme Morfin Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu.

Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan dalam urine tanpa perubahan. Morfin 3 glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor . Gangguan ventilasi karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat. Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati. Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.

c.

Waktu Paruh Morfin Setelah pemberian intravena, morfin 3 glukoronat akan lebih lambat dieliminasi.

Sedangkan penurunan konsentrasi plasma morfin lebih disebabkan oleh metabolisme. Hanya sebagian kecil morfin yang akan diekskresikan melalui urin tanpa dimetabolisme. Konsentrasi plasma morfin lebih tinggi pada orang tua dibandingkan dewasa muda. Pada bayi berumur kurang dari 4 hari, klirens morfin akan menurun dan waktu paruhnya menjadi lebih panjang dibandingkan pada bayi yang lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa depresi napas lebih sensitif pada neonatus dibandingkan pada anak-anak. Pada pasien dengan gagal ginjal, konsentrasi plasma dan CSF morfin dan metabolitnya akan lebih tinggi sehingga memerlukan perhatian khusus. Konsentrasi morfin pada kolostrum ibu-ibu yang mendapat morfin hanya sedikit dan tidak signifikan pada pemberian air susu ibu ke bayi. Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi terhadap karbon dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada laki-laki. Morfin tidak mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan akan hipoksia pada perempuan sedangkan pada laki-laki sebaliknya.

II. 2. 3 Farmakodinamik
a. Susunan saraf pusat Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor dan . Efek morfin pada SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosisi kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada psien yang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya pada orang normal pada dosis yang sama menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir, atau takut disertai mual dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, badan terasa panas, muka gatal, mulut terasa kering. Dosis terapi (15-20mg) morfin akan menyebabkan orang tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.

Efek-efek dari morfin : Analgesia Efek analgesia yang ditimbulkan dari opioid akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Eksitasi Morfin dan opioid sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatoty level) SSP. Pada wanita mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi tetapi depresi dan delirium jarang timbul. Pada beberapa spesie efek eksitasi morfin jauh lebih jelas misalnya pada kucing dapat menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi dan hipertermia, konvulsi tonik, dan klonik yang dapat menimbulkan kematian. Miosis Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis disebabkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin dalam

dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pasien glaucoma. Depresi napas Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil sudah langsung menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Mual dan muntah Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema medulla oblongata, bukan di stimulasi pusat emetic sendiri. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibuler.

b. Saluran cerna Lambung Morfin menghambat sekresi HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya

pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin. Usus Halus Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaar makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorps air menyebabkan isi usus menjadi lebih pada: Tonus valvula ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap melawan efek morfin ini. Usus besar Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus jan meyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi ebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak

lengkap efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh stropin. Efek konstipasi kodein lebih lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan diare secara bergantian. Duktus Koledokus Dosis terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini dapat menetap selama 2 jam atau ebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin cada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilniltrit secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.

c. Sistem Kardiovaskular Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau jengan memberikan oksigen; tekanan darah naik meskipun depresi medula oblongata masih berlangsung. Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi. Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian.

d. Otot polos Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus aterm morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.

e. Kulit Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.

f. Metabolisme Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenelin yang menyebabkan gliko-genolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan

DAFTAR PUSTAKA 1. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In : Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia : Lipincott William & Wilkins; 2006, 87-126 2. Nelson., M.H, 2006. Sedative Hipnotic Drugs. (Dikutip dari :

http://pharmacy.wingate.edu/faculty/mnelson/PDF/Sedative_Hypnotics.pdf 16 Agustus 2010)

tanggal

3. Syarif Amir, et all. Analgesik Opioid. In: Hedi R Dewoto, ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FK UI; 2007. h.210-29

You might also like