You are on page 1of 54

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan erat dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah yang menimbulkan berbagai macam komplikasi yaitu aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, retinopati, dan disfungsi ereksi.1,3 Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam periode tahun 1985 sampai tahun 2000 telah terjadi peningkatan sebesar 147 juta kasus secara global1. Prevalensi DM Tipe 2 (DMT2) mengalami peningkatan yang lebih tajam dibandingkan prevalensi DM Tipe 1 (DMT1) karena bertambahnya obesitas dan penurunan level aktivitas di berbagai negara yang mengalami industrialisasi.1 Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2004, Indonesia menempati peringkat keempat dari sepuluh negara dengan penderita DM terbanyak1. WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.2 Menurut ADA 2005, DM diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu DM tipe 1 (defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel Beta), DM tipe 2 (defisiensi insulin relatif, resistensi insulin, gangguan sekresi insulin), diabetes kehamilan, dan diabetes tipe lain (defek genetik fungsi sel beta dan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, infeksi, imunologi, obat/zat kimia, dan sindroma genetik lain.3,2 Komplikasi kronik pada pasien DM terjadi pada semua tingkat sel dan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik yang terjadi pada mikrovaskuler yaitu retinopati, nefrologi, dan saraf. Sedangkan manifestasi komplikasi kronik yang

terjadi pada makrovaskuler yaitu stroke, PJK, dan kaki diabetes. Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi, dimana mudah terjadi infeksi pada ISK, TB paru, dan infeksi kaki (selulitis) yang selanjutnya dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.3,4 Infeksi pada regio pedis merupakan infeksi jaringan lunak yang paling sering terjadi pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Infeksi pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 selain dapat memperburuk pengendalian glukosa darah juga dapat meningkatkan morbiditas karena berpotensi menyebabkan osteomielitis, amputasi dan kekerapan kunjungan ke rumah sakit. Infeksi berat bahkan dapat menyebabkan septikemia yang berujung pada kematian. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis menyadari pentingnya pemahaman dokter agar tidak hanya terfokus pada manajemen penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 saja namun juga memperhatikan kelainan komorbid dan penyulit yang sering menyertai Diabetes Mellitus Tipe 2. 1.2 Tujuan 1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penegakkan diagnosis pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Abses Pedis. 1.2.2 Mengetahui ketepatan penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Abses Pedis.

BAB II LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis 3.1.1 Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Suku Agama Pendidikan Terakhir Status Kawin Masuk Rumah Sakit 3.1.2 Keluhan Utama Luka pada kaki sebelah kanan 3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang Luka pada kaki kanan dirasakan pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Luka ini dikarenakan 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien menusuk benjolan berwarna putih pada punggung kaki kanan yang muncul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit yang tidak diketahui dengan jelas penyebabnya, sehingga menyebabkan bengkak sampai pergelangan kaki pasien. Luka yang terasa nyeri dan bengkak pada kaki dirasakan semakin memberat sehingga pasien susah untuk berjalan. Pasien tidak mengalami demam sejak kaki pasien : Tn. S : 57 tahun : Laki-laki : Jl. Bangun Rejo Rt. 01 Teluk dalam : Petani : Jawa : Islam : SD : Kawin : 29 Februari pukul 03.44 WITA

membengak. Saat masuk IGD pasien tidak memiliki keluhan lain selain bengkak dan nyeri pada kaki kanannya. Pasien pernah dirawat di RS 6 bulan yang lalu, dan saat dilakukan pemeriksaan gula darah, 510 mg/dL. Saat itu pasien baru mengetahui jika menderita penyakit kencing manis, dan setelah keluar dari rumah sakit pasien tidak pernah kontrol dan minum obat lagi. Satu tahun sebelum pasien didiagnosa DM, frekuensi buang air kecil pada malam hari bertambah (5-7 kali dalam semalam), rasa cepat haus dan lapar serta penurunan berat badan yang drastis. Pasien tidak mengalami gangguan BAB. 3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM sejak 6 bulan yang lalu. Tidak ada riwayat hipertensi dan penyakit jantung.

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Pasien tidak mengetahui apakah orang tua pasien menderita DM atau tidak. 3.2.6 Riwayat Kebiasaan Pasien memiliki riwayat merokok. Pasien jarang berolahraga.

3.2 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 24 Maret 2012) 3.2.1 Keadaan Umum Kesadaran Keadaan Sakit Berat Badan Tinggi Badan IMT : Compos Mentis : Sedang : 52 kg : 158 cm : 20,83

3.2.2 Tanda-tanda Vital Tekanan Darah : Baring 110/80 Duduk 110/80 Berdiri 100/70 3.2.3 Kepala dan Leher Umum Ekspresi Mata Alis Palpebra Konjungtiva Telinga Bentuk Lubang telinga : Normal : Normal Sekret (-) Hidung Penyumbatan Perdarahan Mulut Bibir Gusi Mukosa Faring Leher Umum Kelenjar limfe Trachea : Simetris : Pembesaran (-) : Di tengah : Pucat (-), Sianosis (-) : Berdarah (-) : Pigmentasi (-), Hiperemis (-), Pucat (-) : Hiperemis (-) : (-/-) : (-/-) Daya penciuman : Normal Nafas cuping : (-) Proc. Mastoideus : Nyeri (-/-) Pendengaran : Normal : Normal : Edema (-/-) : Anemis (-/-) Sclera Pupil : Ikterik (-/-) : Isokor (3mm/3mm) : Sakit sedang Kulit muka : Normal Nadi Pernafasan Suhu tubuh : 82 x / menit : 20 x / menit : 37,1C

Tiroid 3.2.4 Thoraks Bentuk Axilla Sternum Paru Inspeksi

: Pembesaran (-)

: Simetris : Pembesaran KGB (-) : Nyeri Tekan (-)

: Bentuk dada normal Simetris Pergerakan simetris Retraksi (-/-)

Palpasi

: Pergerakan simetris ICS melebar (-/-) Fremitus raba seimbang (D=S) Nyeri (-/-)

Perkusi Auskultasi

: Sonor | Nyeri ketok (-/-) : Suara nafas vesikuler Wheezing (-/-) Ronkhi (-/-)

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus cordis (-) tampak Pulsasi jantung (-) terlihat : Ictus cordis (+) teraba: garis midklavikula kiri pada ICS V Thrill (-) : Batas jantung kanan: garis sternal kanan pada ICS III-V Batas jantung kiri: garis midklavikula kiri pada ICS V : S1 S2 tunggal regular Gallop S3 (-) S4 (-) Murmur jantung (-)

3.2.5 Abdomen Inspeksi : Bentuk Datar Kulit Lembab Palpasi : Turgor kulit normal Tonus normal Nyeri tekan (-) Hepar (-) teraba, ginjal (-) teraba, lien (-) teraba Pembesaran KGB inguinal (-/-) Perkusi : Timpani di keempat kuadran Nyeri ketok hepar (-) Nyeri ketok CVA (-/-) Shifting dullness (-) Auskultasi 3.2.6 Ekstremitas Superior : Edema (-/-) Tremor (-/-) Akral hangat (+/+) Cyanosis ujung jari (-/-) Pulsasi arteri brakhialis (+2/+2) Pulsasi arteri radialis (+2/+2) Inferior : Akral hangat (+/+) Anhidrosis (-) Cyanosis ujung jari (-/-) Pulsasi arteri poplitea: (+2/+2) Pulsasi arteri dorsalis pedis: (sde/+2) Pulsasi arteri tibialis posterior: (sde/+2) Deformitas (-/-) Sensasi Tajam: (/) Sensasi Sentuhan Halus: (-/-)
7

: Peristaltik usus bising usus normal

ABI

: susah di evaluasi

3.2.7 Pemeriksaan Neurologis Refleks Fisiologis: Biceps (+2/+2) Trisep (+2/+2) Brachioradialis (+2/+2) Patella (+2/+2) Achilles (sde/+2) Superfisial Abdomen (+) 3.3 Pemeriksaan Penunjang Darah -GDS: 492 mg/dL -Ureum: 37,1 -Kreatinin: 1,3 Elektrolit -Na: -K: -Cl: 29 Februari 2012 HDT -WBC: 16.900 -RBC: 4.460.000 -PLT: 223.000 -HGB: 12,8 g/Dl -HCT: 35,9 % -MCV: 80,4 fl -MCH: 28,7 pg -MCHC: 35,7 g/dL 3.4 Diagnosis Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari keXX dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled. 3.5 Penatalaksanaan 1. RL 20 tpm 2. Fosfomisin (Fosfomisin) 2x1 g IV Amp. 3. Metronidazole 3x500 mg IV

4. RI 3x8 IU 5. Ranitidin 2x1 ampul IV 6. Neurovit E 1x1 tablet P.O 7. PCT 3x500 mg P.O jika demam 8. Ondancentron 3x1 amp (k/p) 9. Rawat luka dengan NaCl 3.6 Prognosis Vitam: Dubia et bonam Functionam: Dubia et bonam 3.7 Follow-Up
Tgl S 01 maret 2012 -Bengkak dan nyeri pada kaki kanan hingga 1/3 cruris -Demam (+),Mual (-) Muntah(-), BAB (-) O -Kesadaran: Composmentis -TD: 100/70 -Frekuensi Nadi: 100x/menit -Frekuensi Nafas: 22/menit -Suhu (aksila): 38,1 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -Bising usus (+) -Kesadaran: Composmentis -TD: 100/80 -Frekuensi Nadi: 86/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,8 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -Kesadaran: Composmentis -TD: 110/70 -Frekuensi Nadi: 82/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,7 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -Kesadaran: Composmentis -TD: 100/60 -Frekuensi Nadi: 89x/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) - Pus (+) 02 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan hingga 1/3 cruris -Demam (-),Mual (-) Muntah(-), BAB (-) 03 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan hingga 1/3 cruris -Demam (-), lemas (+) 05 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan hingga 1/3 cruris -Demam (-),

A P

Normal -DM tipe II +Abses Pedis RL 20 tpm Cefotaxim Inj. IV 3x1 g metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Consult Bedah Cek KDL, GDP, G2PP, elektrolit Kultur pus Ro. Pedis AP/Lat

-DM tipe II +Abses Pedis RL 20 tpm Cefotaxim Inj. IV 3x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Rawat luka dengan NaCl

-DM tipe II +Abses Pedis RL 20 tpm Cefotaxim Inj. IV 3x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Rawat luka dengan NaCl

-DM tipe II +Abses Pedis RL 20 tpm Cefotaxim Inj. IV 3x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Rawat luka dengan NaCl

Tgl S

06 maret 2012 -Bengkak dan nyeri pada kaki kanan -Demam (+),Mual (-) Muntah(-)

07 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan

08 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan

09 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan - kadang mual

-Kesadaran: Composmentis -TD: 110/70 -Frekuensi Nadi: 78x/menit -Frekuensi Nafas:

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 80/menit -Frekuensi Nafas:

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 78/menit -Frekuensi Nafas:

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 89x/menit -Frekuensi Nafas:

10

20/menit -Suhu (aksila): 37,1 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) A -Pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis

20/menit -Suhu (aksila): 36,8 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -Pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari I RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

20/menit -Suhu (aksila): 36,7 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -Pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari II RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) - Pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari III RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

RL 20 tpm Cefotaxim Inj. IV 3x1 g metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Consult Bedah Cek KDL, GDP, G2PP, elektrolit

Tgl S

10 maret 2012 -Bengkak dan nyeri pada kaki kanan

12 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan

13 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan mulai

14 maret 2012 - Bengkak dan nyeri pada kaki kanan,BAB (+), BAK (+), demam (-)

11

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/70 -Frekuensi Nadi: 80x/menit -Frekuensi Nafas: 22/menit -Suhu (aksila): 37,1 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -pus (+), darah (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari IV RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 86/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,8 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) - pus (+), darah (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari VI RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

-Kesadaran: Composmentis -TD: 120/70 -Frekuensi Nadi: 82/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,7 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari VII RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

-Kesadaran: Composmentis -TD: 120/80 -Frekuensi Nadi: 83x/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) - Pus (+) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari VIII RL 20 tpm Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka dengan NaCl

12

Tgl S

15 maret 2012 nyeri pada kaki kanan, BAK (+), BAB (+) -Kesadaran: Composmentis -TD: 130/70 -Frekuensi Nadi: 80x/menit -Frekuensi Nafas: 22/menit -Suhu (aksila): 37,1 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-)

16 maret 2012 nyeri pada kaki kanan -Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 86/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,8 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari X RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka

17 maret 2012 nyeri pada kaki kanan -Kesadaran: Composmentis -TD: 130/70 -Frekuensi Nadi: 82/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,7 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XI RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka

19 maret 2012 nyeri pada kaki kanan -Kesadaran: Composmentis -TD: 120/80 -Frekuensi Nadi: 83x/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XIII RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka

-DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari IX RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x8 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Antrain 3x1 amp Rawat luka

13

dengan NaCl

dengan NaCl

dengan NaCl

dengan NaCl

Tgl S

20 maret 2012 nyeri pada kaki kanan

21 maret 2012 nyeri pada kaki kanan

22 maret 2012 nyeri pada kaki kanan , mual muntah (+)

24 maret 2012 nyeri pada kaki kanan, mual muntah (+) -Kesadaran: Composmentis -TD: 120/80 -Frekuensi Nadi: 83x/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XVIII

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 80x/menit -Frekuensi Nafas: 22/menit -Suhu (aksila): 37,1 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-)

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/80 -Frekuensi Nadi: 86/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,8 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XV

-Kesadaran: Composmentis -TD: 130/70 -Frekuensi Nadi: 82/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36,7 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-) -DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XVI

-DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XIV

14

RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 2x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 2x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 2x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 3x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

Follow up 26 Maret 2012 S : nyeri pada kaki kanan, mual muntah (+) O: - Kesadaran: Composmentis -TD: 120/70 -Frekuensi Nadi: 80x/menit -Frekuensi Nafas: 20/menit -Suhu (aksila): 36 C -Konjungtiva anemis (-) -Sklera ikterik (-) -Rhonki (-/-)

A : DM tipe II +Abses Pedis post debridement hari XX P: RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 3x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

Hasil Laboratorium
Tgl GDS GDP GD2PP HbA1c Ur Cr 29/02 429 37,1 1,3 01/03 219 261 13,0 43,2 0,8 05/03 251 275 35,9 0,9 08/03 167 193 12/03 112 120 15/03 116 213 19/03 82 112 24/03 63 90 -

15

Eri Leu Tr Hb Hct Prot Total Albumin Globulin

4.460.000 16.900 223.000 12,8 35,9 -

5,4 2,8 2,6

Pemeriksaan Antimikroba dan Uji kepekaan antibiotika 1 Maret 2012 Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia Pewarnaan gram: coccus gram negatif Resisten: Amikasin, Amoxicilin, Ampicilin, Ceftazidime, cloramfenikol, cephalexim, Cloxacilin, ,

sulphamethoxazole,

teimetoprim,

cefadroxil,

cefotaxime, cefoperazone, Gentamicin, Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin, Norfloxacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, Ceftizoxime, eritromycin, fosfomisin, ceftizoxime, cepirome. Sensitif: ciprofloxacin, cefepime, levofloxacin, ceftriaxone, Meropenem, Sulbactam Cefoperazone. 6 Maret 2012 Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia Pewarnaan gram: coccus gram negative Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, sulphamethoxazole, teimetoprim, Ceftazidime, ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil, , cefoperazone, Gentamicin, Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Meropenem, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, eritromycin, Sensitif: cloramfenikol, ceftriaxone, cefotaxime, cepirome, ceftizoxime, Sulbactam Cefoperazone.

16

12 Maret 2012 Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia Pewarnaan gram: coccus gram negative Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, Chloramphenicol, cefadroxil,

sulphamethoxazole,

trimetoprim,

ciprofloxasin,

cephalexim,

Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin, Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, Ceftizoxime Sensitif: Amikasin, Eritromisin, Cefepime, Fosfomisin,Meropenem, Sulbactam Cefoperazone. 19 Maret 2012 Jenis mikroba: Citrobacter freundii Pewarnaan gram: coccus gram negative Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, , Cloxacilin, Chloramphenicol, cefadroxil,

sulphamethoxazole,

trimetoprim,

ciprofloxasin,

cephalexim,

Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin, Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, Ceftizoxime , ceftazidime, Cefoperazon, Eritromisin, levofloxacin Sensitif: Amikasin, Cefepime, Fosfomisin, Meropenem, Sulbactam Cefoperazone

17

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.2 Diabetes Mellitus Tipe 1 ditandai dengan defisiensi insulin absolut sedangkan Diabetes Mellitus Tipe 2 ditandai dengan kombinasi antara defisiensi insulin relatif dan resistensi insulin.2 2.1.2 Etiologi dan Patogenesis Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas jasmani.2 Pada DM Tipe 2, terutama pada tahap awal penyakit, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Sel-sel target insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, kekurangan aktivitas jasmani (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.2 2.1.3 Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.2 Diagnosis DM dapat ditentukan melalui tiga cara (Tabel 2.1). Pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik, pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan hasil 6.5% termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis DM.2,6 2.1.4 Penatalaksanaan2 2.1.4.1 Evaluasi Medis Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi: 1. Riwayat Penyakit

a. gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM b. pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan c. riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda d. pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan e. pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani f. riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia) g. riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis h. gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan) i. pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM2 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11.1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg.dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 220 mg/dL (11.1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. 2. Pemeriksaan Fisik a. pengukuran tinggi dan berat badan b. pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik

c. pemeriksaan funduskopi d. pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid e. pemeriksaan jantung f. evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop g. pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari h. pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis i. tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain 3. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain a. glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial b. A1C c. profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) d. kreatinin serum e. albuminuria f. keton, sedimen dan protein dalam urin g. elektrokardiogramr h. foto sinar-x dada 4. Tindakan Rujukan a. ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut b. konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif c. konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi d. konsultasi dengan edukator diabetes e. konsultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spesialis perilaku (psikolog) atau spesialis lain sesuai indikasi 2.1.4.2 Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam

menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. 1. Materi edukasi pada tingkat awal adalah: a. Perjalanan penyakit DM b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM c. Penyulit DM dan risikonya d. Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fsik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) g. Mengatasi hipoglikemia h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur i. Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan) j. Pentingnya perawatan kaki k. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. 2. Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah : a. Mengenal dan mencegah penyulit akut DM b. Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM c. Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain d. Makan di luar rumah e. Rencana untuk kegiatan khusus f. Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM g. Pemeliharaan/Perawatan kaki sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau

2.1.4.3 Terapi Gizi Medis 1. Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh sendiri). 2. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. 3. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 2.1.4.4 Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE ( Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa. dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu

2.1.4.5 Intervensi Farmakologi Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis terutama terdiri dari golongan obat hipoglikemik oral dan insulin. Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 4 golongan: pemicu sekresi insulin (sulfonilurea, glinid), penambah glukosa (inhibitor alfa glukosidase). Tabel 2.2 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral14 Golongan Sulfonylurea Contoh senyawa Gliburida / Glinbenklamid Glipizida Glikazida Glimepirida glikuidon Repaglinide Nateglinide Metformin Mekanisme kerja Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel pankreasnya masih berfungsi dengan baik Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pancreas Bekerja langsung pada hepar. Menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pancreas Meningkatkan kpekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPAR (perixisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. sensitivitas terhadap insulin (metformin, tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (metformin), dan penghambat absorpsi

Meglitinida Turunan fenilalanin Biguanida

Tiazolidindion

Rosiglitazone Troglitazon Pioglitazon

Inhibitor glukosidase

Acarbose Miglitol

Menghambat kerja enzimenzim pencernaanyang mencerna karbohidrat, sehinggamemperlambat absorpsi glukosa kedalamdarah

Obat golongan sulfolinurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.14 Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.14 Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Per-oxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.14 Metformin merupakan lini utama terapi DMT2. Metformin mempunyai efek mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga meningkatkan sensitivitas insulin. Terutama dipakai pada pasien diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat

memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) bekerja glukosa darah flatulens.14 Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral. Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat besar, IMA, stroke), kehamilan gagal dengan kombinasi oho dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi dengan diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, atau kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.2 2.2 Abses Pedis pada Diabetes Mellitus Tipe 2 Adanya infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Infeksi yang tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan abses, gangren dan komplikasi lain seperti osteomielitis. Infeksi dapat berasal dari ulkus yang terkontaminasi mikroorganisme. Beberapa faktor yang terlibat dalam terjadinya ulkus pada keadaan diabetes: neuropati, abnormalitas biomekanik pada kaki, PAD, dan gangguan penyembuhan luka. sesudah makan. Acarbose dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan

Neuropati sensorik perifer menghambat mekanisme protektif normal sehingga memudahkan pasien mengalami cedera berulang yang kadang tidak disadari oleh pasien. Gangguan propiosepsi menyebabkan titik tumpu yang abnormal ketika berjalan sehingga memudahkan terjadinya kalus dan ulserasi. Neuropati autonom yang menyebabkan anhidrosis dan terganggunya aliran darah superfisial pada kaki juga memiliki peran dalam terjadinya ulkus. PAD dan gangguan penyembuhan luka menyebabkan trauma minor pada kulit menjadi terbuka dan mudah terinfeksi. Penatalaksanaan infeksi terdiri dari antibiotik oral (sefalosporin, klindamisin, amoksisilin/klavulanat, dan fluoroquinolon), debridemen jaringan nekrotik, perawatan luka (diantaranya menghindari titik tumpu badan pada daerah ulkus), dan pengawasan ketat terhadap terjadinya perburukan infeksi. Ulkus yang berat membutuhkan antibiotik IV, tirah baring dan perawatan luka intensif. Tindakan bedah dengan debridemen kadang harus segera dilakukan. Antibiotik intravena diberikan broad-spectrum sehingga mencakup bakteri yang sering menginfeksi ulkus seperti stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Regimen antimikroba awal seperti ertapenem, piperacillin/tazobactam, cefotetan, ampisillin/sulbactam, linezolid, atau kombinasi clindamycin dan fluoroquinolone. Infeksi berat, atau infeksi tanpa perbaikan klinis dalam 48 jam terapi antibiotik, memerlukan ekspansi terapi antimikroba terhadap methicillin-resistant S. aureus (vankomisin) dan Pseudomonas aeruginosa. 2.3 Neuropati Diabetika Neuropati diabetika berdasarkan konferensi neuropati perifer pada Februari 1988 di San Antonio merupakan adanya gangguan klinis neuropati yang terjadi pada pasien DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain, termasuk manifestasi somatik dan autonom dari sistem saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada pasien DM. Risiko yang dihadapi pasien DM adalah infeksi berulang, ulkus yang sukar sembuh, dan amputasi kaki.8 Manifestasi klinis neuropati diabetika bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa besar atau kecil,

lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom, maka manifestasi klinis neuropati diabetik menjadi bervariasi.9 Neuropati diabetika mulai terjadi setelah 10 tahun onset dari DM dan prevalensinya sekitar 12-50%. Angka kejadian & derajat keparahan tergantung usia, lama menderita, kendali glikemik, dan fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari 6.500 pasien DM. Penelitian Rochester, neuropati simptomatis ditemukan pada 13% pasien, dan > 50% ditemukan neuropati dengan pemerikaan klinis. Penelitian lain melaporkan bahwa kelainan kecepatan hantar saraf didapati pada 15,2% pasien DM baru, dan tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%. Manifestasi neuropati diabetika bervariasi dari tanpa keluhan dan hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis sampai keluhan nyeri yang hebat. Keluhan dalam bentuk neuropati lokal / sistemik, tergantung lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. a. Patofisiologi Faktor primer terjadinya neuropati diabetika adalah hiperglikemia persisten (faktor metabolik), dan faktor lain yaitu : kelainan vaskuler, dan peranan nerve growth factor.8 1) Faktor metabolik Proses terjadinya neuropati berawal dari hiperglikemia persisten yang menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, dimana terjadi aktivasi enzim aldose reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol, lalu dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. enzim aldose reduktase yang meningkat berkompetisi dengan NO syntase sehingga produksi NO menurun dan terjadinya defisit vasodilator andotel. Akumulasi sorbitol dalam sel saraf dapat menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf, dan sel saraf dapat rusak. Selain itu, peningkatan sorbitol menghambat masuknya mioinositol ke dalam sel saraf, sehingga menimbulkan stres osmotik yang dapat merusak mitokondria, dan akan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATPase sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat

terhambatnya mioinositol masuk ke sel saraf dan terjadilah gangguan transduksi sinyal pada saraf. Jalur poliol juga menyebabkan menurunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif sehingga membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi NO. Penurunan produksi NO akan menyebabkan vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan terjadilah ND. Hiperglikemi persisten juga meningkatkan produksi AGE. AGE ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh termasuk sel saraf. 8

Gambar 3.1 Patogenesa terjadinya neuropati diabetik.10 2) Kelainan vaskuler Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas (reactive oxygen species = ROS) yang dapat merusak endotel dan menetralisasi NO, menyebabkan trombosis arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan demielinisasi sel saraf akibat iskemia akut.8 3) Peranan nerve growth factor (NGF) NGF berperan untuk mempercepat dan mempertahankan saraf, pada DM kadarnya menurun. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance P dan calcitonin gen regulated peptide (CGRP), keduanya berefek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif.8

b. Diagnosa Klasifikasi ND dari yang paling sering terjadi adalah polineuropati distal simetris, neuropati autonom, dan neuropati fokal & multifokal. Yang dibahas di sini hanya 2, yaitu :

1) Polineuropati Distal Simetris Gejala dan tanda mulai dari distal dan meluas ke arah proksimal secara simetris, yang terkena pada awalnya adalah fungsi sensorik secara progresif dan selanjutnya mengenai semua fungsi saraf. Gangguan neurologis biasanya mulai dari jari-jari kaki, dan terus meluas pada ekstremitas atas dan bawah. Yang lazim terkena adalah serabut saraf dengan diameter besar dan menimbulkan gejala seperti gangguan keseimbangan, penurunan sensasi posisi, dan pengurangan sensasi getaran. Tidak dijumpai nyeri subyektif, parestesi, dan rasa tebal. Bila yang terkena serabut kecil, maka muncul keluhan berupa sensasi nyeri dan suhu, seperti pasien merasa nyeri, kesemutan, dingin, tebal, dan mati rasa. Gejala ini sering muncul pada malam hari sehingga dapat menyebabkan insomnia.11 2) Neuropati Otonom Neuropati otonom dapat mengenai saraf simpatis dan parasimpatis. Manifestasi neuropati otonom bervariasi sesuai dengan serabut saraf yang terkena lesi. Neuropati otonom pada traktus gastrointestinal adalah gastroparesis pada saluran GI atas, diare dan konstipasi pada GI bawah. Neuropati otonom pada traktus genitourinarius adalah sistopati (karena paresis pada m. detrusor), DED (Disfungsi Ereksi Diabetik), dan disfungsi seksual wanita.9 Diagnosa neuropati otonom ditegakkan dengan mengetahui adanya neuropati otonom pada kardiovaskular dengan pemeriksaan hipotensi postural/hipotensi ortostatik.12 Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan tekanan darah ketika berbaring dan berdiri. Pengukuran tekanan darah pertama pada posisi berbaring, kemudian istirahat pada posisi berbaring selama 20 menit, selanjutnya posisi berdiri selama 3 menit dan diukur tekanan darah kedua. Pasien dikatakan hipotensi ortostatik bila saat posisi berbaring tekanan sistolik 20 mmHg atau tekanan diastolic 10 mmHg, dan sebagai kompensasinya peningkatan heart rate > 15 x/menit pada posisi berdiri. Neuropati otonom yang bermanifestasi pada disfungsi system saraf simpatis berupa hiperhidrosis pada extremitas superior dan anhidrosis pada extremitas inferior, sehingga kulit kaki menjadi kering dan berisiko besar untuk terjadi ulkus diabetika.

Pada perubahan posisi tubuh dari tidur ke berdiri maka tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg. Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0. Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada vena ekstremitas inferior sebanyak 650750 ml darah dan akan terlokalisir pada satu tempat. Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang, curah jantung juga berkurang sehingga pada posisi berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan darah sistolik sampai 25 mmHg, sedangkan tekanan diastolik tidak berubah/meningkat ringan sampai 10 mmHg. Penurunan curah jantung akibat akumulasi darah pada ekstremitas inferior akan cenderung mengurangi suplai darah ke otak. Tekanan arteri kepala akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan parsial CO2 (pCO2), penurunan tekanan parsial O2 (pCO2) , dan pH jaringan otak. Hal
ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher; namun dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding arteri karotis interna, sedikit di atas bifurcatio carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung, dan sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin Aldosteron, pelepasan ADH, dan neuro-hipofisis. Kegagalan fungsi refleks autonom ini yang menjadi penyebab timbulnya

hipotensi postural.13 Deteksi penurunan sensibilitas pada neuropati DM dapat dilakukan dengan metode:11 1) Tuning fork / garpu tala Metode paling sederhana, mudah, dan non invasive, untuk mengetahui sensibilitas kaki melalui vibrasi dengan garpu tala Rydel-Seiffer yang dapat dimulai pada plantar hallux.

Gambar 3.2 Garpu tala standar. 2) Semmes-Weinstein Monofilament Bahan dasar adalah 10 gram plastic nilon, pemakaian berulang menyebabkan monofilament tidak sensitive, sehingga maksimal untuk 10 pasien. Monofilament disentuhkan selama 1 detik, dan ditekan sampai monofilament sedikit melengkung.

Gambar 3.3 Semmes-Weinstein Monofilament.11 3) Biothesiometer/ vibration perception threshold (PVT) meter. Ujung alat yang bergetar 100 Hz berbahan baku karet, yang digetarkan pada permukaan jari kaki. Dapat menilai fungsi saraf secara kuantitatif. Skala dalam mesin penggetar diberikan skala 0-100 volt, skala ini terus ditingkatkan sampai pasien merasakan vibrasi, bila skala amplitudo > 25 volt dapat berisiko terjadinya ulkus DM.

Gambar 3.4 Biothesiometer. 11 c. Penatalaksanaan Strategi penatalaksanaan pasien DM dengan keluhan ND adalah diagnosa ND sedini mungkin, perawatan umum kaki, pengendalian glukosa darah, dan terapi medikamentosa.8 1) Perawatan umum kaki Menjaga kebersihan kulit kaki, menghindari trauma kaki seperti menggunakan sepatu yang sempit, mencegah trauma berulang pada neuropati kompresi. 8 2) Pengendalian glukosa darah Penelitian epidemiologi besar oleh diabetes control and complications trial (DCCT), Kumamoto study, dan united kingdom prospective diabetes study (UKPDS), membuktikan bahwa pengendalian glukosa darah dapat mengurangi komplikasi kronik DM termasuk ND. Penelitian DCCT pada kelompok pasien dengan terapi intensif dapat menurunkan HBA1C 9% menjadi 7%, dapat menurunkan risiko timbulnya ND sebesar 60% dalam 5 tahun. Hal yang sama pada penelitian kumamoto dan UKPDS, dengan terapi intensif dapat memperbaiki kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. 8 3) Terapi medikamentosa Obat-obatan yang digunakan untuk mencegah timbulnya dan berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk ND, yaitu : 8 a) Golongan aldose reductase inhibitor untuk menghambat penimbunan sorbitol & fruktosa. b) ACE inhibitor c) Neurotropin ( NGF dan brain derived neurotropic factor). d) Alpha lipoic acid adalah antioksidan kuat untuk radikal hidroksil, superoksid, dan peroksil e) Protein kinase C inhibitor f) Aminoguanidin, untuk menghambat pembentukan AGE.

BAB IV TINJAUAN FARMAKOLOGIS

1. Ringer Laktat (RL) Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya ketosis.15 Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan yang tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml.15 Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat. Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.

2. Insulin Reguler (RI)

Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Satu unit insulin kira-kira sama dengan insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan glukosa puasa 45 mg/dL. Insulin ini meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dosis dan sediaan: Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial cartridge 100 IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi ketoasidosis. Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah. 16,17,18 Farmakokinetik: Absorbsi: insulin tidak memiliki efek hipoglikemik jika diberikan secara oral karena insulin mengalami inaktivasi di GIT. Insulin diabsorbsi secara cepat melalui jaringan subkutan. Rata-rata absorbsinya di berbagai lokasi anatomis tubuh tergantung pada aliran darah lokal (absorbsi di abdomen lebih cepat dibandingkan di lengan dan absorbsi di lengan lebih cepat dibandingkan di paha dan glutea). Absorbsi juga dapat meningkat dengan olahraga. Absorbsi insulin pada pemberian secara IM lebih cepat dibandingkan dengan pemberian SC. Pada pemberian SC, human-insulin diabsorbsi sedikit lebih cepat daripada bovine atau porcine insulin.1 Distribusi : didistribusi secara luas ke seluruh tubuh. Metabolisme: dimetabolisme secara cepat terutama di liver, tetapi dapat pula di ginjal dan jaringan otot. Direabsorbsi di tubulus proksimalis ginjal, sebagian kembali ke sirkulasi darah vena dan sebagian lagi dimetabolisme di ginjal tersebut.

Ekskresi: hanya sebagian kecil yang diekskresikan di urine dalam bentuk utuh. Sekitar 60% insulin eksogen diekskresikan melalui ginjal dan sekitar 30-40% oleh liver.waktu paruh dari insulin adalah 3-5 menit. 16,17

Indikasi DM tipe I DM tipe II (pada diabetisi kurus atau dengan penurunan BB yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke, dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO) semua tipe DM dalam kehamilan terapi hiperkalemia gangguan liver hiperglikemia pada neonatus

Interaksi obat: Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker, disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole, octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik. Meningkatkan chlorpromazine, kebutuhan beberapa akan CCB insulin seperti chlordiazepoxide, dan nifedipin,

diltiazem

kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid. Yang dapat meningkatkan maupun menurunkan kebutuhan akan hormon insulin kontrasepsi oral, INH, siklofosfamid ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan kebutuhan tubuh terhadap insulin Alkohol menghambat glukoneogenesis

Aspirin menurunkan konsentrasi glukosa darah Beta bloker bekerja memblok sistem saraf simpatis sehingga menurunkan respon tubuh terhadap adanya hipoglikemia

CCB terutama nifedipin memiliki efek diabetogenik dan pada pemberian diltiazem juga memperburuk keadaan diabetes

Interferon meningkatkan kebutuhan tubuh akan insulin.16,17

Efek samping: Hipoglikemi, Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi alergi lokal atau umum. 16,17,18 Perhatian: Pemindahan dari insulin lain, sakit atau gangguan emosi, diberikan bersama obat hiperglikemi. 16

3. Cefotaxime Merupakan cephalosporin generasi III yang berikatan dengan membran sel bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun Gram-negatif aerobic. Aktivitasnya terhadap B. fragilis sangat lemah bila dibandingdenganklindmisin dan metronidazol. 16,19

Farmakokinetik: A : diabsobsi cepat dari GIT, D: didistribusi luas, termasuk CSF. Protein binding 30-50%, M:dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif, E: melalui urine, T 1 jam 17,18 Dosis: Dosis: IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis16 Indikasi: Bakterisid, infeksi bakteri gram positif dan gram negative. Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan menyebabkan hipoprotrombinemia16,17 4. Ceftriaxone Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan sekali / dua kali sehari. Farmakokinetik : Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 3367 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah

pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam. Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis. Indikasi : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh. Efek samping obat : Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat ditemukan adalah : Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah pemberian intravena. Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau menggigil Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan pemanjangan waktu protrombia. Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia. Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin. Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan silinder dalam urin. Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.

Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya monitiasis atau vaginitis

Dosis dan sediaan : Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari. Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari. Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit. Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL)

Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus faecalis. Perhatian: Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat, kadar plasma obat perlu dipantau. - Sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil (khususnya trimester I). Tidak boleh diberikan pada neonatus (terutama prematur) yang mempunyai resiko pembentukan ensephalopati bilirubin. Pada penggunaan jangka waktu lama, profil darah harus dicek secara teratur. 5. Fosfomisin (Fosmidex) Fosfomisin trometamin yang bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram- negative.20

Farmakokinetik: bioavailabilitasnya pada pemberian oral hanya 37%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi penyerapan obat ini sebesar 30%. Obat ini tidak terikat dengan protein plasma. T 5,7 jam. Ekskresi renal obat ini ialah 38%. Fosfomin tidak mengalami metabolism dalam tubuh dan dikeluarkan dalam urin dan tinja sebagai zat induknya. 20 Indikasi: infeksi saluran kemih tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen. 16,20 Efek samping : diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis. Dosis: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun dosis tunggal 8 g infuse i.v - 1 jam sebelum pembedahan. 16 6. Metronidazole Derivat nitroimidazole yang merusak DNA bakteri dan protozoa, menghambat sintesis asam nukleat. Farmakokinetik: A: diabsorbsi baik di GIT, diabsorbsi minimal pada pemakaian topical, D: ikatan protein <20%, didistribusi luas melewati BBB, M: di hepar menjadi metabolit aktif, E: terutama lewat urine, sebagain di feses, T 8-10 jam
16,17

Dosis: Dosis: infeksi kulit, SSP, traktus respirasi bawah, tulang, sendi, intraabdomen, ginekologi, endokarditis, septicemia peroral/IV dewasa, orangtua, anak 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis, maksimal 4 gr. Trikomoniasis, per oral dewasa 250 mg tiap 8 jam atau 2 gr sebagai dosis tunggal, anak 15-30 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, Amubiasis per oral dewasa 500-750 mg tiap 8 jam, Anak 35-50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.16 Indikasi: Bakterisid, Antiprotozoa, Amubisidal, Trikomonasidal, antiinflamasi dan imunosupresif bila diberikan topikal. Efek samping: Anoreksia, mual, mulut kering, rasa logam, intra vaginal: servicitis, vaginitis, kram perut, nyeri uterus

Interaksi obat: Meningkatkan level Carbamazepine, Meningkatkan level fenitoin, disulfiram menyebabkan toksisitas SSP, IV fenitoin, luminal, diazepam, cotrimoxazole menyebabkan reaksi seperti disulfiram 16,17 7. Ranitidin Secara kompetitif menghambat ikatan histamin dengan H 2 reseptor di lambung sehingga cAMP intrasel menurun, maka sekresi asam lambung menurun. Poten menghambat asam lambung basal, sekresi nokturnal asam lambung karena sangat tergantung pada histamin (90%).16,17 Farmakokinetik : Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas 5060%, konsentrasi puncak pada plasma 2-3 jam setelah pemberian per oral. Diabsorbsi secara cepat dengan pemberian IM dengan konsentrasi puncak plasma didapatkan setelah 15 menit. Distribusi : terikat secara lemah pada protein plasma yaitu sekitar 15%, melewati barier otak dan plasenta, serta didistribusikan ke dalam ASI. Metabolisme: hepar Ekskresi: ginjal. T = 2-3 jam, meningkat pada gangguan ginjal. Sebagian kecil melalui feses. 16,17 Indikasi : Ulkus duodenum, ulkus gaster, GERD17,18 Efek samping obat : Diare, jarang menimbulkan konstipasi, sakit kepala yang biasanya berat. 16,17 Dosis dan sediaan : Tablet 150 mg (Acran), Tablet film coated 300 mg (Indoran), 150 mg (Radin), Kaplet 300 mg (Acran), Ampul 25 mg/ml (Antid). Dosis: per oral dewasa 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari sebelum tidur, pemeliharaan 150 mg 1x/hari sebelum tidur. Anak 2-4 mg/kg/hari dibagi 2 dosis. Maksimal 300 mg/hari. Untuk iv/im dewasa 50 mg/dosis tiap 6-8 jam, anak 2-4 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, maksimal 200 mg/hari. Neonatus peroral 2 mg/kg/hari dibagi 2 dosis, iv inisial 1,5 mg/kg/dosis lalu 1,5-2 mg/kg/hari dibagi

2 dosis. Dengan gangguan hepar bila klirens kreatinin < 50 ml/menit diberi per oral 150 mg 1x/hari atau iv/im 50 mg tiap 18-24 jam. 16,17 Interaksi obat: Meningkatkan absorbsi obat Glipizide, Gliburide, Tolbutamide sehingga potensial hipoglikemia, Meningkatkan konsentrasi Nifedipine, Menurunkan absorbsi Ketoconazole, Cefuroxime karena absorbsinya tergantung media asam. 16,17 Perhatian: Gangguan hepar dan ginjal 16,17

8. Ondansentron Antagonis selektif pada reseptor (5HT3) di area postrema dan nucleus traktus.solitarius dan pada terminal aferen N.vagus serta memiliki aksi antiemetik sentral dengan menghambat reflex muntah yang disebabkan stimulasi vagus ketika 5-HT dilepaskan di usus saat merespon obat sitotoksik dan radiasi
16,17

Dosis dan sediaan: Tablet 8 mg (Cedantron), Tablet film coated 4 mg & 8 mg (Vomceran), Kaplet film coated 4 mg & 8 mg (Frazon), Ampul: 4 mg/2 ml, & 8mg/4ml (Zofran). Dosis: per oral dewasa, tua & anak >11thn 24 mg dosis tunggal 10-20 mg 3-4x/hari ac; Dosis 1-2 jam sebelum kemoterapi 8 mg (garam HCl 2 aq), lalu tiap 12 jam 8 mg selama 5 hari. 16,17 Farmakokinetik. A: diabsorpsi segera di dalam lambung, D: ikatan protein 7076%, M:dimetabolisme di heparoleh sitokrom P450 diikuti glukoronidase atau konjugasi sulfat. E: primer dieksresi melalui urin. T :4 jam. 16,17 Indikasi: Mual dan muntah terkait kemoterapi, radioterapi, atau pasca operasi. Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia Efek samping obat: Nyeri kepala, obstipasi, rasa panas di muka (flushes) dan perut bagian atas, jarang sekali gangguan ekstra-piramidal dan reaksi hipersensitivitas.

Interaksi obat: Beberapa obat lain yang menurunkan kelarens hepar dari antagonis 5HT3, akan merubah T obat tersebut. 9. Paracetamol Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi. Farmakokinetik : Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1 sampai 3 jam Indikasi :Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Serta menurunkan demam pada influenza dan setelah vaksinasi. Efek samping obat : Jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu

diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu. Dosis dan sediaan : Dibawah 1 tahun: - 1 sendok teh atau 60 120 mg, tiap 4 - 6 jam. 1 - 5 tahun: 1 - 2 sendok teh atau 120 250 mg, tiap 4 - 6 jam. 6 - 12 tahun: 2 - 4 sendok teh atau 250 500 mg, tiap 4 - 6 jam. Diatas 12 tahun: - 1 g tiap 4 jam, maksimum 4 g sehari. Interaksi obat: Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif. Kombinasi dengan obat penyakit AIDS zidovudin meningkatkan resiko neutropenia Perhatian: Paracetamol sudah digunakan secara luas, dan pada dosis yang dianjurkan, efek sampingnya ringan dan jarang terjadi. Laporan mengenai efek yang tidak diinginkan, jarang. Kebanyakan laporan dari efek samping parasetamol berhubungan dengan dosis yang berlebihan. Paracetamol harus digunakan dengan hati-hati pada penderita payah hati dan disfungsi ginjal. 10. Neurovit E Terdiri dari Vitamin B1 100 mg, Vitamin B6 200 mg, Vitamin B12 200 mcg, Vitamin E 50 mg.16 Farmakokinetik: vitamin B1, B6, B12 adalah vitamin neurotropik yang terpenting dari vitamin B-kompleks. Terutama dalam konsentrasi yang tinggi. Vitamin B1 diperlukan untuk mempertahankan konsumsizatasam dalam jumlahyang cukup besar dalam otak, untukmencegah akumulasi asam laktat asam piruvat. Vitamin B6 dibutuhkan untuk mengaturmetabolisme aam glutamatdan asam aminobutirat untuk kelancaran fungsi otak. Kombinaiketiga vitamin neurotropik bekerjasinergis, sehingga daya sembuhnya sebagai keseluruhan

melebihiefek-efek yang dimiliki masing-masing vitamin itu sendiri. Vitamin E adalah antioksidan biologisuntuk menghemat penggunaan oksigen. Indikasi : gangguan neurologic seperti neuritis, neuroparalisis, lumbago, neuralgia, reumatik, paraestesis, neuropati asthenia, keadaan lesu, lemah, masa penyembuhan setelah infeksi, anemia. 16 Dosis : 1 tablet sehari. 16 11. Antrain Metamizole Na adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole Na bekerja sebagai analgesic. Dosis dan sediaan: tablet 500 mg, ampul 1gr/2ml. Dewasa: Tablet : 1 tablet jika sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8 jam, maksimum 4 tablet sehari. Injeksi : 500 mg jika sakit timbul, berikutnya 500 mg tiap 6-8 jam maksimum 3 kali sehari, diberikan secara injeksi I.M. atau I.V. Indikasi: Untuk meringankan rasa sakit,terutama nyeri kolik, post operasi. Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia Efek samping obat: Reaksi hipersensitivitas: reaksi pada kulitmisal kemerahan, Agranulositosis Interaksi obat: Bila Metamizole Na diberikan bersamaan dengan Chlorpromazine dapat mengakibatkan hipotermia16,17

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke- XX dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled Diagnosa Teori Kasus Dinyatakan Diabetes Mellitus tipe 2 Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement bila: hari ke- XVIII dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled: 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL 1. Sebelum di diagnose DM, pasien (11.1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg.dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau 3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 220 mg/dL (11.1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. sudah 1 tahun mengalami buang air yang sering pada malam hari (5-7 kali dalam semalam), rasa cepat haus dan lapar serta penurunan berat badan. 2. dirawat di RS 6 bulan yang lalu dengan darah gula darah pasien 510 mg/dL 3. Riwayat DM sejak 6 bulan yang lalu, tidak rutin control 4. GDS saat MRS 492 mg/dL 5. Pemeriksaan kadar gula tanggal 01/03 GDP : 219 mg/dL, dan G2PP : 261 mg/dL

Penatalaksaan pasien ini meliputi: 1. Edukasi Edukasi yang terpenting adalah perubahan gaya hidup ( life style) yang meliputi perubahan pola makan dan aktivitas fisik atau olahraga. 2. Diet Pengaturan makan hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu, sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. 3. Exercise Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat 4. Terapi Farmakologis Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut. 2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis 3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung 4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan, penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan minum, sesudah atau sebelum makan, dll) 5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui dipantau dengan baik. CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).

Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis, Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman Rasional Murah dan Mudah didapat. 1. Ringer Laktat Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat. Biasanya cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya yang isotonis, dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati membran semi permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat dengan cepat terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan 20 tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu +8 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien. Karena keadaan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi gangguan keseimbangan cairan maka cukup diberikan cairan infus RL dengan kecepatan 12 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batasbatas fisiologis. No 1 Teori Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat. Dosis : sesuai dengan kondisi penderita Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paruparu hiperkloremia dan asidosis metabolic kasus sebagai rumatan terapi rasional Ya tidak

2 3 4

tidak ada kontraindikasi pada pasien diberikan 20 tpm yang akan habis dalam waktu 8 jam -

2.

Insulin Reguler (RI) Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat

meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Diberikan pada pasien dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan insulin secara cepat sesuai dengan mula kerja insulin jenis ini ( jam). Karena lama kerjanya yang singkat, insulin jenis ini dapat diberikan 3x/hari. no 1 Indikasi : Teori kasus DM tipe 2 rasional Ya tidak

DM tipe I DM tipe II (diabetisi kurus / dengan penurunan BB yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke, dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO) semua tipe DM dalam kehamilan terapi hiperkalemia gangguan liver hiperglikemia pada neonatus Dosis : : Dosis tergantung kondisi GDS: 492 mg/dL, pasien dan kadar gula darah. diberikan 3x8 IU (GDS : > 450 diberikan 20 IU)

Efek samping: Hipoglikemi,

Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi alergi lokal atau umum. Interaksi obat: Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker, disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole, octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik. Meningkatkan kebutuhan akan insulin chlordiazepoxide, chlorpromazine, beberapa CCB seperti diltiazem dan nifedipin, kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid. ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan kebutuhan tubuh terhadap insulin.

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

Cara Pemakaian: dapat digunakan Pada pasien ini secara parenteral diberikan secara parenteral

3. Cefotaxime Pada pasien ini diberikan cefotaxime sejak tanggal 29 februari 06 maret 2011 yang merupakan golongan cefalosforin generasi III. Kerja cefotaxime berikatan dengan membran sel bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun Gram-negatif aerobic . Pasien ini mengalami abses pedis, dan pada hasil pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 01 maret 2012 didapatkan bahwa cefotaxime merupakan salah satu anti mikroba yang resisten. No 1 Teori Kasus rasional Ya tidak (hasil uji kepekaan

Indikasi: Bakterisid, Sebagai terapi Abses infeksi bakteri gram positif Pedis dan gram negative.

resisten) 2 Dosis : Dosis: IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina. Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral Diberikan Cefotaxim Inj. IV 3x1 g

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

4. Ceftriaxon Pasien diberikan ceftriaxone sejak tanggal 07 maret 14 maret 2011. Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara IV atau IM. Pada hasil pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 06 maret 2012 didapatkan bahwa ceftriaxone masih termasuk antimikroba yang sensitive. No 1 Teori Indikasi : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh. Kasus Abses Pedis Rasional Ya Tidak

Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari. Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari. Bayi 15 hari -12 tahun : 20 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit. Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL). Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus faecalis. Efek samping obat : reaksi local, hipersensitivitas, gangguan hematologic, diare, mual muntah, penigkatan SGOT dan SGPT, nyeri kepala, vaginitis.

Diberikan Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi -

Cara Pemakaian: dapat Pada pasien ini digunakan secara parenteral diberikan secara parenteral

5. Fosmidex Pada pasien ini diberikan Fosfomisin sejak 15maret 2011. Fosfomisin bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram- negative. Pada hasil

pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 12 maret 2012 dan 19 maret 2012 didapatkan bahwa Fosfomisin masih termasuk antimikroba yang sensitive. No 1 Teori Indikasi: infeksi saluran kemih tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen. Dosis dan sediaan: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun dosis tunggal 8 g infuse i.v 1 jam sebelum pembedahan. Efek samping obat: diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis. Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral Kasus Abses Pedis rasional Ya tidak

Diberikan fosmidex 2x1 g

Inj. IV

4 5

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

You might also like